Latest Updates

Makalah PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HIBBAH MENURUT FIQH SAYAFI'IYYAH

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Islam adalah agama yang diridhai oleh Allah SWT dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta melalui nabi Muhammad SAW. Semasa hidup, beliau selalu berbuat baik dengan amalan sholeh seperti zakat, pemberian hadiah, hibah dan lain sebagainya. Zakat adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan karena bagian dari rukun Islam, demikian pula shadaqah karena islam menganjurkan untuk bershadaqah dengan tujuan menolong saudara muslim yang sedang kesusahan dan untuk mendapat ridha Allah SWT.
            Shadaqah bisa berupa uang, makanan, pakaian dan benda-benda lain yang bermanfaat. Dalam pengertian luas, shadaqah bisa berbentuk sumbangan pemikiran, pengorbanan tenaga dan jasa lainnya bahkan senyuman sekalipun.
            Beberapa hal diatas adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan agama islam seperti pemberian hadiah, hibah dan shodaqoh. Maka pada makalah yang singkat ini penulis akan sedikit menguraikan hal tersebut seberapa penting dalam dunia pendidikan Islam.

B. Rumusan Masalah
            Dari paparan latar belakang di atas terdapat masalah yang akan dibahas penulis dalam bab selanjutnya yaitu:
1.                  Apa pengertian Hibah secara bahasa dan istilah
2.                  Bagaimana dasar hukum Hibah
3.                  Bagaimana rukun dan syarat Hibah
4.                  Bagaimana masalah akad hibah dan penyelesaiannya
5.                  Bagaimana Pengertian Hibah Menurut Hukum Perdata
6.                  Apa saja Dasar Hibah Menurut Hukum Perdata
7.                  Bagaimana Cara menghibahkan sesuatu Menurut Hukum Perdata


C. Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah:
1.      Untuk mengetahui bagaimana pengertian Hibah secara bahasa dan istilah
2.      Untuk mengetahui bagaimana dasar hukum Hibah
3.      Untuk mengetahui bagaimana rukun dan syarat Hibah.
4.      Untuk mengetahui bagaimana permasalahan akad hibah dan penyelesaiannya.
5.      Untuk mengetahui bagaimana Pengertian Hibah Menurut Hukum Perdata
6.      Untuk mengetahui Apa saja Dasar Hibah Menurut Hukum Perdata
7.      Untuk mengetahui Cara menghibahkan sesuatu Menurut Hukum Perdata
















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian hibah menurut Syafi’iyyah
            Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu
عقد يفيد التمليك بلا عوض حا ل الالحياة تطوعا
“akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.[1]
            Didalam syara’ sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebut i’aarah (pinjaman).[2]

B.       Hukum hibah menurut Syafi’iyyah
            Hibah disyariatkan dan dihukumi mandub (sunat) dalam Islam. Dan Ayat ayat Al quran maupun teks dalam hadist juga banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong menolong dan salah satu bentuk tolong menolong tersebut adalah memberikan harta kepada orang lain yang betul – betul membutuhkannya, dalam firman Allah:
¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur
… dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa..( QS: Al Maidah: 2).[3]

            Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan dawud dari Aisyah ra. berkata:
كَانَ النَّبِىُّ ص م يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُنِيْبُ عَلَيْهَا
Artinya:
“Pernah Nabi saw. menerima hadiah dan balasannya hadiah itu.”
            Adapun barang yang sudah dihibahkan tidak boleh diminta kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya dalam sabda Nabi :
لا يحلّ لرجل أن يعطى عطيّة أوييهب هبة فيرجع فيها الاّ الوالد فيما يعطى لولده. (رواه ابو داوود وغيره
“Tidak halal bagi seseorang yang telah memberi sesuatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah atau menarik kembali kecuali orang tuua yang memberi kepada anaknya.” (HR. Abu Daud).[4]

C.      Rukun Hibah menurut Syafi’iyyah
            Menurut jumhur ulama’ rukun hibah ada empat:
a.    Wahib (Pemberi)
Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya kepada orang lain.
b.    Mauhub lah (Penerima)
Penerima hibah adalah seluruh manusia dalam arti orang yang menerima hibah.
c.    Mauhub
Mauhub adalah barang yang di hibahkan.
d.   Shighat (Ijab dan Qabul)
Shighat hibbah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan qabul.

D.      Syarat-syarat hibah menurut Syafi’iyyah
            Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahkan.
a.        Syarat-syarat penghibah
Disyaratkan bagi pengbhibah syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan
2.      Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.
3.      Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
4.      Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.
b.        Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah
            Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada  di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing.
c.        Syarat-syarat bagi yang dihibahkan
Disyaratkan bagi yang dihibahkan:
1)      Benar-benar ada
2)      Harta yang bernilai
3)      Dapat dimiliki dzatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang bisa dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid atau pesantren-pesantren.
4)      Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya.
5)      Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukaan (dikhususkan) seperti halnya jaminan.[5]
            Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama manusia.  Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasam dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam membangun lembaga-lembaga sosial.[6]

E.  Masalah Akad Hibah dan Penyelesaiannya
1.   al-umra dan al-ruqba
Al-umra di ambil dari kata ‘umr,  yakni jika pemberi hibah berkata kepada penerima hibah, “Saya membangun rumah ini untukmu,” “Saya membuat rumah ini untuk kamu sepanjang usia saya,” “Seumur hidup kamu, “Sepanjang hayat kamu,” atau “Sepanjang hayatku, jika kamu meninggal, rumah ini aku warisi. Shighat-shighat di atas adalah shighat akad hibah. Akan tetapi, shighat tersebut diikat dengan waktu, yakni umur orang yang memberi hibah atau umur orang yang menerimanya. Sementara itu, salah satu syarat shighat hibah adalah tidak diikat dengan waktu. Meskipun demikian, ulama Mazhab Hanafiah dan Syafi’iah menyepakati sahnya akad hibah tersebut, tetapi syarat yang ditetapkan batal.         Ketentuan ini didasarkan pada hadis-hadis shahih Rasulullah Saw., diantaranya hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim. Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Al-Umra dibolehkan.” Keduanya juga meriwayatkan dari Jabir ra., ia berkata, “Nabi Saw. melakukan hibah al-umri bagi orang yang menerima hibahnya. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah Saw. bersabda, “Al-Umri bagi orang yang menerima hibah.” Selain itu, Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadis dari Jabir ra., ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, “Tahanlah harta-harta kalian dan jangan merusaknya. Siapa yang memberikan umra maka harta tersebut menjadi milik orang yang diberi, baik ketika masih hidup, ketika sudah meninggal dan bagi keturunannya.[7]
            Imam Nawawi berkata dalah Syarh Shahih Muslim. Hadis ini memberitahukan bahwa al-umra adalah hibah yang sah. orang yang menerima hibah tersebut berhak penuh atas harta yang dihibahkan. Harta itu tidak akan kembali kepada orang yang menghibahkan selamanya. Jika mereka mengetahui hal tersebut, siapa yang ingin melakukannya, ia boleh hibah dengan umra. Siapa yang ingin, boleh meninggalkannya. Sebelumnya, mereka membayangkan bahwa hibah umra sama dengan ariyah dan harta yang dihibahkan akan kembali padanya.[8]
            Sedangkan Al-ruqba adalah hibah yang terjadi jika pemberi hibah berkata, “Rumahku ini untukmu selama masa pengawasanku,” “Aku memintamu menjaga rumah ini,” atau “Aku membuat rumah ini untukmu dalam pengawasanku.” Maksudnya, kalau kamu meninggal sebelum saya, rumah ini kembali menjadi milik saya. Jika saya meninggal sebelum kamu, rumah ini tetap menjadi milikmu.” Istilah ini diambil dari kata al-taraqqub yang berarti menunggu. Artinya, masing-masing menunggu kematian kawannya. Shighat ini merupakan salah satu shighat hibah yang diakui syariat meskipun diikat dengan sebuah syarat.[9]
            Menurut ulama Mazhab Syafi’iah, ini adalah akad hibah yang sah, namun syaratnya batal. Hal demikian disebabkan adanya hadis yang menunjukkan keabsahannya dan kebatalan syaratnya, sama dengan al-umra. Jabir ra. meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah Saw., beliau bersabda, “Hibah al-umra dibolehkan bagi orang yang melakukannya, begitu juga hibah al-ruqba dibolehkan bagi yang melakukannya.” Maksudnya adalah yang berlaku dan yang sudah terjadi. Ini merupakan pengecualian dari kebatalan hibah yang terikat dengan syarat sebagaimana kita ketahui.
            Imam Al-Subki dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menjelaskan tentang sahnya hibah al-umra dan al-ruqba jauh dari qiyas. Ulama Mazhab Syafi’iah sepakat dengan Abu Yusuf dari Mazhab Hanafiah dalam menganggap hibah al-ruqba sebagai akad hibah yang sah. sementara itu, Abu Hanifah sendiri dan Muhammad berpendapat bahwa hibah tersebut hukumnya batal karena menyertakan syarat tertentu dengan ijab yang menghalangi kepemilikan saat itu juga. Hal itu menjadi penentu terjadi atau tidaknya akad. Menurut mereka, hal demikian menghalangi sahnya hibah.[10]
            Hal ini berbeda dengan hibah al-umra karena pemanfaatan harta di sana tidak menghalangi penyerahan kepemilikan barang pada saat transaksi. Oleh karena itu hibahnya sah, tetapi syarat penentuan waktunya batal. Argument kedua didasarkan pada hadis riwayat Al-Syu’bi dari Syuraih bahwa Rasulullah Saw. membolehkan hibah al-umra dan membatalkan hibah al-ruqba. Imam Al-Kasani berkata, “Kedua hibah tersebut tidak dapat ditolak (sahnya).” Keduanya berkata, “Jika pemberi hibah menyerahkan hibahnya kepada penerima yang memiliki pinjaman, kapan pun ia bisa memintanya kembali. Hanya saja, akad pinjam-meminjam di sini menjadi sah karena pemberi hibah menyerahkan hibahnya kepada penerima dan membebaskannya untuk memanfaatkannya. Ini termasuk kategori ariyah (pinjaman).[11]
2.   Pemberian dalam khitbah
Masalah khitbah (dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinangan dan tunangan), adalah materi pembahasan yang termasuk dalam Fiqh Munakahat, tetapi dalam pelaksanaan khitbah di masyarakat di Indonesia terdapat pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak wanita. Maka persoalan ini sesungguhnya dibahas dalam masalah hibah yang merupakan bagian dari pembahasan Fiqih Muamalah.[12]
            Tunangan biasanya datang dari pihak laki-laki kepada pihak wanita untuk diminta menjadi calon isteri. Bila lamaran ini diterima oleh pihak wanita, maka biasanya pihak wanita diberi cincin atau yang semisal sebagai tanda bahwa lamarannya diterima. Kiranya tidak menjadi permasalahan, apabila rencana perkawinan berjalan lancar, tetapi yang jadi masalah adalah jika rencana perkawinan itu dibatalkan. Apakah tanda pengikat (cincin tunangan) yang telah diterima oleh pihak wanita itu wajib dikembalikan atau tidak? Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat, Mazhab Syafi’I, Maliki dan Hambali mempunyai pandangan yang berbeda tentang permasalahan di atas.[13]
            Menurut Mazhab Syafi’I, benda-benda tunangan yang telah diterima pihak wanita sebagai pemberian pihak pria adalah hadiah, karenanya wajib untuk dikembalikan, baik benda-benda tersebut masih utuh ataupun sudah rusak. Bila benda tunangan itu sudah rusak atau hilang, maka pihak wanita wajib menggantikannya dengan benda yang serupa atau membayar dengan uang yang seharga bagi benda tunangan tersebut. Kewajiban pengembalian benda tunangan ini berlaku apabila terjadi pembatalan perkawinan, baik atas permintaan pihak laki-laki maupun pihak wanita. Menurt Mazhab Hanafi, benda-benda yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak pinangannya dapat diminta kembali apabila benda-benda itu masih utuh, misalnya gelang, kalung, cincin, jam dan sebagainya. Apabila benda-benda itu sudah berkurang atau bertambah, seperti kain yang sudah dijadikan baju, jam dan cincin yang sudah dijual, maka pihak laki-laki tidak berhak meminta kembali dan tidak boleh meminta ganti rugi atas hilangnya barang-barang yang telah dia berikan.[14]
            Mazhab Maliki berpendapat bahwa apabila pembatalan pihak wanita maka dia (pihak wanita) wajib mengembalikan benda-benda yang dia terima  dari pihak laki-laki. Bila benda itu masih utuh, maka yang harus dikembalikan adalah benda tersebut. Sedangkan jika benda itu sudah tidak ada, baik dijual, hilang atau karena yang lainnya, maka ia wajib menggantinya, baik dengan benda yang serupa maupun dengan uang yang senilai dengan benda tersebut. Apabila pembatalan datangnya dari pihak laki-laki, maka pemberian yang telah diterima oleh pihak wanita, tidak diperbolehkan untuk diminta kembali, baik barang itu masih utuh, berubah maupun hilang. Dalam riwayat lain menurut Mazhab Maliki, apabila adat (kebiasaan) berbeda dengan ketentuan Malikiyah di atas, maka yang diberlakukan adalah adat atau kebiasaan.[15][16]
            Ketiga mazhab di atas berbeda karena perbedaan tolak ukur yang dipakai. Hanafi bertolak ukur pada keutuhan benda pemberina, Maliki bertolak ukur kepada pihak yang membatalkan dan adat, Syafi’I menggunakan kaidah umum bahwa pemberian itu sama dengan pemberian yang berimbalan, yakni boleh diminta kembali bila imbalannya belum sesuai dengan yang diharapkan. Adapun hadis yang dijadikan alasan adalah hadis riwayat Imam Ahmad dan ibnu Majah dari Ibnu Abbas ra.[16]

            Saling membantu dengan cara memberi, baik berbentuk hibah, shadaqah, maupun hadiah dianjurkan oleh Allah dan rasul-Nya. Hikmah atau manfaat disyari’atkannya hibah adalah sebagai berikut:[17]
a.          Memberi atau hibah dapat menghilangkan penyakit dengki, yakni penyakit yang terdapat dalam hati dan dapat merusak nilai-nilai keimanan. Hibah dilakukan sebagai penawar racun hati, yaitu dengki. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Tirmidzi dari Abi Hurairah r.a. Nabi saw. bersabda:
نَهَادُ وْافَاِنَّ الْهَدِيَّةَ تُذْهِبُ وَحَرَاصَّدْرِ
Artinya:
“Beri-memberilah kamu, karena pemberian itu dapat menghilangkan sakit hati (dengki).

b.         Pemberian atau hibah dapat mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai dan menyayangi.
c.          Hadiah atau pemberian dapat menghilangkan rasa dendam.

F. Pengertian Hibah Menurut Hukum Perdata
Yang dimaksud dengan hibah dalam bahasa Belanda adalah “Schenking”. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam       Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, adalah :
 “Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”
Bahwa, yang dimaksud dengan penghibah adalah digolongkannya pada apa yang dinamakan Perjanjian Cuma-Cuma dalam bahasa Belanda “Omniet”. Maksudnya, hanya ada pada adanya prestasi pada satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain tidak perlu memberikan kontra prestasi sebagai imbalan. Perkataan “di waktu hidupnya” si Penghibah adalah untuk membedakan penghibahan ini dengan pemberian-pemberian yang lain yang dilakukan dalam testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah pemberi itu meninggal, dapat diubah atau ditarik kembali olehnya.
Pemberi dalam testament menurut BW (Burgerlijk Wetboek) dinamakan legaat (hibah wasiat), yang diatur dalam Hukum Waris, sedangkan penghibah ini adalah suatu perjanjian, maka dengan sendirinya tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh si penghibah. Dengan demikian Hibah menurut BW (Burgerlijk Wetboek) ada 2 (dua) macam, yaitu: hibah dan hibah wasiat yang ketentuan hibah wasiat sering berlaku pula dalam ketentuan penghibah.

G. Dasar Hibah Menurut Hukum Perdata
Mengenai penghibahan dalam Hukum Perdata Indonesia, telah diatur dalam beberapa pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Adapun ketentuan tersebut adalah :
  1. Pasal 1667 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
“Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada, jika ada itu meliputi benda-benda yang baru akan dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal ”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jika dihibahkan barang yang sudah ada, bersama suatu barang lain yang akan dikemudian hari, penghibahan mengenai yang pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua adalah tidak sah.
  1. Pasal 1668 Kitab Undang-undang Hukum Perdata :
“ Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda termasuk dalam penghibahan semacam ini sekedar mengenai benda tersebut dianggap sebagai batal”.
Janji yang diminta si penghibah, bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain, berarti bahwa hak milik atas barang tersebut, tetap ada padanya karena hanya seseorang pemilik yang dapat menjual atau memberikan barangnya kepada orang lain, hal mana dengan sendirinya bertentangan dengan sifat dan hakekat penghibahan.
Sudah jelas, bahwa perjanjian seperti ini membuat penghibahan batal, yang terjadi sebenarnya adalah hanya sesuatu pemberian nikmat hasil.
  1. Pasal 1669 Kitab Undang-undang Hukum Perdata :
“Adalah diperbolehkan kepada si penghibah untuk memperjanjikan bahwa ia tetap memiliki kenikmatan atau nikmat hasil benda-benda yang dihibahkan, baik benda-benda bergerak maupun benda-benda tidak bergerak, atau bahwa ia dapat memberikan nikmat hasil atau kenikmatan tersebut kepada orang lain, dalam hal mana harus diperhatikan ketentuan-ketentuan dari bab kesepuluh buku kedua kitab undang-undang ini”.
Bab kesepuluh dari Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang dimaksud itu adalah bab yang mengatur tentang Hak Pakai Hasil atau Nikmat Hasil. Sekedar ketentuan-ketentuan itu telah dicabut, yaitu mengenai tanah, dengan adanya Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960), tetapi ketentuan-ketentuan itu mengenai barang yang bergerak masih berlaku.

H.  Cara menghibahkan sesuatu Menurut Hukum Perdata
Tentang cara menghibahkan sesuatu telah diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata, sebagaimana diatur dalam pasal di bawah ini :
  1. Pasal 1682 Kitab Undang-undang Hukum Perdata :
“ Tiada suatu hibah kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu ”.
  1. Pasal 1683 Kitab Undang-undang Hukum Perdata :
“ Tiada suatu hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan sesuatu akibat yang bagaimanapun, selainnya mulai saat penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akta otentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahan-penghibahan yang telah diberikan oleh si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya dikemudian hari. Jika penerima hibah tersebut telah dilakukan di dalam suratnya hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan di dalam suatu akta otentik, kemudian yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si penghibah masih hidup, dalam hal mana penghibahan terhadap orang yang terakhir hanya berlaku sejak saat penerima itu diberitahukan kepadanya “.[18]

















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.      Hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tnpa da kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia).
2.      Rukun hibah, yaitu : penghibah , penerima hibah, ijab dan kabul, dan benda yang dihibahkan.
3.      Syarat-syarat hibah itu meliputi syarat penghibah, penerima hibah dan benda yang dihibahkan.
4.      Penghibahan harta yang dilakukan oleh orang sakit hukumnya sama dengan wasiat. Menurut jumhur ulama seseorang dapat / boleh menghibahkan semua apa yang dimilikinya kepada orang lain.
            Menurut  istilah Hukum perdata  yang dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam     Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, adalah :
 “Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”
Bahwa, yang dimaksud dengan penghibah adalah digolongkannya pada apa yang dinamakan Perjanjian Cuma-Cuma dalam bahasa Belanda “Omniet”. Maksudnya, hanya ada pada adanya prestasi pada satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain tidak perlu memberikan kontra prestasi sebagai imbalan. Perkataan “di waktu hidupnya” si Penghibah adalah untuk membedakan penghibahan ini dengan pemberian-pemberian yang lain yang dilakukan dalam testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah pemberi itu meninggal, dapat diubah atau ditarik kembali olehnya.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Bugha, Musthafa Dib, Buku Pintar Transaksi Syariah terj. Fiqh Al-        Mu’awadhah,Cet. I, Bandung: Mizan Media Utama, 2010.

Al-Fauzan, Saleh, Fiqih Sehari-hari, Terj. Abdul Hayyie aal-Kattani, Jakarta:         Gema Insani Press,2005.

Departemen AgamaRI,  Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Asyifa’    ,2001.

Idris, Abdul Fatah, dkk., Fikih Islam Lengkap, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.

M. Zein, Satria Effendi,  Problematika Hukum Keluarga Islam        Konteporer, Jakarta: Kencana, 2004.

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 14, Terj: Mudzakir, Bandung: PT Al ma’arif, 1987.

Shabir, Mushlich, Terjemah Tanbihul Ghafilin, Semarang: CV. Toha Putra,  1993.
R. Subekti, 1995. Aneka Perjanjian Cet Ke-10 Bandung: Citra Aditya Bakti.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, 1992. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet ke-25, Jakarta: Pradnya Paramita.
Sudarsono, 1992. Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.







                [1]Rachmat Syafei,  Fiqh Muamalah,  (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  h. 242.
                [2]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987),, h. 174.

                [3]Departemen AgamaRI,  Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Asyifa’, 2001) h. 280.
                [4]Abdul Fatah Idris, dkk,  Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h. 197.

                [5] Sayyid Sabiq, 0p. Cit., h. 178-180.

                [6]Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 471-472.
[7]Musthafa Dib Al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah terj. Fiqh Al-Mu’awadhah,Cet. I, (Bandung: Mizan Media Utama, 2010) , h. 105.

[8]Ibid, h. 106.
[9]Ibid  

[10]Ibid, h. 107.

[11]Ibid

[12]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,op.cit., h. 216.
[13] Ibid, h. 217.

[14]Ibid

[15]Ibid

[16]Ibid, h. 218

[17]Ibid
[18]R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, 1992. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet ke-25, Jakarta: Pradnya Paramita.

0 Response to "Makalah PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HIBBAH MENURUT FIQH SAYAFI'IYYAH"

Post a Comment

X-Steel - Wait