Latest Updates

Debat Abu Hanifah Dengan pendeta Yahudi


“Pada suatu ketika, kota Baghdad kedatangan seorang pendakwah Yahudi bernama Dahri. Kedatangannya memicu kegemparan di kalangan umat Islam. Dahri mencoba merusak pegangan umat Islam dengan membahas soal-soal yang berhubungan dengan ketuhanan. Dicabarnya para ulama Baghdad untuk berdebat dengannya.
Setiap kali tantangannya disahut, argumen-argumen Dahri tidak pernah dapat dipatahkan sehingga akhirnya tidak ada lagi ulama Baghdad dan ulama-ulama disekitarnya yang sanggup berhadapan dengannya. Dari kejadiannya ini, tahulah Khalifah bahwa Baghdad sudah ketiadaan ulama yang benar-benar kredibel dan tinggi ketaqwaannya.
Lalu Khalifah memerintahkan beberapa orang menteri meninjau ke daerah lain, kalau-kalau masih ada ulama yang bisa dibawa menghadapi Dahri. Figur wakil Khalifah menemui Imam Hammad bin Abi Sulaimann Al-Asy ari, seorang ulama yang tidak kurang juga ketokohannya.
Khalifah memerintahkan hari perdebatan antara Imam Hammad dan Dahri disegerakan. Dan acara bersejarah itu harus dibuat di Masjid Jamek di tengah-tengah kota Baghdad. Sehari sebelum pertemuan itu lagi, Masjid Jamek telah penuh sesak dengan orang banyak. Masing-masng menaruh harapan agar Imam Hammad berhasil menumbangkan Dahri karena beliaulah satu-satunya ulama yang diharapkan.
“Subhanallah …. Subhanallah …. Walauhaulawala quwwata illa billahi aliyyil azim ….!” Lidah Imam Hammad terus melafalkan kalimat mensucikan segala tohmahan yang tidak layak untuk Zat yang Maha Agung. Dia beristighfar terus. Rasanya dah tidak sanggup telinganya menadah bermacam tohmahan yang dilemparkan oleh Dahri yang biadab dan matarialis itu. Mempertikaikan keesaan Allah SWT buukanlah hal kecil dalam Islam. Ini kasus berat! Hatinya cukup pedih. Roh ketauhidannya bergelora. Mau rasanya dipenngal leher si Dahri yang angkuh itu di depan ribuan mata yanng turut hadir dalam acara iru.
Keesokannya, pagi-pagi lagi muncul Abu Hanifah, murid Imam Hammad yang paling dekat dan paling disayanginya. Namanya yang sebenarnya adalah Nu ‘man, yang ketika itu usiannya masih remaja. Bila melihat kondisi gurunya itu, Abu Hanifah pun bertanya untuk mendapat kepastian. Lalu Imam Hammad menceritakan keadaan yang sebenarnya. Dalam pada itu teringat Hammad akan mimpinya malam tadi, lalu dikabarkan kepada muridnya itu. Abu Hanifah mendengarnya dengan penuh khusyuk.
“… Aku bermimpi ada sebuah dusun yang amat luas lagi indah. Di sana kulihat ada sepohon kayu yand rendanng dan lebat buahnya. Tiba-tiba, di situ keluar seekor babi dari ujung desa. Lalu habis dimakannya buah yang masak ranum dari pohon itu. Hingga ke daun dan dahan-dahannya habis ditutuh.Yang tinggal cuma batangnya sahaja.Dalam pada itu juga keluar seekor harimau dari umbi pohon rindang tadi lalu menerkam babi itu dengan gigi dan kukunya yang tajam.Lalu, babi tadi mati disitu juga . “
Hammad termenung seketika. Kekalutan pikiran yang telah dicetuskan Dahri, yang bisa menggeser pegangan aqidah umat ini, tidak bisa di biarkan. Harus dihapus segera. Wajahnya yang tenang bagai air sungai yang mengalir jernih, masih nampak bercahaya walau di saat begitu genting. Satu kelebihan Abu Hanifah adalah beliau juga dikaruniai Allah ilmu menta’bir mimpi, sebagai mana nabi Allah Yusuf. Pada pengamatannya juga, mimpi tersebut akan memberi pertanda baik bahwa si Dahri pasti akan menerima akibatnya nanti. Dan setelah mendapat izin gurunya, dia pun mencoba mentafsirnya:
“Apa yang tuan lihat dalam mimpi tuan sebagai dusun yang luas lagi indah itu adalah tamsilan kepada agama Islam kita. Pokok yang berbuah lebat itu adalah tamsilan kepada sekalian ulamannya. Sedangkan sepohon kayu yang masih tinggal itu adalah tuan sendiri. Dan babi yang tiba-tiba muncul dan merusak pohon tersebut adalah si Dahri. Sedangkan harimau yang keluar lalu membunuh babi tadi … adalah saya … “jelas Abu Hanifah.
Ia juga meminta izin untuk membantu gurunya menghadapi si Dahri. Betapa gembiranya hati Iman Hammad bila aksi hasrat itu dari hati muridnya sendiri. Maka berngkatlah ilmuwan budak itu bersama gurunya untuk pergi ke Masjid Jamek di mana acara dialog akan diadakan yang dihadiri oleh orang banyak dan Khalifah. Seperti biasanya, sebelum menyampaikan dakyahnya, Dahri akan menantang dan memperleceh-lecehkan ulama dengan bersuara lantang dari atas pentas.
“Hai Dahri, apalah yang digusarkan. Orang yang mengetahuinya pasti menjawabnya!” Tiba-tiba suara Abu Hanifah mengejutkan Dahri dan menyentakkan kaum Muslimin yang hadir. Dahri sendiri terkejut. Matanya memandang tajam mata Abu Hanifah.
“Siapa kamu hai anak muda? Berani sungguh menyahut cabaranku … Sedangkan ulama yang hebat-hebat, yang berserban dan berjubah labuh telah ku kalahkan …!” Volume suara Dahri membidas Abu Hanifah.
“Wahai Dahri,” balas Abu Hanifah, “sesungguhnya Allah tidak melimpahkan kemuliaaan dan kebesaran itu pada sorban atau jubah yang labuh. Tetapi Allah menganugerahkan kemuliaan kepada orang-orang yang berilmu dan bertaqwa.” Abu Hanifah lalu membacakan sebuah firman Allah SWT yang artinya:
“Allah telah meninggikan derajat orang beriman dan berimul antara kamu beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)
Geram rasanya hati Dahri mendengarnya kepetahan lidah pemuda ini mendebat. Maka berlangsunglah acara dialog.perdebatan antara Abu Hanifah dengan tokoh Ad-dahriayyah, yang terkenal dengan pemikiran materialisdan ateisnya itu, bertahan dengan mendebarkan.
“Benarkah Allah itu ada?,” Soal Dahri memulai acara dialog.
“Bahkan Allah memang ada,” tegas Abu Hanifah.
“Kalau Allah maujud (ada), di mana tempatnya ..??” Suara Dahri semakin meninggi.
“Allah tetap ada tetapi dia tidak bertempat!” jelas Abu Hanifah.
“Heran, kau kata Allah itu ada, tetapi tidak bertempat pula …?” bantah Dahri sambil melemparkan senyuman sinisnya kepada hadirin.
“Ah, itu senang saja wahai Dahri. Coba kau lihat pada dirimu sendiri. Bukankah pada dirimu itu ada nyawa …” Abu Hanifah mulai mendebat. Orang-orang mulai memperhatikan gaya ilmuwan muda ini berpidato dengan penuh minat.
“Bahkan, memang aku ada nyawa, dan memang setiap makhluk yang bernafas itu ada nyawa …!” sahut Dahri.
“Tetapi apakah kau tahu di mana letaknya nyawa atau rohmu itu …? Dikepalakah, diperutkah atau apakah dihujung situs kakimu ..?” Terserentak Dahri seketika. Orang-orang mulai berbisik-bisik di antara mereka. Setelah itu Abu Hanifah mengambil pula segelas susu lalu ditampilkan pada Dahri, seraya berkata: “Apakah dalam air susu ini ada terkandung lemak …?”
Cepat Dahri menjawab, “Ya, bahkan!”
Abu Hanifah bertanya lagi, “Kalau begitu dimanakah lemak itu berada …? Di bagian atasnyakah atau dibawahkah …?” Sekali lagi Dahri terserentak, tidak mampu menjawab pertanyaan Abu Hanifah yang sopan itu. “Untuk mencari dimanakah beradanya roh dalam jasad dan tersisip dimanakah konten lemak dalam air susu ini pun kita tidak upaya, masakan pula kita dapat menjangkau dimanakah beradanya Zat Allah SWT di alam maya ini? Zat yang telah menciptakan dan mengatur seluruh alam ini termasuk roh dan akal dangkal kita ini, pun ciptaan-Nya, yang tunduk dan patuh di bawah urusan tadbir pemerintah-Nya Yang Maha Agung …! ” Suasana menjadi agak bingar. Dahri terpaku di kursi. Terbungkam lidahnya. Merah mukanya. Kesabarannya mulai terburai. Bila kondisi agak reda, Dahri membentangkan pertanyaan.
“Hai anak muda! Apakah yang ada sebelum Allah. Dan apa pula yang muncul setelah Dia nanti …” Semua mata tertuju pada Abu Hanifah, murid Imam Hammad yang pintar ini.
“Wahai Dahri! Tidak ada suatu pun yang ada sebelum Allah Taala dan tidak ada sesuatu pun yang akan muncul setelah-Nya. Allah SWT tetap Qadim dan Azali. Dialah yanng Awal dan Dialah yang Akhir”, tegas Abu Hanifah, singkat tapi padat.
“Pelik sungguh! Mana mungkin begitu …. Tuhan Wujud tanpa ada permulaan Nya? Dan mana mungkin Dia pula yang terakhir tanpa ada lagi yang setelah Nya ….?” Dahri mencoba berdalih dengan pikiran logika.
Dengan tersenyum Abu Hanifah menjelaskan, “Ya! Dalilnya ada pada diri kamu sendiri. Coba kau lihat pada ibu jari mu itu. Jari apakah yang kau nampak berada sebelum jari ini ..?” Sambil menuding ibu jarinya ke langit. Dan beberapa hadirin juga melakukan hal. “Dan pada jari manis kau itu, ada lagikah jari yang berikutnya …” Dahri membalik-balik jarinya. Tidak berpikir dia persoalan yang sekecil itu yang diambil oleh Abu Hanifah. “Jadi …! Kalaulah pada jari kita yang kecil ini pun, tidak mampu kita pikir, apalagi Allah Zat Yang Maha Agung itu, yang tidak satu pun yang mendahului-Nya dan tiada sesuatu yang kemudian setelah-Nya.”
Sekali lagi Dahri tercenggang. Bungkam. Namun masih tidak berputus asa untuk mematahkan argumen anak muda yang telah memalukannya di muka umum. Khalifah kagum melihatnya gelagat Dahri dengan penuh tanda tanya. Dahri berpikir seketika, menemukan jalan, mencari ide. Seperti suatu ilham baru telah menyuntik mindanya, iapun tersenyum. Hati Dahri bergelodak bagai air tengah mendidih.
“Ini pertanyaan yang terakhir buat mu, hai .. budak mentah!” Sengaja Dahri mengeraskan suaranya agar rasa malunya itu terperosok.
“Allah itu ada, kata mu. Ha! Apakah pekerjaan Tuhan mu saat ini?” Pertanyaan tersebut membuat Abu Hanifah tersenyum riang.
“Ini pertanyaan yang sungguh menarik. Jadi kenalah terjawab dari tempat yang tinggi agar dapat didengar oleh semua orang,” katanya. Pemuda ideologi Ad-Dahriyyun yang sedari tadi mentalitinya ditantang terus, berjalan turun meninggalkan mimbar masjid Jamek, memberi tempat untuk Abu Hanifah:
“Wahai sekelian manusia. Ketahuilah bahwa kerja Allah ketika ini adalah menggugurkan yang bathil sebagaimana Dahri yang berada di atas mimbar, diturunkan Allah ke bawah mimbar. Dan Allah juga telah menaikkan yang hak sebagaimana aku, yang berada di sana, telah dinaikkan ke atas mimbar Masjid Jamek ini …! “
Bagai halilintar, argumen Abu Hanifah menerjang ke dua-dua pipi Dahri. Seiring dengan itu bergemalah pekikan takbir dari massa. Mereka memuji-muji kewibawaan Abu Hanifah yang telah berhasil menyelamatkan martabat Islam dari lidah Dahri yang sesat lagi menyesatkan itu. Sampai saat ini, nama Imam Abu Hanifah terus dikenal keserata dunia sebagai seorang Fuqaha dan salah seorang dari Imam Mujtahid Mutlak yang empat. Kemunculan Mazhab Hanafi dalam fiqh Syar’iyyah, juga mengambil sempena nama ulama ini.

0 Response to "Debat Abu Hanifah Dengan pendeta Yahudi"

Post a Comment

X-Steel - Wait