Semua sepakat, bahawa yang namanya puasa adalah menahan makan dan minum atau perkara yang membatalkan puasa mulai dari fajar shadiq sampai maghrib, bukan dari “waktu imsak” sampai maghrib.
Tradisi masyarakat Islam pada umumnya, ketika masuk “waktu imsak”, mereka membunyikan tanda atau mengingatkan menerusi pembesar suara masjid atau mushalla, bahawa waktu imsak sudah tiba. Memang betul, sebahagian masyarakat kita yang awam kadang-kadang beranggapan, imsak adalah tanda waktu dimana orang yang hendak berpuasa tidak boleh lagi melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Tetapi, karena mereka awam, maka mereka memerlukan penjelasan, bahwasanya “waktu imsak” bukanlah tanda larangan makan dan minum, tetapi sebuah peringatan supaya kita lebih berhati-hati dengan tidak lagi melakukan makan dan minum.
Tanda “waktu imsak” didasarkan pada hadits Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit berikut:
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
“Kami sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau menjalankan shalat”. Aku (Anas bin Malik) bertanya (kepada Zaid bin Tsabit): “Berapa kadar antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab: “Kadar 50 ayat”. (HR. Bukhari)
Dalam sebuah riwayat shahih yang lain disebutkan, bahwa Qatadah bertanya kepada Anas ketika bercerita tentang Zaid bin Tsabit yang sahur bersama Rasulullah:
كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِي الصَّلَاةِ قَالَ كَقَدْرِ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً
“Berapa kadar antara selesainya keduanya dari makan sahur dan masuk mengerjakan shalat? Anas menjawab: “Seperti kadarnya seorang laki-laki membaca 50 ayat” (HR. Bukhari dan Muslim)
Banyak yang membuat perkiraan, pembacaan 50 ayat tenggang waktu antara sahur dengan adzan shubuh adalah antara 10 sampai 15 menit.
Tradisi pemberitahuan “waktu imsak” tersebut kini digugat dan dihukum bid’ah sesat oleh kaum Wahabi. Menurut mereka, antara waktu sahur dengan waktu shalat shubuh tidak ada sela waktu yang disebut imsak. Alasan mereka adalah karena tidak ada dalil tentang “waktu imsak” itu sendiri. Dan masih menurut mereka, hadits shahih senggang waktu 50 ayat yang sudah disebutkan di atas salah difahami oleh kaum muslimin yang meyakini adanya “waktu imsak”.
Betul bahwa waktu sahur berakhir ketika masuk fajar shadiq. Tetapi masalahnya, “waktu imsak” yang merupakan waktu dimana kita disunatkan tidak lagi makan dan minum adalah waktu ihtiyath atau waktu berhati-hati. Silakan sahaja setelah “waktu imsak” masih makan dan minum, kerana “waktu imsak” tersebut bukan sebuah larangan makan dan minum seperti yang disangkakan sebahagian masyarakat kita yang awam. Tetapi mengingkari adanya waktu sela “waktu imsak” adalah sama dengan menyelisihi pemahaman para ulama dari hadits Nabi di atas. Dan kedua hadits shahih yang telah disebutkan merupakan hujjah yang kuat, insya Allah akan disampaikan komentar-komentar ulama tentang hasil istintbath-nya.
Kaum Wahabi, terkait penolakan mereka terhadap kesunatan memberi jeda waktu kadar 50 ayat sebelum shubuh yang disebut “waktu imsak”, berdasarkan atas tafsiran Abdullah bin Bassam dalam kitabnya, Taisir al-Allam syarah Umdah al-Hukkam (I/293). Dia menulis:
قَالَ أَنَسٌ: قُلْتُ لِزيْدٍ : كَمْ كَانَ بَيْنَ الأذَانِ وَالسُّحُورِ؟ قال: قَدْرُ خَمْسِينَ آيةٍ . الغَرِيْبُ : الأذَانُ : يُرِيْدُ بِهِ الإِقَامَةَ. وَيُبَيِّنُ ذَلِكَ مَا فِي الصَّحِيْحَيْنِ عَنْ أَنَسٍ عَنْ زَيْدٍ قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قُمْنَا إلىَ الصَّلاَةِ. قُلْتُ: كَمْ كاَنَ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً.
“Anas berkata: “Aku bertanya kepada Zaid: “Berapa kadar antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab: “Kadar 50 ayat”. Tafsir kata yang gharib: “Adzan yang dikehendaki Nabi adalah iqamah. Yang memperjelasnya adalah hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas dari Zaid. Ia berkata: “Kami sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami menjalankan shalat”. Aku (Anas) bertanya: “Berapa jarak antara keduanya?” Zaid menjawab: “Kadar 50 ayat”.
Dari perkataan ini, mereka mengambil kesimpulan, bahwa jarak antara sahur dengan iqamah shalat adalah tersangat hampir sekali dengan waktu shubuh. Mereka dengan tegas mengatakan, Rasulullah dan juga para shahabat melakukan makan sahur saat mendekati adzan shubuh atau bahkan (selesai) mendekati iqamah. Menurut mereka, tidak ada masa senggang antara adzan shubuh dengan sahur 50 ayat seperti yang dipahami dari lahiriyyah teks hadits.
Jadi, masalah yang dijadikan polemik adalah apakah kadar 50 ayat dalam hadits Nabi di atas dimulai dari sahur sampai adzan shubuh (adzan fajar shadiq) atau sampai iqamah (mengerjakan shalat)? Wahabi dengan sangat jelas memilih pendapat yang kedua.
Mari kita kaji lebih lanjut merujuk komentar-komentar ulama-ulama ahlussunnah yang kredibel dibidangnya. Apakah yang mereka katakan sama dengan yang dikatakan kaum Wahabi?
1.
Imam Ibnu Daqiq al-Id dalam Ihkam al-Ahkam syarah Umdah al-Ahkam (I/269) berkata:
فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ تَأْخِيْرِ السَّحُوْرِ وَتَقْرِيْبِهِ مِنَ الفَجْرِ وَالظَّاهِرُ أَنَّ المُرَادَ بِالأَذَانِ هَهُنَا الأَذَانُ الثَّانِي
فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ تَأْخِيْرِ السَّحُوْرِ وَتَقْرِيْبِهِ مِنَ الفَجْرِ وَالظَّاهِرُ أَنَّ المُرَادَ بِالأَذَانِ هَهُنَا الأَذَانُ الثَّانِي
“Ini adalah dalil tentang kesunatan mengakhirkan sahur dan mendekatkan ke fajar. Yang zhahir, yang dikehendaki dengan adzan di sini adalah adzan kedua”.
2. Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (VII/208) berkata:
وَفِيْهِ الحَثُّ عَلَى تَأْخِيْرِ السَّحُوْرِ إلىَ قُبَيْلِ الفَجْرِ
“Dalam hadits ini terdapat anjuran mengakhirkan sahur sampai sebelum sedikit fajar”.
Ertinya, terdapat anjuran sebelum fajar tiba kita tidak lagi melakukan sahur. Itulah “waktu imsak”.
3. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari (II/54) berkata:
كَمْ كاَنَ بَيْنَ الأذَانِ والسُّحُوْرِ أيْ أَذَانِ بنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ لِأَنَّ بِلاَلاً كَانَ يُؤَذِّنُ قَبْلَ الفَجْرِ وَالآخَرُ يُؤَذِّنُ إِذَا طَلَعَ
“Berapa kadar antara adzan dan sahur? Maksudnya adalah adzan Ibnu Ummi Maktum, karena Bilal mengumandangkan adzan sebelum fajar, dan yang lain (Ibnu Ummi Maktum) mengumandangkan adzan ketika sudah muncul fajar”.
4. Imam ad-Dusuqi al-Maliki dalam Hasyiyah-nya (V/78) berkata:
فَقَدْ وَرَدَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤَخِّرُهُ بِحَيْثُ يَكُونُ مَا بَيْنَ فَرَاغِهِ مِنْهُ وَبَيْنَ الْفَجْرِ قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الْقَارِئُ خَمْسِينَ آيَةً
“Maka telah datang riwayat, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan sahur sekira antara selesai sahur dengan fajar adalah kadar orang membaca 50 ayat”
5. Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari dalam Asnal Mathalib (V/324) berkata:
وَالسُّنَّةُ أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْفَجْرِ قَدْرَ خَمْسِينَ آيَةً
“Yang sunnah, antara sahur dengan fajar adalah kadar 50 ayat”.
Dengan demikian, menjadi jelas, bahwasannya maksud jarak waktu antara sahur dengan mengerjakan shalat sebagaimana dalam hadits Bukhari dan Muslim adalah antara sahur dengan adzan kedua sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama.
Kemudian Salafi Wahabi mencuba menguatkan pendapatnya, yakni tentang tidak adanya ruang sama sekali antara sahur dengan adzan shubuh, meskipun hanya bersifat sunat, dengan beberapa riwayat. Dan berikut ini kutipan riwayat-riwayat tersebut beserta paparan jawabannya:
Hadits Pertama:
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Ketika salah satu kalian mendengar adzan sementara wadah (minuman) masih ada ditangannya, maka janganlah diletakkan sampai ia menyelesaikan hajat darinya (meminumnya)” (HR. Ahmad dll.)
Jawapan:
Entah bagaimana cara mereka memahami hadits shahih riwayat Ahmad ini? Apakah mereka memahami, bahwa setelah adzan shubuh kita masih diperbolehkan makan dan minum sebagaimana lahiriyyah hadits tersebut?
Lebih jelasnya, biarlah al-Hafizh al-Munawi dalam Faidh al-Qadir (I/474) yang menjelaskan isi maksud hadits tersebut. Dan satu yang dapat dipastikan, penjelasan ini akan berbeza dengan yang dipahami kaum Salafi Wahabi tersebut.
Al-Munawi berkata:
(حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ) بِأَنْ يَشْرِبَ (مِنْهُ) كِفَايَتَهُ مَا لَمْ يَتَحَقَّقْ طُلُوْعُ الفَجْرِ أَوْ يَظُنَّهُ يَقْرُبُ مِنْهُ وَمَا ذُكِرَ مِنْ أَنَّ المُرَادَ بِهِ أَذَانُ الصُّبْحِ هُوَ مَا جَزَمَ بِهِ الرَّافِعِيّ فَقَالَ : أَرَادَ أَذَانَ بِلاَلٍ الأوَّل بِدَلِيْلِ إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا واشْرَبُوا حَتىَّ يُؤَذِّنَ ابنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ وَقِيْلَ المُرُادُ أَذَانُ المَغْرِبِ فَإِذَا سَمِعَهُ الصَّائِمُ وَالإِنُاءُ فِيْ يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ بَلْ يُفْطِرُ فَوْرًا مُحَافَظَةً عَلَى تَعْجِيْلِ الفِطْر وَعَلَيْهِ قَالَ الطَّيِّبي
“Sabda Nabi (Hingga ia menyelesaikan hajatnya) dengan minum darinya secukupnya, selama tidak nyata munculnya fajar atau menyangka sudah dekat dengan fajar. Apa yang disebutkan, bahwa yang dimaksudkan panggilan adalah adzan shubuh adalah yang dipedomani Imam ar-Rafi’i. Ia berkata: “Rasulullah mengkehendaki adzannya Bilal yang pertama, dengan dalil hadits: “Sesungguhnya Bilal adzan ketika masih waktu malam, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan”. Menurut sebahagian pendapat, panggilan yang dimaksudkan adalah adzan Maghrib. Maka, ketika orang puasa mendengar adzan sementara wadah makanan masih ada ditangannya, janganlah ia meletakkan tetapi segera berbuka dalam rangka menjaga kesunatan menyegerakan berbuka. Dan ini yang dipedomani Imam ath-Thayyibi”
Menjadi jelas, bahwa adzan yang dimaksudkan dalam hadits adalah adzan Bilal yang pertama yang berarti belum masuk waktu shubuh.
Hadits Kedua:
أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَالإِنَاءُ في يَدِ عُمَرَ فَقَالَ : أَشْرَبُهَا يَا رَسُولَ الله ؟ فَقَالَ : نَعَمْ ، فَشَرِبَهَ
“Shalat sudah dilaksanakan sedangkan wadah minuman masih di tangan Umar. Lalu Umar bertanya: “Aku boleh meminumnya wahai Rasulullah?”. Rasulullah menjawab: “Benar boleh”. Maka Umar pun meminumnya”. (HR. Abu Ya’la al-Maushili)
Jawapan:
Sungguh pemahaman sangat aneh jika hadits ini dijadikan pendukung menghukum bid’ahnya sesatnya waktu Imsak. Hadits ini membicarakan tentang, jika shalat akan segera dikerjakan sementara ia masih memegang cangkir minuman, maka ia diperbolehkan minum terlebih dahulu sebelum shalat. Dan hujjah atas pernyataan ini adalah Imam al-Bushiri dalam Ittifah al-Khairah (II/180) yang memberi judul hadits ini: “Bab mendahulukan makan dan minum sebelum shalat”.
Langsung tidak terkait sama sekali dengan yang didakwakan Salafi Wahabi.
Bahkan jika difahami seperti pemahaman mereka, seharusnya setelah adzan dan setelah iqamah shubuh masih boleh makan. Buktinya Umar bin Khaththab diperintahkan minum padahal shalat sudah hendak dikerjakan. Sungguh pemahaman yang jauh dari ilmu.
Hadits Ketiga:
Abu Zubair bertanya kepada Jabir tentang seseorang yang bermaksud puasa sementara ia masih memegang gelas untuk minum, tetapi ia mendengar adzan? Jabir menjawab:
كُنَّا نَتَحَدَّثُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لِيَشْرَبْ
“Kami menceritakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hendaknya ia minum!”. (HR. Ahmad)
Jawapan:
Imam Mulla Ali al-Qari menukil hadits ini dalam masalah ketika makan malam (asya’) sudah siap, sementara shalat sudah hendak dikerjakan. Maka, baiknya ia makan sekedarnya terlebih dahulu sebelum ia mengerjakan shalat. Dan sungguh aneh bin ajaib jika hadits diatas dijadikan dasar dalam mendukung pernyataan bid’ahnya bahwa tidak ada jeda “waktu imsak” yang sunat itu.
Hadits ini pun kalau dipahami secara literal menurut pemahan kaum Salafi Wahabi, seharusnya makan dan minum diperbolehkan meskipun sudah masuk waktu shubuh. Tetapi pahaman seperti ini adalah pahaman yang jauh melencong dari pengertian puasa itu sendiri.
Hadits Keempat:
Hadits Bilal:
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم آذَنُهُ بِالصَّلاَةِ وَهُوَ يُرِيدُ الصِّيَامَ ، فَشَرِبَ وَنَاوَلَنِي ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi tahukan waktu shalat, sementara beliau berkehendak puasa, maka beliau minum dan memberikan kepadaku, baru kemudian keluar untuk shalat” (HR. Ahmad dll)
Jawapan:
Hadits ini menunjukkan tentang sunatnya mengakhirkan sahur, bukan sahur ketika waktu shubuh sudah masuk. Terbukti al-Bushiri memasukkan hadits ini dalam anjuran menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur.
Jika hadits ini dipahami secara literal sesuai pemahaman salafi Wahabi, maka ertinya menjadi bahawa Rasulullah masih makan sahur padahal waktu shubuh sudah masuk. Dan ini adalah pemahaman tersangat keliru!
Hadits Kelima:
Hadits Anas bin Malik:
اِنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم قَالَ اُنْظُرْ مَنْ فِي المَسْجِدِ فَادْعُهُ فَإِذَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِي الله عَنْهُمَا فَدَعَوْتُهُمَا فَطَعِمُوْا ثُمَّ خَرَجُوْا فَصَلَّى بِهِمْ الصُّبْحَ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Lihatlah siapa yang berada dalam masjid, undanglah dia!”. Ternyata ada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu anhuma, maka aku undang mereka berdua. Kemudian mereka makan dan kemudian keluar. Lalu Rasulullah shalat shubuh bersama mereka” (HR. Bazzar)
Jawapan:
Hadits “hasan” ini tidak menunjukkan jika Rasulullah dan sahabat Abu Bakar dan Umar berpuasa, tetapi anjuran makan bersama-sama sebagaimana al-Bushiri dalam Ittihaf al-Khairah (IV/279) yang memasukkannya dalam bab “Makan bersama-sama”.
Hadits Keenam
Hadits Abdullah bin Umar yang berkata:
كاَنَ عَلْقَمَة ُبن عَلاثَة َعِنْدَ رَسُولِ الله صلى الله عليه و سلم فَجَاءَ بِلاَلٌ يُؤَذِّنُ بِالصَّلاَةِ فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم رُوَيْدًا يَا بِلاَلُ يَسْتَحِرُ عَلْقَمَةُ وَهُوَ يَسْتَحِرُ بِرَأْسٍ
“Alqamah bin Alatsah disamping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian datanglah Bilal yang mengumandangkan adzan shalat. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tunggulah wahai Bilal! Alqamah sedang sahur dan dia baru mulai makan sahur” (HR. Abu Dawud Thayalisi)
Jawapan:
Bukankah Bilal adalah shahabat Rasulullah yang ditugaskan mengumandangkan adzan pertama shubuh yang berarti sebelum adzan shubuh yang kedua (fajar shadiq) yang dikumandangkan Ibnu Ummi Maktum? Hadits tersebut sama sekali tidak terkait dengan yang didakwakan Salafi Wahabi.
Dalam sebuah hadits Nabi disebutkan:
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, kerana adzan Bilal yang masih belum masuk waktu shubuh maka sahurnya Alqamah juga sebelum shubuh.
Hadits Ketujuh
Riwayat Qurrah bin Hayyan bin Harist, ia berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عنه فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ السُّحُورِ أَمَرَ الْمُؤَذِّنَ فَأَقَامَ الصَّلاَةَ
“Kami sahur bersama Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Tatkala selesai dari sahur, Ali memerintahkan seorang muadzdzin, dan kemudian ia mengerjakan shalat” (HR. Thahawi)
Jawapan:
Atsar ini pun tidak berkait sama sekali dengan dakwa mereka.
Kemudian setelah memaparkan tujuh riwayat diatas, Salafi Wahabi tersebut berkata: “Dengan melihat beberapa riwayat di atas jelaslah bagi kita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat makan sahur sampai hampir mendekati adzan atau iqamah. Hampir tidak ada jeda antara keduanya (sahur dan adzan). Maka, makna kadar waktu 50 ayat itu merupakan kadar waktu selesai makan sahur sampai menjelang shalat shubuh (iqamat). Bukan waktu berhentinya sahur sampai adzan”.
Menurut saya pernyataan ini sangat tidak jelas. Lalu jeda antara makan sahur dengan menjelang iqamat shalat shubuh masuk waktu apa? Sebelum shubuh atau setelah shubuh? Ini memerlukan kejelasan.
Kemudian Salafi Wahabi tersebut memberi catatan akhir: “Untuk menghindari salah faham, parlu kami tegaskan bahwa tulisan ini juga tidak menganjurkan kaum muslimin untuk sahur setelah adzan shubuh dikumandangkan. Atau bahkan sahur sengaja sahur mendekati iqamah. Imsak puasa tetaplah berpatokan berpatokan pada ayat:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“….. dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.” (QS. Baqarah: 187)”
Menurut saya, ini adalah komentarnya orang yang bingung memahami riwayat hadits yang sudah ia sampaikan sendiri. Jika ia memahami tujuh riwayat yang telah ia sampaikan dengan baik tentu ia tidak perlu menyampaikan catatan akhir-nya seperti ini. Bahkan, jika ia konsisten dengan pemahamannya, maka seharusnya boleh makan atau minum setelah masuk waktu shubuh, yang penting belum mengerjakan shalat. Tetapi berangkat dari fahamnya yang gagal tersebut, akhirnya muncul kerancuan hukum yang membuat kacau pemahaman hadits. Andai ia mengikuti pemahaman ulama yang muktabar tentu tidak akan keluar kenyataan yang jauh dari ilmu itu.
Dan sekali lagi tanda imsakiyyah 50 ayat di atas hanya bersifat sunat untuk berhati-hati dalam memulai puasanya.
Ditulis Oleh Ustaz Nur Hidayat
0 Response to "Analisis Ilmiah dan Menjawab Syubhat Abul Jauzaa Terhadap Waktu Imsak"
Post a Comment