Latest Updates

Sanad ilmu bidang aqidah para ulama Aswaja nahdhiyyin


SANAD ULAMA DI BIDANG AQIDAH
A. Sanad Madzhab al-Asy'ari di Indonesia
1. Syaikh al-Sunnah, Imam al-Mutakallimin Abu al-Hasan al-Asy'ari (270-330 H/883-947 M).
2. Syaikh al-Mutakallimin Abu al-Hasan al-Bahili.
3. Ruknuddin al-Ustadz Abu Ishaq al-Asfarayini (w. 418 H/1027 M). Pengarang al-Jami' fi Ushul al-Din wa al-Radd 'ala al-Mulhidin.
4. Al-Ustadz Abu al-Qasim Abdul Jabbar bin Ali bin Muhammad bin Haskan al-Asfarayini al-Iskaf (w. 452 H/1034 M).
5. Imam al-Haramain Dhiyauddin Abu al-Ma'ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini (419-478 H/1028-1085 M).
6. Abu al-Qasim Salman bin Nashir bin Imran al-Anshari al-Arghiyani (w. 512 H/1118 M). Pengarang Syarh al-Irsyad ila Qawathi' al-Adillah fi Ushul al-I'tiqad.
7. Dhiyauddin Umar bin al-Husain al-Razi (hidup sebelum 559 H/1164 M). Pengarang Syarh al-Irsyad ila Qawathi' al-Adillah fi Ushul al-I'tiqad.
8.Fakhruddin Muhammad bin Umar al-Razi (544-606 H/1150-1210 M).
9. Syarafuddin Abu Bakar Muhammad bin Muhammad al-Harawi.
10. Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdullah al-Taftazani.
11. Al-Hafizh Sirajuddin Umar bin Ali al-Qazwini (683-750 H/1284-1349 M).
12. Majduddin Abu Thahir Muhammad bin Ya'qub al-Lughawi al-Syirazi al-Fairuzabadi (729-817 H/1329-1415 M).
13. Al-Hafizh Taqiyyuddin Muhammad bin Muhammad bin Fahad al-Makki al-Syafi'i al-'Alawi al-Hasyimi (787-871 H/1385-1466 M).
14. Syaikh al-Islam, Qadhi al-Qudhat Zainuddin Abu Yahya Zakariya bin Muhammad al-Anshari (826-926 H/1423-1520 M). Pengarang Ihkam al-Dilalah 'ala Tahrir al-Risalah dan Fath al-Ilah al-Majid bi-Idhah Syarh al-'Aqaid.
15. Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Ramli (919-1004 H/1513-1596 M).
16. Ahmad bin Muhammad al-Ghunaimi (964-1044 H/1557-1634 M).
17. Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin al-'Ala' al-Babili al-Syafi'i al-Azhari (1000-1077 H/1591-1666 M).
18. Abdullah bin Salim al-Bashri al-Makki al-Syafi'i (1048-1134 H/1638-1722 M).
19. Salim bin Abdullah al-Bashri al-Syafi'i (w. 1160 H/1747 M).
20. Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Dafari al-Syafi'i (w. setelah 1161 H/ M).
21. Isa bin Ahmad al-Barawi al-Zubairi al-Syafi'i (w. 1182 H/1768 M). Pengarang Hasyiyah 'ala Syarh Jauharat al-Tauhid karya al-Laqqani.
22. Muhammad bin Ali al-Syanawani al-Syafi'i (w. 1233 H/1818 M). Pengarang Hasyiyah 'ala Syarh Jauharat al-Tauhid karya al-Laqqani.
23. Utsman bin Hasan al-Dimyathi.
24. Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan (1231-1304 H/1816-1886 M).
25. Sayid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha al-Dimyathi al-Husaini al-Syafi'i (w. 1310 H/1892 M).
26. Muhammad Mahfuzh bin Abdullah al-Tarmasi (1285-1338 H/1868-1920 M).
27. Para ulama Tanah Air, seperti KH. Moh. Hasyim Asy'ari Jombang, KH. Nawawi bin Nur Hasan Pasuruan, KH. Muhammad Baqir Yogyakarta, KH. Abdul Wahhab Hasbullah Jombang, KH. Baidhawi bin Abdul Aziz Lasem, KH. Ma'shum bin Ahmad Lasem, KH. Muhammad Dimyathi Termas, KH. Shiddiq bin Abdullah Jember, KH. Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar Maskumambang, KH. Abbas Buntet Cirebon dan lain-lain.
B. Sanad Madzhab al-Maturidi di Indonesia
1. Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H/945 M).
2. Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa al-Bazdawi (w. 390 H/1000 M).
3. Husain bin Abdu Karim al-Bazdawi.
4. Muhammad bin Husain al-Bazdawi.
5. Al-Qadhi Shadrul Islam Abu al-Yusr Muhammad bin Muhammad bin Husain al-Bazdawi (421-493 H/1030-1100 M).
6. Al-Hafizh Najmuddin Umar bin Muhammad al-Nasafi (461-537 H/1068-1142 M).
7. Muhammad bin Muhammad bin Nashr al-Nasafi (w. 693 H/1294 M).
8. Husamuddin Husain bin Ali al-Saghnaqi (w. 711 H/1311 M). Pengarang Syarh al-Tamhid li-Qawa'id al-Tauhid.
9. Abu Muhammad Abdullah bin Hajjaj al-Kasyqari.
10. Syamsuddin Muhammad al-Qurasyi.
11. Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (773-852 H/1372-1449 M).
12. Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari (826-926 H/1423-1520).
13. Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Ramli (919-1004 H/1513-1596 M).
14. Ahmad bin Muhammad bin Yunus al-Qusyasyi al-Dajani al-Husaini (991-1071 H/1583-1661 M).
15. Burhanuddin Abu al-'Irfan al-Mulla Ibrahim bin Hasan al-Kurani (1025-1101 H/1616-1690 M).
16. Burhanuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Budairi al-Husaini al-Dimyathi al-Asy'ari al-Syafi'i, populer dengan sebutan Ibn al-Mayyit (w. 1131 H/1719 M).
17. Muhammad bin Muhammad bin Hasan al-Munir al-Samanudi al-Syafi'i (1099-1199 H/1688-1785 M).
18. Muhammad bin Ali al-Syanawani (w. 1233 H/1818 M).
19. Utsman bin Hasan al-Dimyathi.
20. Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan (1231-1304 H/1816-1886 M).
21. Sayid Abu Bakar bin Muhammad Syatha al-Dimyathi (w. 1310 H/1892 M).
22. Syaikh Muhammad Mahfuzh bin Abdullah al-Tarmasi (1285-1338 H/1868-1920 M).
23. Para ulama Tanah Air seperti KH. Moh. Hasyim Asy'ari Jombang, KH. Nawawi bin Nur Hasan Pasuruan, KH. Muhammad Baqir Yogyakarta, KH. Abdul Wahhab Hasbullah Jombang, KH. Baidhawi bin Abdul Aziz Lasem, KH. Ma'shum bin Ahmad Lasem, KH. Muhammad Dimyathi Termas, KH. Shiddiq bin Abdullah Jember, KH. Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar Maskumambang, KH. Abbas Buntet Cirebon dan lain-lain.[1]
Demikian mata rantai sanad madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi yang sampai kepada guru-guru kita, para tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. Selain sanad di atas, masih banyak jalur-jalur lain yang menyambungkan mata rantai akidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah kepada para ulama terdahulu, hingga kepada Rasulullah Saw.
Wallahu a'lam.
Catatan Kaki:
[1] Struktur genealogi ini diambil dari kitab Kifayat al-Mustafid lima 'Ala min al-Asanid, karya al-Syaikh al-Muhaddits al-Musnid al-Faqih Muhammad Mahfuzh bin Abdullah al-Tarmasi, edisi Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki, terbitan Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, hal. 32-33

Al-Albani sang Penghujat Seluruh Ahli Hadits Sejak Generasi salaf.


====================================
Posisi Hadits Dha’if dalam Pandangan Ulama yang Dihujat Muhammad Nasiruddin Al-Albani
Dewasa ini perkembangan ilmu hadits di dunia akademis mencapai fase yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan banyaknya kajian-kajian ilmu hadits dari kalangan ulama dan para pakar yang hampir menyentuh terhadap seluruh cabang ilmu hadits seperti kritik matan, kritik sanad, takhrij al-hadits dan lain sebagainya. Kitab-kitab hadits klasik yang selama ini terkubur dalam bentuk manuskrip dan tersimpan rapi di rak-rak perpustakaan dunia kini sudah cukup banyak mewarnai dunia penerbitan.
Namun sayang sekali, di balik perkembangan ilmu hadits ini, ada pula kelompok-kelompok tertentu yang berupaya menghancurkan ilmu hadits dari dalam. Di antara kelompok tersebut, adalah kalangan yang anti hadits dha’if dalam konteks fadhail al-a’mal, manaqib dan sejarah, yang dikomandani oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tokoh Wahhabi dari Yordania, dan murid-muridnya. Baik murid-murid yang bertemu langsung dengan al-Albani, maupun murid-murid yang hanya membaca buku-bukunya seperti kebanyakan Wahhabi di Indonesia.
Sebagaimana dimaklumi, para ulama telah bersepakat tentang posisi hadits dha’if yang boleh diamalkan dalam konteks fadhail al-a’mal (amalan-amalan sunat), targhib (motivasi melakukan kebaikan) dan tarhib (peringatan meninggalkan larangan), manaqib dan sejarah.
Dalam hal ini, al-Imam al-Nawawi berkata: “Menurut ahli hadits dan lainnya, boleh memperlonggar (tasahul) dalam menyampaikan sanad-sanad yang lemah (dha’if) dan meriwayatkan hadits dha’if yang tidak maudhu’ serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum.” (Tadrib al-Rawi, 1/162).
Pernyataan al-Imam al-Nawawi di atas memberikan kesimpulan sebagai berikut tentang hadits dha’if. Pertama, boleh meriwayatkan dan mengamalkan hadits dha’if dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, akidah dan hukum-hukum halal dan haram. Kedua, pendapat ini adalah pendapat seluruh ahli hadits dan selain mereka.
Menurut al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi wilayah bolehnya mengamalkan hadits-hadits dha’if tersebut, mencakup terhadap hal-hal yang berkaitan dengan fadha’il al-a’mal, kisah-kisah para nabi dan orang-orang terdahulu, mau’izhah hasanah atau targhib dan tarhib dan yang sejenisnya. Pernyataan al-Imam al-Nawawi dan al-Suyuthi di atas berkaitan dengan bolehnya mengamalkan hadits dha’if dalam wilayah fadha’il al-a’mal dan semacamnya sebenarnya diriwayatkan dari ulama-ulama salaf antara lain al-Imam Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin al-Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi dan semacamnya. Mereka mengucapkan sebuah “hukum” yang sangat populer, “idza rawayna fil halam wal haram syaddadna waidza rawayna fil fadhail wa nahwiha tasahalna (apabila kami meriwayatkan hadits-hadits mengenai halal dan haram, kami menyeleksinya dengan ketat, tetapi apabila kami meriwayatkan hadits-hadits mengenai fadha’il dan semacamnya, kami memperlonggar)”. (Tadrib al-Rawi, 1/162).
Bahkan menurut Syaikh Abdullah Mahfuzh al-Haddad dalam kitabnya al-Sunnah wa al-Bid’ah (hal. 110), tidak ada seorang pun ulama yang melarang mengamalkan hadits dha’if, dalam wilayah fadha’il al-a’mal dan sejenisnya.
Berangkat dari kenyataan tersebut, kita temukan kitab-kitab hadits ulama terdahulu seperti karya-karya al-Bukhari (selain Shahih-nya), al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain banyak mengandung hadits-hadits dha’if. Hal ini juga diikuti oleh ulama-ulama berikutnya seperti al-Thabarani, Abu Nu’aim, al-Khathib al-Baghdadi, al-Baihaqi dan lain-lain. Sehingga kemudian tidaklah aneh apabila kitab-kitab tashawuf dan adzkar yang memang masuk dalam wilayah fadha’il al-a’mal seperti Ihya’ ‘Ulum al-Din, karya al-Ghazali, al-Adzkar karya al-Nawawi dan semacamnya banyak mengandung hadits-hadits dha’if. Bahkan kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama panutan Wahhabi seperti Ibn Taimiyah, Ibn al-Qayyim dan Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi juga penuh dengan hadits-hadits dha’if dan terkadang pula hadits-hadits maudhu’.
Pendeknya hadits dha’if memang boleh diamalkan berdasarkan pendapat seluruh ulama salaf dan khalaf dalam konteks fadha’il al-a’mal dan sejenisnya. Sedangkan orang pertama yang menolak terhadap hadits dha’if dalam wilayah apapun termasuk dalam konteks fadha’il al-a’mal adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, ulama Wahhabi dari Yordania. Al-Albani bukan hanya menolak hadits dha’if, bahkan juga beranggapan bahwa mengamalkan hadits dha’if dalam fadha’il adalah bid’ah dan tidak boleh dilakukan.
Lebih dari itu, al-Albani juga memposisikan hadits dha’if sejajar dengan hadits maudhu’ seperti dapat dibaca dari judul bukunya, Silsilat al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah wa Astaruha al-Sayyi’ lil-Ummah (serial hadits-hadits dha’if dan maudhu’ serta dampak negatifnya bagi umat). Hadits dha’if yang sebelumnya dianjurkan diamalkan oleh para ulama salaf dan khalaf, kini al-Albani menganggapnya bid’ah dan berdampak negatif bagi umat. Secara tidak langsung, al-Albani berarti telah menghujat seluruh ahli hadits sejak generasi salaf yang meriwayatkan hadits-hadits dha’if dalam kitab-kitab mereka sebagai memberi contoh yang negatif bagi umat. Wallahu a’lam. (Oleh: Idrus Ramli*)
*KH. Idrus Ramli, alumnus Ponpes. Sidogiri
X-Steel - Wait