Latest Updates

BURDAH BAIT 3 & 4

BURDAH BAIT 3 & 4

 Al-Bushiri, setelah bertanya dengan sosok yang ia buat, tentang sebab air mata yang mengalir tanpa henti hingga bercampur dengan darah, apakah ia karena teringat sang Kekasih di Salam, atau sebab hembusan angin yang membawa aromanya, atau karena kilatan petir yang memperlihatkan jelas tempat tinggalnya, sosok itu hanya terdiam. Tidak ada satu jawaban pun yang keluar. Seolah sosok tersebut mengingkari semua alasan yang telah disebut Al-Bushiri. Ia tidak mau mengakui apa yang sedang hatinya rasakan. 


Akhirnya, Al-Bushiri mulai mengungkap bukti-bukti yang tidak mungkin ia pungkiri:


فما لعينيك إن قلت اكففا همتا * وما لقلبك إن قلت استفق يهم


“Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan kedua matamu, setiap kali kamu memintanya untuk berhenti menangis, justru semakin deras air mata yang mengalir. Juga apa yang sebetulnya hatimu sedang rasakan? Setiap kali kamu minta ia untuk sadar, justru semakin hilang kendali dalam rindu.”


Orang-orang yang mengerti akan faham, bahwa mata akan membongkar semua rahasia. Ia mampu menyampaikan kalimat rindu saat lidah terdiam bisu, ia ahli dalam mengungkapkan cinta saat seluruh tubuh terdiam. Sebagaimana sosok yang diajak bicara oleh Al-Bushiri, meskipun ia tidak memberikan jawaban, tapi mata yang mewakili isi hatinya. Bahkan ia lebih kuat sebagai dalil dari pada hanya untaian kata. 


Begitu juga hati seseorang yang sedang hilang kendali dalam cinta, ia tidak akan pernah tunduk dengan apa yang diperintahkan oleh akal. Cinta itu kini mulai membuat hati buta. Akal yang tidak lagi mampu menanggung rasa, tetap hati hadapi sebagai pengorbanan. 


**


Setelah sosok yang diajak bicara hanya terdiam bisu, kini ia tidak lagi berbicara dengannya:


أ يحسب الصب أن الحب منكتم * ما بين منسجم منه ومضطرم


“Apakah orang yang sedang merindu (al-shabb) itu mengira bahwa cintanya dapat tersembunyi begitu saja? Padahal ada air mata yang mengalir dan hati yang diliputi api kerinduan yang membara?”


Al-Bushiri merubah dhamir dalam susunan bait syiirnya, yang tadinya mukhatab kepada sosok tersebut, kini ia gunakan dhamir ghaib, yang dikenal dengan istilah al-Iltifat, agar pembaca tidak bosan. 


Beliau dalam bait ini, juga menggunakan istifham al-inkari, pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, yang tujuannya hanya untuk membantah lawan bicara; sebab sosok yang awalnya di ajak bicara tidak mengakui bahwa air mata yang keluar tersebut bukan disebabkan kekasih. 


Tapi memang begitu tabiat pecinta, pada awalnya ia memang enggan untuk mengutarakan rasa yang ada di hatinya. Mungkin, ada dua sebab: yang pertama, cinta selalu saja membuat pemiliknya terlihat lemah, ia begitu terikat dengan sang kekasih, apapun yang kekasih inginkan pasti ia turuti. Cinta membuat lemah yang kuat, membuat lembek orang yang tegar, oleh karenanya mereka selalu berusaha untuk menutupi kerinduannya. 


Di sisi lain, para Wali Allah, yang begitu perhatian dengan ikhlas, mereka enggan mengatakan air mata yang mengalir itu karena rindunya kepada Allah dan Rasul-Nya, hingga bisa jadi, penyakit riya akan menghinggapi cinta mereka tersebut. Oleh karena itu, ada ungkapan: al-Rijal dumu'uhum tasilu tahta juludihim. (Orang yang kuat akan mengalirkan air matanya di bawah kulit mereka). 


Al-Hamdani pernah berkata:


 بلى أنا مشتاق وعندي لوعة ** ولكن مثلي لا يذاع له سر


“Betul! Aku adalah seorang perindu, dan aku punya rasa perih dan nyeri dalam kalbu. Tapi orang yang sepertiku, bukanlah orang yang suka menyebarkan rahasia, sepertimu.”


إذا الليل أضواني بسطت يد الهوى * وأذللت دمعا من خلائقه الكبر


“Namun saat malam tiba, ia membuatku lemah tak memiliki kuasa, aku hamparkan rasa cinta yang ku pendam, dan aku alirkan air mata yang tertahan.”


Begitulah para pecinta. Begitulah orang yang cinta kepada Rasulullah, mereka tidak akan pernah lalai dari mengingat kekasih, bagaimana bisa mereka melupakannya? Jika sedang makan, makan, tidur, yang teringat hanyalah sang kekasih. Rasulullah ada di setiap sisi hidup mereka. 


Di antara mereka ada yang memiliki cinta, rindu hingga mengantarkan mereka kepada kematian. Syahid memiliki banyak tingkatan. Dan yang paling tinggi adalah syahid cinta; yaitu orang yang wafat karena terbunuh dengan pedang cinta dan rindu. 


Sayyidatina Fathimah RA. setelah wafatnya Rasulullah, hatinya terasa seperti terpotong, jiwanya seperti terbakar rasa rindu, ia tidak mampu menanggung hidup tanpa dibersamai oleh Rasulullah. Tidak lama beliau menanggung rindu, 6 bulan setelahnya, Sayyidatina Fathimah pun menyusul kekasihnya. 


Sayyidina Abu Bakr Al-Shiddiq, khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah. Jika disebut Rasulullah dalam mimbar, beliau akan menangis, dan terus menangis, hingga tangisan itu membuat semua orang yang hadir juga ikut menangis. Tidak lama beliau memimpin, akhirnya beliau juga menyusul Rasulullah. Ulama berkata: Abu Bakar wafat dengan pedang kerinduan. 

BURDAH BAIT 2

BURDAH BAIT 2

Setelah Imam Al-Bushiri bertanya pada bait pertama tentang sebab keluarnya air mata yang bercampur dengan darah, apakah karena teringat Sang Kekasih yang ada di Salam? Sosok yang diajak bicara belum memberikan jawaban.


Al-Bushiri kembali bertanya kepada sosok itu:


أم هبت الريح من تلقاء كاظمة * وأومض البرق في الظلماء من إضم


Apakah darah yang keluar dari mata itu, karena ingatanmu tentang angin (Rihh) yang berhembus dari arah tempat tinggal Sang Kekasih, atau karena kilatan petir yang menyinari gelapnya malam pada Gunung idhami (nama gunung di Madinah)?


Al-Bushiri bertanya tentang hembusan angin karena seorang yang sedang dibendung oleh cinta akan terus memikirkan Sang Kekasih. Tiap detik waktu yang dia miliki hanya dihabiskan untuk merenung, memikirkan keindahan Kekasih. Maka jika datang angin yang berhembus dari arah tempat tinggalnya, khayalannya kembali datang bahwa yang datang adalah aroma Sang kekasih, dan mulailah air mata rindu itu kembali mengalir, hingga jika ia kering, darah lah yang akan menjadi penggantinya.


Al-Bushiri juga memilih kata (Rih) dalam menyebut angin dengan kalimat mufrad (tunggal) yang mana biasanya jika ia datang dengan mufrad, maknanya diartikan dengan angin yang kencang yang bahkan bisa membahayakan manusia. Sebagaimana pada Ali Imran, Allah berfirman:


مَثَلُ مَا يُنْفِقُونَ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رِيحٍ فِيهَا صِرٌّ أَصَابَتْ حَرْثَ قَوْمٍ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَأَهْلَكَتْهُ.


Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya.


Pemilihan kalimat Riih oleh Al-Bushiri, seolah ia ingin mengatakan bahwa angin yang berhembus itu menstimulasi rasa rindu menjadi semakin panas dan meninggi, yang awalnya kerinduan itu hanya sebatas bayangan yang terlintas atau kegelisahan yang berat, kini berubah menjadi tangisan yang tiada henti hingga darah menjadi mengalir, yang bisa saja, jika darah tersebut terus mengalir akan membuat jasmani orang yang merindu dalam keadaan bahaya karena kehabisan darah.


Atau Al-Bushiri ingin mengartikan Riih bukan angin, tapi aroma (raihah) sang kekasih yang hadir tanpa adanya hembusan. Ia hadir begitu saja. Sebab pecinta, sensitifitasnya akan sangat tajam kepada setiap sesuatu yang berhubungan dengan orang yang ia cintai. Ini seperti apa yang pernah terjadi pada Nabi Ya'qub yang waktu itu juga merindukan anaknya, Nabi Yunus, di dalam ayat itu, beliau juga menggunakan kata Riih (hembusan angin) tapi yang diinginkan adalah aroma. Allah berfirman:


وَلَمَّا فَصَلَتِ ٱلْعِيرُ قَالَ أَبُوهُمْ إِنِّى لَأَجِدُ رِيحَ يُوسُفَ


Tatkala kafilah itu telah ke luar (dari negeri Mesir) berkata ayah mereka: "Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf.


**


Dua bait Burdah ini seakan memberikan isyarat tentang fungsinya wasilah dalam menyambung hubungan yang melonggar. Mungkin saat ini, kerinduan belum bisa menguat, tapi melihat kubah hijau, atau dengan menyebut nama Kekasih, rindu itu kembali membuncah. Sebagaimana dalam dua bait ini, kerinduan sang perindu itu semakin naik setelah ada ingatan yang datang, atau hembusan angin yang lewat, atau kilatan petir yang membuat rumah sang kekasih terlihat dari jarak jauh. 


BURDAH BAIT 1

BURDAH BAIT 1



أ من تذكر جيران بذي سلم ** مزجت دمعا جرى من مقلة بدم.


“Apakah karena teringat sang kekasih yang berada di Salam (nama pohon yang tumbuh di antara Mekkah dan Madinah), tercampur air mata yang mengalir dari kelopak matamu dengan darah?”


Imam Al-Bushiri memulai Qasidahnya dengan menampilkan sesosok orang lain selain dirinya, untuk ditanyakan tentang perasaan cinta kepada sang kekasih. Cara ini dikenal oleh para ahli bahasa dengan nama Al-Tajrid, yaitu menghilangkan diri sang penyair, dan menampilkan sosok orang lain sebagai titik pembicaraan. Kemudian, Al-Bushiri mulai bertanya kepada sosok itu, tentang sebab darah itu keluar dari matanya? Apakah karena teringat sang kekasih? Seolah Al-Bushiri malu, merasa tidak pantas untuk menampakkan cinta kepada Rasulullah, oleh karena itu beliau tampilkan sosok lain dengan menggunakan cara Tajrid ini. 


Salam, merupakan nama pohon yang tumbuh di antara Mekkah dan Madinah yang biasa digunakan oleh para musafir untuk berteduh. Oleh karenanya, pohon ini digunakan oleh Al-Bushiri sebagai icon kerinduan nagi para musafir. Karena Sang kekasih pernah berteduh di sana, atau karena di perjalanan, para musafir selalu rindu dengan tempat berteduh.


Kalimat (جيران) arti asalnya merupakan tetangga, namun yang diinginkan oleh Al-Bushiri adalah Sang Kekasih, yaitu Nabi Muhammad. Kalimat ini juga seolah memberikan isyarat, bahwa para pecinta nantinya akan hidup berdampingan dengan Sang

Kekasih di Dar Al-Salam (surga). 


Penggunaan kalimat (ذي), memberikan nilai penghormatan, cinta dan pengagungan kepada kata yang disebutkan sebelumnya. Sebagaimana ayat menyebutkan, Allahu Dzul Arsyil Majid, yang tidak hanya memberikan arti Allah memiliki Asry, tapi Allah lebih mulia dari Arsy. Karena susunan kata yang menggunakan kalimat (ذي) menunjukkan kata sebelumnya lebih mulia. 


Berbeda dengan kalimat (Shahib) yang menujukan kata sebelumnya berada lebih bawah dari kata yang berada di setelahnya. Sebagaimana kita mengatakan, Abu Bakr Shahib Rasulillah, dan kita tidak mengatakan Rasulullah Shahib Abu Bakr. Karena susunan yang pertama, Abu Bakr Shahib Rasulullah, selain menunjukkan kebersamaan Abu Bakr dengan Rasulullah, tapi juga memberikan arti Abu Bakr derajatnya berada di bawah Rasulullah. 


Apakah karena mengingat Sang Kekasih di Salam, air mata yang keluar dari kelopak mata itu keluar tercampur dengan darah? 


Cinta yang luar biasa dari orang tersebut membuat air mata rindu yang terus menerus keluar kini kering, karena rindu memang terasa panas dalam hati, yang membuat air mata mengering, dan membuat aliran darah terluka dan pecah, hingga akhirnya, keluar darah sebagai pengganti air mata yang mengering.



X-Steel - Wait