Latest Updates

Jihad dalam mencari nafkah

Jihad dalam mencari nafkah, Jihad mencari ilmu, Jihad melawan hawa nafsu dan masih banyak lagi jihad-jihad yang setiap hari bisa kita lakukan.
Adapun Kunci-kunci kemenangan dalam jihad Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah menjelaskan butuh lima syarat mencapai kemenangan:
Pertama: ISTIQAMAH: Kuntinue, rutin dalam beramal.
Kedua: Banyak berdzikir (mengingat) menyebut nama Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
Ketiga: Mentaati Allah dan mentaati Rasul-Nya
Keempat: Persatuan kalimat dan tidak saling berbantah bantahan, karena itu akan menghantarkan kepada kegentaran dan kelemahan. Berbantah-bantahan ini adalah tentara yang bisa menguatkan musuh dari orang yang saling berbantah-bantahan untuk mengalahkan mereka. Karena dengan bersatu, suatu pasukan seperti seikat anak panah yang tidak seorang pun mampu mematahkannya. Jika anak panah itu dipisah-pisah, musuh akan bisa mematahkannya.
Kelima: Yang merupakan kunci, pilar dan penopang keempat hal di atas, yaitu : Sabar.
Inilah lima hal yang menjadi dasar terbangunnya kemenangan.
Inilah lima hal yang menjadi dasar terbangunnya kemenangan. Ketika kelima hal ini atau sebagiannya hilang, kemenangan pun akan hilang sebanding dengan berkurangnya sebagian darinya. Jika semuanya terkumpul, satu sama lain akan saling menguatkan.
Mudah-mudahan Allah Ta'ala selalu memberikan kepada kita keberkahan umur hingga setiap hari kita bisa bermuhasabah untuk menjadikan hari ini lebih baik dari hari-hari kemarin.

DO'A MEMOHON GIAT DALAM BERAMAL, SEMANGAT BERUSAHA. ISTIQAMAH & RAJIN BERMUHASABAH


ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧِّﻰ ﺃَﻋُﻮﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌَﺠْﺰِ ﻭَﺍﻟْﻜَﺴَﻞِ ﻭَﺍﻟْﺠُﺒْﻦِ ﻭَﺍﻟْﺒُﺨْﻞِ ﻭَﺍﻟْﻬَﺮَﻡِ ﻭَﻋَﺬَﺍﺏِ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮِ
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari lemahnya hati dan kemalasan, sifat pengecut, kikir, kepikunan dan dari azab kubur.”
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺁﺕِ ﻧَﻔْﺴِﻰ ﺗَﻘْﻮَﺍﻫَﺎ ﻭَﺯَﻛِّﻬَﺎ ﺃَﻧْﺖَ ﺧَﻴْﺮُ ﻣَﻦْ ﺯَﻛَّﺎﻫَﺎ ﺃَﻧْﺖَ ﻭَﻟِﻴُّﻬَﺎ ﻭَﻣَﻮْﻻَﻫَﺎ
“Ya Allah limpahkan pada hatiku ketaqwaan kepada-Mu dan sucikanlah ia sesungguhnya Engkau lah sebaik-baik Yang Mensucikan hati. Engkau lah pelindung hatiku dan Yang Paling dicintainya.”
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧِّﻰ ﺃَﻋُﻮﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦْ ﻋِﻠْﻢٍ ﻻَ ﻳَﻨْﻔَﻊُ ﻭَﻣِﻦْ ﻗَﻠْﺐٍ ﻻَ ﻳَﺨْﺸَﻊُ ﻭَﻣِﻦْ ﻧَﻔْﺲٍ ﻻَ ﺗَﺸْﺒَﻊُ ﻭَﻣِﻦْ ﺩَﻋْﻮَﺓٍ ﻻَ ﻳُﺴْﺘَﺠَﺎﺏُ ﻟَﻬَﺎ
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari Ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak pernah tenang, nafsu yang tidak pernah merasa puas dan dari do’a yang tidak pernah dikabulkan.”
(HR Bukhari & Muslim).

MENUJU KELUARGA SAKINAH


Akan lebih mudah untuk merealisasikan keluarga "Sakinah mawaddah wa Rahmah" sesuai impianmu sebelum menikah, apabila "Pasutri" Pasangan suami istri mengerti dan memahami hak-hak masing pihak.
Keinginan dan impian itu sejatinya sudah pernah ada sejak anda memasangkan cincin pernikahan kepada sans Istri dan istri juga sudah berjanji untuk bersama-sama mengarungi bahtera kehidupan berumah tangga, namun seiring berjalannya waktu, Misi prinsipil dalam ikatan suci itu terabaikan tanpa alasan.
Hal itu juga dituangkan di buku nikah anda, mungkin anda tidak sempat membacanya atau mengulangi untuk membacanya lagi.
Saudara-saudariku,
Adapun Pernikahan merupakan tanggung jawab yang berat bagi pasangan suami istri. Karena hal itu adalah Amanat dari Allah Ta'ala dan wasiat Rasulullah yang harus dijaga.
SUAMI sebagai IMAM, Pemikul (pengemban) amanah terberat, tidak sekedar memberi nafkah zhohir dan bathin Tetapi ia juga
bertanggung jawab dengan "NAFKAH TARBIYYAH" Pendidikan anak (dengan Ilmu Agama & Akhlak) dan membimbing istri menjadi istri yang sholehah.
Mudah-mudahan Allah Ta'ala memudahkan dan mewujudkan segala impian kita menuju kebaikan dunia dan Akhirat,

HAKIKAT KESUKSESAN


Sampai detik ini ada yang terdoktrin bahwa kesuksesan itu, dengan mobil banyak, punya rumah mewah, tabungan di Bank berjumlah besar, penampilan parlente dengan jas dan berdasi dan punya kontrakan dimana-mana.
Sehingga orientasi kesuksesan itu selalu dikaitkan dengan kekayaan dan kemewahan.
Anda mungkin jarang mendengar berapa banyak orang kaya yang sekarang duduk dikursi roda karena penyakit "stroke" akibat menyaksikan kelakuan anak-anaknya yang tidak menyenangkan dan perbuatan istrinya yang berselingkuh dengan bawahannya dikantor.
Mungkin juga anda pernah melihat seseorang yang menjadi kurang akal (sakit jiwa) wara-wari ke jalan, akibat usahanya bangkrut, rumah tangganya hancur, dan sebagainya.
Saudara-saudariku
Siapa pun yang memiliki nilai 'Ubudiyyah (sifat jehambaan) yang kuat disitulah ia sebenarnya telah memiliki karakater unggul: Optimis, kerja keras, disiplin, pantang menyerah, Itulah langkah menuju sukses. Dan harapan kesuksesan seorang mukmin, pastinya bukan hanya sukses di dunia, justru yang menjadi prioritas utama adalah bagaimana sukses di akherat.
Apa artinya harta yang berlimpah, uang yang banyak kekayaan dimana-mana, jika anak terlantar tanpa pendidikan agama dan Istri berbuat makar melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya?
Saudara-saudariku,
Karena jika berorientasi kesuksesan ukhrowi/akherat, sudah bisa dipastikan di dunia juga ia akan sukses. Dan kesuksesan/kebahagiaan seorang mukmin bukan pada materi semata, tapi diatas itu semua adalah yang ingin digapainya semata keRidha'an Allah Ta'ala. Seperti firman-Nya:
"Demi masa - Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, - kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan (saling berwasiat) nasehat menasehati kebenaran dan nasehat menasehati dengan kesabaran" (Qs.103 : 1 - 3)
Fudhail Bin 'Iyadh mengatakan:
" المؤمن قليل الكلام كثير العمل ، والمنافق كثير الكلام قليل العمل ، كلام المؤمن حكم ، وصمته تفكر ، ونظره عبرة ، وعمله بر ، وإذا كنت كذا لم تزل في عبادة " .
Orang yang beriman itu sedikit bicaranya dan banyak beramalnya, sedangkan orang munafiq itu banyak bicaranya dan sedikit beramalnya, ucapan orang mukmin adalah hikmah, diamnya adalah tafakkur, penglihatannya adalah pelajaran dan amalnya adalah kebaikan, jika engkau bisa menjadi sepertt itu maka engkau dikategorikan terus menerus dalam melakukan ibadah.

NASEHAT IMAM SYAFI'I : JANGAN ENGKAU HANYA INGIN JADI PEMENANG Di SETIAP PERBEDAAN PENDAPAT


Imam as-syafi'i memberi nasehat dan wejangan kepada muridnya Yunus bin Abdil A'la
.
يروى أن يونس بن عبد اﻷعلى - أحد طلاب اﻹمام الشافعي - اختلف مع اﻹمام محمد بن إدريس الشافعي في مسألة أثناء إلقائه درساً في المسجد . فقام يونس غاضباً وترك الدرس وذهب إلى بيته !!!
Diriwayatkan bahwa Yunus bin Abdi Al-'Ala, berselisih pendapat dengan sang guru, yaitu Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi'i (Imam Asy Syafi'i) saat beliau mengajar di Masjid. Hal ini membuat Yunus bangkit dan meninggalkan majelis itu dalam keadaan marah.
فلما أقبل الليل ، سمع يونس صوتَ طرقٍ على باب منزله !!
فقال يونس: مَنْ بالباب ؟
قال الطارق: محمد بن إدريس
قال يونس: فتفكرتُ في كل مَنْ كان اسمه محمد بن إدريس إلا الشافعي !!! قال: فلما فتحتُ الباب ، فوجئتُ به !!!
Kala malam menjelang, Yunus mendengar pintu rumahnya diketuk ... Ia berkata : "Siapa di pintu..?"
Orang yang mengetuk menjawab : "Muhammad bin Idris."
Seketika Yunus berusaha untuk mengingat semua orang yang ia kenal dengan nama itu, hingga ia yakin tidak ada siapapun yang bernama Muhammad bin Idris yang ia kenal, kecuali Imam Asy Syafi'i.
Saat ia membuka pintu, ia sangat terkejut dengan kedatangan sang guru besar, yaitu Imam Syafi'i..
فقال اﻹمام الشافعي: يا يونس تجمعنا مئاتُ المسائل ، أتُفرّقُنا مسألة ؟ فلا تحاول الانتصار في كل الاختلافات .. فكثيراً ما يكون كسبُ القلوب أوْلى من كسب المواقف ، و لا تهدم جسوراً بنيْتَها و عبرتَ عليها ، فربما تحتاجها للعودة يوماً ما !!!
Imam Syafi'i berkata : "Wahai Yunus, selama ini kita disatukan dalam ratusan masalah, apakah karena satu masalah saja kita harus berpisah..?
Janganlah engkau berusaha untuk menjadi pemenang dalam setiap perbedaan pendapat.
Terkadang, meraih hati orang lain itu lebih utama daripada meraih kemenangan atasnya.
Jangan pula engkau hancurkan jembatan yang telah kau bangun dan kau lewati di atasnya berulang kali, karena boleh jadi, kelak satu hari nanti engkau akan membutuhkannya kembali.."
حاول دوماً أن تكره الخطأ ، و لا تكرهْ المخطئ ،
كنْ باغضاً للمعصية ، و سامح العاصي ،
انتقد القولَ ، و لكن احترم قائله ،
فمهمّتُنا في الحياة أن نقضي على الأمراض ، لا على المرضى !!!
"Berusahalah dalam hidup ini agar engkau selalu membenci perilaku orang yang salah, tetapi jangan pernah engkau membeci orang yang melakukan kesalahan itu..
Engkau harus marah saat melihat kemaksiatan, tapi berlapang dadalah atas para pelaku kemaksiatan..
Engkau boleh mengkritik pendapat yang berbeda, namun tetap menghormati terhadap orang yang berbeda pendapat..
Karena tugas kita dalam kehidupan ini adalah menghilangkan penyakit, dan bukan membunuh orang yang sakit.."
فإذا أتاك المعتذر ... فاصفح ،
و إنْ جاءك المهمومُ ... فأنصتْ له ،
و إنْ قصَدَك المحتاج ... فأعطه مما أعطاك الله ،
و إذا أتاك الناصح ... فاشكره ،
و حتى لو حصدتَ شوكاً يوماً ما ، فكنْ للورد زارعاً و لا تتردد ، فالجزاء عند الودود الكريم أجزل من جزاء البشر !!!
Maka apabila ada orang yang datang meminta maaf kepadamu, maka segera maafkan...
Apabila ada orang yang tertimpa kesedihan, maka dengarkanlah keluhannya...
Apabila datang orang yang membutuhkan, maka penuhilah kebutuhannya sesuai dengan apa yang Allah berikan kepadamu..
Apabila datang orang yang menasehatimu, maka berterimakasihlah atas nasehat yang ia sampaikan kepadamu..
Bahkan seandainya satu hari nanti engkau hanya menuai duri, tetaplah engkau untuk senantiasa menanam bunga mawar...
Karena sesungguhnya balasan yang dijanjikan oleh Allah yang Maha Pengasih lagi Dermawan jauh lebih baik dari balasan apapun yang mampu diberikan oleh manusia.."
اللهم اجعلنا ممن يستمع القول فيتبعون أحسنه..

"TELINGA BERDENGING" Adalah Panggilan Baginda Nabi MUHAMMAD صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم.


Banyak orang bertanya kenapa terkadang telinga bersuara "Nging" ?
Apa sebab musababnya, karena musababnya ada yang mengatakan dengan tidak berpedoman, bertahayul dan sangkaan jelek terhadap hal itu?
Sesungguhnya suara "NGING" dalam telinga, itu ialah Sayyidina Rasulullah صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم. sedang menyebut orang yang telinganya bersuara "NGING" dalam perkumpulan yang tertinggi (malail a'laa) dan supaya orang tersebut ingat pada baginda Nabi Sayyidina Rasul Allah صلى الله عليه وسلمdan membaca sholawat.
Hal ini berdasarkan keterangan dari kitab ( AZIZI 'ALA JAMI'USH SHAGHIR)
"Jika telinga salah seorang kalian berdengung (nging) maka hendaklah ia mengingat aku (Sayyidina Muhammad ) صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم. dan membaca sholawat kepadaku.Serta mengucapkan
"DZAKARALLOHU MAN DZAKARONII BIKHOIR";
(artinya, Allah Ta'ala akan mengingat yang mengingatku dengan kebaikan)".
Imam Nawawi berkata : Sesungguhnya telinga itu berdengung Hanya ketika datang berita baik ke Ruh. Bahwa Sayyidina Rasul Allah صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم. telah menyebutkan orang ( pemilik telinga yang berdengung"Nging") tersebut dengan kebaikan di al mala'al a'la (majlis tertinggi) di alam ruh.
[ Kitab AZIZI 'ALAL JAMIUSH SHAGIR ]

Sahkah akad pemesanan (salam) yang dilakukan dengan tanpa uang muka

Sahkah akad pemesanan (salam) yang dilakukan dengan tanpa uang muka
Deskripsi masalah
Sudah umum dimasyarakat ketika hendak memesan suatu barang yang berupa keperluan-keperluan rumah, seperti lemari, kursi atau yang lainnya, biasanya tinggal memesan kepada pengrajin ataumemesan pada toko penyedia barang-barang tersebut. Kalau pemesanan tersebut dilakukan dengan memakai uang muka, tentu tak jadi masalah. Namun, seringkali akad ini dilakukan dengan tanpa memberikan uang muka, dan hanya membayar saat barang yang dipesan sudah jadi.
Pertanyaan :
Sahkah akad pemesanan (salam) yang dilakukan dengan tanpa uang muka seperti pada deskripsi diatas ? Jika tidak sah, adakah ulama' yang memperbolehkannya ?
Jawaban :
Menurut ketentuan akad salam, sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab fiqih madzhab Syafi'i tentu praktek seperti diatas tidak sah, sebab tidak terpeenuhinya salah satu rukun dari akad salam, yaitu memberikan "ro'sul mal" (uang muka) saat transaksi. Sedangkan dalam madzhab hanafi, akad pemesanan seperti dalam deskripsi diatas disebut akad "istishna'", dan praktek pemesanan barang tanpa menggunakan uang muka yang sudah lazim dimasyarakat tersebut sah menurut madzhab hanafi karena sudah menjadi kebutuhan masyarakat dengan syarat saat akad berlangsung segala hal yang biasanya menjadi sumber perselisihan antara kedua belah pihak dihilangkan, semisal dengan menjelaskan bahan, sifat dan ukurannya.
Dalam kitab "Al-Fiqhul Manhaji Ala Madzhabil Imam Asy-Syafi'i" yang ditulis oleh Syekh Dr. Mushthofa Al-Khin, Syekh Dr. Musthofa Al-Bugho dan Syekh Ali Asy-Syarbaji diterangkan bahwa diperbolehkan mengikuti madzhab hanafi yang menyatakan sah-nya praktek seperti ini demi memberi kemudahan masyarakat, karena hal tersebut sangat dibutuhkan.
Referensi :
1. Al-Fiqhul Manhaji, juz : 6 Hal : 59-60 ( Madzhab Syaf'i )
2. Badai'ush Shonai', Juz : 5 Hal ; 2 ( Madzhab Hanafi )
3. Al-Mabsuth, Juz : 12 Hal : 138-139 ( Madzhab Hanafi )
Ibarot :
Al-Fiqhul Manhaji, juz : 6 Hal : 59-60
عقد الاستصناع
هو أن يطلب إنسان ممّن له صنعة: أن يصنع له شيئاً مما له علاقة بصنعته على وجه مخصوص، وتكون مادة الصنعة من الصانع.
وهو عقد ينتشر انتشاراً واسعاً في هذا الزمن، مما يجعلنا في حاجة أن نبيّن حكم هذا العقد. وقبل بيان حكمه نذكر أمثلة عليه:
- أن يطلب من حذَّاء أن يصنع له حذاء أو أحذية، والجلد وما يحتاج إليه من الصانع لا من المستصنع.
- يدخل في هذا اليوم عمل النجّارين، حيث يطلب صاحب بناء أو نحوه من النجّار أن يصنع له نجارة معينة، من خشب أو ألمنيوم، والمادة من الصانع، وقد يدخل فيها الزجاج وغيره من أقفال ومفاتيح ومغاليق.
- ويدخل في هذا صنع الأثاث المنزلي من مفروشات وغيرها، حيث يتفق المستصنع مع الصانع على صنع غرفة نوم مثلاً، أو مقاعد، وما يتركب منه المصنوع كله من الصانع، حسب نموذج معين يطلع المستصنع عليه ويحصل الاتفاق إلى غير ذلك من أسئلة في معنى ما ذكرنا
إن هذا العقد موضع اختلاف لدى الفقهاء، ونستطيع أن نقول
إذا انطبقت عليه شروط عقد السلم التي مرّ ذكرها: من ضبطه بالوصف، وضبط ما يدخل فيه من مواد، ومن تحديد الأجل لتسليمه، وتسليم ثمنه في مجلس العقد، إلى غير ذلك من شروط، استطعنا أن نحكم بصحته على أنه عقد سلم، وإن جرى بلفظ البيع، لأن العبرة في العقود للمقاصد والمعاني، لا للألفاظ والمباني. وإذا لم تنطبق عليه شروط السلم السابقة الذكر، وهذا هو الغالب في تعامل الناس بهذا العقد، فإن أكثر المستصنعين يدفعون للصانع قسطاً من الثمن عند التعاقد، وقد لا يدفعون شيئاً بالكلية، ثم يؤدون باقي الثمن أقساطاً، أو عند الانتهاء من الصنعة، وربما بقي للصانع شيء من الثمن يتقاضاه فيما بعد، هذا هو الغالب في تعامل الناس، وعليه فلا يعتبر هذا سَلماً، وبالتالي فهو غير صحيح عند الشافعية رحمهم الله تعالى
وقد قال بصحة هذا التعاقد السادة الحنفية رحمهم الله تعالى فيما جرى به العرف وِتعامَل الناس به، لحاجة الناس إليه. شريطة أن يبيّن في العقد ما يزيل عن المستصنَع الجهالة المفضية إلى التنازع بين المتعاقدين، كأن تذكر مادة الصنع ومصدرها، وصفتها وقدرها، وما إلى ذلك.
هذا ولا نرى مانعاً من الأخذ برأي السادة الحنفية رحمهم الله تعالى، والحكم بصحة هذا التعامل، تيسيراً على الناس، إذ أن الحاجة ماسّة إليه، والناس يتعاملونه - كما ذكرنا - في أكثر صناعاتهم، وكل من الأئمة والفقهاء يسعى وراء الحق، ويلتمس المصلحة لعباد الله تعالى على ما يرضي الله عزّ وجل، ويوافق سنّة المصطفى - صلى الله عليه وسلم -، والله تعالى أعلم
Badai'ush Shonai', Juz : 5 Hal ; 2
[كتاب الاستصناع] [فصل في صورة الاستصناع ومعناه]
يحتاج لمعرفة مسائل هذا الكتاب إلى بيان صورة الاستصناع ومعناه، وإلى بيان جوازه، وإلى بيان حكمه، وإلى بيان صفته.
:فصل : أما صورة الاستصناع فهي أن يقول إنسان لصانع - من خفاف أو صفار أو غيرهما -: اعمل لي خفا، أو آنية من أديم أو نحاس، من عندك بثمن كذا، ويبين نوع ما يعمل وقدره وصفته، فيقول الصانع: نعم.
وأما معناه: فقد اختلف المشايخ فيه، قال بعضهم: هو مواعدة وليس ببيع، وقال بعضهم: هو بيع، لكن للمشتري فيه خيار، وهو الصحيح؛ بدليل أن محمدا - رحمه الله - ذكر في جوازه القياس والاستحسان، وذلك لا يكون في العدات، وكذا أثبت فيه خيار الرؤية، وأنه يختص بالبياعات، وكذا يجري فيه التقاضي، وإنما يتقاضى فيه الواجب - لا الموعود - ثم اختلفت عباراتهم عن هذا النوع من البيع . قال بعضهم: هو عقد على مبيع في الذمة، وقال بعضهم: هو عقد على مبيع في الذمة شرط فيه العمل.
وجه القول الأول: أن الصانع لو أحضر عينا، كان عملها قبل العقد، ورضي به المستصنع؛ لجاز، ولو كان شرط العمل من نفس العقد؛ لما جاز؛ لأن الشرط يقع على عمل في المستقبل - لا في الماضي - والصحيح هو القول الأخير؛ لأن الاستصناع طلب الصنع، فما لم يشترط فيه العمل لا يكون استصناعا؛ فكان مأخذ الاسم دليلا عليه؛ ولأن العقد على مبيع في الذمة يسمى سلما، وهذا العقد يسمى استصناعا، واختلاف الأسامي دليل اختلاف المعاني في الأصل وأما إذا أتى الصانع بعين صنعها قبل العقد، ورضي به المستصنع؛ فإنما جاز لا بالعقد الأول، بل بعقد آخر، وهو التعاطي بتراضيهما
Al-Mabsuth, Juz : 12 Hal : 138-139
قال: (وإذا استصنع الرجل عند الرجل خفين أو قلنسوة أو طستا أو كوزا أو آنية من أواني النحاس فالقياس أن لا يجوز ذلك) لأن المستصنع فيه مبيع وهو معدوم وبيع المعدوم لا يجوز لنهيه - صلى الله عليه وسلم - عن بيع ما ليس عند الإنسان ثم هذا في حكم بيع العين ولو كان موجودا غير مملوك للعاقد لم يجز بيعه فكذلك إذا كان معدوما بل أولى ولكنا نقول نحن تركنا القياس لتعامل الناس في ذلك فإنهم تعاملوه من لدن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - إلى يومنا هذا من غير نكير منكر وتعامل الناس من غير نكير أصل من الأصول كبير لقوله - صلى الله عليه وسلم - «ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن» وقال: - صلى الله عليه وسلم - : لا تجتمع أمتي على ضلالة وهو نظير دخول الحمام بأجر فإنه جائز لتعامل الناس وإن كان مقدار المكث فيه وما يصب من الماء مجهولا وكذلك شرب الماء من السقا بفلس والحجامة بأجر جائز لتعامل الناس وإن لم يكن له مقدار فما يشترط أن يصنع من الكنة على ظهره غير معلوم وفي الحديث أن النبي - صلى الله عليه وسلم - «استصنع خاتما واستصنع المنبر» فإذا ثبت هذا يترك كل قياس في مقابلته وكان الحاكم الشهيد يقول: الاستصناع مواعدة وإنما ينعقد العقد بالتعاطي إذا جاء به مفروغا عنه ولهذا ثبت فيه الخيار لكل واحد منهما والأصح أنه معاقدة فإنه أجرى فيه القياس والاستحسان والمواعيد تجوز قياسا واستحسانا ثم كان أبو سعيد البردعي يقول المعقود عليه هو العمل لأن الاستصناع اشتغال من الصنع وهو العمل فتسمية العقد به دليل على أنه هو المعقود عليه والأديم والصرم فيه بمنزلة الآلة للعمل
والأصح أن المعقود عليه المستصنع فيه وذكر الصنعة لبيان الوصف فإن المعقود هو المستصنع فيه ألا ترى أنه لو جاء به مفروغا عنه لا من صنعته أو من صنعته قبل العقد فأخذه كان جائزا والدليل عليه أن محمدا قال: إذا جاء به مفروغا عنه فللمستصنع الخيار لأنه اشترى شيئا لم يره وخيار الرؤية إنما يثبت في بيع العين فعرفنا أن المبيع هو المستصنع فيه قال: (وإذا عمله الصانع فقبل أن يراه المستصنع باعه يجوز بيعه من غيره) لأن العقد لم يتعين في هذا بعد ولكن إذا أحضره ورآه المستصنع فهو بالخيار لأنه اشترى ما لم يره وقال: - صلى الله عليه وسلم - «من اشترى شيئا لم يره فهو بالخيار إذا رآه» وعن أبي يوسف قال: إذا جاء به كما وصفه له فلا خيار للمستصنع استحسانا لدفع الضرر عن الصانع في إفساد أديمه وآلاته فربما لا يرغب غيره في شرائه على تلك الصفة فلدفع الضرر عنه قلنا بأنه لا يثبت له الخيار وفرق في ظاهر الرواية بين هذا والسلم، وقال: لا فائدة في إثبات الخيار في السلم لأن المسلم فيه دين في الذمة وإذا رد المقبوض عاد دينا كما كان وهنا إثبات الخيار مقيد لأنه مبيع عين فبرده ينفسخ العقد ويعود إليه رأس ماله ويوضح الفرق أن إعلام الدين بذكر الصفة إذ لا يتصور فيه المعاينة فقام ذكر الوصف في المسلم فيه مقام الرؤية في بيع العين فأما إعلام العين فتمامه بالرؤية والمستصنع فيه مبيع عين فلهذا يثبت فيه خيار الرؤية

Kalam Hikmah Imam Ghazali

Kalam Hikmah Imam Ghazali
صباح الخير إخوان مجلس السلف
Imam Al Ghazali berkata:
Yang singkat itu - "waktu"
Yang menipu itu - "dunia"
Yang dekat itu - "kematian"
Yang besar itu - "hawa nafsu"
Yang berat itu - "amanah"
Yang sulit itu - "ikhlas"
Yang mudah itu - "berbuat dosa"
Yang susah itu - "sabar"
Yang lupa itu - "bersyukur"
Yang membakar amal itu - "mengumpat"
Yang ke neraka itu - "lidah"
Yang berharga itu - "iman"
Yang mententeramkan hati itu - "teman sejati"
Yang ditunggu Allah S.w.t itu -"taubat

kebolehan berdzikir bagi orang yang sedang berhadats


Imam Nawawi menjelaskan bahwa semua ulama' sepakat mengenai kebolehan berdzikir bagi orang yang sedang berhadats, baik itu hadats besar, seperti orang yang sedang jubub dan wanita yang sedang haidh, Nifas atau hadats kecil, seperti orang yang beser (terus menerus mengeluarkan air kencing) dan wanita yang sedang istihadhah.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh A'isyah radhiyallahu 'anhu :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
"Nabi shollallohu 'alaihi wasallam berdzikir kepada Allah pada semua keadaan beliau" (Shahih Muslim, no.373)
Namun disunatkan untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum berdzikir, berdasarkan hadits :
عَنِ الْمُهَاجِرِ بْنِ قُنْفُذٍ، أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَبُولُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ حَتَّى تَوَضَّأَ، ثُمَّ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ : إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا عَلَى طُهْرٍ أَوْ قَالَ: عَلَى طَهَارَة
"Dari al-Muhajir bin Qunfudz radhiyallahu 'anhu, bahwasanya dia mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika sedang buang air kecil. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah namun beliau tidak menjawab salamnya hingga beliau berwudhu, lalu beliau mengemukakan alasan kepadanya, seraya bersabda:"Sesungguhnya aku tidak suka menyebt nama Allah Azza wa Jalla melainkan dalam keadaan suci." (Sunan Abu Dawud, no.17 dan Shahih Ibnu Hibban, no.803)
Kesimpulannya, saat seseorang akan berdzikir tidak diwajibkan wudhu terlebih dahulu, namun disunatkan untuk wudhu sebelumnya. Wallohu a'lam.
( Dijawab oleh : Mazz Rofii, Ubaid Bin Aziz Hasanan, Siraj Munir dan Mbah Godek )
Referensi :
1. Al-Adzkar, Hal : 11
2. Syarah Muslim Lin-Nawawi, Juz : 4 Hal : 68
3. Hasyiyah I'anatut Thalibin, Juz : 1 Hal : 77
4. Syarah Mandhumah Al-Iraqi, Hal : 25
Ibarot :
Al-Adzkar, Hal : 11
فصل: أجمع العلماء على جواز الذكر بالقلب واللسان للمحدث والجنب والحائض والنفساء، وذلك في التسبيح والتهليل والتحميد والتكبير والصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم والدعاء وغير ذلك
Syarah Muslim Lin-Nawawi, Juz : 4 Hal : 68
حدثنا أبو كريب محمد بن العلاء، وإبراهيم بن موسى، قالا: حدثنا ابن أبي زائدة، عن أبيه، عن خالد بن سلمة، عن البهي، عن عروة، عن عائشة، قالت: «كان النبي صلى الله عليه وسلم يذكر الله على كل أحيانه
................................................
(باب ذكر الله تعالى في حال الجنابة وغيرها)
قول عائشة رضي الله عنها (كان النبي صلى الله عليه وسلم يذكر الله تعالى على كل أحيانه) هذا الحديث أصل في جواز ذكر الله تعالى بالتسبيح والتهليل والتكبير والتحميد وشبهها من الأذكار وهذا جائز بإجماع المسلمين
Hasyiyah I'anatut Thalibin, Juz : 1 Hal : 77
قال العلامة الكردي: وقفت على منظومة للعراقي فيما سن له الوضوء، وهي
ويندب للمرء الوضوء فخذ لدي * * مواضع تأتي وهي ذات تعدد
قراءة قرآن سماع رواية * * ودرس لعلم والدخول لمسجد
وذكر وسعي مع وقوف معرف * * زيارة خير العالمين محمد
Syarah Mandhumah Al-Iraqi, Hal : 25


السادسة : ذكر الله
لما روي أبو داود – واللفظ له – والنسائي وابن ماجهو بإسناد جيد عن المهاجر بن قنفذ، أنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم وهو يبول فسلم عليه، فلم يرد عليه حتى توضأ، ثم اعتذر إليه فقال : إني كرهت أن أذكر الله عز وجل إلا على طهر أو قال: على طهارة

Sebatas manakah sakit yang menyebabkan gugurnya kewajiban melakukan shalat ?


Termasuk hal yang paling berat untuk melakuan shalat adalah ketika dalam kondisi sakit, sehingga sebagian dari masyarakat kita dalam kondisi ini masih ada yang tidak melakukan shalat fardlu, padahal kita tahu udzur tidak melakukan shalat di kitab fiqh ada dua: lupa dan tidur.
Fenomena yang terjadi, sebagian dari mereka ada yang masih sadar (berakal dan tamyiz) namun di rumah cuma ada istri tercinta yang menemaninya sedangkan anak mereka pergi merantau keluar kota, sehingga dalam membantu suaminya shalat seringkali bersentuhan kulit yang berakibat batal wudlunya. Ada juga yang terkadang sadar terkadang tidak tapi karena pihak keluarga merasa kerepotan seringkali harus mengingatkannya akhirnya punya inisiatif menemui tokoh agama dengan tujuan meminta fatwa agar yang sakit tidak wajib shalat tapi membayar fidyah
Pertanyaan:
a. Sebatas manakah sakit yang menyebabkan gugurnya kewajiban melakukan shalat ?
Jawaban :
Imam Maliki, Syafi’I, Hambali sepakat selama akal masih ada shalat fardlu belum gugur, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah jika sudah sampai sakit yang mendekati kematian dan tidak bisa isyarat dengan kepalanya maka shalat fardlunya gugur.
الميزان الكبرى ج 1 ص 141 دار الفكر
وأما ما اخلفوا فيه فمن ذلك قول الأئمة الثلاثة إن فرض الصلاة لايسقط عن المكلف مادام عقله ثابتا ول بإجراء الصلاة على قلبه مع قول الإمام أبي حنيفة إن من عاين الموت وعجز عن الإيماء برأسه يسقط عنه الفرض
الفقه الإسلامي وأدلته - (2 / 21)
والخلاصة: إن أقصى حالات التيسير للمريض هو الإيماء بالرأس عند الحنفية، والإيماء بالطرف (البصر أو العين) أو مجرد النية عند المالكية، وإجراء الأركان على القلب عند الشافعية والحنابلة.
واتفق الكل على أنه لا تسقط الصلاة عن المرء ما دام في عقله، ويجب قضاؤها عند الحنفية إن لم يستطع الإيماء برأسه
المجموع شرح المهذب - (3 / 6)
من زال عقله بسبب غير محرم كمن جن أو أغمى عليه أو زال عقله بمرض أو بشرب دواء لحاجة أو اكره علي شرب مسكر فزال عقله فلا صلاة عليه وإذا أفاق فلا قضاء عليه بلا خلاف للحديث سواء قل زمن الجنون والاغماء ام كثر هذا مذهبنا وقال أبو حنيفة رحمه الله ان كان الاغماء دون يوم وليلة لزمه قضاء ما فات فيه وان كان اكثر فلا ونقل ابن حزم عن عمار بن ياسر وعطاءس
المجموع شرح المهذب - (4 / 317)
فان عجز عن الايماء بالطرف أجرى أفعال الصلاة على قلبه فان اعتقل لسانه وجب أن يجرى القرآن والاذكار الواجبة علي قلبه كما يجب أن يجرى الافعال قال اصحابنا وما دام عاقلا لا يسقط عنه فرض الصلاة ولو انتهي ما انتهي ولنا وجه حكاه صاحبا العدة والبيان وغيرهما أنه إذا عجز عن الايماء بالرأس سقطت عنه الصلاة وهو مذهب أبى حنيفة وهذا شاذ مردود
إعانة الطالبين - (1 / 94)
( قوله وقال أيضا ) عبارة التحفة وقضية ما تقرر من الحكم بتبعية أخس أبويه أن الآدمي المتولد بين آدمي أو آدمية ومغلظ له حكم المغلظ في سائر أحكامه وهو واضح في النجاسة ونحوها وبحث طهارته نظرا لصورته بعيد من كلامهم بخلافه في التكليف لأن مناطه العقل ولا ينافيه نجاسة عينه للعفو عنها بالنسبة إليه بل وإلى غيره نظير ما يأتي في الوشم ولو بمغلظ إذا تعذرت إزالته فيدخل المسجد ويماس الناس ولو مع الرطوبة ويؤمهم لأنه لا تلزمه إعادة إلخ
الإقناع للشربيني - (1 / 114)
ولا على مجنون ومغمى عليه إذا أفاقا لحديث رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يبرأ فورد النص في المجنون وقيس عليه كل من زال عقله بسبب يعذر فيه
الحكم إذا زالت الموانع آخرالوقت أو طرأت أول الوقت ولو زالت هذه الأسباب المانعة من وجوب الصلاة وقد بقي من الوقت قدر تكبيرة فأكثر وجبت الصلاة لأن القدر الذي يتعلق به الإيجاب يستوي فيه قدر الركعة ودونها ويجب الظهر مع العصر بإدراك قدر زمن تكبيرة آخر وقت العصر ويجب المغرب مع العشاء بإدراك ذلك آخر وقت العشاء لاتحاد وقتي الظهر والعصر ووقتي المغرب والعشاء في العذر ففي الضرورة أولى ويشترط للوجوب أن يخلو الشخص عن الموانع قدر الطهارة والصلاة أخف ما يجزي كركعتين في صلاة المسافر
المبدع شرح المقنع - (2 / 129)
"على كل مسلم مكلف" لأن الإسلام والعقل شرطان للتكليف وصحة العباد فلا تجب على مجنون إجماعا ولا على صبي في الصحيح من المذهب لما روى طارق بن شهاب مرفوعا "الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة إلا أربعة عبد مملوك أو امرأة أو صبي أو مريض" رواه أبو داود وقال طارق قد رأى النبي صلى الله عليه وسلم ولم يسمع منه شيئا وإسناده ثقات.
حاشية الصاوي على الشرح الصغير - (1 / 438)


أما شروطهما معا فستة : بلوغ الدعوة والعقل ودخول الوقت والقدرة على استعمال الطهور وعدم النوم والغفلة ، والخلو من حيض ونفاس وهو خاص بالنساء .وأشار إلى ذلك كله بقوله : ( تجب ) : أي الصلاة بدخول الوقت .( على مكلف ) : وهو البالغ العاقل ، الذي بلغته دعوة النبي صلى الله عليه وسلم ولو كافرا .إذ الصحيح تكليفهم بفروع الشريعة كأصولها ، والتكليف : طلب ما فيه كلفة

HUKUM Suami Menikah Lagi dengan Adik Kandung Isterinya yang Meninggal

HUKUM Suami Menikah Lagi dengan Adik Kandung Isterinya yang Meninggal
Soal:  Saya mau tanya Bagaimana hukumnya seorang suami yang ditinggal wafat oleh isterinya kemudian sang suami menikah lagi dengan adik kandung isterinya yang meninggal tadi. Apakah boleh menikah seperti ini? Mohon ibarah kitabnya.

Jawab: 
Telah diketahui bersama bahwa mahram nikah itu terbagi dua yaitu Mahram Ta’bid (mahram selamanya) dan Mahram Ghairu Ta’bid (mahram tak selamanya). Mahram ta’bid meliputi hubungan kekerabatan, hubungan mertua menantu dan hubungan susuan. Sementara Mahram Ghairu Ta’bid adalah hubungan dengan saudari istri, bibi istri dan saudari susuan istri. Sifat mahram ini akan hilang dengan meninggalnya istri atau telah bercerai dengan istri.
Adanya hubungan mahram ini menyebabkan seorang lelaki muslim dilarang memperistri dua wanita bersaudara sekaligus sebagaimana firman Allah:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
“Jangan pula mengumpulkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (QS. An-Nisa: 23).
Juga sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu:
لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ المَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا، وَلاَ بَيْنَ المَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Tidak boleh menggabungkan antara seorang wanita dengan bibinya baik bibi dari ayah maupun dari ibu (dalam satu ikatan pernikahan yang sama).” (HR. Bukhari no. 5109 dan Muslim no. 1408).
Jadi kesimpulannya, yang dilarang dalam Islam adalah menikahi dua wanita bersaudara (adik kakak) dalam satu waktu. Namun ketika isteri sudah meninggal atau diceraikan dan telah habis masa iddahnya maka boleh menikahi adik atau kakak kandungnya. Hal ini pernah terjadi pada sahabat Utsman bin Affan yang menikahi dua putri Nabi SAW. Istri pertama Utsman adalah Ruqayyah, putri Nabi Muhammad SAW yang telah meninggal terlebih dahulu. Kemudian setelah itu ia menikahi saudarinya yaitu Ummu Kultsum. Wallahu a’lam.
(Dijawab oleh: Al Murtadho dan Kudung Khantil Harsandi Muhammad).
Referensi:
1. Asna al Mathalib juz 3 hal. 152
(قوله كالمرأة وأختها) قال في الوافي لو غاب مع زوجته ثم عاد وذكر موتها حل لأختها أن تتزوج به ولو غابت زوجته مع أختها ثم قدمت الأخت فذكرت موت أختها لم يحل له أن يتزوج أختها إلا بعد تيقن موتها قال والفرق أن الزوج مالك لبضع زوجته فلا يحل له أن يتزوج أختها إلا بعد تيقن موتها
2. Al Iqna' juz 2 hal. 419
(القول في التحريم غير المؤبد) ثم شرع في القسم الثاني وهو التحريم غير المؤبد بقوله (و) تحرم (واحدة من جهة الجمع) في العصمة (وهي أخت الزوجة) فلا يتأبد تحريمها بل تحل بموت أختها
3. Hasyiyah al Bujairamiy alal Khatib juz 3 hal. 425
ثم شرع في القسم الثاني وهو التحريم غير المؤبد بقوله (و) تحرم (واحدة من جهة الجمع) في العصمة (وهي أخت الزوجة) فلا يتأبد تحريمها بل تحل بموت أختها أو بينونتها لقوله تعالى: {وأن تجمعوا بين الأختين إلا ما قد سلف} النساء: 23
4. Fatwa Syar’iyyah no. 23707
هل علي الرجل عدة إذا تزوج بأخت زوجته المتوفاة ؟
الإجابــة: الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد
فإن الرجل ليس عليه عدة أصلاً، وإنما العدة تختص بالنساء، وإذا منع الرجل من الزواج لسبب ما، فليس ذلك من أجل العدة.
فإذا توفيت زوجة الرجل وأراد أن يتزوج أختها فليس عليه انتظار لانقضاء عدة الوفاة أو غيرها، لانقطاع الزواج بالموت.
صحيح أنه لا يمكن الجمع بينهما، كما قال تعالى: وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ [النساء:23].
ولا يتزوج أختها بعد طلاقها حتى تخرج من العدة إذا كان الطلاق رجعياً.. والله أعلم

HUKUM MEMBERIKAN HUTANG KEPADA ORANG LAIN

HUKUM MEMBERIKAN HUTANG KEPADA ORANG LAIN
Pada dasarnya memberikan hutangan kepada orang lain hukumnya sunah dan merupakan perbuatan yang baik, karena memberikan hutangan adalah wujud sikap tolong menolong dalam kebaikan yang dianjurkan oleh agama, sebagaimana firman Allah:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"Dan tolong menolonglah kalian atas kebaikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong menolong atas perbuatan dosa dan permusuhan." (QS. Al-Ma'idah : 2).
Jadi, karena tujuan disyari'atkannya memberikan hutangan (iqrodh) adalah karena unsur tolong menolong dalam kebaikan, maka apabila hutangan tersebut dikhawatirkan dipakai untuk kemaksiatan, hal tersebut sudah tidak lagi sesuai dengan tujuan awal sisyari'atkannya memberikan hutangan.
Sayyid Abdurrahman Al-Masyhur dalam ktab "Bughyatul Mustarsyidin" menjelaskan bahwa segala bentuk transaksi atau pemberian atau bantuan ini hukumnya tergantung penggunaannya. Apabila digunakan untuk hal yang tidak diharamkan menurut syara' maka hukumnya diperbolehkan meskipun yang kita bantu atau tolong itu adalah non muslim, sedangkan apabila jelas-jelas diketahui secara pasti atau kemungkinan besar akan digunakan untuk kemaksiatan, maka tidak diperbolehkan, dan apabila masih diragukan apakah akan digunakan untuk kemaksiatan atau tidak maka hukumnya makruh. Meski begitu transaksi tersebut dalam segala kondisi dihukumi sah.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa memberikan hutangan pada orang yang dikhawatirkan digunakan untuk maksiat transaksinya tetap dihukumi sah. Namun apabila memang diyakini atau kemungkinan besar dipakai maksiat maka hukumnya haram, dan apabila masih diragukan. Wallahu
(Dijawab oleh: Kudung Kanthil Harsandi Muhammad dan Siroj Munir)
Referensi:
1. Al-Bayan, juz 5 hal. 455
الإقراض مستحب، وفعل من أفعال البر؛ لقوله تعالى: {وتعاونوا على البر والتقوى} [المائدة: 2]. وفي الإقراض إعانة على البر
2. Bughyatul Mustarsyidin, hal.126
ﻣﺴﺄﻟﺔ : ﻱ : ﻛﻞ ﻣﻌﺎﻣﻠﺔ ﻛﺒﻴﻊ ﻭﻫﺒﺔ ﻭﻧﺬﺭ ﻭﺻﺪﻗﺔ ﻟﺸﻲﺀ ﻳﺴﺘﻌﻤﻞ ﻓﻲ ﻣﺒﺎﺡ ﻭﻏﻴﺮﻩ ، ﻓﺈﻥ ﻋﻠﻢ ﺃﻭ ﻇﻦّ ﺃﻥ ﺁﺧﺬﻩ ﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻪ ﻓﻲ ﻣﺒﺎﺡ ﻛﺄﺧﺬ ﺍﻟﺤﺮﻳﺮ ﻟﻤﻦ ﻳﺤﻞ ﻟﻪ ، ﻭﺍﻟﻌﻨﺐ ﻟﻸﻛﻞ ، ﻭﺍﻟﻌﺒﺪ ﻟﻠﺨﺪﻣﺔ ، ﻭﺍﻟﺴﻼﺡ ﻟﻠﺠﻬﺎﺩ ﻭﺍﻟﺬﺏ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﻔﺲ ، ﻭﺍﻷﻓﻴﻮﻥ ﻭﺍﻟﺤﺸﻴﺸﺔ ﻟﻠﺪﻭﺍﺀ ﻭﺍﻟﺮﻓﻖ ﺣﻠﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻠﺔ ﺑﻼ ﻛﺮﺍﻫﺔ ، ﻭﺇﻥ ﻇﻦ ﺃﻧﻪ ﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻪ ﻓﻲ ﺣﺮﺍﻡ ﻛﺎﻟﺤﺮﻳﺮ ﻟﻠﺒﺎﻟﻎ ، ﻭﻧﺤﻮ ﺍﻟﻌﻨﺐ ﻟﻠﺴﻜﺮ ﻭﺍﻟﺮﻗﻴﻖ ﻟﻠﻔﺎﺣﺸﺔ ، ﻭﺍﻟﺴﻼﺡ ﻟﻘﻄﻊ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﻭﺍﻟﻈﻠﻢ ، ﻭﺍﻷﻓﻴﻮﻥ ﻭﺍﻟﺤﺸﻴﺸﺔ ﻭﺟﻮﺯﺓ ﺍﻟﻄﻴﺐ ﻻﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﻤﺨﺬِّﺭ ﺣﺮﻣﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻠﺔ ، ﻭﺇﻥ ﺷﻚّ ﻭﻻ ﻗﺮﻳﻨﺔ ﻛﺮﻫﺖ ، ﻭﺗﺼﺢّ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻠﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺜﻼﺙ ، ﻟﻜﻦ ﺍﻟﻤﺄﺧﻮﺫ ﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﺤﺮﻣﺔ ﺷﺒﻬﺘﻪ ﻗﻮﻳﺔ ، ﻭﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﺃﺧﻒ

PERKARA YANG DAPAT MERUSAK AMAL-AMAL BAIK


1. Al istighlal bi’uyubil khalqi (sibuk dengan aib orang lain) sehingga lupa pada aib sendiri. Semut diseberang kelihatan sedang gajah dipelupuk mata tidak kelihatan..
2. Qaswatul qulub (hati yang keras) kerasnya hati terkadang lebih keras dari batu karang. Sulit menerima nasihat..
3. Hubbun dunya (cinta mati terhadap dunia) merasa hidupnya hanya di dunia saja maka segala aktifitasnya tertuju pada kenikmatan dunia sehingga lupa akan hari esok di akhirat..
4. Qillatul haya’(sedikit rasa malunya) jika seseorang telah kehilangan rasa malu maka akan melakukan apa saja tanpa takut dosa..
5. Thulul amal (panjang angan-angan) merasa hidupnya masih lama di dunia ini sehingga enggan untuk taubat..
6. Dhulmun la yantahi (kezaliman yang tak pernah berhenti) perbuatan maksiat itu biasanya membuat kecanduan bagi pelakunya jika tidak segera taubat dan berhenti maka sulit untuk meninggalkan kemaksiatan tersebut.
Semoga kita semua dijauhkan dari 6 perkara ini sehingga
tetap istiqomah dalam ketaqwaan. Aamiin

TANPA SYARIAT, TAREKAT DAN HAKEKAT TAK AKAN DI DAPAT


قال شيخنا العلامة الفقيه الحبيب زين بن إبراهيم بن سميط حفظه الله تعالى ورعاه :
الطريقة والحقيقة من غير فعل شريعة لن تحصلا
والمعنى أن الطريقة والحقيقة كلاهما متوقف على الشريعة فلا يستقيمان ولا يحصلان إلا بها.
فالمؤمن وإن علت درجته وارتفعت منزلته وصار من جملة الأولياء لا تسقط عنه العبادات المفروضة ولا تسقط عنه اجتناب المنهيات والمحرمات .
ومن زعم أن من صار وليا ووصل إلى الحقيقة سقطت عنه الشريعة فهو ضال مضل ملحد.
🙏🙏🙏
al-Allamah al-Faqih al-Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith Hafidzhahullah berkata :
Tanpa Syariat, Hakikat dan Tarekat tak akan di dapatkan.
Dalam arti, Hakikat dan Tarekat bergantung kepada Syari'at. Keduanya tidak akan berdiri tegak kecuali dengan Syari'at.

Kewajiban menjalankan yang wajib, dan keharusan menghindari yang Haram tak akan gugur dari Seorang mukmin, setinggi apapun derajat dan kedudukannya, meski ia telah masuk kedalam golongan wali-wali Allah.
Barang siapa yang menyangka bahwa dirinya telah menjadi wali yang sampai kepada hakikat sehingga syariat telah gugur baginya, makia ia adalah orang yang sesat menyesatkan tak berTuhan.

Makalah Metode Muqarin Dalam Menafsirkan Al-qur'an

Makalah Metode Muqarin Dalam Menafsirkan Al-qur'an
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Al-Qur’anul karim adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafat, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Al-Quranul karim dalam menerangkan hal-hal tersebut di atas, ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan dan sebagainya, dan ada pula yang dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja. Yang diterangkan secara umum dan garis-garis besarnya ini, ada yang diperinci dan dijelaskan hadist-hadist Nabi Muhammad SAW, dan ada yang diserahkan pada kaum muslim sendiri yang disebut Ijtihad.
            Kalau pada masa Rasul saw., para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada Rasul saw., maka setelah wafatnya mereka harus melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan, seperti Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya. Pada konteks seperti inilah, tafsir atas ayat-ayat Al-Quran diperlukan.
            Dalam perspektif 'ulum Al-Quran, setidaknya ditemukan beberapa terminology penafsiran yang sering digunakan yaitu tafsir Bi al-Ma'tsur, tafsir Bi al-Ra'yi dan tafsir Bil Iqtirani. Tafsir Bi al-Ma'tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat, yakni Penafsiran bersumberkan Al-Quran, Hadits, Riwayat Shahabat Ra. dan Tabi’in Ra. Tafsir Bi al-Ra'yi didefinisikan sebagai upaya menyingkap isi kandungan Al-Quran dengan ijtihad yang dilakukan dengan mengapresiasi eksistensi akal. Dan tafsir Bil Iqtirani (perpadun antara Bi al-Ma’tsur dan Bi al-Ra’yi)
           


B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian Tafsir  Iqtirani
2.      Bagaimana Contoh aplikasi Tafsir Iqtirani





BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Tafsir Iqtirani

            Pengertian tafsir menurut istilah ada berbagai pendapat para ulama, namun pada prinsipnya sama yakni saling melengkapi, sehingga dapat di simpulkan menjadi dua:

1.      Tafsir dalam arti sempit adalah menerangkan lafadz-lafadz ayat dan I’rabnya serta serta menerangkan segi-segi sastra susunan al-Qur’an dan isyarat-isyarat ilmiahnya.

2.      Tafsir dalam arti luas ialah menjelaskan petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan ajaran-ajaran hukum-hukum dan hikmah Allah didalam mensyariatkan hukum-hukum kepada umat manusia dengan cara yang menarik hati,membuka jiwa, dan mendorong orang untuk mengikuti petunjuk-Nya. 

            Tafsir bil iqtirani disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bi al-ra’yi yaitu menafsirkan Al-Quran yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat. Sedangkan metode tafsir muqarin sendiri adalah suatu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara membandingkan ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda, dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah yang sama dan atau membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadis-hadis Nabi yang tampak bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran Al-Qur’an kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecendrungan-kecendrungan masing-masing. Kemudian menjelaskan siapa diantara mereka yang penafsirannya dipengaruhi oleh perbedaan madzhab, dan siapa diantara mereka yang penafsirannya ditujukan untuk mendukung aliran tertentu dalam Islam di mana metode Muqarin ini menurut Ridlwan Nasir ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap tafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. 

            Sedangkan menurut Al Farmawi, adalah membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara masalah sama, ayat dengan hadits dengan menonjolkan segi-segi perbedaannya atau menafsirkan Al-Qur’an dengan cara membandingkan pendapat dari kalangan ahli tafsir mengenai sejumlah ayat Al-Qur’an, kemudian mengkaji penafsiran sejumlah penafsir melalui kitab-kitab tafsir mereka. 

            Menurut pendapat Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA Tafsir muqarin dapat juga dengan membandingkan satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya yakni mengkaji biografi mufassir yang diperbandingkan dan sistematika serta metode yang ditempuhnya berikut kecendrungan mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an. 

            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tafsir muqarin, dapat ditempuh dengan tiga alternatif, yaitu:

1.      Membandingkan antara sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dengan sebagian lainnya,dan langkah-langkahnya sebagai berikut:

a.       Menginventarisir ayat-ayat yang mempunyai kesamaan atau kemiripan redaksi.
b.      Meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut.
c.       Mengadakan penafsiran

2.      Membandingkan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan kepada yang ditulis para mufassir dengan langkah-langkahnya sebagai berikut:

a.       Memilih sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an
b.      Menentukan sejumlah mufassir yang akan di komparasikan pendapat-pendapat mereka tentang ayat-ayat tersebut
c.       Meneliti pendapat para mufassir tersebut dari kitab-kitab mereka
d.      Membandingkan kecenderungan-kecenderungan setiap mufassir dalam menerapkan metode penafsirannya.

3.      Membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya dari berbagai segi yang meliputi:

a.       Penyajian fakta yang terdiri dari biografi, latar belakang penyusunan dan karya-karyanya, kecenderungan dan dan alirannya, metode dan sistematika serta sumber tafsirnya
b.      Evaluasi segi-segi kesamaan dan perbedaannya.



B. Contoh aplikasi Tafsir Iqtirani

            Perbandingan ayat-ayat Al-Qur’an yang mirip secara redaksional:

وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيم)الأنفال:10)

وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِهِ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ (ال عمران: 126)

Dua ayat tersebut redaksinya kelihatan mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum muslimin ketika melawan musuh-musuhnya, namun berbeda pada hal-hal berikut. Surat al-Anfal (1) mendahulukan kataبه dari pada قلوبكم(2) memakai kata ان(3) berbicara mengenai perang badar. Surat Ali Imran: (1) memakai kata لكم (2) berbicara tentang perang uhud.

            Keterdahuluan kata به dan penambahan kata ان dalam ayat pertama diduga keras sebagai tauhid terhadap kandungan utama ayat, yakni bantuan dari Allah pada perang badar, mengingat perang itu yang pertama dan jumlah kaum muslimin sedikit, sedangkan dalam perang uhud tauhid itu tidak diperlukan, sebab pengalaman perang itu sudah ada dan umat islam sudah banyak dan pemakaian kata disini menandakan kegembiraan itu hanya bagi sahabat buka kegembiraan abadi seperti kasus ayat petama. 

            Bila ditinjau dari sisi kemiripan redaksionalnya antara ayat-ayat Al-Qur’an, maka terdapat 8 (delapan) kasus :

a.       Struktur kalimat yang berlawanan
Dalam surat al-Baqarah ayat 58:
وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ
Dan dalam surat Al A’raf ayat 161:
وَقُولُوا حِطَّةٌ وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا

b.      Penambahan dan pengurangan
Dalam surat Al-Baqarah ayat 57:
وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Dan dalam surat Ali Imran ayat 117:
وَلَكِنْ أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

c.       Mendahulukan dan mengakhirkan
Dalam surat Al Baqarah ayat 129:
يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ
dan dala surat Al Jum’ah ayat 2:
يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

d.      Ta’rif dan tankir
Dalam surat Al Baqarah ayat 126:
رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آَمِنًا
dan dalam surat Ibrahim ayat 35:
رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آَمِنًا

e.       Jama’ dan tunggal
Dalam surat Al Baqarah ayat 80:
وَقَالُوا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلَّا أَيَّامًا مَعْدُودَة
Dan dalam surat Ali Imron ayat 24:
قَالُوا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلَّا أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ

f.       Penggantian huruf dengan huruf lain
Dalam surat Al Baqarah ayat 35:
اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا
Dan dalam surat Al A’raf ayat 19:
اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلَا

g.      Penggantian kata dengan kata lain
Dalam surat Ali Imran ayat 47:
قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ
Dan dalam surat Maryam ayat 20:
قَالَتْ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ
h.      Idgham dan tanpa idgham
Dalam surat Al Nisa’ ayat 115:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ
Dan dalam surat Al Hasyr ayat 4:
وَمَنْ يُشَاقِّ اللَّهَ

            Untuk contoh alternatif yang ketiga adalah perbandingan antara kitab Tafsir Fi Dhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb dengan Tafsir Al Kasysyaf karya Az Zamakhsyari sebagaiman yang pernah dilakukan oleh Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir dimana beliau berkesimpulan sebagai berikut:
a.    Bila ditinjau dari segi sumber penafsirannya, maka Tafsir Fi Dhilalil Qur’an termasuk Tafsir Bi al-Iqtirani, sedangkan Tafsir Al Kasysyaf termasuk Tafsir Bil Ra’yi
b.      Bila ditinjau dari segi cara penjelasannya, maka kedua tafsir tersebut termasuk Tafsir muqarin
c.       Bila ditinjau dari segi keluasan tafsirnya, maka kedua tafsir tersebut termasuk tafsir bil Ithnabi
d.      Bila ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan, maka kedua tafsir tersebut termasuk kedalam tafsir Tahlily


























 BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Metode tafsir Al-Quran Tafsir Bil Iqtirani sumber penafsirannya dengan memadukan antara sumber riwayah yang kuat dan shahih dengan sumber hasil ijtihad pikiran yang sehat.

B.     Saran
            Dalam memahami al-qur’an dibutuhkan ilmu yang dikenal dengan istilah tafsir. Sekalipun demikian, aktivitas menafsirkan al-Qur'an bukanlah pekerjaan gampang, mengingat kompleksitas persoalan yang dikandungnya serta kerumitan yang digunakannya. Di dalam makalah ini, telah penulis bahas sedikit mengenai tafsir Iqtirani, akan tetapi makalah ini masih jauh dari materi yang sempurna, oleh karena itu penulis memberikan saran agar pembaca dapat mencari sendiri informasi lebih lengkap mengenai tafsir.








X-Steel - Wait