Latest Updates

TERKUTUKKAH MENGUCAPKAN SAYYIDINA PADA SAAT BERSHALAWAT?



Menjawab Surat Rahasia Dari Seorang Sarjana Yang  Mengaku Dirinya Bernama:
Drs. Sudarmansyah, Alamat : Jln. Al-Muslim, No. 13 A. Matang Geulumpang Dua
Tidak keterangan dari Nabi dan Sahabat membaca Sayyidina waktu bershalawat kepada Nabi SAW.
Chusus masaalah shalawat, kita harus berpegang pada Hadis Shahih yg berbunyi dimana Sahabat Basyir bin Saad RA bertanya kepada Rasul : Allah SWT Telah memerintahkan kami untuk bershalawat kepadamu, maka bagaimanakah cara kami bershalawat kepadamu? Jawab Nabi: Katakanlah Allahumma Shalli’ala Muhammad dst. (HR Ahmad 4/1185/273-274, Muslim No. 405, Nasai 3/45 serta Tirmizi No, 3220 serta dishahihkannya).
Dimana tidak ada tercantum Sayyidina! Perlu dicatat bahwa Hadis shalawat ini diriwayatkan oleh lebih kurang 20 sahabat yang tersebar dalam kitab-kitab Hadis yang mu’tabar, tetapi tidak satupun yang mencantumkan kata sayyidina didalamnya. Dan itulah sunnah dibidang shalawat. Soal atau masaalah Umar RA memanggil Abubakar dengan Sayyidina tidak bisa kita tetapkan kepada Nabi, karena Nabi berbeda dengan Abu Bakar, apakah kita juga akan memanggil Nabi dengan Al Faruq dan Ash Shiddiq disebabkan Umar bergelar Al Faruq dan Abu Bakar Ash Shiddiq?! Tentang dalil anda bahwa sahabat mengajari sahabat lainnya dengan menggunakan Sayyidina dalam shahadatnya, saya tidak menemukan musnad ibnu Hasyim pada musnad Ahmad -
yang saya miliki, sehingga tidak dapat kita tetapkan kwalitasnya, musnad yang ada pada saya terdiri dari 6 jilid tanpa bernomor Hadisnya, insya Allah untuk yang satu ini akan kita diskusikan lain kali.
Firman Allah SWT surat AN-NUR 63
Allah mengutuk orang yg membaca Sayyidina kepada Rasul SAW.
Wahai abu-abu di Pasantren sebelum terlambat kembalilah kepada Al-Quran dan Hadis Shahih,
Kalau selamat Azab kubur, Baca……
MUQADDIMAH
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
Segala Puji Hanya Milik Allah. Shalawat dan Salam Kepada Baginda Rasulillah, Sayyidina Wa Mawlana Muhammad bin Abdillah. Dan Kepada keluarga dan Shahabatnya Sekalian. Amma ba’du.
Wahai Sudarmansyah! Bacalah peringatan dibawah ini:
FIRMAN ALLAH SWT;
1. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. Al-’Alaq : 6-7).
2. “Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9).
SABDA RASULULLAH
1. Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari, No. 100 dan Muslim, No. 2673)
2. “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua urusan.” (Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dari Asy-Sya’bi).
3. Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 60, dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah).
4. Akan muncul di akhir zaman nanti, suatu kaum yang terdiri dari orang-orang muda yang masih mentah pikirannya (sedikit faham agamanya). Mereka banyak mengucapkan perkataan Khairil Bariyah (firman Allah dan hadits Rasul), tetapi iman mereka masih lemah. Pada hakikatnya mereka telah keluar dari agamanya seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Di mana saja kamu dapat menemuinya, maka hapuskanlah mereka itu, siapa yang dapat menghapus mereka, kelak akan mendapat pahala di hari kiamat.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
5. Kelak akan muncul di antara umatku suatu kaum yang membaca Al-Quran bukan seperti lazimnya kamu membaca, dan sembahyangmu jauh berbeda dengan cara mereka bersembahyang. Mereka membaca Al-Quran dengan mengira bahawa Al-Quran itu sebagai alat propaganda mereka, padahal Al-Quran itu berisi peringatan yang harus mereka junjung. Bacaan mereka itu tidak melebihi kerongkongnya (tidak sampai meresap ke dalam hati). Mereka itu sebenarnya keluar dari Islam, bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya.” (Riwayat Muslim dari Ali bin Thalib r.a.)
Senada dengan itu tepat sekali apa yang disampaikan oleh Syaikh Zainuddin Abdul Madjid dalam wasiatnya;
Aduh Sayang,
Pemuda Sekarang Berlenggak Lenggok
Berasa Diri Gagah Dan Elok
Ulama Aulia Diolok-Olok
“Belum Bertaji Sudah Berkokok”

Aduh Sayang,
Baru Saja Mendapat Ijazah
Menyangka Diri Sudah ‘Allamah
Tidak Menghirau Guru Dan Ayah
“Mencabik Mudah Menjahit Susah”
Saudara Sudarmansyah termasuk dalam “pemuda yang berlenggak lenggok, karena merasa diri gagah dan elok, sehingga ulama di Bireuen diolok-olok, padahal ia belum bertaji tetapi sudah berani berkokok”. “Baru strata satu dapat ijazah, sudah merasa diri jadi ‘allamah, merasa diri lebih pintar dari alumni dayah, berani mengolok-olok ayat-ayat Allah. Berani mengutuk orang yang mengucapkan “Sayyidina”, berdalil surat An-Nur ayat enampuluh tiga, sungguh bisu tuli dan buta, tetapi sok pintar karena merasa diri sarjana. Air beriak tanda tak dalam, dan tong kosong yang nyaring bunyinya itulah syair dan pepatah yang tepat untuk saudara.
Banyak dari umat Islam Indonesia sekarang ini yang berlagak seolah-olah penegak dan pembela sunnah, karena merasa diri hafal hadits, tetapi bagaimana itu bisa jika apa yang dibaca tidak faham makna sebenarnya. Banyak dari umat Islam Indonesia berlagak seolah-olah mengambil hukum langsung dari Al-Quran, karena merasa diri bisa hafal Al-Quran, tetapi bagaimana mungkin itu bisa jika ia tidak faham rumus dan kaedahnya. Jadi, ketika mereka berkata “Kembalilah Kepada Al-Quran dan Sunnah”, sebenarnya mereka sedang berkata “Kembalilah Kepada Terjemahan Al-Quran dan Terjemahan As-Sunnah”. Ketika mereka berkata “Jangan bertaqlid kepada siapa-siapa” sesungguhnya mereka sedang berkata “Mari Bertaqlid Kepada Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahab Abdul ‘Aziz bin Baz, Nashiruddin Al Bani, Shaleh ‘Utsaimin dan ulama wahabi lainnya”.
Berangkat dari kenyataan ini, sehingga lahirlah para mujtahid gadungan yang merasa punya kapasitas dan otoritas untuk mengambil hukum langsung dari Al-quran, sehingga timbullah kejanggalan dan kerusakan dalam berbagai sektor kehidupan. Bahkan tidak jarang telah menyeretkan mereka kepada kekafiran. Tidak saja merusak hukum furu’ ‘amaliyyah tetapi telah menghancurkan fondasi hidup yakni hukum ushuluddin i’tiqadiyyah. Sehingga tidak sulit ditemukan manusia yang menafikan ke-maha-mutlak-an kekuasaan dan kekuatan tuhan dengan berkata bahwa: “Allah tidak merubah nasib sesuatu kaum sehingga kaum itu merubah nasibnya sendiri”. Dengan dalil surat Ar-Ra’d ayat 11. Padahal jika mereka membaca ayat itu secara lengkap dan utuh tidak dipotong-potong maka tidak akan mengarah kepada pemahaman yang sesat itu. Lengkapnya ayat tersebut adalah:
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS. Ar-Ra’d : 11).
Dan pemahaman ayat diatas menurut ulama adalah paralel dengan ayat 53 surat Al-Anfaal, yang berbunyi;
Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (QS. Al-Anfaal : 53)
Dampak dari sikap yang melampaui batas atau radikalisme itu sehingga mereka tidak segan-segan menganggap bodoh para pendahulunya, bahkan sahabat-sahabat Rasulullah yang walau Khulafaur Rasyidin sekalipun tetap dianggap “muhdats” karena dicurigai melakukan perbuatan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah. Sehingga azan Jum’at dua kali dianggap bid’ah padahal pencetusnya adalah Khalifah Sayyidina Utsman bin ‘Affan. Shalat Tarawih 20 rakaat dianggap tidak ada asas padahal itu adalah dicontohkan oleh Khalifah Sayyidina ‘Umar bin Khaththab.
Kaum radikalisme membid’ahkan apapun yang menurut mereka tidak ada asasnya dari Rasulullah. Dan anehnya mereka menganggap semua bid’ah adalah sesat dan neraka, maka betapa pemahaman itu telah menganggap para Khalifah Rasulullah itu penghuni neraka. Bahkan gilanya mereka berani mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan mereka. Kaum radikal itu berani meng-yahudi-kan orang-orang yang tidak berjenggot karena jenggot adalah sunnah Rasulullah. Bukankah Yahudi itu adalah kafir yang kekal dalam neraka?. Maka apakah benar hanya karena tidak memelihara jenggot lalu orang itu masuk neraka dan kekal didalamnya?. Inilah yang diperingatkan oleh Allah: “Dan apabila datang kepada kalian suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, kalian lalu menyiarkannya. Dan kalau kalian menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kalian, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari kalian (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (An-Nisa : 83)

PERMASALAHAN:
TERKUTUKKAH ORANG YANG MENGUCAPKAN “SAYYIDINA” SEBELUM NAMA RASULULLAH?
Menurut Sudarmansyah “YA, ALLAH MENGUTUK ORANG YANG MENGUCAPKAN “SAYYIDINA”.
Dalil yang dijadikan rujukan adalah;
1. Dalil pertama menurut Sudarmansyah Firman Allah SWT pada Surat An-Nur ayat 63 Allah berfirman:
لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (63)
Artinya: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.

ANALISA SARJANA
Bahwa Al-Quran surat An-Nur ayat 63 adalah dalil yang menunjukkan bahwa Allah “mengutuk” orang yang menambahkan “SAYYIDINA” kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
PERTANYAAN PENJAWAB KEPADA SUDARMANSYAH
Dimanakah tempat pengambilan (mahal istidlal) anda? Apakah jalan pengambilan dalil (wajah dalalah) anda? Dan Bagaimanakah cara anda mengambil dalil (kaifiyat Istdidlal) dari surat An-Nur ayat 63 tersebut sehingga berani berkesimpulan bahwa ayat itu mengutuk orang yang mengucapkan “Sayyidina”.
Sayangnya adalah bahwa anda TELAH MENGUTUK ALLAH, karena Allah telah mengatakan “Sayyid” kepada Nabi Yahya عليه السلامdalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat 39:
فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang shaleh.”
Ayat 39 surat Ali ‘Imran ini dijelaskan para ulama dalam berbagai kitab tafsir, diantaranya adalah:
1. Syeikh Muhayyiyisunnah Abu Muhammad Hasan bin Mas’ud AL-BUGHAWI (wafat 516 H.) dalam tafsir beliau MA’ALIMI AL-TANZIL sebagai berikut:
{وَسَيِّدًا} فعيل من ساد يسود وهو الرئيس الذي يتبع وينتهي إلى قوله، قال المفضل: أراد سيدا في الدين. قال الضحاك: السيد الحسن الخلق. قال سعيد بن جبير: السيد الذي يطيع ربه عز وجل. وقال سعيد بن المسيب: السيد الفقيه العالم، وقال قتادة: سيد في العلم والعبادة والورع، وقيل: الحليم الذي لا يغضبه شيء. قال مجاهد: الكريم على الله تعالى، وقال الضحاك : السيد التقي، قال سفيان الثوري: الذي لا يحسد وقيل: الذي يفوق قومه في جميع خصال الخير، وقيل: هو القانع بما قسم الله له. وقيل: السخي، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “من سيدكم يا بني سلمة”؟ قالوا: جد بن قيس على أنّا نبخِّله قال: “وأي داء أدوأ من البخل، لكن سيدكم عمرو بن الجموح”.
Artinya: Dan (SAYYIDAN) itu adalah timbangan FA’IILAN dari SAADA. Sayyidan itu pemimpin yang diikuti dan berakhir kepada perkataannya. Al-Mufadhdhal berkata: yang dimaksud dengan sayyidan adalah sayyidan pada agama. Adh-Dhihak berkata: Sayyid itu bagus berakhlak. Sa’id bin Jubair berkata: Sayyid adalah orang yang patuh kepada Tuhannya yang maha tinggi. Sa’id bin Musayyib berkata: Sayyid itu orang yang faqih (ahli ilmu fiqh) lagi mengetahui. Qatadah berkata: sayyid itu pada ilmu, ibadat dan wara’, dan dikata orang : (Sayyid) itu lemah lembut yang tidak pernah marah kepadanya oleh sesuatu. Mujahid berkata: (Sayyid) itu yang mulai disisi Allah. Adh-Dhihak berkata: Sayyid itu orang taqwa. Sufyan Suriy berkata: (Sayyid) itu yang tidak ada hasad, dikata orang yang berada lebih diatas kaumnya pada sekalian perkara terpuji. Dan dikata orang juga: orang yang merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Dikata orang: (Sayyid) itu Pemurah. Sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم Siapa Sayyid (Pemimpin) kalian wahai Bani Salamah? Mereka menjawab: Jud bin Qais yang kami anggap sangat kikir. Nabi bersabda: “penyakit apa yang lebih berat daripada kikir? Tetapi Sayyid (pemimpin) kalian adalah ‘Amr bin al-Jamuh.


Status hadits diatas dijelaskan pada catatan kaki dalam tafsir tersebut, yaitu;
روي هذا الحديث من طرق عن جابر وأبي هريرة وأنس مرفوعا وروي مرسلا عن حبيب بن أبي ثابت عن النبي صلى الله عليه وسلم فقد أخرجه البخاري في الأدب المفرد ص (90) طبعه مكتبة الآداب وأبو الشيخ الأصبهاني في كتاب الأمثال برقم (89 – 95) ص 56 – 59 وأبو نعيم في الحلية: 7 / 317 والحاكم في المستدرك: 3 / 219 عن أبي هريرة بلفظ “بل سيدكم البراء بن معرور” وقال: صحيح على شرط مسلم. وقال الهيثمي: رواه الطبراني في الأوسط ورجاله رجال الصحيح غير شيخ الطبراني مجمع الزوائد : 3 / 315 . وانظر : الإصابة لابن حجر : 4 / 615 – 616 أسد الغابة لابن الأثير: 4 / 206 – 207 مجمع الزوائد: 9 / 314 – 315 / 126 – 127 .

Artinya: Telah diriwayatkan hadits ini dari berbagai thuruq (jalan) dari Jabir, Abi Hurairah dan Anas secara marfu’ (sampai sanad kepada Rasulullah). Dan riwayat secara mursal (gugur sahabat) dari riwayat Habib bin Abi Tsabit dari Nabi صلى الله عليه وسلم. Maka sungguh telah mengeluarkannya (meletakkan hadits pada tempatnya) oleh : Imam Bukhari pada BAB ADAB AL-MUFRAD hal 90 cetakan Maktabah Adab, oleh Abu Syaikh Ak-Ashbahani dalam kitab AL-AMTSAL nomor 89-95 halaman 56-59, oleh Abu Na’im dalam AL-HULIYYAH jilid 7 halaman 317, oleh Hakim dalam AL-MUSTADRAK jilid 3 halaman 219 dari Abi Hurairah dengan ucapan “tetapi pemimpin kalian adalah Al-Bara’ bin Ma’rur. Hakim berkata ; “hadits Shahih atas syarat Imam Muslim. Baihaqiy berkata: telah meriwayatkan oleh Thabrani dalam AL-AWSATH, dan rijalnya itu rijal shahih dddd
1. Syeikh Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad bin Makhluf AL-TSLA’ALABIY dalam tafsir beliau AL-JAWAHIRI AL-HISAN FI TAFSIR AL-QURAN sebagai berikut:
وقوله تعالى : {وَسَيِّداً} : قال قتادة : أيْ : واللَّهِ سَيِّدٌ في الحِلْمِ والعبادةِ والوَرَعِ.
قال * ع * : مَنْ فَسَّر السؤدد بالحِلْمِ، فقَدْ أحرز أكْثَر معنى السؤددِ ، ومَنْ جَرَّد تفسيره بالعِلْمِ والتقى ونحوه ، فلم يفسِّره بحَسَب كلامِ العربِ، وقد تحصَّل العلْم ليحيى عليه السلام بقوله : {مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِّنَ الله}، وتحصَّل التقى بباقِي الآية ، وخصَّه اللَّه بذكْرِ السؤددِ الذي هو الاعتمال في رِضَا النَّاس على أشْرَفِ الوجوهِ ، دون أنْ يوقعِ في باطِل هذا اللفظ يعمُّ السؤددَ ، وتفصيلُهُ أن يقالَ : بذل الندى ، وهذا هو الكَرَمُ ، وكَفُّ الأذى ، وهنا هي العفةُ بالفَرْج ، واليَدِ ، وَاللِّسان ، واحتمال العظائم ، وهنا هو الحِلْمُ وغيرُهُ مِنْ تحمُّلِ الغراماتِ والإِنقاذِ من الهَلَكَاتِ ، وجَبْرِ الكَسِيرِ ، والإفضالِ على المُسْتَرْفد ، وانظر قولَ النبيِّ صلى الله عليه وسلم : ” أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ ، وَلاَ فَخْرَ ” ، وذكر حديثَ الشفاعةِ في إِطلاق الموقِفِ ، وذلك منه اعتمال في رِضَا ولد آدم،
1. Ibnu ‘Asyura dalam tafsir beliau AL-TAHRIR WA AL-TANWIR sebagai berikut:
والسيّد في اصطلاح الشرع من يقوم بإصلاح حال الناس في دنياهم وأخراهم معاً وفي الحديث ” أَنا سيّد ولد آدم ولا فخر ” وفيه «إنّ ابني هذا سيّد» يعني الحسنَ بن علي فقد كان الحسنُ جامعاً خصال السؤدد الشرعي ، وحسبك من ذلك أنّه تنازل عن حق الخلافة لجمع كلمة الأمة ، ولإصلاح ذات البين ، وفي تفسير ابن عطية عن عبد الله بن عمر : أنه قال : «ما رأيتُ أحداً أسود من معاوية ابن أبي سفيان فقيل له وأبو بكر وعمر قال : هما خير من معاوية ومعاوية أسودُ منهما» قال ابن عطية : «أشار إلى أنّ أبا بكر وعمر كانا من الاستصلاح وإقامة الحقوق بمنزلة هما فيها خير من معاوية ، ولكن مع تتبع الجَادّة ، وقلّةِ المبالاة برضا الناس ينخرم فيه كثير من خصال السؤدد ومعاوية قد برّز في خصال السؤدد التي هي الاعتمال في إرضاء الناس على أشرف الوجوه ولم يواقع محذوراً» .ووصف الله يحيى بالسيّد لتحصيلة الرئاسة الدينية فيه من صباه ، فنشأ محترماً من جميع قومه
ANALISA PENJAWAB
Al-Quran surat An-Nur ayat 63 bukan dalil yang melarang mengucapkan “Sayyidina” tetapi dalil yang membolehkan mengucapkan “sayyidina”, atau mungkin juga tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah “Sayyidina”. Karena ” دُعَاءَ ” yang ada dalam ayat bisa bermakna MEMANGGIL NABI, atau bermakna NABI MEMANGGIL atau NABI BERDO’A.
Dengan demikian maka ayat tersebut mengandung pengertian:
1. Jangan kalian menganggap sama ketika Nabi memanggil kalian dengan ketika orang lain memanggil kalian, tetapi datanglah segera menjawab panggilan Nabi.
2. Jangan kalian menyamakan ketika kalian memanggil Nabi dengan ketika kalian memanggil orang lain, tetapi panggillah Nabi kalian dengan sopan, jangan panggil namanya dan kunniyahnya.
3. Jangan kalian menganggap sama doa Nabi dengan doa orang lain, karena do’a Nabi pasti maqbul.
PENJELASAN ULAMA TENTANG SURAT AN-NUR AYAT 63 DALAM BERBAGAI TAFSIR:
1. Abu Al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al-Qursyiy Al-Damsyiqiy dalam kitab Tafsir Al-Quranil ‘Adlim, atau yang lebih dikenal adalah Tafsir Ibnu Katsir;
قال الضحاك، عن ابن عباس: كانوا يقولون: يا محمد، يا أبا القاسم، فنهاهم الله عز وجل، عن ذلك، إعظامًا لنبيه، صلوات الله وسلامه عليه، قال: فقالوا: يا رسولَ الله، يا نبيَ الله. وهكذا قال مجاهد، وسعيد بن جُبَير.
وقال قتادة: أمر الله أن يهاب نبيه صلى الله عليه وسلم، وأن يُبَجَّل وأن يعظَّم وأن يسود.
1. Nashiruddin Abu Al-Khairi Abdullah bin ‘Umar bin Muhammad Al-Baidhawiy dalam kitab Anwarul Tanzil Wa Asraril Takwil, atau yang lebih dikenal adalah Tafsir Baidhawiy;
لا تقيسوا دعاءه إياكم على دعاء بعضكم بعضاً في جواز الإِعراض والمساهلة في الإِجابة والرجوع بغير إذن، فإن المبادرة إلى إجابته عليه الصلاة والسلام واجبة والمراجعة بغير إذنه محرمة . وقيل لا تجعلوا نداءه وتسميته كنداء بعضكم بعضاً باسمه ورفع الصوت به والنداء من وراء الحجرات ، ولكن بلقبه المعظم مثل يا نبي الله ، ويا رسول الله مع التوقير والتواضع وخفض الصوت ، أو لا تجعلوا دعاءه عليكم كدعاء بعضكم على بعض فلا تبالوا بسخطه فإن دعاءه موجب، أو لا تجعلوا دعاءه ربه كدعاء صغيركم كبيركم يجيبه مرة ويرده أخرى فإن دعاءه مستجاب.
1. Abu Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib Al-Bashri Al-Baghdadiy dalam kitab Al-Nukti Wal ‘Uyun, atau yang lebih dikenal adalah Tafsir Mawaridiy;
فيه ثلاثة أقاويل :
أحدها : أنه نهي من الله عن التعرض لدعاء رسول الله صلى الله عليه وسلم بإسخاطه لأن دعاءه يوجب العقوبة وليس كدعاء غيره ، قاله ابن عباس .
الثاني : أنه نهي من الله عن دعاء رسول الله بالغلظة والجفاء وَلْيَدْعُ بالخضوع والتذلل : يا رسول الله ، يا نبي الله ، قاله مجاهد ، وقتادة .
الثالث : أنه نهي من الله عن الإِبطاء عند أمره والتأخر عند استدعائه لهم إلى الجهاد ولا يتأخرون كما يتأخر بعضهم عن إجابة بعض ، حكاه ابن عيسى .


1. Imam Qusyairiy dalam Tafsir Qusyairiy;
أي عَظِّموه في الخطاب ، واحفظوا في خدمته الأدبَ ، وعانِقوا طاعتَه على مراعاةِ الهيبة والتوقير.
1. Muhammad Sayyid Thanthawiy dalam kitab Tafsir Al-Wasith, atau yang lebih dikenal adalah tafsir Sayyid Thanthawiy;
لا تجعلوا – أيها المؤمنون – دعاءكم الرسول إذا دعوتموه ، ونداءكم له إذا ما ناديتموه ، كدعاء أو نداء بعضكم لبعض ، وإنما عليكم إذا ما ناديتموه أن تنادوه بقولكم ، يا نبى الله ، أو يا رسول الله ، ولا يليق بكم أن تنادوه باسمه مجردا ، بأن تقولوا يا محمد . كما أن من الواجب عليكم أن تخفضوا أصواتكم عند ندائه توقيرا واحتراما له صلى الله عليه وسلم والمتتبع للقرآن الكريم ، يرى أن الله – تعالى – لم يناد رسوله محمدا صلى الله عليه وسلم باسمه مجردا ، وإنما ناداه بقوله : يأيها المدثر ، يأيها الرسول ، يأيها النبى. وإذا كان اسمه صلى الله عليه وسلم قد ورد فى القرآن الكريم فى أكثر من موضع ، فإن وروده لم يكن فى معرض النداء ، وإنما كان فى غيره كما فى قوله – تعالى – { مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ الله والذين مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الكفار رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ } فالآية الكريمة تنهى المؤمنين عن أن ينادوا أو يخاطبوا النبى صلى الله عليه وسلم باسمه مجردا ، كما يخاطب بعضهم بعضا.

1. Dalil kedua adalah menurut Sudarmansyah adalah hadits-hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم diantaranya adalah apa yang didapatkan dalam kitab Shahih Muslim, yaitu:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نُعَيْمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُجْمِرِ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ الْأَنْصَارِيَّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ هُوَ الَّذِي كَانَ أُرِيَ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ أَخْبَرَهُ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ
أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي مَجْلِسِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَقَالَ لَهُ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ أَمَرَنَا اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ نُصَلِّيَ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَمَنَّيْنَا أَنَّهُ لَمْ يَسْأَلْهُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ وَالسَّلَامُ كَمَا قَدْ عَلِمْتُمْ

ANALISA SARJANA
Karena dalam hadits diatas yang merupakan jawaban dan pengajaran dari Rasulullah tidak terdapat ucapan “SAYYIDINA” maka itu menunjukkan bahwa mengucapkan “Sayyidina” adalah tidak boleh atau dilarang. Jika sudah dilarang tetapi masih melakukannya maka berarti yang melakukannya adalah manusia terkutuk. Atau minimal bahwa walaupun tidak dilarang tetapi jika menambahkan Sayyidina itu berarti tidak ada petunjuk dan dasarnya dari Rasulullah.
PERTANYAAN PENJAWAB KEPADA SUDARMANSYAH
Apakah sudah benar cara anda mengambil dalil dari hadits? Apakah sesuai dengan kaedah pengambilan hadits? Apakah itu termasuk dalam:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. Al-Hasyr:7). Atau termasuk dalam:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21). Atau termasuk dalam:
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa:115). Atau termasuk dalam:
الأمر بالشيء نهي عن ضده
Apakah anda sadar sesungguhnya anda telah mengutuk Rasullulah Sayyidina Muhammad, karena Rasulullah pernah mengatakan bahwa dirinya adalah SAYYID WALADI ADAM, sebagaimana dalam hadits yang termaktub dalam kitab Shahih Muslim, yaitu;
حدثني الحكم بن موسى أبو صالح حدثنا هقل يعني ابن زياد عن الأوزاعي حدثني أبو عمار حدثني عبد الله بن فروخ حدثني أبو هريرة قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة وأول من ينشق عنه القبر وأول شافع وأول مشفع.

IMAM NAWAWI DALAM KITAB SYARAH MUSLIM MENJELASKAN;
قوله صلى الله عليه وسلم : ( أنا سيد ولد آدم يوم القيامة ، وأول من ينشق عنه القبر ، وأول شافع وأول مشفع )
قال الهروي : السيد هو الذي يفوق قومه في الخير ، وقال غيره : هو الذي يفزع إليه في النوائب والشدائد ، فيقوم بأمرهم ، ويتحمل عنهم مكارههم ، ويدفعها عنهم . وأما قوله صلى الله عليه وسلم : ( يوم القيامة ) مع أنه سيدهم في الدنيا والآخرة ، فسبب التقييد أن في يوم القيامة يظهر سؤدده لكل أحد ، ولا يبقى منازع ، ولا معاند ، ونحوه ، بخلاف الدنيا فقد نازعه ذلك فيها ملوك الكفار وزعماء المشركين . وهذا التقييد قريب من معنى قوله تعالى : { لمن الملك اليوم لله الواحد القهار } مع أن الملك له سبحانه قبل ذلك ، لكن كان في الدنيا من يدعي الملك ، أو من يضاف إليه مجازا ، فانقطع كل ذلك في الآخرة . قال العلماء : وقوله صلى الله عليه وسلم : ( أنا سيد ولد آدم ) لم يقله فخرا ، بل صرح بنفي الفخر في غير مسلم في الحديث المشهور ( أنا سيد ولد آدم ولا فخر ) وإنما قاله لوجهين : أحدهما امتثال قوله تعالى : { وأما بنعمة ربك فحدث } والثاني أنه من البيان الذي يجب عليه تبليغه إلى أمته ليعرفوه ، ويعتقدوه ، ويعملوا بمقتضاه ، ويوقروه صلى الله عليه وسلم بما تقتضي مرتبته كما أمرهم الله تعالى . وهذا الحديث دليل لتفضيله صلى الله عليه وسلم على الخلق كلهم ؛ لأن مذهب أهل السنة أن الآدميين أفضل من الملائكة ، وهو صلى الله عليه وسلم أفضل الآدميين وغيرهم . وأما الحديث الآخر : ” لا تفضلوا بين الأنبياء ” فجوابه من خمسة أوجه : أحدهما أنه صلى الله عليه وسلم قاله قبل أن يعلم أنه سيد ولد آدم ، فلما علم أخبر به . والثاني قاله أدبا وتواضعا . والثالث أن النهي إنما هو عن تفضيل يؤدي إلى تنقيص المفضول . والرابع إنما نهي عن تفضيل يؤدي إلى الخصومة والفتنة كما هو المشهور في سبب الحديث . والخامس أن النهي مختص بالتفضيل في نفس النبوة ، فلا تفاضل فيها، وإنما التفاضل بالخصائص وفضائل أخرى ولا بد من اعتقاد التفضيل ، فقد قال الله تعالى(تلك الرسل فضلنا بعضهم على بعض)
Pertanyaan PENJAWAB kepada Sudarmansyah, apakah anda lebih mengerti hadits atau Imam Nawawi?
Bahkan dalam kitab Hasyiyah I’anah Ath-Thalibin karangan Sayyid Abubakar bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi Al-Mishri, Juz I, hal 7 ada riwayat hadits yang mauquf yang berbunyi:
قال صلى الله عليه وسلم
: إذا صليتم علي فأحسنوا الصلاة علي، فإنكم لا تدرون لعل ذلك يعرض علي.
وقولوا: اللهم اجعل صلواتك وبركاتك على سيد المرسلين وإمام المتقين وخاتم النبيين سيدنا محمد عبدك ورسولك، إمام الخير وقائد الخير، ورسول الرحمة.
اللهم ابعثه المقام المحمود الذي يغبطه فيه الاولون والآخرون. (رواه الديلمي موقوفا عن ابن مسعود رضي الله عنه)
Artinya: Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : Apabila kalian bershalawat kepadaku maka baguskanlah shalawat kepadaku, karena kalian tidak tahu mudah-mudahan yang demikian (shalawat) itu datang kepadaku. Dan ucapkanlah oleh kalian :
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ، إِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ، وَرَسُوْلِ الرِّحْمَةِ.
اَللَّهُمَّ ابْعَثْهُ الْمَقَامَ الْمَحْمُوْدَ الَّذِيْ يَغْبِطُهُ فَيْهِ اْلاَوَّلُوْنَ وَاْلآَخِرُوْنَ.
(Hadits Riwayat Dailamiy dari Ibnu Mas’ud)
Pertanyaan PENJAWAB kepada Sudarmansyah, apakah anda lebih mengerti hadits atau Imam Ad-Dailami?

PENDAPAT PARA ULAMA:
1. ‘Allamah Syeikh Ibrahim Al-Bajuri dalam Kitab Hasyiah Al-Bajuri, Juz I, Hal 156. Berkata;
الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، 
“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih baik adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih baik meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama (lebih baik mengucapkan). (Hasyiyah al-Bajuri, juz I, hal 156).
Pertanyaan PENJAWAB kepada Sudarmansyah, apakah anda lebih ‘alim atau Syeikh Ibrahim Al-Bajuri?
1. ‘Allamah Syeikh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Minhaj Al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:
وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ”لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ” ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ
“Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dha’if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudhu’/palsu/bukan hadits)”.
Pertanyaan PENJAWAB kepada Sudarmansyah, apakah anda lebih ‘alim atau Syeikh Ibnu Hajar Al-Haitami?
1. ‘Allamah Qalyubi Wa ‘Amirah dalam Kitab Hasyiyah Qalyubi Wa ‘Umairah ‘Ala Kanzul Gharibin Bi Syarhi Minhaj At-Thalibin.
نعم لا يضر زيادة ميم في عليك ، ولا ياء نداء قبل أيها ، ولا وحده لا شريك له بعد أشهد أن لا إله إلا الله لورودها في رواية كما قاله شيخنا ، ولا زيادة عبده مع رسوله ، ولا زيادة سيدنا قبل محمد هنا وفي الصلاة عليه الآتية ، بل هو أفضل لأن فيه مع سلوك الأدب امتثال الأمر ، وأما حديث : { لا تسيدوني في الصلاة } فباطل باتفاق الحفاظ .
Pertanyaan PENJAWAB kepada Sudarmansyah, apakah anda lebih ‘alim atau Syeikh Qulyubi dan ‘Amirah?
1. ‘Allamah Syeikh Sulaiman Al-Jamal dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab.
ولا يضر تنوين المعرف ولا زيادة بسم الله قبل التشهد بل تكره فقط ولا يضر زيادة ميم في عليك ولا يا النداء قبل أيها ولا وحده لا شريك له بعد أشهد أن لا إله إلا الله لورود ذلك في خبر ولا زيادة سيدنا قبل محمد هنا وفي الصلاة عليه الآتية بل هو أفضل ؛ لأن فيه مع سلوك الأدب امتثال الأمر وزيادة ، وأما حديث { لا تسيدوني في الصلاة } فباطل باتفاق الحفاظ ،
Pertanyaan PENJAWAB kepada Sudarmansyah, apakah anda lebih ‘alim atau Syeikh Sulaiman Al-Jamal?
1. ‘Allamah Al-Mujaddid Imam Muhammad Ramli dalam kitab Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarhi Al-Minhaj;
والأفضل الإتيان بلفظ السيادة كما قاله ابن ظهيرة وصرح به جمع وبه أفتى الشارح لأن فيه الإتيان بما أمرنا به وزيادة الأخبار بالواقع الذي هو أدب فهو أفضل من تركه وإن تردد في أفضليته الإسنوي ، وأما حديث { لا تسيدوني في الصلاة } فباطل لا أصل له كما قاله بعض متأخري الحفاظ ، وقول الطوسي : إنها مبطلة غلط .
Pertanyaan PENJAWAB kepada Sudarmansyah, apakah anda lebih ‘alim atau Imam Muhammad Ramli?

ANALISA PENJAWAB
TIDAK DILARANG mengucapkan “Sayyidina” sebelum nama Baginda Rasulullah, bahkan mengucapkannya adalah SUNNAH, karena Rasulullah telah mengucapkannya bahkan diperintahkannya dalam hadits mauquf dari Ibnu Mas’ud. Dengan demikian dapat diketahui bahwa mengucapkan “SAYYIDINA” itu bukan perbuatan terkutuk, maka terkutuklah bagi yang suka mengutuk. Bahkan bila dicermati penjelasan Imam Nawawi pada perkataan beliau:
وأما قوله صلى الله عليه وسلم : ( يوم القيامة ) مع أنه سيدهم في الدنيا والآخرة ، فسبب التقييد أن في يوم القيامة يظهر سؤدده لكل أحد ، ولا يبقى منازع ، ولا معاند ، ونحوه ، بخلاف الدنيا فقد نازعه ذلك فيها ملوك الكفار وزعماء المشركين
“Adapun sabda Nabi SAW. (pada hari kiamat) beserta bahwa sungguh Nabi SAW adalah Penghulu (Sayyid) manusia didunia dan akhirat, maka sebab penentuan (hanya akhirat) adalah bahwa pada hari kiamat nyatalah ke-SAYYID-an beliau kepada semua orang, dan tidak ada lagi orang yang membantahnya, tidak ada yang mengingkarinya dan seumpamanya. Berbeda dengan di dunia ini, maka sungguh ke-SAYYID-an Nabi Muhammad itu didakwa (tidak diterima) oleh RAJA-RAJA KAFIR DAN PEMIMPIN KAUM MUSYRIKIN”. Maka hukum yang pantas pada masalah mengucapkan “SAYYIDINA” adalah WAJIB, karena dua hal, yaitu: pertama : Supaya beda antara MUSLIM MUKMIN yang mengakui ke-SAYYID-an SAYYIDINA Muhammad dengan KAFIR MUSYRIKIN yang tidak mengakui ke-SAYYID-an SAYYIDINA Muhammad. Yang Kedua : Supaya beda antara manusia yang menjunjung nilai-nilai adab kesopanan dengan binatang yang tidak menjunjung nilai-nilai moral. Maka makhluk manakah yang lebih biadab dan tercela dari manusia yang tidak punya adab dan moral ketika menyebut dan memanggil nama Nabinya.
Namun karena ulama tidak mengwajibkannya maka penjawab tidak boleh mengatakan wajib, karena penjawab bukan seorang ulama dan tidak sebanding ilmu dengan ulama bagaikan setitik air dibandingkan lautan dan samudera luas. Penjawab tidak ingin mendahului Ulama dalam berpendapat. Karena penjawab sangat yakin bahwa mengikuti pendapat para ulama itu lebih selamat di dunia dan akhirat dari mengikuti pendapat diri pribadi yang hanya memperturutkan keinginan nafsu karena masih sangat dangkal ilmu pengetahuan. Sampai disini maka telah ada suatu kepastian dalam beramal bahwa sesungguh Rasulullah tidak pernah melarang mengucapkan “SAYYIDINA”, dan para ulama yang waratsatul anbiya juga tidak pernah melarangnya bahkan Rasulullah dan para ulama menganjurkannya. Hanya manusia-manusia bodoh yang tiada mengerti adab dan etika yang melarangnya.
Ketahuilah bahwa kadangkala maksud dan tujuan Drs. Sudarmansyah dan kelompoknya itu sebenarnya baik dan bagus, yaitu ingin memurnikan ajaran agama ini dari berbagai macam bid’ah dan khurafat, tetapi karena dangkalnya ilmu, karena sikap angkuh dan ekstrim, karena sifat sok tahu dan karena merasa diri sangat paham dengan hadits-hadits Rasulullah dan paling benar sehingga Sudarmansyah dan kelompoknya tidak menerima suatu apapun yang datang dari luar. Padahal realita yang nyata tentang mereka bahwa yang suka membid’ahkan itu sebenarnya tidak mengerti pengertian sunnah dan bid’ah. Jika itu mereka tidak tahu maka bagaimana mungkin mereka mengenal afradnya.
Sehingga tidak perlu merasa heran jika Sudarmansyah dan kelompoknya barangkali mengatakan bahwa qunut shubuh hukumnya bid’ah hanya  karena ikut-ikutan pendapat Imam Malik barangkali. Padahal Imam Syafi’i  mengatakannya sunnah. Padahal Kaedah  Fiqhiyyah menyatakan :
المثبت مقدم على النافي
Dan juga tidak perlu merasa heran jika mereka membenci Qiyas dengan dalih Imam Hasan Bashri atau Sofyan Ats-Tsuriy sangat marah  terhadap orang yang melakukan Qiyas bahkan mengatakan bahwa berhukum secara qiyas adalah pekerjaan Iblis. Padahal Allah berfirman :
فردوه إلى الله ورسوله

Qiyas dan yang dilarang  oleh dua orang ulama besar ini adalah Qiyas yang melawan Nash sebagaimana Qiyasnya iblis. Jadi yang dilarang bukan  Qiyas dalam pengertian mengembalikan hukum cabang kepada hukum induk.
Berangkat dari kecerobohan dan kebodohan ini maka terkadang Sudarmansyah dan kelompoknya membid’ahkan yang sunnah dan menganggap  sunnah yang bid’ah. Pendapat orang lain tidak diterima karena merasa diri berdiri atas sunnah yang benar. Suka  menyalahkan Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, merasa seolah-olah telah sangat faham dengan metode istinbath hukum Imam Syafi’iy.

KENAPA TERJADI SALAH PEMAHAMAN?
Terjadi salah dalam pemahaman  karena pada mereka terdapat beberapa hal yang berbahaya, diantaranya adalah:
Pertama : Karena mereka  merasa diri serba cukup, padahal sudah diperingatkan oleh Allah SWT pada firman-Nya: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup”. (QS. Al-’Alaq : 6-7).
Kedua : Karena mereka menjadikan tempat istinbath yang salah, padahal ini juga sudah diperingatkan oleh Allah SWT pada firman-Nya: “Dan  apabila datang kepada kalian suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, kalian lalu menyiarkannya. Dan kalau kalian menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kalian, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui  kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari kalian (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan  rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (An-Nisa : 83)
Ketiga : Karena pada mereka mempunyai sifat merasa eklusivisme sehingga enggan berguru dan bertanya dalam hal-hal yang berkaitan dengan etika dan agama, padahal Allah sudah memperingatkan dalam firman-Nya “Maka Bertanyalah Kepada Orang Yang Mempunyai Pengetahuan Jika Kamu Tidak Mengetahui”.
(QS. An-Nahl : 43)
Demikian risalah ini Penjawab sampaikan kepada semua pembaca semoga bisa bermanfaat dan mendapat ridha Allah dan syafa’at Rasulullah Sayyidina Wa Mawlana Muhammad  صلى الله عليه وسلم.
Kepada saudara Drs. Sudarmansyah secara khusus penjawab sampaikan;
1. Bahwa anda pasti tidak berkenan dengan tulisan  ini maka tolong siapkan waktu agar kita bisa berjumpa dalam forum resmi dan terbuka. Maka penjawab  akan ajarkan dan tunjukkan kepada anda semua dalil yang kami lakukan yang menurut anda tidak ada dalilnya.
2. Beberapa copian tafsir dengan sengaja  tidak diterjemahkan supaya anda mau membaca sumber aslinya dan supaya anda tidak terpengaruh dengan idealisme orang lain  yang dituangkan dalam suatu terjemahan.
3. Anda telah menghina ulama-ulama Bireuen dalam kertas yang anda lampirkan, berarti anda mencari permasalahan dengan kami para santri dayah Bireuen, maka kami akan mencari anda untuk meminta pertanggungjawaban dari segala fitnah dan hinaan yang anda lemparkan. Kami akan tunjukkan kepada anda benarkah “Syafi’i menggugat Syafi’iyyah”? atau anda dan orang-orang anda yang sok pintar dengan kitab dan pendapat Syafi’i dan Syafi’iyah.



Dijawab Oleh Tgk. Kasman ‘Arifa Abdya
IMAM MEUNASAH KOTA BIREUEN
& GURU DAYAH DARUL KHAIRAT

Pencetus Tarian Sufi



Tarian sufi (beberapa sumber mengatakan 'sema')

diciptakan oleh Jalaluddin Rumi. Seorang Sufi yang
dilahirkan di kota Balkh-Afghanistan, 30 September 1273.
Tarian berputar melawan arah jarum jam ini merupakan
paduan warna dari tradisi, sejarah, kepercayaan, dan
budaya Turki.
Kenapa Berputar ?
Menurut Profesor Zaki Saritoprak, pakar dan pemerhati
pemikiran Jalaluddin Rumi dari Monash University,
Australia, berpandangan bahwa kondisi dasar semua yang
ada di dunia ini adalah berputar. Tidak ada satu benda dan
makhluk yang tidak berputar. Keadaan ini dikarenakan
perputaran elektron, proton, dan neutron dalam atom yang
merupakan partikel terkecil penyusun semua benda atau
makhluk.
Tarian sufi yang didominasi gerakan berputar-putar
mengajak akal untuk menyatu dengan perputaran
keseluruhan ciptaan dari tidak ada, ada, kemudian kembali
ke tiada.
Berapa Lama Berputar
Dalam berputar, penari tidak memiliki patokan waktu
tentang “berapa lama ia harus berputar” atau “seberapa
cepat putarannya”, tetapi penari dituntut terus berputar
hingga ia kehilangan emosi dan menyerahkan diri
sepenuhnya pada Yang Maha Kuasa.
Apa Makna Tarian Sufi ?
Tangan kanan yang menghadap ke atas memiliki makna
bahwa sang penari mendapatkan hidayah dari Allah,
kemudian tangan kiri yang menghadap ke bawah memiliki
makna menyebarkan hidayah yang telah diterima. Ini
menyimbolkan adanya hubungan yang baik antara makhluk
dengan Sang Khalik dan hubungan antara makhluk dengan
makhluk lainnya.
Garakan kaki para penari sufi juga memiliki beberapa
makna tentang kehidupan. Kaki kanan yang digunakan
untuk melakukan putaran memiliki makna bahwa
seseorang akan melangkah ke arah yang lebih baik. kaki
kanan pun ketika melakukan pergerakan menyimbolkan
bahwa ia menginjak-injak segala sifat keduniawian dan
memilih untuk melangkah kea rah yang benar yaitu,
seusuai putaran yang sebenarnya. Kaki kiri sebagai
tumpuan pun memiliki makna bahwa bagaimanapun
seseorang bergerak asalkan memiliki tumpuan yang elas
maka orang tersebut tidak akan terperosok ke dalam
jurang kemaksiatan.
Pakaian para penari sufi memiliki beberapa atribut yang
sangat khas. Di bagian kepala penari memakai topi
maulawi. Selanjutnya, penari pun memakai jubah hitam
dan tennur putih.
Topi maulawi yang dipakai penari sufi adalah topi
merupakan topi memanjang. Topi ini melambangkan batu
nisan. Dengan perlambangan seperti itu maka tarian ini
mengingatkan pada kematian, sehingga akan seseorang
akan selalu mempersiakan diri pada kematian.
Jubah hitam melambangkan alam kubur yang ketika
dilepaskan melambangkan kelahiran kembali menuju
kebenaran. Sedangkan tennur putih melambangkan kain
kafan yang membungkus ego.
Penari sufi memakai kuff. Kuff adalah kulit yang
dipergunakan Rasullulah pada musim dingin sebagai alas
kaki. Digunakannya kuff untuk menghindari menjejak bumi
karena energi bumi negatif, penuh keduniawian.

Madzhab Syafi’iyyah.
Menurut para ulama Syafi’iyyah hukum Tarian adalah
Mubah menurut pendapat yang mu’tamad, kecuali jika ada
tarian goyangan patah-patahnya seperti yang dilakukan
para bencong (laki-laki yang berpura-pura jadi perempuan),
maka hukumnya menjadi haram.



Syaikh Islam Zakariyya al-Anshari mengatakan :
(ﻭﺍﻟﺮﻗﺺ ) ﺑﻼ ﺗﻜﺴﺮ ( ﻣﺒﺎﺡ ) ﻟﺨﺒﺮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﻴﻦ } ﺃﻧﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻗﻒ
ﻟﻌﺎﺋﺸﺔ ﻳﺴﺘﺮﻫﺎ ﺣﺘﻰ ﺗﻨﻈﺮ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺤﺒﺸﺔ ﻭﻫﻢ ﻳﻠﻌﺒﻮﻥ ﻭﻳﺰﻓﻨﻮﻥ ﻭﺍﻟﺰﻓﻦ ﺍﻟﺮﻗﺺ { ﻷﻧﻪ
ﻣﺠﺮﺩ ﺣﺮﻛﺎﺕ ﻋﻠﻰ ﺍﺳﺘﻘﺎﻣﺔ ﺃﻭ ﺍﻋﻮﺟﺎﺝ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺻﺮﺡ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﻤﺼﻨﻒ ﺍﻟﻔﻮﺭﺍﻧﻲ
ﻭﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ ﻓﻲ ﻭﺳﻴﻄﻪ ﻭﻫﻲ ﻣﻘﺘﻀﻰ ﻛﻼﻡ ﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﻔﺎﻝ ﺑﺎﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﻭﻋﺒﺎﺭﺓ ﺍﻷﺻﻞ
ﻣﺤﺘﻤﻠﺔ ﻟﻬﺎ ﺣﻴﺚ ﻗﺎﻝ ﻭﺍﻟﺮﻗﺺ ﻟﻴﺲ ﺑﺤﺮﺍﻡ ( ﻭﺑﺎﻟﺘﻜﺴﺮ ﺣﺮﺍﻡ ﻭﻟﻮ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ) ﻷﻧﻪ
ﻳﺸﺒﻪ ﺃﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻤﺨﻨﺜﻴﻦ
“ {Dan ar-Raqsh/tarian} tanpa goyangan alay hukumnya
mubah karena ada dalil dari dua sahih Bukhari dan Muslim,
bahwasanya Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk
Aisyah dengan menutupinya sehingga Aisyah bias melihat
kepada Habaysah yang sedang bermain, berzafin dan
menari “, karena hal itu hanyalah semata-mata gerakan
kelurusan dan kebengkokan. Dan hukumnya mubah
sebagaimana ditegaskan si mushannif al-Faurani dan al-
Ghazali dalam kitab al-Wasithnya, itu juga ketentuan kalam
lainnya. Al-Ghaffal mengatakannya makruh. Redaksi yang
pertama kemungkinan asalnya makruh, dengan sekiranya ia
berkata, “ Dan ar-Raqsh tidaklah haram (dan dengan
goyangan alay maka hukumnya haram meskipun dari
wanita) karena itu menyerupai prilaku para bencong “[2]
Dalam Hasyiah al-Qulyubi dan Umairah disebutkan :
( ﻻ ﺍﻟﺮﻗﺺ ) ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﺪﻡ ﻟﻮ ﺭﻓﻊ ﺭﺟﻼ ﻭﻗﻌﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﻓﺮﺣﺎ ﺑﻨﻌﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ
ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﺫﺍ ﻫﺎﺝ ﺑﻪ ﺷﻲﺀ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﻭﺃﺯﻋﺠﻪ ﻋﻦ ﻣﻜﺎﻧﻪ ، ﻓﻮﺛﺐ ﻣﺮﺍﺭﺍ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻣﺮﺍﻋﺎﺓ
ﺗﺰﻳﻦ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ
“ {Dan bukan ar-Raqsh} Ibnu Abi ad-Dam mengatakan, “
Seandainya seseorang mengangkat satu kakinya dan duduk
di atas satu kaki lainnya karena rasa gembira dengan
nikmat Allah Ta’ala, jika sesuatu mengobarkan hatinya,
maka dia mengeluarkan kaki satunya dan
menggoncangkannya dari tempatnya, lalu melompat
beberapa kali tanpa memperhatikan perhatian manusia,
maka itu tidaklah mengapa “. [3]
Imam an-Nawawi mengatakan :
ﻻ ﺍﻟﺮﻗﺺ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻴﻪ ﺗﻜﺴﺮ ﻛﻔﻌﻞ ﺍﻟﻤﺨﻨﺚ
“ (Dan tidak haram) ar-Raqhs (tarian) kecuali jika ada
goyangan patahnya seperti perilaku bencong “.[4]



Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :
ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻓﻼ ﻳﺤﺮﻡ ﻟﻔﻌﻞ ﺍﻟﺤﺒﺸﺔ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺣﻀﺮﺗﻪ ﻣﻊ ﺗﻘﺮﻳﺮﻩ ﻋﻠﻴﻪ
“ Adapun ar-Raqsh maka tidaklah haram karena perbuatan
Habasyah di hadapan Nabi disertai pengakuan Nabi
kepadanya “.[5]
Dalam fatwa beliau yang lain ketika ditanya tentang
hokum tarian, beliau menjawab :
ﻧﻌﻢ ﻟﻪ ﺃﺻﻞ ﻓﻘﺪ ﺭُﻭﻯ ﻓﻰ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﻥّ ﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﺃﺑﻰ ﻃﺎﻟﺐ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺭﻗﺺ ﺑﻴﻦ
ﻳﺪﻯ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠّﻢ ﻟﻤّﺎ ﻗﺎﻝ ﻟﻪ ” ﺃﺷﺒﻬﺖ ﺧَﻠﻘﻰ ﻭﺧُﻠﻘﻰ ” ﻭ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ
ﻟﺬّﺓ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﻭ ﻟﻢ ﻳﻨﻜﺮ ﻋﻠﻴﻪ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠّﻢ
“ Ya, tarian memiliki dasar pijakannya. Sungguh telah
diriwayatkan dala satu hadits bahwasanya Jakfar bin Abi
Thalib radhiallahu ‘anhu menari di hadapan Nabi shallahu
‘alaihi wa sallam, ketika beliau bersabda, “ Engkau
menyerupaiku dari rupa dan akhlakmu “. Hal itu karena
merasakan lezatnya pembicaraan Nabi padanya dan Nabi
pun tidak mengingkarinya…”. [6]
Madzhab Hanbaliyyah.
Menurut ulama Hanabilah, ar-Raqsh hukumnya makruh jika
bertujuan permainan, dan mubah jika ada hajat syar’iyyah.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang orang-
orang shufi dan tarian mereka :
ﺇﻥّ ﻫﺆﻻﺀ ﺍﻟﺼﻮﻓﻴﺔ ﺟﻠﺴﻮﺍ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻮﻛﻞ ﺑﻐﻴﺮ ﻋﻠﻢ ” ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ”
ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻗﻌﺪﻫﻢ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ” ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻪ ” ﺇﻥّ ﻫﻤّﺘﻬﻢ ﻛﺒﻴﺮﺓ ” ﻗﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ ” ﻻ ﺃﻋﻠﻢ ﻗﻮﻣًﺎ
ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﺍﻷﺭﺽ ﺃﺣﺴﻦ ﻣﻦ ﻗﻮﻡ ﻫﻤّﺘُﻬﻢ ﻛﺒﻴﺮﺓ ” ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻪ ” ﺇﻧّﻬﻢ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﻭ ﻳﺮﻗﺼﻮﻥ ”
ﻓﻘﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ “ ﺩﻋﻬﻢ ﻳﻔﺮﺣﻮﺍ ﻣﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺎﻋﺔ
“ Sesungguhnya mereka para shufi duduk di dalam masjid-
masjid dengan tawakkal tanpa ilmu ?, maka imam Ahmad
menjawab, “ Mereka pakai ilmu, duduklah bersama mereka
di masjid-masjid “. Ada juga yang bertanya, “ Semangat
mereka besar sekali “, imam Ahmad menjawab, “ Aku tidak
mengetahui suatu kaum di muka bumi ini yang lebih baik
dari kaum yang semangatnya besar “. Lalu ditanya lagi, “
Sesungguhnya mereka (para shufi) itu berdiri dan menari-
nari “, maka imam Ahmad menjawab, “ Biarkan mereka
bergembira sesaat bersama Allah “. [7]



Al-Mardawi mengatakan :
ﻭﺫﻛﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺳﻴﻠﺔ : ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻭﺍﻟﻠﻌﺐ ﻛﻠﻪ ، ﻭﻣﺠﺎﻟﺲ ﺍﻟﺸﻌﺮ
“ Disebutkan dalam al-Wasilah, : Dimakruhkan ar-Raqsh
dan semua yang bersifat permainan dan majlis-majlis syi’ir
“. [8]
Al-Bahuti mengatakan :
( ﻭﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻭﻣﺠﺎﻟﺲ ﺍﻟﺸﻌﺮ ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﺴﻤﻰ ﻟﻌﺒﺎ ) ﺫﻛﺮﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺳﻴﻠﺔ
ﻟﺤﺪﻳﺚ ﻋﻘﺒﺔ ﺍﻵﺗﻲ ( ﺇﻻ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﻴﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﺘﺎﻝ ﺍﻟﻌﺪﻭ ) ﻟﻤﺎ ﺗﻘﺪﻡ
“ Dan dimakruhkan ar-Raqsh dan majlis-majlis syi’ir dan
semua yang dinamakan permainan. Telah disebutkan
dalam al-Wasilah karena ada hadits Uqbah yang akan
datang. Kecuali ar-Raqsh atau permainan yang membantu
atas memerangi musuh, sebagaimana telah berlalu “. [9]
Madzhab Malikiyyah.
Imam ash-Shawi mengatakan :
ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻓﺎﺧﺘﻠﻒ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ، ﻓﺬﻫﺒﺖ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ، ﻭﻃﺎﺋﻔﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ،
ﻭﻃﺎﺋﻔﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺘﻔﺮﻳﻖ ﺑﻴﻦ ﺃﺭﺑﺎﺏ ﺍﻷﺣﻮﺍﻝ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻓﻴﺠﻮﺯ ﻷﺭﺑﺎﺏ ﺍﻷﺣﻮﺍﻝ ، ﻭﻳﻜﺮﻩ ﻟﻐﻴﺮﻫﻢ
، ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﺮﺗﻀﻰ ، ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﻮﻏﻴﻦ ﻟﺴﻤﺎﻉ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ، ﻭﻫﻮ
ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﺴﺎﺩﺓ ﺍﻟﺼﻮﻓﻴﺔ ، ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻋﺰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺴﻼﻡ : ﻣﻦ ﺍﺭﺗﻜﺐ ﺃﻣﺮﺍ ﻓﻴﻪ
ﺧﻼﻑ ﻻ ﻳﻌﺰﺭ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : } ﺍﺩﺭﺀﻭﺍ ﺍﻟﺤﺪﻭﺩ ﺑﺎﻟﺸﺒﻬﺎﺕ { ، ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : } ﺑﻌﺜﺖ ﺑﺎﻟﺤﻨﻴﻔﻴﺔ ﺍﻟﺴﻤﺤﺔ { ، ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : } ﻭﻣﺎ ﺟﻌﻞ ﻋﻠﻴﻜﻢ
ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻣﻦ ﺣﺮﺝ { ﺃﻱ ﺿﻴﻖ
“ Adapun ar-Raqsh, maka para ulama fiqih berbeda
pendapat; sekelompok ulama menghukuminya makruh,
sekelompok lainnya menghukumi mubah dan sekelompok
ulama lainnya membedakannya di Antara orang-orang yang
memiliki ahwal dan selainnya, maka hukumnya boleh bagi
orang-orang yang memiliki ahwal dan makruh bagi
selainnya. Inilah ucapan yang diridhai dan atas pendapat
ini mayoritas ulama fiqih yang membolehkan nyanyian, dan
inilah madzhab para sadah shufiyyah. Imam Izzuddin bin
Abdissalam berkata, “ Barangsiapa yang melakukan suatu
perkara yang masih ada perbedaan pendapat di Antara
ulama, maka tidak boleh dita’zir, karena Nabi bersabda, “
Hindarilah menghukum dengan perkara yang masih syubhat
“, Allah juga berfirman, “ Allah tidak menjadikan kesempitan
dalam agama “. [10]
Madzhab Hanafiyyah.
Ibrahim al-Halbi al-Hanafi mengatakan :
ﻭﻣﺎ ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻟﺒﺰﺍﺯﻱ ﻣﻦ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻦ ﺗﺤﺮﻳﻢ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻣﺤﻤﻮﻝ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﺍﻗﺘﺮﻥ ﺑﺸﻲﺀ ﻣﻦ
ﺍﻟﻠﻬﻮ ﻛﺎﻟﺪﻑِّ ﻭﺍﻟﺸﺒَّﺎﺑﺔ ، ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ، ﺃﻭ ﺑﺎﻟﺘﻜﺴﺮ ﻭﺍﻟﺘﻤﺎﻳﻞ ، ﻭﺃﻣَّـﺎ ﻣﺠﺮﺩ ﺍﻟﺮﻗﺺ
ﻓﻤﺨﺘﻠﻒ ﻓﻲ ﺣﺮﻣﺘﻪ
“ Dan apa yang telah disebutkan oleh al-Bazzaazi tentang
adanya ijma’ keharaman ar-Raqsh, maka itu diarahkan jika
disertai sesuatu yang bersifat permaianan seperti daff dan
syabbabah atau dengan adanya goyangan (alay seperti
bencong). Adapun hanya ar-Raqsh (tarian) semata, maka
hukumnya ada perbedaan di Antara ulama “.[11]



Ibnu Abidin mengatakan :
( ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻛﺮﻩ ﻛﻞ ﻟﻬﻮ ) ﺃﻱ ﻛﻞ ﻟﻌﺐ ﻭﻋﺒﺚ ﻓﺎﻟﺜﻼﺛﺔ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﻭﺍﺣﺪ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ
ﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻼﺕ ﻭﺍﻹﻃﻼﻕ ﺷﺎﻣﻞ ﻟﻨﻔﺲ ﺍﻟﻔﻌﻞ ، ﻭﺍﺳﺘﻤﺎﻋﻪ ﻛﺎﻟﺮﻗﺺ ﻭﺍﻟﺴﺨﺮﻳﺔ ﻭﺍﻟﺘﺼﻔﻴﻖ
ﻭﺿﺮﺏ ﺍﻷﻭﺗﺎﺭ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﻨﺒﻮﺭ ﻭﺍﻟﺒﺮﺑﻂ ﻭﺍﻟﺮﺑﺎﺏ ﻭﺍﻟﻘﺎﻧﻮﻥ ﻭﺍﻟﻤﺰﻣﺎﺭ ﻭﺍﻟﺼﻨﺞ ﻭﺍﻟﺒﻮﻕ ، ﻓﺈﻧﻬﺎ
ﻛﻠﻬﺎ ﻣﻜﺮﻭﻫﺔ ﻷﻧﻬﺎ ﺯﻱ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ
“ Ucapan : Dan dimakruhkan semua permaianan. Yakni
semua permainan, tiga perkara itu bermakna satu
sebagaimana dalam syarh at-Takwilat, dan
memuthlakkannya mencangkup perbuatan itu sendiri.
Mendengarkannya sama seperti ar-Raqsh (menari), ejekan,
bertepuk tangan dan memetik senar mandolin, rabab,
terompet dam simbal, maka semua itu hukumnya makruh
karena itu hiasan kaum kafir “[12]
Kesimpulan dari pendapat ulama fiqih :
1. Hukum ar-Raqsh (Tarian), para ulama berbeda
pendapat; menurut madzhab Syafi’iyyah hukumnmya
diperinci; jika tidak ada goyangan sebagaimana
perilaku bencong (laki-laki yang berpura-pura jadi
perempuan), maka hukumnya boleh, jika ada maka
hukumnya haram. Menurut madzhab Hanbaliyyah
hukumnya makruh jika ada unsur permainanannya.
Menurut madzhab Malikiyyah hukumnya diperinci.
Menurut madzhab Hanafiyyah hukumnya makruh. Dan
ada sebagian ulama yang menghukumi haram.
2. Ar-Raqsh masih dalam persoalan ijtihadiyyah
furu’iyyah di Antara ulama, maka tidak sepatutnya
terjadi perseteruan keras dalam hal ini.
X-Steel - Wait