Latest Updates

MASALAH NAJISNYA ANJING

MASALAH NAJISNYA ANJING

Mayoritas orang Indonesia menganut mazhab Syafií, dan di dalam Mazhab ini “anjing”termasuk najis berat. Najis Mugallazah, dimana bila suatu barang di jilat anjing, maka barang tersebut harus di cuci tujuh kali, satu kali diantaranya dengan tanah.
Oleh karena itu maka anjing tidak boleh di perjual belikan. Uang hasil dari penjualan anjing adalah uang haram. Dan bila menyimpan anjing di dalam rumah maka Malaikat Rahmat tidak akan memasuki rumah tersebut.
Realitanya ada Fatwa yang timbul dikalangan Ummat yang mana menyatakan bahwa Anjing itu tidak Najis dan boleh diperjual belikan. Bahkan memelihara anjing di rumah didak apa apa. Oleh karena itu mari pelan pelan kita membahas permasalahan ini demi untuk memelihara Syariat Islam berdasarkan Al Qurán dan Hadist.
Hukum dalam Mazhab Syafií :
• Kitab “MINHAJ “ : Imam Nawawi
“Najis itu sekalian benda, yang cair yang memabukkan, Anjing, Babi dan anak anak yang terbit dari keduanya, Mayat ( selain mayat manusia, ikan dan belalang ) , darah, nanah, muntah, tahi, kencing, Madzi, Wadi, Mani ( selain mani manusia) dan mani hewan yang tidak dimakan. “
• Kitab “HINAYAH “ : Imam Ramli
“Dan yang Najis juga Anjing, walaupun anjing yang sudah terdidik” ( nahayah jus. I hal. 218).
• Kitab “FIQIH al ANWAR “: Syeikh Yusuf Ardabili
“Najis itu adalah Khamar, sekalan yang membikin mabuk, Anjing, babi dan anak yang terbit dari keduanya “( Al Anwar Jus. I Hal. 6)
• Kitab “MUGNI al MUHTAJ” : Imam Khatib Syarbaini
“Najis itu adala Anjing, walaupun anjing terdidik, karena hadist hadist yang tertulis dalam kitab Muslim “( mugni jus. I hal. 78 )
• KItab “Al UMM “ : Imam Syafi’I ra
“Kalau minum pada mangkok itu Anjing atau Babi, maka tidaklah bersih mangkok itu kecuali kalau di basuh 7 x “. ( Al UMM jus. I hal. 6 )
• Kitab “MAHALLI “ :
“Yang Najis juga Anjing dan Babi, dan keturunan keduanya. Keturunan itu baik anjing dan babi atau keturunan salah satuna dengan hewan yang suci. “ ( Mahalli I hal. 69 )
DALIL -DALIL FATWA
- Shahih Bukhari : H>R> Bukhori jus. I hal. 34
“dari Abu Hurairah Rda beliau berkata, berkata Rasulullah SAW : Apabila minum anjing di bejana ( Mangkok) kamu, maka hendaklah bejana itu di basuh 7 kali. “
- Hadist Muslim : H. R. Muslim js. I hal. 132 dan 133
- Hadist Abu Daud : H. R. Abu Daud jus. I hal. 19
- Syarah Muslim jus. III hal. 194
- H. R. Bukhori : Fathul Bari jilid I pag. 289
- H. R. Bukhori : Fathul Bari jilid 5 Pag. 331
“dari Ibnu Masad al Anshari beliau berkata, Bahwasahnya Rasulullah melarang menerima harga Anjing, uang karena Zina, dan upah tukang Tenung “.
- H. R. Abu Daud : Sunan Abu Daud III Hal. 279
“Dari Ibnu Abbas Rda : Melarang Nabi Muhammad menerima harga Anjing dan Babi. Dan Nabi Berkata : Kalau ada orang meminta harga Anjing maka penuhilah telapak tangannya dengan tanah “.
Demikianlah kesimpulan yang dapat diambil dalam permasalahan ini menurut Mazhab Syafi’I , semoga dapat menjadi pencerahan dan menafik fatwa yang bertentangan dengannya.

HUKUM MENYENTUH KITAB SUCI AL QURÁN


Al Qurán adalah kalam ALLAH SWT yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dan merupakan mukjizat baginya dan membacanya adalah ibadah.
Al Qurán adalah kitab suci umat islam yang berisi dan mengatur petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam hidup di dunia dan akhirat.
Al Qurán adalah kitab suci dengan arti yang sesunggunya sehingga tidak seorang pun bernajis di ijinkan untuk memeganmg Mushaf NYA ( Al Waqiah : 79 ).
Sedemikian tinggi mutu gubahannya dan susunan kata katanya serta sangat luas dan dalam isi dan maknanya, maka tiada seorang pun dapat menyusun kata kata yang serupa dengan AL Qurán. Baik dari bangsa Jin maupun manusia, itulah mukzijatnya ( Al Isra’: 88 ).
Didalam Mazhab Syafii, untuk menyentuh, memegang, membawa Mushaf ini di wajibkan berwudhu dulu. Karena kitab suci ini tidak boleh di sentuh oleh orang yang berhadast baik besar maupun kecil. Dan ini terjadi bukan hanya Mazhab Syafii saja, tetapi juga oleh Mazhab hanafi, Maliki, dan Hambali. Dinyatakan di butuhkan Wudhu lebih dahulu ( lihat kitab Fiqih menurut empat Mazhab jus. I hal. 47 – 48 ).
Fatwa fatwa dalam Mazhab Syafii :
Tersebut dalam kitab “Al – Minhaj “, karangan Imam Nawawi pada kitab Sholat ,: “dan haram hukumnya bagi orang yang berhadast mengerjakan sembahyang, Thawaf, memegang Mushaf dan menyentuh lembaran kertasnya, begitu juga kulitnya, menurut fatwa yang sahih “.
Tersebut dalam Kitab “Al – Muhadzab “ kitab induk bagi syarah Muhadzab karangan Abu Ishaq as Syirazi : “Dan haram hukumnya bagi orang yang berhadast menyentuh Mushaf, karena ALLAH berfirman : “Tidak boleh menyentuhnya kecuali orang yang suci :.
Tersebut dalam kitab “Fathul Mu’in “karangan syeikh Zainuddin Al Malibari yaitu kitab yang di syarahkan oleh syeikh sayid Abu Bakar Syatha dengan judul “I’natut Thalibin “yang merupakan kitab fiqih dalam mazhab Syafii yang berbunyi :
“Dan haramlah hukumnya bagi orang yang berhadast mengerjakan Sembahyang, Thawaf keliling Ka’bah , Sujud Tilawah, membawa Mushaf dan membawa apa saja yang tertuliskan Al Qurán diatasnya, walau hanya sebahagian ayat, seperti yang tertulis di atas papan pelajaran “( I’natut Thalibin , Jus. I hal. 65 ).
Dan hal ini juga tertulis dalam kitab Fiqih Syafii seperti kitab “Fathul Wahab “karya Imam Zakaria al Anshari, “IQNA “ karya Imam Syarbaini al Khatib dan lain lain.
Dalil - Dalil Fatwa :
• Firman ALLAH : Al Waqiáh : 77 – 80
Ayat ini menerangkan :
- Qurán itu Qurán yang mulia
- Qurán itu terpelihara ( tertulis ) dalam kitab sebaik baiknya.
- Tidak boleh menyentuhnya kecuali orang yang suci.
- Diturunkan oleh Tuhan seru sekalian alam.
Dalam ayat tersebut dapat di ambil pengertian bahwa :
a. Dalam susunan ayat ayat ini nyatalah bahwa yang d maksud dengan kalimat Al Qurán ( pada ayat 77 ) ialah Mushaf yang ada pada kita sekarang, karena pada ayat ke – 80 di jelaskan yang di turunkan dari Tuhan sekalian alam.
b. Didalam ayat ini terdapat Khabar , dengan arti Amar yakni : tidak menyentuh akan ia ( Al Qurán ) melainkan oang yang suci bersih dimana maksudnya bebas dari hadast.
c. Qurán suci diturunkan oleh ALLAH.
• Kitab Al Muwatha : Imam Malik ( Al Muwatha jilid I hal. 203 – 204 ) :
“Mengebarkan pada saya Yahya, diambil dari Malik, diambilnya dari Abdillah bin Abi Bakar bin Hazin bahwasahnya pada surat yang di kirim Rasulullah kepada Uman bin Hazim ( raja yaman ) bahwa tidak boleh memegang kitab Al Qurán selain orang yang bersih suci “.
Hadist tsb tidak hanya dirawikan oleh Imam Malik tetapi juga oleh Imam Nisni, Baihaqi, daruquthi dll. Sehingga derajat hadist ini menurut Imam Ibnu Abdil Birri sudah serupa dengan Hadist Mutawatir karena sudah diterima baik oleh Umum ( Firqus Sunrah Jus . I Hal . 94. )
Demikian disimpulan bahwa pendapat Imam 4 mempunya sandaran yang kuat dari Al Qurán dan Hadist Nabi. Bagi yang ingin mengetahui pendirian Imam Maliki, Hanafi, Syafii dalam soal ini dapat di lihat dalam kitab “Bidayatul Mujtahid “karangan Ibnu Rusyd jus. I hal. 41 dan pendalaman Imam Hambali pada kitab Fiqih menurut Mazhab 4 jus. I hal. 48.
Dengan demikian dalil dall tersebut telah mematahkan fatwa Ahli Zhahir yaitu Mazhab Daud Zhahiri yang memfatwakan “Menyentuh dan memegang Al Qurán tidak di butuhkan Wudhu leih dahulu karena menyama ratakan antara buku buku biasa dengan Mushaf Suci “.

MASALAH NABI SETELAH NABI MUHAMMAD SAW

MASALAH NABI SETELAH NABI MUHAMMAD SAW

Telah di sepakati oleh para ulama ASWAJA di seluruh dunia mengiqtikadkan dan memfatwakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi Akhir zaman, Nabi paling akhir dan tiada lagi nabi setelah Beliau. Hal ini di sebabkan karena banyaknya Hadist shohih yang tidak di ragukan lagi yang menyatakan hal serupa.
Namun dari zaman ke zaman ada saja orang yang bernafsu dan mendakwakan dirinya sebagai nabi. Pada zaman nabi saja ada 3 orang yang telah mengakui dirinya sebagai nabi : 
• Al Aswad al Ínsi di Yaman , beliau mati terbunuh oleh pasukan Khalid bin Walid yang di utus oleh Khalifah Abu bakar ra pada tahun 11 H.
• Musailamah al Khadzab di Yamamah , Nasib beliau juga sama seperti nasibnya Al Aswad al “Insi.
• Thulailah al Asadi dari khalifah bani Asad, akhirnya beliau bertaubat pada akhir usianya dengan masuk islam kembali.
Dari kisah para nabi palsu tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa Nabi dan para Sahabat menganggap bahwa orang yang mendakwakan dirinya menjadi nabi sesudah Rasulullah adalah Kafir dan harus diperangi. Nabi pernah mengatakan dalam hadistnya “bahwa jumlah mereka ( Nabi palsu ) akan mencapai 30 orang “.
Dari kesemuanya hingga saat ini yang paling luas pengaruhnya adalah Mirza Gulam Ahmad. Lahir di Qodiyan daerha Punjab India, tahun 1826 M dan wafat Tahun 1908 M di tempat yang sama. Faham Qodiyan ini menjalar ke eropa, amerika dan masuk juga ke Indonesia. Tetapi pada saat itu di Indonesia mendapat penolakan dan tantangan dari pihak pihak ASWAJA yang dengan gigih menolaknya.
• Alm. Syeikh Muhammad Jamil Jaho di Padang Panjang Sumbar, mengarang buku “NUJUMUL HIDAYAH FIRADDI AL AHLIL GIWAYAH ( bintang petunjuk untuk menolak kaum sesat )
• Alm. Syeikh Ahmad Sanusi , Gunung Puyuh mengarang buku “NURUL YAQIN FIMAHWI MADZHABIL LA’AIN “( cahaya keyakinan untuk menghapus Mazhab terkutuk ).
HUKUM DALAM SYARIAT ISLAM :
- NABI Muhammad adalah Nabi akhir zaman, tidak ada lagi setelah Beliau.
- Syariat Islam yang di bawa Beliau adalah yang paling akhir yang di turunkan kepada manusia.
- Barang siapa yang mendaqwakan dirinya menjadi Nabi setelah Nabi Muhammad , maka ia keluar dari Islam.
Demikianlah hokum dalam syariat Islam yang telah di pegang Ulama ulama dahulu sampai sekarang. Tersebut dalam kitab:
- Kitab “TUHFATUL MURID SYARAH JAUHARALUT TAUHID “ karangan Syeikh Al Bajuri pada PAG. 80 sebagai berikut : 
“dan telah di tentukan ( oleh ALLAH ) bahwa yang paling mulia ( Nabi MUHAMMAD ) mentempurnakan sekalian Rasul. Belian di utus untuk umum, Syariat syariatnya tidak di batalkan oleh syariat yang lain, walau zaman telah berganti. “
- Kitab “TAHQIQUL MAQAM ALA KIFAYATIL ÁWAAM FI ILMIL KALAAM “ pada Pag. 73.
- Kitab “ HUSUNUL HAMIDIYAH “ karangan Syeikh Husein bin Muhammad at Tharabilisi pada hal. 116.
- Kitab tafsir “AL MUHITH “ Jus ke VII pada Hal. 236.
Pendeknya kitab kitab Ushuluddin, Khususnya kitab kitab ASWAJA menerangkan bahwa IJMA’dalam Islam bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi akhir zaman dan siapa yang menentang IJMA’ tersebut maka kafirlah ia.

ADZAN DUA KALI MENJELANG SHALAT JUMÁT

ADZAN DUA KALI MENJELANG SHALAT JUMÁT

Pada awalnya untuk menandai datangnya shalat Jum’at dikumandangkan adzan satu kali, yaitu ketika khatib sedang duduk di mimbar. Praktek demikian berlangsung sejak jaman Rasulullah hingga Khalifah Umar bin Al Khatthab. Kemudian saat menjabat khalifah, Utsman bin Affan menambahkan satu adzan yaitu sesaat sebelum khatib naik mimbar. Hal itu dia lakukan dengan pertimbangan bahwa jumlah jamaah Jum’at mulai banyak dan tidak sedikit yang tempat tinggalnya jauh dari tempat dilaksanakannya shalat Jum’at. Oleh karena itu dibutuhkan satu lagi adzan yang menandakan bahwa shalat Jum’at akan segera dilaksanakan. Dalam Shahih al Bukhari dijelaskan:
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ إِنَّ الْأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرُوا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذِّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ [1]
“Dari Az Zuhri, dia berkata, “Aku mendengar As Sa’ib bin Yazid mengatakan, “Adzan pada hari Jum’at semula dilaksanakan keytika imam duduk di atas mimbar pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar. Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan jumlah jamaah semakin banyak, Utsman memerintahkan pelaksanaan adzan ketiga. Maka adzan ketiga itupun dilaksanakan di atas pasar Zaura’ lalu berlangsung hingga seterusnya”
Yang dimaksud dengan “adzan ketiga” adalah adzan sesaat menjelang khatib naik mimbar. Sedangkan adzan pertama adalah adzan setelah khatib duduk di mimbar dan adzan kedua adalah Iqamah.
Benar memang bahwa adzan dua kali dalam shalat Jum’at tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW. Meskipun demikian Utsman bin Affan melakukan suatu ijtihad dan tidak menghadapi penentangan dari Sahabat lain. Inilah yang disebut dengan Ijma’ Sukuty, yaitu kesepakatan para ulama—dalam kasus ini adalah para Sahabat—terhadap suatu hal, dimana kesepakatan itu terjadi melalui tidak adanya pihak yang ingkar. Diamnya mereka menandakan sikap setuju terhadap hukum yang ditetapkan.[2]
Karena itu sunnat bagi kita mengikuti ijtihad tersebut, yakni mengumandangkan adzan dua kali pada waktu shalat Jum’at, karena Rasulullah SAW menyatakan:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ[3]
“Bepeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah para pengganti yang andai dan mendapat hidayah”
RUJUKAN DALIL
[1] Shahih al Bukhari, nomor 865
[2] Al Mawahib Al Laduniyah, juz 2, hal. 249
[3] Musnad Ahmad bin Hambal, nomor 16519

Debat Abu Hanifah Dengan pendeta Yahudi

Debat Abu Hanifah Dengan pendeta Yahudi

“Pada suatu ketika, kota Baghdad kedatangan seorang pendakwah Yahudi bernama Dahri. Kedatangannya memicu kegemparan di kalangan umat Islam. Dahri mencoba merusak pegangan umat Islam dengan membahas soal-soal yang berhubungan dengan ketuhanan. Dicabarnya para ulama Baghdad untuk berdebat dengannya.
Setiap kali tantangannya disahut, argumen-argumen Dahri tidak pernah dapat dipatahkan sehingga akhirnya tidak ada lagi ulama Baghdad dan ulama-ulama disekitarnya yang sanggup berhadapan dengannya. Dari kejadiannya ini, tahulah Khalifah bahwa Baghdad sudah ketiadaan ulama yang benar-benar kredibel dan tinggi ketaqwaannya.
Lalu Khalifah memerintahkan beberapa orang menteri meninjau ke daerah lain, kalau-kalau masih ada ulama yang bisa dibawa menghadapi Dahri. Figur wakil Khalifah menemui Imam Hammad bin Abi Sulaimann Al-Asy ari, seorang ulama yang tidak kurang juga ketokohannya.
Khalifah memerintahkan hari perdebatan antara Imam Hammad dan Dahri disegerakan. Dan acara bersejarah itu harus dibuat di Masjid Jamek di tengah-tengah kota Baghdad. Sehari sebelum pertemuan itu lagi, Masjid Jamek telah penuh sesak dengan orang banyak. Masing-masng menaruh harapan agar Imam Hammad berhasil menumbangkan Dahri karena beliaulah satu-satunya ulama yang diharapkan.
“Subhanallah …. Subhanallah …. Walauhaulawala quwwata illa billahi aliyyil azim ….!” Lidah Imam Hammad terus melafalkan kalimat mensucikan segala tohmahan yang tidak layak untuk Zat yang Maha Agung. Dia beristighfar terus. Rasanya dah tidak sanggup telinganya menadah bermacam tohmahan yang dilemparkan oleh Dahri yang biadab dan matarialis itu. Mempertikaikan keesaan Allah SWT buukanlah hal kecil dalam Islam. Ini kasus berat! Hatinya cukup pedih. Roh ketauhidannya bergelora. Mau rasanya dipenngal leher si Dahri yang angkuh itu di depan ribuan mata yanng turut hadir dalam acara iru.
Keesokannya, pagi-pagi lagi muncul Abu Hanifah, murid Imam Hammad yang paling dekat dan paling disayanginya. Namanya yang sebenarnya adalah Nu ‘man, yang ketika itu usiannya masih remaja. Bila melihat kondisi gurunya itu, Abu Hanifah pun bertanya untuk mendapat kepastian. Lalu Imam Hammad menceritakan keadaan yang sebenarnya. Dalam pada itu teringat Hammad akan mimpinya malam tadi, lalu dikabarkan kepada muridnya itu. Abu Hanifah mendengarnya dengan penuh khusyuk.
“… Aku bermimpi ada sebuah dusun yang amat luas lagi indah. Di sana kulihat ada sepohon kayu yand rendanng dan lebat buahnya. Tiba-tiba, di situ keluar seekor babi dari ujung desa. Lalu habis dimakannya buah yang masak ranum dari pohon itu. Hingga ke daun dan dahan-dahannya habis ditutuh.Yang tinggal cuma batangnya sahaja.Dalam pada itu juga keluar seekor harimau dari umbi pohon rindang tadi lalu menerkam babi itu dengan gigi dan kukunya yang tajam.Lalu, babi tadi mati disitu juga . “
Hammad termenung seketika. Kekalutan pikiran yang telah dicetuskan Dahri, yang bisa menggeser pegangan aqidah umat ini, tidak bisa di biarkan. Harus dihapus segera. Wajahnya yang tenang bagai air sungai yang mengalir jernih, masih nampak bercahaya walau di saat begitu genting. Satu kelebihan Abu Hanifah adalah beliau juga dikaruniai Allah ilmu menta’bir mimpi, sebagai mana nabi Allah Yusuf. Pada pengamatannya juga, mimpi tersebut akan memberi pertanda baik bahwa si Dahri pasti akan menerima akibatnya nanti. Dan setelah mendapat izin gurunya, dia pun mencoba mentafsirnya:
“Apa yang tuan lihat dalam mimpi tuan sebagai dusun yang luas lagi indah itu adalah tamsilan kepada agama Islam kita. Pokok yang berbuah lebat itu adalah tamsilan kepada sekalian ulamannya. Sedangkan sepohon kayu yang masih tinggal itu adalah tuan sendiri. Dan babi yang tiba-tiba muncul dan merusak pohon tersebut adalah si Dahri. Sedangkan harimau yang keluar lalu membunuh babi tadi … adalah saya … “jelas Abu Hanifah.
Ia juga meminta izin untuk membantu gurunya menghadapi si Dahri. Betapa gembiranya hati Iman Hammad bila aksi hasrat itu dari hati muridnya sendiri. Maka berngkatlah ilmuwan budak itu bersama gurunya untuk pergi ke Masjid Jamek di mana acara dialog akan diadakan yang dihadiri oleh orang banyak dan Khalifah. Seperti biasanya, sebelum menyampaikan dakyahnya, Dahri akan menantang dan memperleceh-lecehkan ulama dengan bersuara lantang dari atas pentas.
“Hai Dahri, apalah yang digusarkan. Orang yang mengetahuinya pasti menjawabnya!” Tiba-tiba suara Abu Hanifah mengejutkan Dahri dan menyentakkan kaum Muslimin yang hadir. Dahri sendiri terkejut. Matanya memandang tajam mata Abu Hanifah.
“Siapa kamu hai anak muda? Berani sungguh menyahut cabaranku … Sedangkan ulama yang hebat-hebat, yang berserban dan berjubah labuh telah ku kalahkan …!” Volume suara Dahri membidas Abu Hanifah.
“Wahai Dahri,” balas Abu Hanifah, “sesungguhnya Allah tidak melimpahkan kemuliaaan dan kebesaran itu pada sorban atau jubah yang labuh. Tetapi Allah menganugerahkan kemuliaan kepada orang-orang yang berilmu dan bertaqwa.” Abu Hanifah lalu membacakan sebuah firman Allah SWT yang artinya:
“Allah telah meninggikan derajat orang beriman dan berimul antara kamu beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)
Geram rasanya hati Dahri mendengarnya kepetahan lidah pemuda ini mendebat. Maka berlangsunglah acara dialog.perdebatan antara Abu Hanifah dengan tokoh Ad-dahriayyah, yang terkenal dengan pemikiran materialisdan ateisnya itu, bertahan dengan mendebarkan.
“Benarkah Allah itu ada?,” Soal Dahri memulai acara dialog.
“Bahkan Allah memang ada,” tegas Abu Hanifah.
“Kalau Allah maujud (ada), di mana tempatnya ..??” Suara Dahri semakin meninggi.
“Allah tetap ada tetapi dia tidak bertempat!” jelas Abu Hanifah.
“Heran, kau kata Allah itu ada, tetapi tidak bertempat pula …?” bantah Dahri sambil melemparkan senyuman sinisnya kepada hadirin.
“Ah, itu senang saja wahai Dahri. Coba kau lihat pada dirimu sendiri. Bukankah pada dirimu itu ada nyawa …” Abu Hanifah mulai mendebat. Orang-orang mulai memperhatikan gaya ilmuwan muda ini berpidato dengan penuh minat.
“Bahkan, memang aku ada nyawa, dan memang setiap makhluk yang bernafas itu ada nyawa …!” sahut Dahri.
“Tetapi apakah kau tahu di mana letaknya nyawa atau rohmu itu …? Dikepalakah, diperutkah atau apakah dihujung situs kakimu ..?” Terserentak Dahri seketika. Orang-orang mulai berbisik-bisik di antara mereka. Setelah itu Abu Hanifah mengambil pula segelas susu lalu ditampilkan pada Dahri, seraya berkata: “Apakah dalam air susu ini ada terkandung lemak …?”
Cepat Dahri menjawab, “Ya, bahkan!”
Abu Hanifah bertanya lagi, “Kalau begitu dimanakah lemak itu berada …? Di bagian atasnyakah atau dibawahkah …?” Sekali lagi Dahri terserentak, tidak mampu menjawab pertanyaan Abu Hanifah yang sopan itu. “Untuk mencari dimanakah beradanya roh dalam jasad dan tersisip dimanakah konten lemak dalam air susu ini pun kita tidak upaya, masakan pula kita dapat menjangkau dimanakah beradanya Zat Allah SWT di alam maya ini? Zat yang telah menciptakan dan mengatur seluruh alam ini termasuk roh dan akal dangkal kita ini, pun ciptaan-Nya, yang tunduk dan patuh di bawah urusan tadbir pemerintah-Nya Yang Maha Agung …! ” Suasana menjadi agak bingar. Dahri terpaku di kursi. Terbungkam lidahnya. Merah mukanya. Kesabarannya mulai terburai. Bila kondisi agak reda, Dahri membentangkan pertanyaan.
“Hai anak muda! Apakah yang ada sebelum Allah. Dan apa pula yang muncul setelah Dia nanti …” Semua mata tertuju pada Abu Hanifah, murid Imam Hammad yang pintar ini.
“Wahai Dahri! Tidak ada suatu pun yang ada sebelum Allah Taala dan tidak ada sesuatu pun yang akan muncul setelah-Nya. Allah SWT tetap Qadim dan Azali. Dialah yanng Awal dan Dialah yang Akhir”, tegas Abu Hanifah, singkat tapi padat.
“Pelik sungguh! Mana mungkin begitu …. Tuhan Wujud tanpa ada permulaan Nya? Dan mana mungkin Dia pula yang terakhir tanpa ada lagi yang setelah Nya ….?” Dahri mencoba berdalih dengan pikiran logika.
Dengan tersenyum Abu Hanifah menjelaskan, “Ya! Dalilnya ada pada diri kamu sendiri. Coba kau lihat pada ibu jari mu itu. Jari apakah yang kau nampak berada sebelum jari ini ..?” Sambil menuding ibu jarinya ke langit. Dan beberapa hadirin juga melakukan hal. “Dan pada jari manis kau itu, ada lagikah jari yang berikutnya …” Dahri membalik-balik jarinya. Tidak berpikir dia persoalan yang sekecil itu yang diambil oleh Abu Hanifah. “Jadi …! Kalaulah pada jari kita yang kecil ini pun, tidak mampu kita pikir, apalagi Allah Zat Yang Maha Agung itu, yang tidak satu pun yang mendahului-Nya dan tiada sesuatu yang kemudian setelah-Nya.”
Sekali lagi Dahri tercenggang. Bungkam. Namun masih tidak berputus asa untuk mematahkan argumen anak muda yang telah memalukannya di muka umum. Khalifah kagum melihatnya gelagat Dahri dengan penuh tanda tanya. Dahri berpikir seketika, menemukan jalan, mencari ide. Seperti suatu ilham baru telah menyuntik mindanya, iapun tersenyum. Hati Dahri bergelodak bagai air tengah mendidih.
“Ini pertanyaan yang terakhir buat mu, hai .. budak mentah!” Sengaja Dahri mengeraskan suaranya agar rasa malunya itu terperosok.
“Allah itu ada, kata mu. Ha! Apakah pekerjaan Tuhan mu saat ini?” Pertanyaan tersebut membuat Abu Hanifah tersenyum riang.
“Ini pertanyaan yang sungguh menarik. Jadi kenalah terjawab dari tempat yang tinggi agar dapat didengar oleh semua orang,” katanya. Pemuda ideologi Ad-Dahriyyun yang sedari tadi mentalitinya ditantang terus, berjalan turun meninggalkan mimbar masjid Jamek, memberi tempat untuk Abu Hanifah:
“Wahai sekelian manusia. Ketahuilah bahwa kerja Allah ketika ini adalah menggugurkan yang bathil sebagaimana Dahri yang berada di atas mimbar, diturunkan Allah ke bawah mimbar. Dan Allah juga telah menaikkan yang hak sebagaimana aku, yang berada di sana, telah dinaikkan ke atas mimbar Masjid Jamek ini …! “
Bagai halilintar, argumen Abu Hanifah menerjang ke dua-dua pipi Dahri. Seiring dengan itu bergemalah pekikan takbir dari massa. Mereka memuji-muji kewibawaan Abu Hanifah yang telah berhasil menyelamatkan martabat Islam dari lidah Dahri yang sesat lagi menyesatkan itu. Sampai saat ini, nama Imam Abu Hanifah terus dikenal keserata dunia sebagai seorang Fuqaha dan salah seorang dari Imam Mujtahid Mutlak yang empat. Kemunculan Mazhab Hanafi dalam fiqh Syar’iyyah, juga mengambil sempena nama ulama ini.

KEADAAN UMMAT AKHIR ZAMAN

KEADAAN UMMAT AKHIR ZAMAN

“Kelak akan datang di akhir zaman segolongan manusia, di mana wajah-wajah mereka adalah wajah manusia, namun hati mereka adalah hati syaitan; seperti serigala-serigala buas, tidak sedikit pun di hati mereka rasa belas kasihan. Mereka gemar menumpahkan darah dan tidak berhenti dari (melakukan) kekejian.
Apabila kamu mengikuti mereka, maka mereka akan memperdaya kamu. Akan tetapi, apabila kamu menghindari mereka, maka mereka akan mencela kamu.
Apabila berbicara dengan mereka, mereka akan membohongi kamu. Dan apabila kamu memberinya kepercayaan, mereka akan mengkhianatinya.
Anak kecil mereka jahil, pemuda mereka licik. Sementara yang tua tidak menyuruh berbuat baik dan melarang yang yang mungkar. Mereka itu sentiasa membangga diri dalam kehinaan.
Orang yang santun di tengah mereka adalah sesat, dan orang yang menyuruh kepada perbuatan ma’ruf malah menjadi tertuduh.
Orang beriman di kalangan mereka adalah lemah, sedangkan orang fasiq menjadi mulia.
Sunnah di tengah mereka adalah bida’ah, sedangkan bida’ah itu sendiri adalah sunnah. Maka ketika itu mereka dikuasai oleh orang-orang paling jahat di antara mereka. Sedangkan orang pilihan apabila ia menyeru, pasti tidak akan dihiraukan.”
(Hadith Riwayat Thabrani- Kitab Al-Mu’jam Al-Kabir)
Mesjid Dijadikan Tempat Untuk Urusan Dunia Saja
Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: Akan datang kepada manusia suatu masa, percakapan mereka dalam masjid hanyalah mengenai urusan dunia semata. Allah tidak memerlukan mereka. Dan janganlah kamu duduk bersama mereka (pada waktu dalam masjid);-
(Riwayat Hakim).
Kebanggaan Masyarakat Membina Masjid
Daripada Anas bin Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: Tidak akan tiba hari kiamat, sehingga manusia bermegah-megah dan berlebih-lebihan dalam urusan masjid
(Riwayat Abu Dawud).
Penipuan Bertopengkan Agama
Rasulullah s.a.w, bersabda: Akan tampil di akhir zaman manusia-manusia yang melakukan tipu daya dengan memakai topeng agama. Mereka menyuruh manusia memakai pakaian yang dibuat dari bulu domba (bulu kambing) yang halus, lidah mereka lebih manis berbanding gula, sedang hati mereka laksana hati serigala.
(Riwayat Tirmidzi).
Menggadaikan Agama Karena Dunia
Daripada Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Akan timbul di akhir zaman orang-orang yang mencari keuntungan dunia dengan menjual agama. Mereka menunjukkan kepada orang lain pakaian yang dibuat daripada kulit kambing (berpura-pura zuhud dari dunia) untuk mendapat simpati orang ramai, dan percakapan mereka lebih manis daripada gula. Padahal hati mereka adalah hati serigala (mempunyai tujuan-tujuan yang jahat). Allah s.w.t. berfirman kepada mereka: "Apakah kamu tertipu dengan kelembutan Ku?, Ataukah kamu terlampau berani berbohong kepada Ku?. Demi kebesaran Ku, Aku bersumpah akan menurunkan suatu fitnah yang akan terjadi di kalangan mereka sendiri, sehingga orang yang alim ( cendikiawan ) pun akan menjadi bingung (dengan sebab fitnah itu)".
(Riwayat Tirmidzi).
Munculnya Golongan yang Ingkar Pada As-sunnah
Dari Abu Hurairah r.a. bahawa Rasulullah s.a.w bersabda: Akan datang suatu kaum yang mematikan (menolak untuk menggunakan dasar) as-sunnah dan menyangkal tentang agama. Maka atas merekalah laknat Allah, laknat orang-orang yang melaknat, laknat Malaikat serta laknat semua manusia;-
(Riwayat Ad Dailami).
Datangnya Golongan Anti Hadist
Daripada Miqdam bin Ma'dikariba r.a. berkata: Bahwanya Rasulullah s.a.w. bersabda, "Hampir tiba suatu masa di mana seorang lelaki yang sedang duduk bersandar di atas katilnya, lalu disampaikan orang kepadanya sebuah hadis daripada hadisku maka ia berkata : "Pegangan kami dan kamu hanyalah kitabullah (al-Quran) saja. Apa yang dihalalkan oleh al- Quran kami halalkan. Dan apa yang ia haramkan kami haramkan". Kemudian Nabi s.a.w. melanjutkan sabdanya: "Padahal apa yang diharamkan oleh Rasulullah s.a.w. samalah hukumnya dengan apa yang diharamkan oleh Allah s.w.t.";-
(Riwayat Abu Daud).
Golongan yang Menjadikan Lidahnya Sebagai Alat untuk Mencari Makan
Daripada Sa'ad bin Abi Waqash r.a. berkata bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: Tidak akan terjadi kiamat, sebelum muncul suatu golongan yang mencari makan melalui lidah-lidah mereka, seperti sapi yang makan dengan lidah-lidahnya.
(Riwayat Ahmad).
X-Steel - Wait