BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam agama yang lengkap dan
sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi
kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar
makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling
menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Karena itulah sangat perlu sekali
kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari,
diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya
berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
Hutang piutang terkadang tidak dapat
dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara
manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta
jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Dalam hal jual beli sungguh beragam,
bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn
(gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk
riba jika memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang
yang melalaikan masalah tersebut senghingga tidak sedikit dari mereka yang
melakukan gadai asal-asalan tampa mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh
karena itu kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi rumusan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
pengertian rahan?
2. Bagaimana
syarat dan rukun ar-rahn?
3. Bagaimana
aplikasi rahn dalam ekonomi syariah?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian rahan
2. Untuk
mengetahui syarat dan rukun ar-rahn
3. Untuk
mengetahui aplikasi rahn dalam
ekonomi syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ar-Rahn
Ar-Rahn
merupakan mashdar dari
rahana –
yarhanu - rahnan; bentuk pluralnya rihân[un], ruhûn[un] dan ruhun[un].
Secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan
langgeng); juga berarti al-habs (penahanan).[1]
Secara syar‘i, ar-rahn (agunan) adalah harta yang
dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak
yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) menunaikannya.
“Gadai
adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu ‘barang
bergerak’, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh
seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya
untuk melelang barang tersebut, dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan”
Gadai secara umum diartikan dengan
kegiatan menjaminkan ‘barang berharga’ kepada pihak tertentu, guna memperoleh
sejumlah uang, dimana barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan
perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.[2]
Ar-Rahn disyariatkan dalam
Islam. Allah
Swt. Berfirman :
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَة
Artinya:
Jika kalian dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). (QS. Al-Baqarah [2]: 283).
Aisyah ra. Menuturkan :
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ
وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ»
Artinya:Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi
dengan tempo (kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Anas ra. juga pernah menuturkan :
«وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِيْنَةِ عِنْذَ يَهُوْدِيٍّ
وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًا ِلأَهْلِهِ»
Artinya:
Sesungguhnya Nabi saw.
pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara
Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga
Beliau. (HR al-Bukhari).
Ar-Rahn boleh dilakukan baik ketika safar maupun mukim. Firman Allah, in
kuntum ‘alâ safarin (jika kalian dalam keadaan safar), bukanlah
pembatas, tetapi sekadar penjelasan tentang kondisi. Riwayat Aisyah dan Anas di
atas jelas menunjukkan bahwa Nabi saw. melakukan ar-rahn di Madinah dan beliau tidak
dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim.[3]
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No.
25/DSN-MUI/III/2002 yang ditetapkan pada tanggal 28 Maret 2002 oleh ketua
dan sekretaris DSN tentang Rahn, menentukan bahwa pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai barang jaminan hutang dalambentuk Rahn
diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :
1.
Penerima gadai (Murtahin) mempunyai hak untuk
menahan barang jaminan (Marhun bih) sampai semua utang nasabah (Rahin)
dilunasi.
2. Barang jaminan (Marhun
bih) dan manfaatnya tetap menjadi milik nasabah (Rahin).
3.
Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadai pada dasarnya
menjadi kewajiban nasabah, namun dapat dilakukan juga oleh penerima gadai,
sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban
nasabah.
4. Besar biaya pemeliharaan
dan penyimpanan barang gadai tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah
pinjaman.
5. Penjualan
barang gadai
a. apabila
jatuh tempo, pihak pegadaian harus memperingatkan nasabahnya untuk segera
melunasi hutangnya
b. apabila
nasabah tetap tidak melunasi hutangnya, maka barang gadai dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai dengan syariah
c. hasil
penjulan barang gadai tersebut digunakan untuk melunasi hutangnya nasabah,
yakni melunasi biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta
biaya penjulan
d. kelebihan
hasil penjulan barag gadai tersebut menjadi milik nasabah dan kekuarangannya
menjadi kewajiban nasbah pula
6. Jika
terjadi perselisihan antar kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dapat
dilakukan melalui Badan Arbitrase Indonesia, setelah tercapai kesepakatan
musyarakah.
B. Syarat Dan Rukun Ar-Rahn
Ar-rahn mempunyai tiga rukun
(ketentuan pokok), yaitu:
(1)
shighat (ijab dan qabul),
(2)
al-‘aqidan (dua orang yang melakukan
akad ar-rahn),
yaitu pihak yang mengagunkan (ar-râhin) dan yang menerima agunan
(al-murtahin),
dan
(3)
al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang diagunkan (al-marhun)
dan utang (al-marhun
bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan
tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).
Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan
ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf,
maka akad ar-rahn tersebut
sah.[4]
C. Aplikasi Rahn Dalam Ekonomi Syariah
Dalam implementasi akad rahn dalam ekonomi syariah ada dua jenis, yaitu akad rahn dijadikan
produk turunan berupa agungan atas pembiayaan, dan kedua akad rahn sebagai
produk utama, dalam bentuk gadai.
1.
Akad Rahn sebagai Produk Turunan (Jaminan
Pembiayaan)
Harta yang diagunkan disebut al-marhûn (yang diagunkan). Harta
agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-râhin kepada al-murtahin
pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima
itu, agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu
termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik,
perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang
agunan tersebut kepada penerima agunan (al-murtahin). Bisa juga yang
diserahterimakan adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan berpindahnya
kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika harta tersebut
merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-lain.
Harta agunan itu haruslah harta yang secara syar‘i
boleh dan sah dijual. Karenanya tidak boleh mengagunkan khamr, patung, babi,
dan sebagainya. Harta hasil curian dan gasab juga tidak boleh dijadikan agunan.
Begitu pula harta yang bukan atau belum menjadi milik ar-râhin
karena Rasul saw. telah melarang untuk menjual sesuatu yang bukan atau belum
menjadi milik kita.
Dalam akad jual-beli kredit, barang yang dibeli dengan
kredit tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang harus dijadikan
agunan adalah barang lain, selain barang yang dibeli (al-mabî’)
tadi.
Akad ar-rahn (agunan) merupakan
tawtsîq
bi ad-dayn, yaitu agar al-murtahin percaya untuk
memberikan utang (pinjaman) atau bermuamalah secara tidak tunai dengan ar-râhin.
Tentu saja itu dilakukan pada saat akad utang (pinjaman) atau muamalah kredit.
Jika utang sudah diberikan dan muamalah kredit sudah dilakukan, baru dilakukan ar-rahn,
maka tidak lagi memenuhi makna tawtsîq itu. Dengan demikian, ar-rahn dalam
kondisi ini secara syar‘i tidak ada maknanya lagi.
Pada masa Jahiliah, jika ar-râhin tidak bisa membayar utang
(pinjaman) atau harga barang yang dikredit pada waktunya, maka barang agunan
langsung menjadi milik al-murtahin. Lalu praktik Jahiliah
itu dibatalkan oleh Islam. Rasul saw. bersabda:
«لاَ يُغْلَقُ الرَّهُنُ
مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِيْ رَهَنَهُ، لَهُ غَنَمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ»
Artinya:
Agunan itu tidak boleh
dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak atas kelebihan
(manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya. (HR as-Syafii, al-Baihaqi,
al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni).
Karena itu, syariat Islam menetapkan, al-murtahin
boleh menjual barang agunan dan mengambil haknya (utang atau harga
kredit yang belum dibayar oleh ar-râhin) dari hasil penjualan
tersebut. Lalu kelebihannya harus dikembalikan kepada pemiliknya, yakni ar-râhin.
Sebaliknya, jika masih kurang, kekurangan itu menjadi kewajiban ar-râhin.
Hanya saja, Imam al-Ghazali, menegaskan bahwa hak al-murtahin untuk menjual tersebut
harus dikembalikan kepada hakim, atau izin ar-râhin, tidak serta-merta boleh
langsung menjualnya, begitu ar-râhin gagal membayar utang pada
saat jatuh temponya.
Atas dasar ini, muamalah kredit motor, mobil, rumah,
barang elektronik, dsb saat ini yang jika pembeli
(debitor) tidak bisa melunasinya, lalu motor, mobil, rumah atau barang itu
diambil begitu saja oleh pemberi kredit (biasanya perusahaan pembiayaan, bank
atau yang lain), jelas menyalahi syariah. Muamalah yang demikian adalah batil,
karenanya tidak boleh dilakukan.
2.
Pemanfaatan al-marhun oleh al-Murtahin
Setelah serah terima, agunan berada di bawah kekuasaan al-murtahin.
Namun, itu bukan berarti al-murtahin boleh memanfaatkan
harta agunan itu. Sebab, agunan hanyalah tawtsîq, sedangkan manfaatnya,
sesuai dengan hadis di atas, tetap menjadi hak pemiliknya, yakni ar-râhin.
Karena itu, ar-râhin berhak memanfaatkan tanah
yang dia agunkan; ia juga berhak menyewakan barang agunan, misal menyewakan
rumah atau kendaraan yang dia agunkan, baik kepada orang lain atau kepada al-murtahin,
tentu dengan catatan tidak mengurangi manfaat barang yang diagunkan (al-marhun).
Ia juga boleh menghibahkan manfaat barang itu, atau mengizinkan orang lain
untuk memanfaatkannya, baik orang tersebut adalah al-murtahin (yang mendapatkan
agunan) maupun bukan.
Hanya saja, pemanfaatan barang oleh al-murtahin
tersebut hukumnya berbeda dengan orang lain. Jika akad ar-rahn
itu untuk utang dalam bentuk al-qardh, yaitu utang yang harus
dibayar dengan jenis dan sifat yang sama, bukan nilainya. Misalnya, pinjaman
uang sebesar 50 juta rupiah, atau beras 1 ton (dengan jenis tertentu), atau
kain 3 meter (dengan jenis tertentu). Pengembaliannya harus sama, yaitu 50 juta
rupiah, atau 1 ton beras dan 3 meter kain dengan jenis yang sama.6 Dalam kasus
utang jenis qardh ini, al-murtahin
tidak boleh mamanfaatkan barang agunan sedikitpun, karena itu
merupakan tambahan manfaat atas qardh. Tambahan itu termasuk riba
dan hukumnya haram.
Jika ar-rahn itu untuk akad utang dalam
bentuk dayn,
yaitu utang barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak bisa dicarikan padanannya,
seperti hewan, kayu bakar, properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihitung
berdasarkan nilainya,8 maka al-murtahin boleh memanfaatkan
barang agunan itu dengan izin dari ar-râhin. Sebab, manfaat barang
agunan itu tetap menjadi milik ar-râhin. Tidak terdapat nash yang
melarang hal itu karena tidak ada nash yang mengecualikan al-murtahin
dari kebolehan itu.
Ketentuan di atas berlaku, jika pemanfaatan barang agunan
itu tidak disertai dengan kompensasi. Namun, jika disertai kompensasi, seperti ar-râhin
menyewakan agunan itu kepada al-murtahin, maka al-murtahin
boleh memanfaatkannya baik dalam akad al-qardh maupun dayn.
Karena dia memanfaatkannya bukan karena statusnya sebagai agunan al-qardhu
tetapi karena dia menyewanya dari ar-rahin. Dengan ketentuan, sewanya
tersebut tidak dihadiahkan oleh ar-râhin kepada al-murtahin.
Namun, jika sewanya tersebut dihadiahkan, maka statusnya sama dengan
pemanfaatan tanpa disertai kompensasi, sehingga tetap tidak boleh dalam kasus al-qardh,
dan sebaliknya
boleh dalam kasus dayn.[5]
3.
Akad Rahn sebagai Produk Utama (Gadai Syariah).
Konsep operasional pegadaian syariah mengacu pada sistem
administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang
diselaraskan dengan nilai Islam.
a.
Perbedaan Pegadauan Syariah dengan Pegadaian Konvensional
Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga
dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap
memperoleh keuntungan, yaitu dengan cara memberlakukan biaya pemeliharaan dari
barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah
pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvesional, biaya yang harus dibayar
sejumlah dari yang dipinjamkan.
Variabel biaya pegadaian konvensional meliputi :
1. Biaya administrasi yang
ditetapkan sebesar 1% dari uang pinjaman.
2. Biaya sewa Modal yang
dihitung sebagai berikut :
a. Pinjaman kurang dari Rp
20.000.000,- dengan masa pinjam setiap 15 hari sebesar 1,25%.
b. Pinjaman lebih dari Rp
20.000.000,- dengan masa pinjam setiap 30 hari (1 bulan) sebesar 1%.
Variabel biaya pegadaian syariah meliputi :
1.
Biaya administrasi yang ditetapkan sebagai berikut :
Rp 20.000,- sampai dengan Rp
150.000,-
= Rp 1.000,-
Rp 155.000,- sampai dengan Rp
500.000,-
= Rp 3.000,-
Rp 505.000,- sampai dengan Rp
1.000.000,-
= Rp 5.000,-
Rp 1.050.000,- sampai dengan Rp
10.000.000,- = Rp 15.000,-
Rp 10.050.000,- dan
seterusnya
= Rp 25.000,-
2.
Biaya jasa simpanan yang dihitung sebagai berikut :
Biaya Jasa Simpanan dihitung per 10 hari, dirumuskan
dengan :
Nilai Barang x Tarif
Rp 10.000,-
Tarif yang dikenakan adalah :
Emas
= Rp 90,-
Barang Elektronik =
Rp 95,-
Motor
= Rp 100,-
Jika kita bandingkan pembebanan variabel biaya-biaya
tersebut, maka kita dapat perbedaan yang cukup signifikan. Misalnya barang
jaminan berupa emas 22 karat seberat 60 gram dengan niai taksiran Rp
5.600.000,-. Perhitungannya adalah sebagai berikut :
Pegadaian Syariah
|
Pegadaian konvensional
|
|
Besar Pinjaman
|
90% x Rp 5,6 juta = Rp 5,04 juta
|
89% x Rp 5,6 juta = Rp 4,98 juta
|
Biaya Administrasi
|
Rp 15.000,-
|
1% x Rp 4,98 juta = Rp 49.800,-
|
Biaya
|
Per 10 hari :
Rp 5,6 juta x 90 = Rp 10.000,-
Rp 10.000,-
|
Per 15 hari :
1,25% x Rp 4,98 juta = Rp 62.250,-
|
Biaya selama 4 bulan :
Rp 50.400,- x 12 = Rp 604.800,-
|
Biaya selama 4 bulan :
1,25% x 8 x Rp 4,98 juta = Rp 498.000,-
|
|
Total Biaya
|
Rp 619.800,-
|
Rp 547.800,-
|
Sumber : Gadai Syariah, Abdul Ghofur Ansori, hal. 120.
Berikut disajikan tabel perbedaan teknis antara pegadaian
syariah dan pegadaian konvensional :
No.
|
Pegadaian Syariah
|
Pegadaian Konvensional
|
1.
|
Biaya Administrasi menurut ketetapan berdasarkan
golongan barang.
|
Biaya Administrasi menurut prosentase berdasarkan
golongan barang.
|
2.
|
Jasa simpanan berdasarkan nilai taksiran.
|
Sewa modal berdasarkan pinjaman.
|
3.
|
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang
dijual kepada masyarakat.
|
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang
dilelang kepada masyarakat.
|
4.
|
Uang pinjaman 90% dari nilai taksiran.
|
Uang pinjaman golongan A: 90% dari taksiran, Golongan
B, C, dan D : 86% – 88% dari nilai taksiran.
|
5.
|
Jasa simpanan dihitung dengan konstanta X taksiran.
|
Sewa modal dihitung berdasarkan prosentase X uang
pinjaman.
|
6.
|
Maksimal jangka waktu 4 bulan.
|
Maksimal jangka waktu 3 bulan.
|
7.
|
Uang kelebihan = hasil penjualan – (uang pinjaman +
jasa penitipan + biaya penjualan)
|
Uang kelebihan = hasil lelang – (uang pinjaman + sewa
modal + biaya lelang).
|
8.
|
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil oleh
pemilik barang, maka diserahkan kepada lembaga ZIS.
|
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil oleh
pemilik barang, maka menjadi milik pegadaian.
|
b.
Operasional Pegadaian Syariah
Implementasi operasional pegadaian syariah hampir
bermiripan dengan pegadaian konvensional. Seperti halnya pegadaian
konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan
barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh pinjaman dari gadai syariah sangat
sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang
bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak
relatif lama (kurang lebih 15 menit). Begitupun untuk melunasi pinjaman,
nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn, dengan
waktu proses yang juga singkat. Namun disamping beberapa kemiripan dari
berbagai segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan
pendanaan, pegadaian syariah memiliki ciri tersendiri yang implementasinya
sangat berbeda dengan pegadaian konvensional.
Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam
operasionalnya menggunakan metode Fee Based Income. Sesuai dengan konsep
rahn, pada dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas dua akad transaksi
syariah, yaitu :
a. Akad Rahn. Rahn yang
dimaksud adalah menahan harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman (qardh)
yang diterimanya. Pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali
seluruh atau sebagaian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian
syariah menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
b. Akad Ijarah, yaitu akad
pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini
dimungkinkan bagi pegadaian syariah untuk menarik sewa atas penyimpanan barang
bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya ditempat yang telah disediakan. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan kesuluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian syariah mengenakan biaya sewa (ijarah) kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad
tersebut meliputi:
a. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti
murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
b. Marhun Bih (Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta,
pinjaman itu jelas dan tertentu.
c. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya
seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari
rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi
maupun manfaatnya.
d. Jumlah maksimum dana rahn
dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka
waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
e. Rahin dibebani jasa
manajemen atas barang berupa: biaya asuransi, biaya penyimpanan, biaya
keamanaan, dan biaya pengelolaan dan administrasi
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengertian ar-Rahn dalam
ilmu fiqih adalah Menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diberikan oleh berpiutang (yang meminjamkan). Berarti,
barang yang dititipkan pada si piutang dapat diambil kembali dalam jangka waktu
tertentu.
Para
fuqaha sepakat membolehkan praktek rahn / gadai ini, asalkan tidak terdapat
praktek yang dilarang, seperti riba atau penipuan. di masa Rasulullah praktek
rahn pernah dilakukan. Dahulu ada orang menggadaikan kambingnya. Rasululah SAW
ditanya bolehkah susu kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar untuk
menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasullulah mengizinkan kita boleh
mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya pemeliharaan.
Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan ladang ijtihad para
pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi produk keuangan
syariah yang cukup menjanjikan.
Secara teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh suatu lembaga tersendiri
seperi Perum Pegadaian, perusahaan swasta maupun pemerintah, atau merupakan
bagian dari produk-produk finansial yang ditawarkan bank.
Praktek gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang
telah berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian, kini bukan lagi
dipandang tempatnya masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala anaknya
sakit atau butuh biaya sekolah. Pegadaian kini juga tempat para pengusaha
mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agustianto. Modul
Kuliah Fiqh Mumalat. Program Magister Bisnis dan Keuangan Islam Semester 2.
Universitas Paramadia Jakarta.
Abdul Ghofur Ansori. Gadai
Syariah di Indonesia : Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi. Gadjah
Mada University Press. 2006.
Suhendi, Hendi, Drs.
M.Msi. Fiqh Muamalah. Rajawali Press. 2002.
Karim, Adiwarman. Bank
Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan. Rajawali Press. 2006.
Tulisan Yahya Abdurrahman
dan Hafidz Abdurrahman, Rahn (Agunan) dalam Perspektif Hukum Islam. www.alwafi’@hizbuttahririndonesia.com
Fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) No. 25/DSN-MUI/III/2002 yang ditetapkan pada tanggal
28 Maret 2002.
[1]Lihat:
Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi’, IV/213, al-Maktab
al-Islami, Beirut. 1400 ; Muhammad bin Ahmad ar-Ramli al-Anshari, Ghâyah
al-Bayân Syarh Zabidi ibn Ruslân, I/193, Dar al-Ma’rifah,
Beirut. tt; Abu Abdillah al-Maghribi, Mawâhib al-Jalîl, V/2, Dar al-Fikr,
Beirut, cet. ii. h. 1398.
[3] QS
al-Baqarah ayat 283 menjelaskan bahwa dalam muamalah tidak secara tunai ketika
safar dan tidak terdapat penulis untuk menuliskan transaksi itu maka ar-rahn
dalam kondisi itu hukumnya sunnah. Dalam kondisi mukim hukumnya mubah. Lihat:
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr ( Sûrah al-Baqarah), h.
437-438, Dar al-Ummah, Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006.
0 Response to "Makalah Aplikasi rahan dalam ekonomi syariah"
Post a Comment