Latest Updates

Susunan Peradilan Agama



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam pasal 10 ayat (1) UU No. 4/2004 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang dimaksud mencakup 4 wilayah hukum, yang secara resmi diakui dan berlaku di Indonesia yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan peradilan tata Usaha.
Peradilan Agama mendapatkan pengakuan ditandai dengan disahkan dan diundangkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 pada tanggal 29 Desember 1989 dalam Lembaran Negara RI tahun 1989 No. 49 yang dinamai dengan Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan hasil yang maksimal dan dapat memperkuat persatuan dan kedudukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum islam. Maka Peradilan Agama akan lebih mantap dalam menjalankan fungsinya, para pencari keadilanpun demikian, akan lebih mudah dan kongkrit dalam berurusan dengan Peradilan Agama.
Sebagai lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam, Peradilan Agama disebut peradilan khusus. Disebut demikian karena Pengadilan Agama mengadili perkara-perkara yang ditentukan khusus oleh peraturan perundang undangan, yaitu khusus hanya berwenang mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu.dalam hal ini Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak termasuk bidang pidana dan pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam.
Berikut akan kami jelaskan mengenai susunan dan kekuasaan peradilan agama yang meliputi Pengadilan tingkat pertama dan banding, syarat, tugas, wewenang, pengangkatan dan pemberhentian hakim, Panitera, juru sita, dan kesekretariatan, Kekuasaan mutlak dan relatif peradilan agama, serta sumber hukum materiil dan hukum formil.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa syarat, tugas, wewenang hakim beserta pengangkatan dan pemberhentiannya ?
2.      Apa itu panitera, jurusita dan kesekretariatan ?
3.      Bagaimana kekuasaan mutlak dan kekuasaan relative peradilan agama ?



























BAB II
PEMBAHASAN

A.     Susunan Peradilan Agama
1.      Pengadilan tingkat pertama dan banding
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Peradilan ini merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata yang diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 1989 ( pasal 1 butir 1 dan 2).
Dalam operasionalnya kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding, yang mana kedua pengadilan tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Secara administratif, peradilan agama berada di bawah Departemen Agama.
Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kotamadya atau Ibukota kabupaten dan mempunyai daerah hukum meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten tersebut. Sedangkan pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propinsi yang daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi yang bersangkutan.
Susunan Pengadilan Agama yang terdapat dalam pasal 9 undang-undang nomor 7 tahun 1989 adalah tidak berbeda dengan susunan pengadilan negeri, yaitu terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris dan juru sita sedangkan susunan Pengadilan Tinggi Agama adalah pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris
2.      Hakim, syarat, tugas, wewenang, pengangkatan dan pemberhentian hakim.
a.       Hakim
Hakim adalah pejabat negara yang tugasnya memeriksa dan mengadili suatu perkara di pengadilan.hakim diangkat dan di berhentikan oleh presiden sebagai kepala negara (pasal 30 undang-undang nomor 14 tahun 1970).[1]
b.      Syarat-syarat hakim
Sejalan dengan definisi peradilan agama tersebut di atas , maka Syarat Menjadi Hakim PA (Pasal 13 ayat (1) bab II UU no. 50 tahun 2009) adalah:
a.       Warga Negara Indonesia
b.      Beragama Islam.
Dalam pengadilan agama harus pula diisi oleh hakim yang beragama islam. Memang berbeda dengan tiga peradilan lainnya.peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer, agama seseorang hakim tidak menjadi masalah, karena disitu agama tidak ada hubugannya dengan materi perkara yang ditanganinya.
c.       Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
d.      Setia kepada Pancasila dan UUD Negara RI 1945
e.       Sarjana Syariah, Sarjana Hukum Islam atau Sarjana Hukum yang mengetahui Hukum Islam
f.       Lulus Pendidikan Hakim
g.      Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban
h.      Berwibawa, jujur, adil dan tidak berkelakuan tercela
i.        Berusia paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun
j.        Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
c.       Tugas dan kewenangan hakim
Pengadilan dalam lingkungan badan peradilan agama mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara perdata khusus orang-orang yang beragama Islam, yaitu perkara mengenai perkawinan, perceraian, pewarisan, dan wakaf.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama terdiri dari pengadilan agama yang memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat pertama, dan pengadilan tinggi agama yang memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat banding.
Pengadilan agama berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, sedangkan pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
d.      Pengangkatan hakim
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung (Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
e.       Pemberhentian hakim
Hakim-hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :
1.      Ternyata tidak cakap.
2.      Sakit jasmani maupun rohani yang terus-menerus sehingga tidak memungkinkan dia untuk melaksanakan kewajibannya dengan baik.
3.      Permintaan sendiri.
4.      Telah berumur 60 (enampuluh) tahun.
Selanjutnya hakim dapat diberhentikan sementara dari jabatannya:
1.      Apabila seorang hakim pada Pengadilan Agama atau Pengadilan Tinggi Agama ditahan atas diperintahkan untuk dimasukkan dalam rumah sakit Jiwa.
2.      Apabila hakim tersebut huruf a tersangkut dalam suatu perkara meski pun tidak dikenakan tahanan, atau setelah diadakan penyelidikan secara administratif timbul hal-hal yang tidak membenarkan dia melanjutkan tugasnya sebagai Hakim. Pemberhentian itu dilakukan oleh Menteri Agama dengan pertimbangan Ketua Mahkamah Agung.
3.      Apabila yang tersebut huruf b itu mengenai hakim-hakim pada Mahkamah Agung bidang Agama, maka pemberhentian sementara dilakukan oleh Presiden atas pertimbangan Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama.
Untuk Pemberhentian sementara hanya dapat dicabut oleh Menteri Agama bagi para hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, dan oleh Presiden bagi hakim-hakim Mahkamah Agung Bidang Agama, setelah mendapat pertimbangan dari Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama. 
Selanjutnya Hakim-hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama hanya dapat dipecat dari jabatannya apabila :
1.      Ia dijatuhi pidana karena bersalah melakukan kejahatan.
2.      Ia melakukan perbuatan yang tercela.
3.      Ia terus-menerus melalaikan kewajibannya dalam menjalankan pekerjaan nya.
4.      Ia melakukan rangkapan jabatan.
5.      Ia memberi nasehat atau pertolongan yang bersifat memihak kepada yg berkepentingan dalam perkara yang diperiksa atau dikirakan akan di periksa.
Pemecatan tersebut  diatas dilakukan atas usul dan per timbangan dari Mahkamah Agung setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri.
3.      Panitera, juru sita, dan kesekretariatan.
a.       Panitera
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri pada dasarnya mempuyai susunan kepaniteraan yang sama, bedanya adalah apabila di Pengadilan Agama seorang panitera harus beragama Islam dan berlatar belakang pendidikan Islam atau menguasai hukum Islam, sedangkan di Pengadilan Negeri seorang Panitera tidak harus beragama Islam.
Untuk Pengadilan Tinggi Agama persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi panitera adalah orang tersebut memiliki ijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, sedangkan persyaratan yang lainnya tidak berbeda dengan persyaratan untuk menjadi panitera Pengadilan Tinggi. 
b.      Kesekretariatan
Sama halnya dengan Pengadilan Negeri, di Pengadilan Agama juga ada Sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris dimana jabatan sekretaris dirangkap oleh panitera pengadilan. Dengan melihat pengaturan ini maka persyaratan untuk menjadi sekretaris adalah sama dengan persyaratan untuk menjadi panitera. 
c.       Juru Sita
Untuk menjadi juru sita, diisyaratkan harus mempunyai pengalaman minimal 5 (lima) tahun sebagai juru sita pengganti, selain itu orang tersebut haruslah Warga Negara Indonesia, beragama Islam, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama tidak memiliki juru sita disinilah letak perbedaan antara susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
       
B.      Kekuasaan Peradilan Agama.
1.      Kekuasaan mutlak dan relatif peradilan agama.
a.       Kekuasaan mutlak
Setiap badan peradilan mempunyai kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara. Kekuasaan antara badan peradilan ini berbeda satu dengan lainnya.yang dalam hukum acara perdata disebut dengan wewenang mutlak atau wewenang absolut.
Wewenang tersebut menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan pengadilan. Dilihat dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dalam bahasa belanda disebut atribute van rechtsmacht.
Mengenai wewenang absolut pengadilan agama sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 undang-undang nomor 7 tahun 1989 memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu. Selanjutnya yang dimaksud dengan perkara perdata tertentu oleh pasal 49 ayat (1) bahwa pengadilan agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama islam di bidang:
1.      Perkawinan
2.      Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam.
3.      Wakaf dan shadaqah.
b.      Kekuasaan relatif
Kata ‘kekuasaan’ sering disebut ‘kompetensi’ yang berasal dari bahasa Belanda ‘competentie’, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan ‘kewenangan’ dan kadang dengan ‘kekuasaan’. Kekuasaan atau kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara.
Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pegadilan Agama Bogor.
Dalam contoh yang telah diberikan, Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor, keduanya adalah sama-sama berada di dalam lingkungan Peradilan Agama dan sama-sama berada pada tingkat pertama. Persamaan ini adalah disebut dengan satu jenis.
Bagi pembagian kekuasaan relatif ini, Pasal 4 UU No. 7 1989 tentang Peradilan Agama telah menetapkan: “peradilan agama berkedudukan di kota madya atau kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayahkota madya atau kabupaten”.
Selanjutnya, pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) menetapkan: “pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama ada dikodya atau kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkkinan adanya pengecualian”
Tiap pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, seperti di kabupaten Riau kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi transportasi yang sulit.
Cara mengetahui yuridiksi relatif agar para pihak tidak salah mengajukan gugatan atau permohonannya (yakni ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan hak eksepsi tergugat), maka menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum, apabila penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan dan pengadilan tersebut masing-masing boleh memeriksa dan mengadili perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (baik penggugat maupun tergugat) memilih untuk berperkara di muka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka sepakati.

2.       sumber hukum materiil
Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fiqh, yang sudah barang tentu rentang terhadap perbedaan pendapat.
Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (Hukum Positif) dan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap ulama fuqoha penulis kitab-kitab fiqh tersebut berlatar sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut dan menjamin kepastian hukum, maka hukum-hukum materiil tersebut dijadikan hukum positif yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.
Berikut adalah hukum materil yang digunakan dalam Peradilan Agama, disajikan secara kronologis berdasar tahun pengesahannya:
·         Undang-undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak dan rujuk.
·          Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tangal 18 februari 1968 yang merupakan pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.
·         Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
·         PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan pelaksaan UU No. 1 Tahun 1974
·         PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
·         UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo UU No. 3 Tahun 2006
·         Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
·         UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
·         UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pengadilan dalam lingkungan badan peradilan agama mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara perdata khusus orang-orang yang beragama Islam, yaitu perkara mengenai perkawinan, perceraian, pewarisan, dan wakaf.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung (Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri pada dasarnya mempuyai susunan kepaniteraan yang sama, bedanya adalah apabila di Pengadilan Agama seorang panitera harus beragama Islam dan berlatar belakang pendidikan Islam atau menguasai hukum Islam, sedangkan di Pengadilan Negeri seorang Panitera tidak harus beragama Islam.
Untuk menjadi juru sita, diisyaratkan harus mempunyai pengalaman minimal 5 (lima) tahun sebagai juru sita pengganti, selain itu orang tersebut haruslah Warga Negara Indonesia, beragama Islam, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama tidak memiliki juru sita disinilah letak perbedaan antara susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
Sama halnya dengan Pengadilan Negeri, di Pengadilan Agama juga ada Sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris dimana jabatan sekretaris dirangkap oleh panitera pengadilan. Dengan melihat pengaturan ini maka persyaratan untuk menjadi sekretaris adalah sama dengan persyaratan untuk menjadi panitera.
Setiap badan peradilan mempunyai kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara. Kekuasaan antara badan peradilan ini berbeda satu dengan lainnya.yang dalam hukum acara perdata disebut dengan wewenang mutlak atau wewenang absolut. Mengenai wewenang absolut pengadilan agama sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 undang-undang nomor 7 tahun 1989 memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu.
Kekuasaan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pegadilan Agama Bogor.
Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fiqh, yang sudah barang tentu rentang terhadap perbedaan pendapat. Berikut adalah hukum materil yang digunakan dalam Peradilan Agama, disajikan secara kronologis berdasar tahun pengesahannya















DAFTAR PUSTAKA
Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Alumni : Bandung, 1993.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana : Jakarta, 2006.



[1] Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Alumni : Bandung. 1993. H. 7.

0 Response to " Susunan Peradilan Agama"

Post a Comment

X-Steel - Wait