BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam al-Qur’an banyak
ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dari
penciptaan. Manusia merupakan makhluknya yang paling sempurna dan sebaik-baik
ciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran. Dalam hal ini, Ibnu ‘Arobi
misalnya melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa, “tak ada makhluk
Allah yang lebih bagus daripada manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui,
berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berpikir, dan memutuskan. Manusia
adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua
pembawaan dan syarat-syarat yang ditemukan bagi mengembangkan tugas dan
fungsinya sebagai makhluk Allah di muka bumi. Jadi, memang benar kalau manusia
adalah seorang yang sudah sepantasnya sebagai pengajar dan yang diajar ilmu,
diantaranya adalah Filsafat Pendidikan Islam.
Hampir seluruh disiplin
keilmuan dalam memberikan atau dalam proses belajar mengajarnya menggunakan
metode. Bagaimana suatu penyelidikan filsafat dilakukan dari sudut pandang
serta obyek material apa yang akan diselidiki, akan menentukan metode yang apa
yang dan cocok dipakai. Tepat dan tidaknya metode yang dipergunakan akan
menentukan keberhasilan penyelidikan kefilsafatan tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian di atas,
kami dari pemakalah dapat menemukan beberapa permasalahan yang terkait
dengan metode mempelajari filsafat pendidikan islam, berbagai permasalahan
tersebut antara lain:
1. Apa pengertian metode dalam filsafat pendidikan Islam?
2. Bagaimana metode mempelajari filsafat pendidikan Islam?
3. Bagaimana metode pengembangan filsafat pendidikan Islam?
4.
Apa hakikat kejadian manusia sebagai makhluk
pedagogik dalam Islam?
5.
Bagaimana pandangan islam tentang teori
nativisme, empirisme, kovergensi?
6.
Apa potensi-potensi dasar manusia dan implikasi
terhadap pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Metode dalam Filsafat
Pendidikan Islam
Secara literal metode
berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalan. Jadi metode
berarti jalan yang dilalui. Runes, sebagaimana dikutip oleh Mohammad Syam,
secara teknis menerangkan bahwa metode adalah :
1. Sesuatu prosedur yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan.
2. Sesuatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu
pengetahuan dari suatu materi tertentu.
3. Suatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.[1]
Menurut Abudin Nata
metode dapat pula membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali, dan
mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.[2]
Sementara itu
al-Syaibany, yang juga dikutip oleh Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar dalam buku
Filsafat Pendidikan Islam menjelasakan bahwa metode pendidikan adalah segala
segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka
kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan
peserta didiknya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan membimbing peserta
didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang
dikehendaki pada tingkah laku mereka. Dari sudut pandang filosofis, metode
adalah merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan.[3]
B.
Metode Mempelajari Filsafat Pendidikan Islam
Pengertian filsafat
dapat dilihat dari dua segi:
1. Dari segi praktis, filsafat merupakan aktivitas pikir murni, atau kegiatan
akal manusia untuk memahami secara mendalam terhadap segala sesuatu.
2. Dari segi teoritis, maka filsafat merupakan produk dari kegiatan berfikir murni.
Jadi merupakan suatu wujud “ilmu’ sebagai hasil pemikiran dan penyelidikan
berfilsafat itu. [4]
Menurut Jalaluddin dan
Usman Said, yang juga dikutip oleh Abdul aziz dalam Buku filsafat Pendidikan
Islam, pada garis besarnya ada dua pendekatan pokok dalam mempelajari Filsafat
pendidikan Islam, yaitu :
1. Pendekatan terhadap Wahyu
Merupakan pendekatan
pokok dalam mengkaji konsep-konsep wahyu secara filosofis dan analitis.
2. Pendekatan terhadap Sejarah
Adalah pendekatan yang
sejarah yang dilakukan melalui pengkajian hasil pemikiran ulama’ (cendekiawan)
Islam di masa silam.
Filsafat Pendidikan
Islam dalam memecahkan problem pendidikan Islam dapat menggunakan metode-metode
antara lain:
1. Metode Spekulasi dan Kontemplatif
Dalam sistem filsafat
Islam disebut tafakkur. Baik
kontemplatif maupun tafakkur adalah
berpikir secara mendalam dan dalam situasi yang tenang, sunyi, untuk
mendapatkan kebenaran tentang hakikat sesuatu yang dipikirkan. Maka, ia
berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Misalnya hakikat hidup menurut Islam,
hakikat Iman, sifat tuhan, taqdir, malaikat, dan sebagainya.
2. Pendekatan Normatif
Maksudnya adalah
mencari dan menetapkan aturan-aturan dalam kehidupan nyata dalam filsafat
islam, yang biasa disebut sebagai pendekatan syari’iyyah, yaitu mencari ketentuan dan menetapkan ketentuan
tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh menurut Syari’at Islam. Metode
ijtihad dalam fikih seperti Istihsan, maslahah mursalah, al-adah muhakamah,
adalah merupakan contoh-contoh metode normatif ini dalam sistem filsafat Islam.
3. Pendekatan Analisa Konsep
Pendekatan analisa
konsep disebut juga analisa bahasa. Yang menjadi bahan analisa adalah nash-nash
Al-Qur’an maupun hadits Nabi.
4. Pendekatan Historis
Pendekatan ini
dilakukan dengan cara mengambil pelajaran dari peristiwa dan kejadian masa
lalu. Penggunaan sunnah nabi SAW, sebagai sumber hokum dan penelitian
hadits-hadits yang menghasilkan pemisahan antara hadits palsu dan hadits shahih
pada hakikatnya merupakan contoh praktis dari penggunaan analisis historis
dalam Filsafat Pendidikan Islam.
5. Pendekatan Ilmiah
Pendekatan ilmiah
merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari pola berpikir rasional, empiris
dan eksperimental yang telah berkembang pada masa jayanya filsafat dalam Islam.[5]
6. Pendekatan Komprehensif dan Terpadu
Merupakan pemahaman
atau pendalaman yang terpadu antara sumber-sumber naqli, aqli, imani.
Pendekatan ini lebih mendekati pola berpikir yang empiris dan intuitif.[6]
Setelah menggunakan
metode-metode tertentu, sebagaimana telah diterangkan diatas, akan memperoleh
sejumlah data yang diperlukan. Untuk selanjutnya dianalisa dalam rangka
memperoleh kesimpulan hasil penyelidikan pemikiran pendidikan Islam.[7]
C.
Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam
Sebagai sebuah disiplin
ilmu, filsafat pendidikan Islam sudah dipastikan memiliki metode pengembangan
dan pengkajiannya yang khas, karena metode inilah sesungguhnya yang memberikan
petunjui operasional dan teknis dalam mengemabangkan suatu ilmu. Denagn
menguasai metode baik secara teorits maupun praktis memungkinkan seseorang
tampil sebagai mujtahid atau pemikir dalam suatu bidang ilmu. Dengan demikian,
suatu ilmu akan terus berkembang.
Pengembangan filsafat
pendidikan Islam biasanya memerlukan empat hal.
Pertama, bahan-bahan yang akan
digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan.Dalam hal ini dapat berupa
bahan tertulis, yaitu al-Quran dan Hadits yang disertai pendapat para ulama
serta para filosof dan lainnya, dan bahan yang akan diambil dari
pengalaman empirik dalam praktek kependidikan.
Kedua, metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan
yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi
lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa. Namun
demikian, khusus dalam menggunakan al-Quran dan Hadits dapat digunakan
jasa Ensiklopedi al-Quran semacam Mu’jam
al-Mufahras li al-fazh al-Quran al- Karim karangan Muhammad Fuad Abd
Baqi dan Mu’jam al-muhfars li al-fazh
al-Hadist karangan Weinsink.
Ketiga, metode pembahasan.
Untuk ini, Muzayyin Arifin yang dikutip oleh Abudin Nata dalam buku Filsafat
Pendidikan Islam, mengajukan alternatif metode yang berdasarkan pendekatan
rasional dan logis terhadap sasaran
pemikiran secara induktif, deduktif, dan analisa ilmiah.
Keempat, pendekatan. Dalam
hubungannya dengan pembahasan tersebut di atas harus pula dijelaskan pendekatan
yang akan digunakan untuk membahas persoalan tersebut. Pendekatan ini biasanya
diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu
yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini,
pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam
paradigma (cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.[8]
Bahan-bahan rujukan
yang berhubungan dengan filsafat pendidikan Islam pada umumnya memang jarang
menjelaskan tentang metode pengembangan filsafat pendidikan islam. Omar
Muhammad al-Toumy al-Syaibany dalam bukunya, Falsafah Pendidikan Islam, tidak membicarakan metode tersebut.
Dalam hubungan ini ia hanya menyingggung sumber-sumber bagi penyusunan filsafat
pendididkan islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.[9]
D.
Hakikat Kejadian Manusia Sebagai Makhluk
Pedagogik Dalam Islam
Musa
Asy’ari ketika membahas manusia dengan memakai pendekatan semantik, menyebutkan
bahwa Alquran memperkenalkan dua kata kunci untuk memahami manusia secara
komprehensif. Kedua kata kunci tersebut adalah: al-Insān yang bentuk jamaknya
al-Nās, memiliki arti melihat, mengetahui dan minta izin. Atas dasar ini, kata
tersebut mengan dung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan
kemam puan penalaran, yakni dengan penalaran itu manusia dapat mengambil
pelajaran dari apa yang dilihatnya, ia dapat mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, dan terdorong untuk meminta izin dalam
rangka menggunakan sesuatu yang bukan
miliknya. Pengertian ini menunjukkan dengan jelas adanya potensi manusia untuk
dapat didik.
Kata kunci
yang kedua adalah kata al-basyar jamak dari kata basyarah yang artinya
permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh manusia. Olehnya itu, kata mubāsyarah
diartikan mulāmasah yang artinya persentuhan antara kulit laki-laki dengan kulit perempuan.
Menurut
Asy-Syāti.[[10]]
pemakaian kata basyar di beberapa tempat dalam Alquran
seluruhnya memberikan pengertian anak Adam yang bisa makan dan berjalan di
pasar-pasar, dan di dalam pasar itu mereka saling bertemu atas dasar persamaan.
Dengan demikian, kata basyar selalu mengacu kepada manusia dari aspek lahiriyah, mempunyai
bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari
bahan yang sama yang ada dalam alam ini, dan
karena pertambahan usia maka kondisi tubuhnya akan menurun, menjadi tua dan akhirnya akan mati.
Dari kedua
kata tersebut, kata insan menunjukkan bahwa manusia memiliki kualitas pemikiran
dan kesadarannya. Hal ini berkaitan dengan kebudayaan termasuk di dalamnya
adalah pendidikan. Sedangkan kata Basyar merujuk pada dimensi alamiahnya, yang
menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, seperti makan, minum, dan kemudian
mati.
Manusia sebagaimana mahluk hidup lain, mempunyai organ-organ penyesuai terhadap
alam sekitarnya seperti sistem pengolah energi, sistem indera perasa dan
sebagainya. Sistem-sistem tersebut bekerja saling mendukung membentuk sistem
yang lebih besar. Sistem yang kompleks pasti bekerja dengan kendali, seolah ada
program canggih yang mengendalikan sistem itu. Tanpa adanya program pengendali
bagaikan sebuah komputer tanpa software.
Kelebihan manusia dibanding mahluk lain terletak pada kecerdasannya. Dengan
kecerdasan manusia dapat membangun karya-karya yang berkembang, menjadi tradisi,
teknologi, peradaban dan kebudayaan tinggi, semua bermula dari jalan pikiran
(kecerdasan). Pikiran dalam konteks kecerdasan, itulah yang mengendalikan
seluruh sistem organ manusia baik sadar maupun tidak.
Al-Qur’an
menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah dengan mempergunakan
bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah.
Manusia diciptakan Allah SWT. Berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah,
alaqah, dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling
sempurna yang memiliki berbagai kemampuan. Oleh karena itu, manusia wajib
bersyukur atas karunia yang telah diberikan Allah Swt. Hal ini
dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur
kimiawi yang terdapat dari tanah.[[11]]
Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, Al-Qur’an tidak menjelaskan
secara rinci. Manusia yang sekarang ini, prosesnya dapat diamati meskipun
secara bersusah payah. Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat diketahui
bahwa manusia dilahirkan ibu dari rahimnya yang proses penciptaannya dimulai
sejak pertemuan antara permatozoa dengan ovum.
Manusia
menurut pandangan Al-Qur’an, Al-Qur’an tidak menjelaskan asal-usul kejadian
manusia secara rinci. Dalam hal ini Al-Qur’an hanya menjelaskan mengenai
prinsip-prinsipnya saja. Ayat-ayat mengenai hal tersebut terdapat dalam surat
Nuh 17, Ash-Shaffat 11, Al-Mukminuun 12-13, Ar-Rum 20, Ali Imran 59, As-Sajdah
7-9, Al-Hijr 28, dan Al-Hajj 5.
Bagi
pendidik, istilah ini pasti sudah tidak asing lagi, dan ilmunya menjadi sebuah
acuan dalam praktek mendidik anak. Jika dilihat dari segi istilah, pedagogik
sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu paedos (anak) dan agogos
(mengantar, membimbing, memimpin).
Dari dua
istilah diatas timbul istilah baru yaitu paedagogos dan pedagog,
keduanya memiliki pengertian yang hampir serupa, yaitu sebutan untuk pelayan
pada zaman Yunani kuno yang mengantarkan atau membimbing anak dari rumah ke
sekolah setelah sampai di sekolah anak dilepas, dalam pengertian pedagog
intinya adalah mengantarkan anak menuju pada kedewasaan.
Pada hakekatnya, manusia terlahir sebagai khalifah dan hamba Allah SWT.
Selain untuk menyembah Allah SWT, manusia juga sebagai pemimpin di muka Bumi.
Maka jelas bahwa disini peran manusia sebagai pemimpin, sehingga seorang
pemimpin harus mendidik anak buahnya. Ibarat seorang ayah yang menjadi pemimpin
dalam keluarga, maka sudah seharusnya dia membimbing anak dan istrinya menuju
rumah tangga yang sakinah, mawaddah warrohmah. Begitu juga dengan guru,
dia harus bisa membimbing, mengantar dan memimpin peserta didik agar menjadi sosok yang
lebih baik.[[12]] Allah menciptakan
manusia dalam keadaan fitrah dengan dibekali beberapa potensi yakni potensi
yang ada dalam jasmani dan rohani. Bekal yang dimiliki manusia pun tidak hanya
berupa asupan positif saja, karena dalam diri manusia tercipta satu potensi
yang diberi nama nafsu. Dan nafsu ini yang sering membawa manusia lupa dan
ingkar dengan fitrahnya sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi. Untuk itu
manusia perlu mengembangkan potensi positif yang ada dalam dirinya untuk
rnencapai fitrah tersebut. Dan sebagai pendidik pertama di bumi, orang tua
adalah yang berkewajiban memberikan pengetahuan pertama kepada anak-anaknya.
E. Potensi-potensi Dasar Manusia dan Implikasinya
Terhadap Pendidikan
Dalam
Alquran didapati informasi tentang bagaimana Allah berkenan mengajarkan Adam
berbagai nama (ilmu pengetahuan), bahkan pengetahuan Adam mengenai nama-nama
tersebut telah menjadi keung gulan komparatif manusia dari makhluk-makhluk
lain.[[13]] Dari sini
pula dapat dipahami bahwa manusia sangat membutuhkan pendidikan. Tanpa pendidikan manusia tidak memiliki arti apa-apa.
Oleh karena itu, Allah berkenan melengkapi
manusia dengan pendengaran, penglihatan dengan aneka hati,[[14]] agar
manusia dapat mengkomunikasikan dengan potensi potensi lain sehingga ia dapat
menjadi manusia yang dapat dididik maupun mendidik (pedagogik).
Dalam Islam, potensi yang dimiliki manusia banyak ragamnya. Abdul Mujib
menyebutkan ada tujuh macam potensi bawaan manusia, yaitu :
1.
Fitrah
Islam menyatakan bahwa manusia lahir di dunia membawa pembawaan yang disebut
fitrah. Fitrah ini berisi potensi untuk berkembang. Provesi ini dapat berupa
keyakinan beragama, perilaku untuk menjadi baik atau menjadi buruk dan lain
sebagainya yang kesemuanya harus dikembangkan agar ia bertumbuh secara wajar
sebagai hamba Allah.
Rasulullah
saw bersabda
كل مولود
يولد على الفطرة فاءبواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه (الحديث)
Artinya :
“Semua anak dilahirkan membawa fitrah (bakat keagamaan), maka terserah
kedua orang tuanya untuk menjadikan beragam Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Bila ditafsirkan lebih lanjut, istilah fitrah
sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka dapat diambil
pengertian secara terminologis sebagai berikut, Fitrah yang disebutkan dalam
ayat tersebut mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada faham
nativisme, karena kata fitrah mengandung makna kejadian, yang di dalamnya
berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus yaitu Islam. Potensi dasar
ini tidak dapat diubah oleh siapapun atau lingkungan apapun, karena fitrah
merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun
bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
Berdasarkan interpretasi demikian, maka Ilmu
Pendidikan Islam bisa dikatakan berpaham Nativisme, yaitu suatu paham yang
menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya secara mutlak ditentukan
oleh potensi dasarnya. Proses kependidikan sebagai upaya untuk mempengaruhi
jiwa anak didik.
Dalam al Qur’an, fitrah ketika dikorelasikan dengan
kalimat lain, mempunyai banyak makna, diantaranya ialah: (1) fitrah berarti
suci, fitrah disini mempunyai makna kesucian psikis yang terbebas dari dosa dan
penyakit rohaniyah (2) fitrah berarti ber-Islam, yang berarti beragama Islam
(fitrah berarti mengakui keesaan Allah), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pendapat lain menyatakan bahwa jenis fitrah itu
memiliki banyak dimensinya, tetapi dimensi yang terpenting ialah:[[15]]
a.
Fitrah
Agama; Sejak lahir, manusia mempunyai naluri atas insting beragama, insting
yang mengakui adanya Dzat yang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT.
b.
Fitrah Intelek;
Intelek adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk memperoleh pengetahuan
dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang
salah.
c.
Fitrah
Sosial; Kecenderunagn manusia untuk hidup berkelompok yang di dalamnya
terbentuk cirri-ciri yang khas yang disebut dengan kebudayaan.
d.
Fitrah
Susila; Kemampuan manusia untuk mempertahankan diri dari sifat amoral, atau
sifat-sifat yang menyalahi tujuan Allah yang menciptakannya
e.
Fitrah
Ekonomi (mempertahankan hidupnya); Daya manusia untuk mempertahankan hidupnya
dengan upaya memberikan kebutuhan jasmaniyah, demi kelangsungan hidupnya.
f.
Fitrah Seni;
Kemampuan manusia yang dapat menimbulkan daya estetika, yang mengacu pada sifat
al jamal Allah.
Fitrah
Kemajuan, keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin dihargai, kawin, cinta tanah
air, dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya.
Pengembangan berbagai potensi manusia (fitrah) dapat dilakukan dengan
kegiatan belajar, yaitu melalui berbagai institusi. Belajar yang dimaksud tidak
terfokus melalui pendidikan di sekolah saja, tetapi juga dapat dilakukan di
luar sekolah, baik dalam keluarga, masyarakat, ataupun lewat institusi social
keagamaan yang ada atau bisa juga melalui pondok pesantren.
2. Fitrah Manusia
Konsep
fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar kejadian manusia dapat
dijelaskan dengan meninjau:
(a) Hakekat wujud manusia
(b) Tujuan penciptaannya
(c) Sumber Daya Insani (SDM)
(d) Citra manusia dalam Islam.
Dari hakekat wujudnya sebagai makhluk
individu dan sosial dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan Islam keberadaan
pribadi seseorang adalah:
a.
Pribadi yang aktivistik karena tanpa
aktivitas dalam masyarakat berarti adanya sama dengan tidak ada (wujuduhu ka ‘adamihi), artinya hanya
dengan aktivitas, manusia baru diketahui bagaimana pribadinya.
b.
Pribadi yang bertanggung jawab
secara luas, baik terhadap dirinya, terhadap lingkungannya, maupun terhadap
Tuhan.
c.
Dengan kesimpulan di atas
mengeinplisitkan adanya pandangan rekonstruksionisme (rekonstruksi sosial)
dalam pendidikan Islam melalui individualisasi dan sosialisasi.
3. Implikasi
Fitrah Manusia Dalam Pendidikan
Manusia
ditinjau dari segi fisik-biologis mungkin boleh dikatakan sudah selesai, “Physically and biologically is finished”, tetapi
dari segi rohani, spiritual dan moral memang belum selesai, “morally is unfinished”.
Manusia
tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif, melainkan responsif,
sehingga ia menjadi makhluk yang responsible
(bertanggung jawab). Oleh karena itu pendidikan yang sebenarnya adalah
pendidikan yang memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.
Dengan bantuan kajian psikologik, implikasi fitrah manusia dalam pendidikan
islam dapat disimpulkan bahwa jasa pendidikan dapat diharapkan sejauh
menyangkut development dan becoming sesuai dengan citra manusia
menurut pandangan islam.
4. Pengertian dan Perlunya Pedagogik
Menurut
Umar Tirtarahardja[16][10], manusia
lahir telah dikaruniai dimensi hakekat manusia yang masih dalam wujud potensi;
belum teraktualisasi menjadi wujud aktualisasi. Dari kondisi potensi menjadi
wujud aktualisasi terdapat rentang proses yang
mengandung pendidikan untuk berperan dalam
memberikan jasanya. Seseorang yang dilahirkan dengan bakat seni, misalnya, memerlukan pendidikan untuk proses
menjadi seniman terkenal.
Bagi pendidik, istilah ini pasti sudah tidak asing lagi, dan ilmunya
menjadi sebuah acuan dalam praktek mendidik anak. Jika dilihat dari segi
istilah, pedagogik sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu paedos (anak)
dan agogos (mengantar, membimbing, memimpin).
Dari dua
istilah diatas timbul istilah baru yaitu paedagogos dan pedagog, keduanya
memiliki pengertian yang hampir serupa, yaitu sebutan untuk pelayan pada zaman
Yunani kuno yang mengantarkan atau membimbing anak dari rumah ke sekolah
setelah sampai di sekolah anak dilepas, dalam pengertian pedagog intinya adalah
mengantarkan anak menuju pada kedewasaan. Al-Gazali[[17]]
mengatakan, melatih atau mendidik anak-anak adalah suatu hal yang penting,
karena anak adalah amanat bagi kedua
orangtuanya. Maka, kegiatan pedagogik merupakan kegiatan memanusiakan manusia.
Dimana dalam hal ini anak sebagai manah dari Tuhan masih belum sempurna menjadi
seorang manusia.
Istilah
lainnya yaitu Paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak, Pedagogi yang
merupakan praktek pendidikan anak dan kemudian muncullah istilah Pedagogik yang
berarti ilmu mendidik anak.
Kadang
sebagian orang mengartikan bahwa pedagogik merupakan ilmu pendidikan, pemaknaan
ini tidak berarti salah namun juga tidak sepenuhnya benar, mengapa? Karena jika
ditinjau dari makna pendidikan secara luas maka Pendidikan adalah hidup. Lebih
tepatnya segala pengalaman di berbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang
hayat dan berpengaruh positif bagi perkembangan individu.
Dari
pengertian diatas maka bisa dipahami ada beberapa tingkatan dalam pendidikan,
sehingga menimbulkan cabang ilmu pendidikan yang dikembangkan para ahli yaitu
pendidikan pada anak yang disebut Pedagogik, ilmu pendidikan bagi orang dewasa
yang disebut Andragogi serta pendidikan bagi ilmu pendidikan manula yang
disebut Gerogogi.
Jelaslah
bahwa Pedagogik terbatas pada ilmu pendidikan anak atau ilmu mendidik anak.
Maka timbul pertanyaan lain, kapankah seorang anak masuk dalam kawasan
pedagogik? Menurut M.J. Langeveld, pendidikan baru terjadi ketika anak telah
mengenal kewibawaan, syaratnya yaitu terlihat pada kemampuan anak memahami
bahasa, karena sebelum itu dalam pedagogik anak tidak disebut telah dididik
yang ada adalah pembiasaan. Sedang batas atasnya yaitu ketika anak telah
mencapai kedewasaan atau bisa disebut orang dewasa.
Jadi,
pengertian bahwa pedagogik adalah ilmu pendidikan berarti benar dalam
pengertian pendidikan pedagogik, namun berarti salah jika mengacu pada makna
pendidikan secara luas.
Kemudian,
mengapa Pedagogik diperlukan? Padahal pedagogik yang merupakan rangakaian teori
kadang berlainan dengan praktek di lapangan? Ada dua alasan yang melandasinya,
yaitu bahwa pedagogik sebagai suatu sistem pengetahuan tentang pendidikan anak
diperlukan, karena akan menjadi dasar bagi praktek mendidik anak. Selain itu
bahwa pedagogik akan menjadi standar atau kriteria keberhasilan praktek
pendidikan anak. Kedua, manusia memiliki motif untuk mempertanggungjawabkan
pendidikan bagi anak-anaknya, karena itu agar dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, praktek pendidikan anak memerlukan pedagogik sebagai landasannya
agar tidak jadi sembarangan.
Untuk
meyakinkan lebih jauh, pedagogik secara jelas memiliki kegunaan diantaranya
bagi pendidik untuk memahami fenomena pendidikan secara sistematis, memberikan
petunjuk tentang yang seharusnya dilaksanakan dalam mendidik, menghindari
kesalahan-kesalahan dalam praktek mendidik anak juga untuk ajang untuk mengenal
diri sendiri dan melakukan koreksi demi perbaikan bagi diri sendiri.
Menurut saya
sendiri, pedagogik memang perlu dipelajari bahkan jika bisa untuk setiap orang,
tanpa terbatas pada identitas sebagai calon guru. Karena sebenarnya kita semua
akan atau mungkin anda yang telah memiliki keluarga telah menjadi seorang
pendidik. Saya menyadari dan mengetahui pada dasarnya manusia mempunyai naluri
untuk mendidik tanpa mempelajari teori, buktinya banyak orang tua berhasil
mendidik anak mereka sampai kesuksesan, tanpa mempelajari pedagogik, namun
teoripun lahir dari praktek di lapangan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan beberapa
uraian di atas, kami sebagai pemakalah dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Dari sudut pandang
filosofis, metode adalah merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan.
2.
Dalam memepelajari
filsafat pendidikan Islam itu ada beberapa pendekatan yaitu:
a.
Metode spekulatif dan
kontemplatif
b.
Pendekatan normatif
c.
Pendekatan analisa
konsep
d.
Pendekatan historis
e.
Pendekatan ilmiah
f.
Pendekatan komprehensif
dan terpadu.
3.
Dalam pengembangan
filsafat pendidikan islam ada empat metode yang di gunakan anatara lain:
a.
Bahan-bahan yang akan
digunakan untuk pengembangan filsafat pendidikan
b.
Metode pencarian bahan
c.
Metode pembahasan
d.
Pendekatan.
Hakikat kejadian manusia, manusia
sendiri berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah, dan mudgah
sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai
kemampuan. Manusia lahir membawa fitrahnya masing-masing yang harus
ditumbuhkembangkan dan diarahkan kearah yang baik agar menjadi manusia yang
berbudi pekerti luhur, intelektual dan bertaqwa.
Pada akhir tujuan dari kegiatan
pendidikan ialah diharapkan adanya perubahan pada peserta didik. Sehingga
implikasi dari kegiatan pendidikan adalah membentuk pribadi yang berbudi
pekerti luhur, intelektual serta bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sesuai
dengan sabda Rosulullah,”Kebajikan itu ialah akhlak yang baik dan dosa itu
ialah sesuatu yang merisaukan dirimu dan kamu tidak senang bila diketahui orang
lain. (HR. Muslim)
B.
Saran
Demikianlah makalah
yang dapat kami sajikan. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih
terdapat kesalahan, sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari para pembaca, yang nantinya untuk perbaikan pada makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah khususnya dan
bagi para pembaca yang budiman pada umumnya, Aamin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, PT. Ciputat
Press, Ciputat, 2005.
As-Said, Muhammad, Filsafat
Pendidikan Islam, Mitra pustaka, Yogyakarta, 2011.
Aziz, Abdul, Filsafat Pendidikan
Islam: Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, TERAS, Yogyakarta, 2009.
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan
Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997.
H. M. Said.
1985. Ilmu Pendidikan. Bandung; Alumni.
Aisyah ‘Abd al-Rahman binti Asy-Syāti. 1996. Al-Maqāl
fi al-Insān Dirāsah
Qur’āniyah, Mesir;
Dar al-Ma’arif.
Abdul Mujib. 2006. Kepribadian
dalam Psikologi Islam.Jakarta; Rajawali Press.
Ahmad Tafsi. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung; Remaja Rosdakarya.
Battle dan Robert L. Shannon. 1978. Gagasan Baru dalam Pendidika., terj. Sams Hutabarat, Jakarta; Mutiara.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur’an,
al-Qur’an dan Terjemahnya
Syahminin Zaini. 1986. Prinsip-prinsip Dasar
Konsepsi Pendidikan Islam .Jakarta; Kalam Mulia.
Umar
Tirtarahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan
H. M Arifin. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama
di Lingkungan Sekolah dan
Keluarga. Jakarta; Bulan Bintang
[1]
Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, PT.
Ciputat Press, Ciputat, 2005, hlm. 65-66.
[2]
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,
Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 92.
[3]
Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Op. Cit, hlm. 66-67.
[4]
Muhammad as-Said, Filsafat Pendidikan
Islam, Mitra pustaka, Yogyakarta, 2011, hlm. 3..
[5] Abdul Aziz, Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Gagasan
Membangun Pendidikan Islam, TERAS, Yogyakarta, 2009, hlm.20-22.
[6]
Muhammad as-Said, Op. Cit, hlm.15.
[7]
Abdul Aziz, Op. Cit, hlm. 22.
[8]
Abudin Nata, Op. Cit, hlm. 21-23.
[9] Ibid,
hlm. 20.
0 Response to " Filsafat Pendidikan Islam"
Post a Comment