Latest Updates

Kepedulian Sosial



BAB 1
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial, yang artinya manusia itu tidak akan bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun  terkadang hati manusia terbesit rasa sombong dan terlalu membanggakan diri sehingga ia lupa akan dirinya sendiri, siapa dia dan untuk apa dia hidup.
      Dalam hidup bermasyarakat perlu adanya kepedulian antara manusia satu dengan manusia lainnya.Rasulullah pun mengajak umatnya untuk peduli kepada sesama makhluk Allah, dan saling bergotong-royong untuk saling membantu. Dan meringankan penderitaan orang lain sangat dianjurkan untuk umat Rasulullah.
Konsep kepedulian sosial dalam Islam sungguh cukup jelas dan tegas . Bila diperhatikan dengan seksama, dengan sangat mudah ditemui bahwa masalah kepedulian sosial dalam Islam terdapat dalam bidang akidah dan keimanan , tertuang jelas dalam syari’ah serta jadi tolak ukur dalam akhlak seorang mukmin.
Begitu juga Allah menghargai mereka yang melaksanakan amal sosial dalam konteks kepedulian sosial tersebut sebagaimana juga Alah sangat mengecam mereka yang tidak mempunyai rasa kepedulian sosial. Di saat kondisi seperti sekarang ini, sesungguhnya sebuah ladang jihad maal menanti bagi kaum yang berada. Rasululullah bersabda : “Belum beriman seseorang itu sebelum ia mencita saudara nya seperti mencitai dirinya sendiri”.
Hadis ini shahih dan cukup populer di kalangan kau muslimin umum sekalipun. Yang subtansif pada hadis ini adalah mengaitkan iman dengan masalah sikap hati –dalam hal ini− mencintai orang lain selain dirinya. Mencintai orang itupun ditentukan bobotnya oleh Rasulullah yaitu sama dengan mencintai diri sendiri. Rasanya ini sangat berat dan sulit dilaksanakan, namun jika iman itu benar - benar ada dan hidup dalam jiwa maka yang berat dan sulit itupun sangat bisa terealisir.


B.                 Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan di atas, maka permasalah yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana pengertian Kepedulian Sosial
2.      Bagaimanakah Penjelasan Hadist Membuang Duri Dari Jalan
3.      Bagaimanakah Hadist Uraian Berlapang-lapang di majlis
4.      Bagaimanakah Penjelasan Hadist Memberi Minum Binatang Yang Kehausan
5.      Bagaimanakah Penjelasan Hadist Memelihara Lingkungan Hidup

C.                Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya makalah ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Hadist yang diberikan oleh dosen mata kuliah. Juga supaya kita semua mengetahui dan mengerti tentang betapa pentingnya peduli terhadap sesama umat manusia. Dengan judul yang ada yaitu: “Kepedulian Sosial dan lingkungan”. Semoga kita bisa mengambil inti dan manfaatnya dari materi yang tertera didalam makalah ini.






BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Kepedulian Sosial
Kepedulian sosial adalah rasa ingin membantu kepada sesama manusia baik dalam bentuk materi maupun bantuan tenaga. Tujuan peduli dengan orang lain adalah untuk meringankan kesusahan atau kesulitan orang lain agar orang tersebut dimudahkan dalam segala kesulitannya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 177 Allah berfirman:

لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواْ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَـئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS:Al Baqarah: 177)

Jadi disini jelas segala perbuatan ibadah apapun itu yang disebut sebagai kebajikan atau amal shaleh juga harus diikuti dengan penghayatan dan perasaan saling mengasihi sesama manusia, peduli pada orang lain itulah yang disebut kebajikan, dan orang yang berbuat demikian adalah orang yang bertaqwa. 

B.            Membuang Duri Dari Jalan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ بَيْـنَهَا رَجُلٌ يَمْـشِي بِطَرِيْقٍ وَجَدَ غُصْـنَ شَـوْكٍ عَلَى الطَّرِيقِ فَأَخَـذَهُ فَشَـكَرَ اللهُ لَهُ فَغَـفَرَ لَه
Artinya: Abu Hurairah ra, beliau bersabda: “ bahwa Rasulullah SAW bersabda: ketika seseorang berjalan disuatu jalan, tiba-tiba ia melihat dahan berduri di tengah jalan itu. Lalu ia singkirkan, maka Allah SWT memuji perbuatannya dan mengampuni baginya (dosanya). (H.R. Bukhari).
Hadist ini derajatnya shahih. Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Sunanul Kubrā, Juz VI, hal.169 dan dalam Syu’abul Īmān, bab Qishshah Ibrahim fil Mu’ānaqah, Juz XVIII, hal.485, hadist nomor 8693; Imam Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, bab Mim, Juz XIV, hal.24, hadis nomor 7448; Imam Abu Ya’lā dalam Musnad-nya, bab Tahādū Tahābbū, Juz XII, hal.402, hadis nomor 6013; dan Imam Qadla’i dalam Musnad-nya, bab Tahādū Tahābbū, Juz III, hal.28, hadis nomor 616. Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, bab Man Akhadzal-Ghusna wa Mā Yadzin-Nās, Juz VIII, hal.364, hadis nomor 2292. Sedangkan, Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, bab Fadhlu Izzalatil-Adza ‘anit-Tharīq, Juz XIII, hal.45, hadis nomor 4743. Dengan lafadz yang berbeda. Jika dalam Shahih Bukhari dengan lafadz fākhadza. Dan, di Shahih Muslim menggunakan lafadz fākhara. Adapun Imam Ahmad dalam Musnad-nya, bab Musnad Abu Hurairah, Juz XXII, hal.10476, hadis nomor 20. Dan, Imam Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, bab Fadlu minal Birri wal Ihsān, Juz III, hal.67, hadis nomor 538. Dengan lafadz yang sama[1].
Bagian dari cinta kebersihan adalah menghilangkan berbagai halangan dan rintangan yang dapat memberikan madarat (kesulitan) bagi orang lain, dan bagi orang-orang yang mampu memberikan kemudahan bagi orang lain Allah akan memberikan pujian dan pengampunan, semantara bagi orang-orang yang memberikan kemadlaratan atau kesulitan bagi orang laim maka Allah akan memberikan kutukan dan dosa-dosanya tidak akan diampuni Allah.
Sebagai seorang muslim mukmin, marilah kita menjadi teladan terhadap manusia lain. Sehingga ketinggian nilai-nilai ajaran Islam dapat segera diserap dan diamalkan oleh umat manusia secara umum, Citra kotor. Citra semrawut. Citra amburadul. Citra kumuh. Dan, citra-citra negatif yang lain, yang menunjukkan pada wilayah di mana komunitas muslim hidup dan tinggal. Harus segera diakhiri, dan segera diganti dengan citra hijau, citra harmonis, citra bersih, citra tidak menyakiti orang lain, citra elegan, citra mandiri, dan segenap citra positif yang lain. Sebab, secara teologis, memang dinul Islam mengajarkan mengenai teologi lingkungan. Yaitu, kaum muslimin mukmin dilarang keras merusak dan mengeksploitasi lingkungan alam, termasuk lingkungan di mana mereka hidup dan tinggal. Utamanya merusak tanah, air, tumbuhan, hewan, dan udara.
Di antara bentuk keuniversalan syariat Islam dan bahwasanya dia adalah rahmat bagi seluruh alam, adalah adanya beberapa etika yang Islam syariatkan kepada manusia berkenaan dengan benda-benda mati atau yang benda yang rendah di mata manusia. Di antara benda tersebut adalah jalanan, jalanan yang tiap hari kita rendahkan dengan cara diinjak. Akan tetapi subhanallah, Islam tetap menetapkan kepada mereka beberapa hak yang wajib ditunaikan oleh manusia sebagaimana mereka menunaikan hak manusia lainnya[2].
Di antara hak jalanan yang wajib kita tunaikan adalah:
1.        Menundukkan pandangan dari orang yang berlalu lalang di jalanan, terkhusus dari lawan jenis yang bukan mahramnya.
2.        Tidak mengganggu orang yang lewat, baik dengan lisan maupun dengan tangannya. Di antara contoh gangguan adalah pemalakan, penjambretan, meminta-minta di jalan, dan yang marak dilakukan di negeri ini adalah demonstrasi atau unjuk rasa, yang jelas-jelas memberikan gangguang kepada pengguna jalan.
3.        Menjawab salam orang yang mengucapkan salam kepadanya. Ini adalah kewajiban baik ketika di jalan maupun ketika di tempat lain.
4.         Memerintahkan para pengguna jalan kepada kebaikan. Termasuk di dalamnya aturan-aturan yang dibuat oleh polantas guna kenyamanan para pengguna jalan.
5.        Melarang mereka dari kemungkaran seperti melarang mereka dari demonstrasi.
6.        Tidak buang air besar dan buang air kecil di jalan yang biasa dilalui oleh manusia walaupun itu hanya jalan setapak atau jalan kecil dalam lorong. Dan tidak juga di bawah tempat dimana biasa orang-orang bernaung, baik berupa pohon atau bangunan.
7.        Menyingkirkan semua bahaya dan gangguan dari jalanan yang bisa mengganggu para pengguna jalan. Misalnya menyingkirkan gundukan pasir atau batu dari pinggir jalanan yang bisa menyebabkan kemudharatan bagi pengguna kendaraan atau bagi orang-orang yang berada di dekat situ. Yang jelas, kapan suatu kegiatan bisa mengganggu pengguna jalan, maka masuk ke dalam larangan dalam hadits-hadits di atas.
 “Hidup Bersih, Hidup Benar, dan Hidup Tidak Menyakiti Orang Lain.” Inilah sebuah citra diri dan jati diri baru yang harus segara diamalkan oleh kaum muslimin mukmin di negeri ini. Tanpa kebersihan yang sebenarnya, dinul Islam tidak akan pernah mampu dapat dipraktekkan secara benar dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim mukmin.
C.                Berlapang-lapang di majlis.
Dalam bermasyarakat kita tidak mungkin tidak melakukan hal-hal yang baik, misalnya silaturrahmi, mengunjungi saudara yang sedang sakit, dan bermajlis sesama masyarakat, dalam bermajlis ada hal yang harus kita ketahui karena itu merupakan adab, yaitu Sebagaimana dalam hadist nabi disebutkan :
عن بن عمر رضيالله تعالي عن هما قال : قال رسول الله ص م :      لَا  يُقِيْمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيْهِ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا. ( رواه متفق عليه )
Ar4tinya : Dari ibnu umar ra dan dua orang berkata, Rasulullah saw bersabda janganlah seorang lelaki menyuruh laki untuk beranjak dari tempat duduknya kemudian ia menduduki tempat tersebut, akan tetapi berlapang-lapanglah dalam bermajlis.
Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam Bab Mohon Izin Bagian Tak Boleh Menyuruh Orang Bangun dari Tempat Duduknya dan Bagian “Jika Dikatakan Kepada Kalian Berlapang-lapanglah... dst.” Sedangkan Muslim meriwayatkannya dalam Bab Salam Bagian Haramnya Membangunkan Orang Dari Tempat Duduknya.
Berdasarkan keterangan hadits ini, diharamkan bagi seseorang untuk menyuruh bangun atau membangunkan orang yang telah lebih dulu duduk pada bagian depan, demi dirinya sendiri atau untuk orang lain, meskipun orang yang baru masuk belakangan itu lebih utama dari sisi ilmu maupun umur ketimbang orang yang lebih dulu tiba dan duduk di tempat tersebut. Akan tetapi para ahli fiqih mengecualikan jika orang yang belakangan tiba itu adalah guru pada majelis ilmu, sehingga orang yang lebih dulu tiba harus memberikan tempat bagi sang guru yang hadir belakangan, lantaran tempat itu adalah posisinya untuk mengajarkan jama’ahnya. Begitu pula dengan pedagang, yang jauh-jauh waktu telah membuat lapak atau kios dagangannya di pasar. Para ahli fiqih juga mengecualikan hal di atas pada masalah-masalah tertentu lainnya. Hal ini juga dikecualikan bagi seorang alim, yakni dibolehkan orang untuk memberikan tempatnya bagi orang yang dikenal kealimannya, sekalipun ia tak berkehendak maupun meminta kepada orang itu. Adapun Ibnu Umar, yang dikenal sebagai ahli ilmu di zamannya, tak mau menduduki tempat orang lain lantaran akhlaqnya yang mulia dan sifat wara` dan ketawadhu’annya. Hadits ini juga mengajarkan kepada kita untuk berlapang-lapang, meluaskan majelis bagi mereka yang tiba belakangan untuk memasuki bagian majelis.
Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Jika seseorang dari kalian bangun dari tempat duduknya, kemudian (setelah urusannya selesai) ia kembali ke tempat duduknya, maka ia lebih berhak dengan tempatnya itu’.” (Diriwayatkan Muslim)
Pada hadits ini terdapat keterangan bahwa seseorang yang meninggalkan sesaat majelisnya untuk suatu urusan, lalu dia kembali ke majelisnya, maka ia boleh menduduki kembali tempat duduknya semula. Jika ada orang lain yang mendudukinya, maka ia berhak untuk membangunkan atau menyuruh bangun orang itu. Jika ia ridha, maka hal itu tak mengapa. Hal ini menunjukkan luasnya pemahaman dan pengertiannya bagi orang lain yang menggantikan tempat duduknya itu.
Di antara adab duduk di majelis ialah duduk sesuai urutan tiba. Jika ia tiba belakangan, sedangkan majelis telah penuh di bagian dalam, maka hendaklah ia duduk di bagian luarnya atau belakangnya. Jangan memaksakan diri memenuhi ruangan yang telah sesak, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi yang lain. Jika ada tempat yang dikhususkan di bagian utama bagi orang yang baru tiba atau ada sebidang tempat yang kosong lantaran ditinggalkan orang yang tak kembali lagi, boleh saja ia mendudukinya.
Adab lainnya yang berkenaan dengan duduk di dalam majelis ialah, tidak boleh duduk di antara duduknya dua orang, dengan cara menyela-nyela di antara keduanya. Boleh jadi kedua orang itu berkawan atau tengah berbincang serius atau sesuatu yang menjadi rahasia keduanya. Untuk itulah adab kesopanan yang dituntunkan Rasulullah SAW mengajarkan untuk meminta izin terlebih dulu kepada kedua orang itu. Jika diizinkan boleh ia duduk, jika tidak maka tidak boleh duduk.
Jadi jelaslah kita ketahui bahwa dalam bermajlis kita tidak saling merebut tempat namun sebagaimana maksud dari hadist di atas adalah jika di dalam majlis kita harus saling berlapang-lapang.

D.                Memberi Minum Binatang Yang Kehausan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيْقٍ، اِشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطْشُ. فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيْهَا فَشَرِبَ. ثُمَّ خَرَجَ . فَإِذًا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطْشِ. فَقَالَ الرَّجُلُ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبُ مِنَ الْعَطْشِ مِثْلَ الَّذِي كَانَ بَلَغَ مِنِّي. فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ مَاءً ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيْهِ حَتَّى رَقَي. فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ. فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ !وَإِنَّ لَنَا فِي هَذِهِ الْبَهَائِمِ َلأَجْرًا؟ فَقَالَ: فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
Artinya : Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu: Bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Tatkala seorang lelaki sedang berjalan pada sebuah jalan terasalah olehnya dahaga yang sangat. Lalu ia mendapati sebuah sumur dan bersegeralah ia meneruninya untuk minum. Ketika keluar, tiba-tiba dia melihat seekor anjing menjulurkan lidah sambil menjilat-jilati debu karena sangat haus. Lelaki itu berkata: Anjing ini sedang kehausan seperti aku tadi lalu turunlah dia kembali ke dalam sumur untuk memenuhi sepatu kulitnya dengan air lalu digigit agar dapat naik kembali. Kemudian ia meminumkan air itu kepada anjing tersebut. Allah berterima kasih kepadanya lalu mengampuninya. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah kami akan mendapatkan pahala karena binatang-binatang seperti ini? Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menjawab: Pada setiap yang bernyawa (mahluk hidup) ada pahalanya.

Beberapa faedah dari hadits di atas:
1.      Yang dimaksud dengan hewan yang ditolong adalah hewan yang dihormati yang tidak diperintahkan untuk dibunuh. Memberi minum pada hewan itu akan meraih pahala. Memberi makan juga termasuk bentuk berbuat baik padanya. Demikian penjelasan dari Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (14: 214).
2.      Boleh bersafar seorang diri tanpa membawa bekal selama tidak khawatir kesulitan berat saat safar. (Fathul Bari, 5: 42).
3.      Hadits di atas juga berisi motivasi untuk berbuat baik pada manusia. Jika dengan memberikan minum pada anjing bisa mendapatkan pengampunan dosa, maka memberi minum pada manusia tentu pula akan mendapatkan pahala yang besar. (Idem)
4.      Boleh memberikan sedekah sunnah pada orang musyrik selama tidak ada yang muslim. Namun jika ada, ia lebih berhak. (Idem)
5.      Jika ada hewan yang butuh minum, manusia pun demikian, maka manusia yang lebih didahulukan. (Idem)
6.      Memberikan minum pada hewan yang membutuhkan termasuk pula anjing akan menuai pahala dan terhapusnya dosa.
7.      Besarnya karunia Allah dan keluasan rahmat-Nya. Dia membalas dengan balasan yang besar atas perbuatan yang sedikit. Allah mengampuni dosa orang tersebut hanya dengan sedikit perbuatan, yaitu dengan memberi minum anjing.
8.      Seorang muslim pelaku dosa besar tidak divonis kafir. Bisa jadi Allah mengampuni dosa besar tanpa taubat karena dia melakukan kebaikan yang dengannya Allah mengampuninya. Wanita pezina itu diampuni bukan karena taubatnya, namun karena dia memberi minum anjing, sebagaimana hal itu jelas terlihat dari hadits. Tidak mengkafirkanseorang muslim karena suatu dosa adalah sesuatu yang ditetapkan di dalam syariat Taurat, juga dalam syariat Islam.

E.                 Memelihara Lingkungan Hidup
Adapun mengenai hadits Rosulullah S.a.w tentang peduli lingkungan ini banyak sekali, salah satu diantaranya sebagai berikut :
  1. Larangan Menelantarkan Lahan
حَدِيْثُ جَابِرِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ رضى الله عنهما, قَالَ : كَانَتْ لِرِجَالٍ مِنَّا فُضُوْلُ اَرَضِيْنَ, فَقَالُوْا نُؤَاجِرُهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ, فَقَالَ النَّبِىُّ ص.م. : مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.
Artinya n: Hadist Jabir bin Abdullah r.a. dia berkata : Ada beberapa orang dari kami mempunyai simpanan tanah. Lalu mereka berkata: Kami akan sewakan tanah itu (untuk mengelolahnya) dengan sepertiga hasilnya, seperempat dan seperdua. Rosulullah S.a.w. bersabda: Barangsiapa ada memiliki tanah, maka hendaklah ia tanami atau serahkan kepada saudaranya (untuk dimanfaatkan), maka jika ia enggan, hendaklah ia memperhatikan sendiri memelihara tanah itu. “ (HR. Imam Bukhori dalam kitab Al-Hibbah)
Selain dari hadits diatas, ada juga bersumber dari Abu Hurairah r.a. dengan lafazd sebagai berikut :
حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قال: قال رسول الله عليه وسلم : مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.(اخرجه البخارى فى كتاب المزاعة)
Antara kedua tersebut terdapat persamaan, yaitu masing-masing ditakhrijkan oleh Imam Bukhori. Sedangkan perbedaannya adalah sumber hadits tersebut dari Jabir yang diletakkan dalam kitab Al-Hibbah yang satunya bersumber dari Abu Hurairah dan diletakkan dalam kitab Al-Muzara’ah.
Dari ungkapan Nabi S.a.w. dalam hadits diatas yang menganjurkan bagi pemilik tanah hendaklah menanami lahannya atau menyuruh saudaranya (orang lain) untuk menanaminya. Ungkapan ini mengandung pengertian agar manusia jangan membiarkan lingkungan (lahan yang dimiliki) tidak membawa manfaat baginya dan bagi kehidupan secara umum. Memanfaatkan lahan yang kita miliki dengan menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan yang mendatangkan hasil yang berguna untuk kesejahteraan pemiliknya, maupun bagi kebutuhan konsumsi orang lain. Hal ini merupakan upaya menciptakan kesejahteraan hidup melalui kepedulian terhadap lingkungan. Allah S.w.t. telah mengisyaratkan dalam Al-Qur’an supaya memanfaatkan segala yang Allah ciptakan di muka bumi ini.
Dalam hadits dari Jabir di atas menjelaskan bahwa sebagian para sahabat Nabi S.a.w. memanfaatkan lahan yang mereka miliki dengan menyewakan lahannya kepada petani. Mereka menatapkan sewanya sepertiga atau seperempat atau malahan seperdua dari hasil yang didapat oleh petani. Dengan adanya praktek demikian yang dilakukan oleh para sahabat, maka Nabi meresponnya dengan mengeluarkan hadits diatas, yang intinya mengajak sahabat menanami sendiri lahannya atau menyuruh orang lain mengolahnya apabila tidak sanggup mengolahnya. Menanggapi permasalahan sewa lahan ini, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid menjelaskan bahwa segolongan fuqoha tidak membolehkan menyewakan tanah. Mereka beralasan dengan hadits Rafi’ bin Khuday yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Al-Muzara’ah :
اَنَّ النَّبِى ص.م. نَهَى عَنْ كَرَاءِ الْمَزَارَعِ. (رواه البخارى)
Bahwasanya Nabi S.a.w. melarang menyewakan lahan “ (HR. Bukhori)
Sedangkan jumhur ulama membolehkan, tetapi imbalan sewanya haruslah dengan uang (dirham atau dinar) selain itu tidak boleh. Ada lagi yang berpendapat boleh dengan semua barang, kecuali makanan termasuk yang ada dalam lahan itu. Berbagai pendapat yang lain seperti yang dikemukakan Ibnu Rusyd bahwa dilarang menyewakan tanah itu lantaran ada kesamaran didalamnya. Sebab kemungkinan tanaman yang diusahakan di atas tanah sewaan itu akan tertimpa bencana, baik karena kebakaran atau banjir. Dan akibatnya si penyewa harus membayar sewa tanpa memperoleh manfaat apapun daripadanya.
2.      Penanaman Pohon (reboisasi) Langkah Terpuji
حَدِيْثُ اَنَسٍ رضى الله عنه قَالَ: مَامِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ اَوْيَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ اَوْاِنْسَانٌ اَوْبَهِيْمَةٌ اِلاَّكَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ. (اخرجه البخارى فى كتاب المزاعة)
Artinya : “ Hadits dari Anas r.a. dia berkata: Rosulullah S.a.w. bersabda : Seseorang muslim tidaklah menanam sebatang pohon atau menabur benih ke tanah, lalu datang burung atau manusia atau binatang memakan sebagian daripadanya, melainkan apa yang dimakan itu merupakan sedekahnya “. (HR. Imam Bukhori)
Pada dasarnya Allah S.w.t. telah melarang kepada manusia agar tidak merusak hutan, hal ini sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Baqoroh ayat 11 :
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَتُفْسِدُوْا فِى الاَرْضِ…
“ Dan apabila dikatakan kepada mereka : Janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi “
Dalam ayat diatas, Allah menjelaskan sifat-sifat orang munafiq dan tindakannya di muka bumi ini. Informasi yang disampaikan Al-Qur’an bahwa sebagian dari manusia, kata-kata dan ucapannya tentang kehidupan dunia menarik sekali, sehingga banyak yang terpedaya. Ia pintar dan pandai menyusun kata-kata dengan gaya yang menawan. Orang munafiq seperti inilah yang selalu merusak bumi. Tanam-tanaman dan hutan-hutan menjadi rusak, lingkungan dicemari, buah-buahan dan binatang ternak dibinasakan. Apalagi kalau mereka sedang berkuasa, dimana-mana mereka berbuat sesuka hatinya.
Seorang muslim yang menanam tanaman tak akan pernah rugi di sisi Allah -Azza wa Jalla-, sebab tanaman tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh manusia dan hewan, bahkan bumi yang kita tempati. Tanaman yang pernah kita tanam lalu diambil oleh siapa saja, baik dengan jalan yang halal, maupun jalan haram, maka kita sebagai penanam tetap mendapatkan pahala, sebab tanaman yang diambil tersebut berubah menjadi sedekah bagi kita.
Penghijauan merupakan amalan sholeh yang mengandung banyak manfaat bagi manusia di dunia dan untuk membantu kemaslahatan akhirat manusia. Tanaman dan pohon yang ditanam oleh seorang muslim memiliki banyak manfaat, seperti pohon itu bisa menjadi naungan bagi manusia dan hewan yang lewat, buah dan daunnya terkadang bisa dimakan, batangnya bisa dibuat menjadi berbagai macam peralatan, akarnya bisa mencegah terjadinya erosi dan banjir, daunnya bisa menyejukkan pandangan bagi orang melihatnya, dan pohon juga bisa menjadi pelindung dari gangguan tiupan angin, membantu sanitasi lingkungan dalam mengurangi polusi udara, dan masih banyak lagi manfaat tanaman dan pohon yang tidak sempat kita sebutkan di lembaran sempit ini. Jika demikian banyak manfaat dari REBOISASI, maka tak heran jika agama kita memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan tanah dan menanaminya.




















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Bagian dari cinta kebersihan adalah menghilangkan berbagai halangan dan rintangan yang dapat memberikan madarat (kesulitan) bagi orang lain, dan bagi orang-orang yang mampu memberikan kemudahan bagi orang lain Allah akan memberikan pujian dan pengampunan, semantara bagi orang-orang yang memberikan kemadlaratan atau kesulitan bagi orang laim maka Allah akan memberikan kutukan dan dosa-dosanya tidak akan diampuni Allah
Di antara adab duduk di majelis ialah duduk sesuai urutan tiba. Jika ia tiba belakangan, sedangkan majelis telah penuh di bagian dalam, maka hendaklah ia duduk di bagian luarnya atau belakangnya. Jangan memaksakan diri memenuhi ruangan yang telah sesak, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi yang lain. Jika ada tempat yang dikhususkan di bagian utama bagi orang yang baru tiba atau ada sebidang tempat yang kosong lantaran ditinggalkan orang yang tak kembali lagi, boleh saja ia mendudukinya.
Penghijauan merupakan amalan sholeh yang mengandung banyak manfaat bagi manusia di dunia dan untuk membantu kemaslahatan akhirat manusia. Tanaman dan pohon yang ditanam oleh seorang muslim memiliki banyak manfaat, seperti pohon itu bisa menjadi naungan bagi manusia dan hewan yang lewat, buah dan daunnya terkadang bisa dimakan, batangnya bisa dibuat menjadi berbagai macam peralatan, akarnya bisa mencegah terjadinya erosi dan banjir, daunnya bisa menyejukkan pandangan bagi orang melihatnya, dan pohon juga bisa menjadi pelindung dari gangguan tiupan angin, membantu sanitasi lingkungan dalam mengurangi polusi udara, dan masih banyak lagi manfaat tanaman dan pohon yang tidak sempat kita sebutkan di lembaran sempit ini.




DAFTAR PUSTAKA

Al Hafizd Ibnu Hajar AL Asqolani, Terjemah Bulughul Maram, Ter. Hamim Thohari Ibnu M. Dailimi, (Beirut : Dar al Kotob al Ilmiyah, 2002), h. 209

Khotimatul Husna, 40 Hadits Pedoman Membangun Toleransi, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2006), h.114.



[1] Al Hafizd Ibnu Hajar AL Asqolani, Terjemah Bulughul Maram, Ter. Hamim Thohari Ibnu M. Dailimi, (Beirut : Dar al Kotob al Ilmiyah, 2002), h. 209
[2] Khotimatul Husna, 40 Hadits Pedoman Membangun Toleransi, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2006), h.114.

0 Response to "Kepedulian Sosial"

Post a Comment

X-Steel - Wait