Latest Updates

IJTIHAD DI ZAMAN RASULULLAH





Sebenarnya ijtihad sudah ada sejak zaman Rasulullah, saat Rasulullah di hadapkan tawanan perang Badar. Rasulullah meminta pendapat para sahabat, hukuman apa yang pantas di ganjar pada mereka.
Muncul beberapa pendapat dari sahabat,Abu Bakar sebagai sahabat yang paling bersahaja, berpendapat agar mereka di biarkan hidup dengan di bebani pajak keamanan.Abu Bakar berharap mereka mau bertaubat sehingga dapat menunjang kekuatan kaum muslimin dalam melawan kekufuran.
Umar berpandangan bahwa paratawanan adalah orang-orang yang yang memusuhi islam dan Rasulullah karena itu, sebagai imbalannya mereka harus di bunuh.lebih dari itu, Ibnu Rawahah berpendapat, mereka-mereka seharusnya di bakar dalam kobaran api yang membara, mereka tidak pantas di beri ampun.
Rasulullah berlalu begitu saja setelah mendengar pendapat para sahabat itu.Ribuan pertanyaan mendekam di benak para sahabat pendapat siapakah yang di setujui Rasulullah
Kemudian Rasulullah datang dan bersabda:Hari ini, kalian dalam keadaan miskin, maka salah satu dari tawanan sama sekali tidak boleh di lepaskan kecuali telah membayar tebusan atau di potong lehernya.
Ke esokan harinya sahabat Umar mengunjunyi Rasulullah yang saat itu bersama Abu Bakar. Umar meliat butir butir air mata mengalir membasahi pipi mereka berdua.
Saat Umar bertanya pengebab tangisan itu, Rasulullah menjawab: Aku menangis para sahabatku telah mengambil tebusan (karena ijtihad beliau) dari para tawanan, padahal telah di jelaskan bahwa hampir saja azhab turun pada mereka.’’
Kebijakan Rasulullah agar tidak melepaskan tawanan perang kecuali dengan membayar tebusan merupakan hasil ijtihad.Rasulullah mempertimbangkan keadaan para sahabat yang kala itu mengalami kemiskinan. Oleh karnanya Allah menegor Rasulullah atas keputusan yang telah di ambilnya, firman Alla:مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآَخِرَةَ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (67) لَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (68) فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya :Tidak patut bagi se orang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi ini.Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki pahala akhirat untukmu Allah maha perkasa lagi bijak sana. Kalau sekiranya tidak ada ke tetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu di timpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.(Al-Anfal:67-68)
Kisah di atas menunjukkan bahwasanya nabi juga ber ijtihad ketika ada suatu masalah yang tidak ada nash syarih dalam Al-Qur’an tapi meskipun demikian ulama’ masi berbeda pendapat tentang bolehnya nabi berijtihad
Menurut jumhurul ulama’ ushul di antaranya Ibnu Hajib Al-Amady dan sebagian golongan hanafiah dan begitu juga golongan syafi’iyah di antaranya Fathu Al rozi dan Baidowi ber pendapat bahwa boleh nabi ber ijtihad dalam urusan agama dan dunya
Menurut pendapat Imam Ibnu Hazim tidak boleh nabi ber ijtihad secara mothlaq bahkan dia berkata:Sesungguhnya orang yang mengangka nabi berijtihad, sesungguhnya ijtihad boleh para nabi jika tidak ada wahyu pada para nabi dalam masalah yang terjadi di masanya maka orang itu kafir dan cukup untuk menolak pendapat bolehnya ijtihad pada para nabi dengan firman Allah
إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
Aku hanya ikut pada apa yang di wahyukan kepadaku sesengguhnya akau takut bila saya berma’siat pada pada azhab allah di hari kiamat (Yunus :15)
Ijtihad di masa sahabat.
Dalam periode ini, di kenal dengan sebutan priode fatwa dan penafsiran terhadap sumber hukum islam, lantaran banyak muncul kasus-kasus baru yang belum terjadi di masa Rasulullah SAW. Dan untuk memberi kan kejelasan hukum, para sahabat memberi fatwa atau keputusan dengan cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist, sekalipun yang menjadi sumber tetap adalah Al-Qur’an dan Hadist.
Jika dalam realitas sosial terjadi kasus yang ketentuan hukumnya tidak di temukan di dalam kedua sumber hukum tersebut,mereka mengadakan musyawarah. Jika di peroleh kesepakatan pendapat, maka terjadilah Ijma’ sahabat, sekalipun hanya bisa belaku pada masa Abu Bakar.Jika kesepakatan itu tidak mungkin di capai, mereka melakukan ijtihad dengan beberapa teori. Seperti teori qiyas,istislah,sadz zari’ah,yang ruang lingkupnya pembahasannya di batasi pada kasus-kasus yang benar terjadi.
Ijtihad di masa tabi’in
Pada masa tabi’in ini (generasi sepeninggalan sahabat), ijtihad terus berlangsung. Mereka tersebar di berbagai negri yang berada bibawah kekuasaan dinasti Amamiyah. Guru-Guru mereka adalah para sahabat nabi yang menyebar ke berbagai negri, seperti Ibnu Umar dan Zaid Ibnu Tsabit di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Ibnu Abbas di Makkah, Amr bin Ash di Mesir, dan sebagainya. Pada priode ini umat islam pecah menjadi tiga kelompok, yaitu Khawarij, Syi’ah dan Jumhur. Perpecahan ini membawa dampak pada perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam.
Khawarij dan Syiah hanya menerima hadist dari sahabat tertentu dan menolak yang lain, sementara itu kelompok jumhur bisa menerima setiap hadist shahih yang di riwayatkan oleh perowi yang tsiqah dengan tanpa membeda bedakan antara para sahabat yang ada. Sebagai akibat dari perbedaan sikap ini maka muncullah fatwa-fatwa yang berbeda di antara masing masing kelompok. Ciri lain yang menandai priode ini adalah munculnya madrasah Ahlu Al Ru’yi dan Ahlu Hadist yang masing masing mempunyai spesifikasi dalam menetapkan hukum islam.Ahlu Al Ra’yi lebih mengutamakan pada penggunaan rasio dalam menetapkan suatu hkum, sementara itu Ahlu Al Hadist lebih banyak mengutamakan riwayat hadist di banding rasio.
Eksistensi ahli Al-Ra’yu di Irak(dengan tokohnya Ibrahim Al-Nukha’iy)dan ahli Al Hadist di Hijaz (dengan tokohnya Sa’ad bin Al-Musayyab), berpengaruh besar terhadap sistem penerapan metode ijtihad dalam ber istinbatkan hukum Islam. Hal ini dapat di lihat dari sistem penerapan metode ijtihad masing- masing yaitu.
1.) Kalangan Ahli Al-Hadist
Mereka hanya melakukan pengelesaiyan kasus-kasus riel yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat, tanpa memproyeksikan problem yang belum perna terjadi untuk di carikan status hukumnya, sehingga dengan metode ini,mereka tidak sampai keluar dari pemahaman nash secara tekstual.
2.)Kalangan Ahlu Al Rya’yi
Dalam metode ijtihad mereka, mereka selalu menggunakan teori istishlah dan tiori qiyas dengan patokan dan aturan yang sangat jelas, hanya saja belum sampai di bukukan,baik metode ijtihadnya dalam bentuk ilmu ushul- fiqih maupun hasil ijtihadnya dalam bentuk fiqih.Mereka para ahli Al Rakyi berijtihad tidak terbatas pada lingkup peristiwa yang sudah terjadi saja, tetapi melangkah sampai pada peristiwa yang di asumsikan bakal terjadi.
Pada priode ini perbedaan pendapat di antar Ahli hadist dan Ahli Ra’yi, antara sesama kelompok ahli al rakyi sendiri sangat luas dibandingkan dengan perbedaan yang terjadi di masa sahabat, sehingga banyak bermunculan para mujtahid yang menjadi mufti di berbagai negara islam, baik dari kalangan ahlu Al Rakyi maupun ahli Al Hadist, seperti di Madinah,Basrah, Kufah, Yaman, Mesir dan lain-lainnya.Para mujtahid tersebut memberi fatwa kepada penduduk dan meriwayatkan hadist dari Nabi SAW. Bahkan setiap penduduk bisa sengat mudah bertanya langsung kepada para mufti tentang berbagai masalah.
Ijtihad pasca imam imam mazhab
Pada periode ini di sebut periode taqlid, karena para ulama’ telah lemah semangatnya,mereka lemah kembali kepada hukum tasyri’ yang asasi guna guna menarik hukum nash Al Qur’an dan Al Sunnah dan lemah semangatnya untuk menginstinbatkan hukum yang tidak ada nashnya, dengan salah satu dalil syara’. Para ulama’ pada periode ini terbiasa mengikuti hukum yang telah ditentukan oleh para imam mujtahid pada masa lampau beserta ushul fiqihnya.
Periode taqlid ini di mulai sejak pertengahan abad ke empat hijriyah, bersamaan dengan muncul berbagai faktor yang menimpa umat islam.
Pengebab terhentinya gerakan ijtihad, setidaknya ada empat faktor yang menyebabkannya:
1.)Daulah islamiyah terbagi bagi dalam sejumlah kerajaan, dimana para rajanya, penguasanya, dan rakyatnya saling bermusuhan.
2.)Para imam-imam mujtahid terbagi bagi menjadi beberapa golongan.
3.)Umat islam aga’ mengabaikan prosedur pembuatan dan pengaturan perundang undangan.
4.)Para ulama’ banyak yang menderita penyakit moral, yang menghalangi mereka untuk menjadi mujtahid.
Meskipun terdapat beberapa faktor yang menghalangi mereka untuk melakukan ijtihad mutlaq, dan mengeluarkan hukum syara’ dari sumbernya yang pertama, namun semangat ulama’ untuk menekuni bidang tasyri’ di wilaya mereka yang terbatas, masih berlangsung. Contohnya saja imam Ghazali.

Al Gazali dan pemikirannya
1.) Biografi Al Gazali
Beliau adalah seorang pemikir Islam terbesar , tidaka hanya di kenal di dunia islam, tetapi juga di luar islam, maka sangat wajar jika banyak penulis tertarik untuk menulis dan mengkaji pemikiran-pemikiran Al Gazali, baik dari kalangan muslim, maupun dari kalangan orientalis. Al Gazali i (1058/1111M.) merupakan salah seorang pemikir yang muncul pada masa pasca puncak kemajuan islam. Sebagai pemikir besar isalam, maka hasil pemikiran Al Gazali masih tetap menjadi warisan umat islam, meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran pengaruh Al Gazali tersebut dapat dilihat dari gelar ‘’hujjah al- islamiyah yang di sandangnya.Berbagai pujian dan cercaan yang di lontarkan ng oleh orang yang tidak senang kepadanya karena kebesaran nama Al-Gazali.
2.)Pemikiran Al Gazali
Adapun landasan pemikiran Al Gazali,bahwa sebagai seorang muslim tetap mendasri pemikiran-pemikiran kepada pokok ajaran islam, yaitu Al Qur’an dan Hadist. Disamping itu juga ia mempergunakan akal (Al Ma’kul) sebagai landasan berpikirnya. Didalam kitabnya Qanun Al Ta’wil, Al Gazali mengungkapkan kesetujuannya terhadap golongan yang menggabungkan antara wahyu dengan akal sebagai dasar penting dalam membahas sesuatu. Ketika Al-Gazli membahas dalil-dalil pokok (yang utama) untuk ijma’ia menempuh tiga jalan.sebagai berikut:
1.)Berpegang pada Al Qur’an
2.)Berpegang pada pendapat Rasulullah SAW, bahwa umat tidak akan bersepakat pada kesalahan (kesesatan),
3.)Berpegang teguh pada ma’nawi..
Klasifikasi Ijtihad dan Mujtahid
Ma’ruf al-Dawalibi berpendapat bahwa ijtihad itu diklasifikasikan menjadi tiga bagian[34], yaitu:
al-Ijtihad al-Bayi
Yaitu menjelaskan hukum-hukum syara’ yang memang kepastian hukumnya sudah ada dalam nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadits.
al-Ijtihad al-Qiyasi
Yaitu menggali hukum syara’ karena adanya suatu kejadian baru yang di dalam nash tidak ada ketentuan hukum pastinya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan metode analogi atau qiyas.
al-Ijtihadi al-Istishlahi
Yaitu menggali hukum dari suatu kejadian baru yang kepastian hukumnya dalam nash tidak ada. Hal ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori hukum islam atau qaidah istishlahi.

Pada dasarnya untuk mengetahui klasifikasi tingkatan para mujtahid tergantung pada sejauh mana keadaan sifat dan aktivitas yang dilakukan oleh mereka sendiri, sehingga untuk mengklasifikasikannya para ulama berbeda-beda. Sekalipun demikian, pada umumnya mereka tidak bisa dilepaskan dari kedua keadaan yang telah mereka miliki, sehingga tingkatan mujtahid satu dengan lainnya berbeda, diantaranya adalah:
  1. Mujtahid Fi al-Syar’y, atau diistilahkan dengan nama Mujtahid Muthlaq atau Mujtahid Mustaqil[35]. Yaitu mujtahid yang memiliki semua persyaratan yang harus ada padanya secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam  berbagai masalah hukum syar’i, tanpa terikat oleh imam suatu madzhab, bahkan mereka mampu mengistinbathkan hukum dari sumber aslinya tanpa terikat dengan pendapat para mujtahid lain, sehingga dalam kerjanya mereka dapat menempatkan sistem metodologis (ushul fiqih) -nya sendiri. Misalnya; Sa’id bin Musayyab, Ibrahim al-Nakha’i (dari generasi tabi’in), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy, Imam Ahmad ibn Hambal, al-Auza’iy, Imam Ja’far al-Shiddiq, Laits bin Sa’ad, Sufyan al-Tsauri dan para imam mujtahid yang tingkatannya setara dengan mereka[36].
  2. Mujtahid Muntasib atau Mujtahid Berafiliasi atau Mujtahid Muthlaq Ghair al-Mustaqil[37]. Yaitu mujtahid yang telah memiliki semua persyaratan secara sempurna dan dalam melakukan ijtihadnya ia mengikuti sistem yang telah ditetapkan oleh imam madzhabnya, sekalipun keputusan akhir yang didapatkan tidak sama dan tidak sependapat dengan pandangan imam madzhabnya, khususnya dalam masalah furu’iyyah. Maksudnya, seorang mujtahid yang selalu berpegang teguh pada norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath hukum yang telah dijalani oleh imamnya, akan tetapi keputusan akhir dalam masalah furu’iyyah dimungkinkan berbeda, bahkan berseberangan dengan keputusan yang telah diambil oleh imam madzhabnya[38], sebab mereka dalam hal metodologi ijtihadiyyah hanya sekedar menafsirkan apa yang dimaksud dengan norma dan kaidah istinbath tersebut. Misalnya; [-Hanafi-], seperti Imam Zufar (w158H), Muhammad bin Hasan al-Syaibani (w189H), dan Abu Yusuf (w183H). [-Maliki-], seperti Imam Ibnu al-Qasim, Imam Asyhab dan Ibnu ‘Abdu Hakam. [-Syafi'iy-], seperti Imam al-Muzaniy (w264H), al-Buwaithi dan al-Za’faroniy. [-Hambali-], seperti Ibnu Taimiyah yang berafiliasi dengan Imam Ahmad ibnu Hambal[39].
  3. Mujtahid Fi al-Madzhab atau Mujtahid Takhrij[40]. Yaitu seorang mujtahid yang dalam istinbathnya selalu mengikuti sistem yang telah dipakai oleh madzhabnya dan dalam masalah furu’iyyah ia selalu mengikuti imam madzhabnya. Sekalipun demikian ia sudah mampu melakukan ijtihad dalam masalah-masalah yang belum ada atau memang tidak ditentukan kepastian hukumnya oleh imam madzhabnya[41]. Karena hal itulah ia memiliki kemampuan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang belum diijtihadi oleh para imam madzhabnya dan selebihnya ia melakukan penyeleksian beberapa fatwa hukum (qaul) yang dikutip dari dokumentasi ijtihad imam madzhabnya untuk dinilai mana yang shahih (ashah) dan mana yang lemah (adh’af)[42]. Misalnya dari kalangan; [-Hanafiyyah-], seperti Imam Hasan bin Ziyad dan Abu Ja’far al-Thahawi. [-Syafi'iyyah-] seperti Imam Haramain atau al-Juwaini, Abu Ishaq al-Sairaziy dan al-Marwaziy. [-Hanabilah-] seperti al-Khiraqi dan lainnya.
  4. Mujtahid Murajjih atau lazim disebut dengan istilah Faqih al-Nafsi atau Mujtahid Independen[43]. Yaitu seorang mujtahid yang tidak pernah melakukan ijtihad sendiri dalam memecahkan masalah-masalah baru, tetapi ia hanya menekuni studi perbandingan (muqaranah) antara beberapa pendapat yang berbeda di kalangan para ulama, baik yang masih dalam satu madzhab maupun dalam beberapa madzhab[44]. Hal ini dilakukan dengan cara menilai mana yang lebih kuat (aqwa) dan yang lebih benar (arjah) dalilnya[45]. Maka dari itu ia selalu terikat oleh sistem-sistem yang telah ditetapkan oleh imamnya dan ia juga selalu mengikuti imamnya dalam masalah furu’iyyah, hanya saja jika ada masalah yang masih diperselisihkan di kalangan madzhabnya, ia mampu melakukan suatu penetapan hukum mana yang nilainya lebih utama (arjah) dan lebih kuat (aqwa) dari pada penetapan-penetapan hukum yang lain. Misalnya dari kalangan; [-Hanafiyyah-] seperti Imam al-Qadiri dan al-Marghinani. [-Syafi'iyyah-] seperti Imam Nawani, Imam Rofi’i, Imam Ramli dan Ibnu Hajar al-Haitami.
Dari para mujtahid inilah, maka di masa seperti sekarang ini kemungkinan besar dalam kondisi terdesak dibutuhkan seorang mujtahid independen untuk memfungsikan warisan fiqih para imam madzhab dengan tidak terikat secara ketat oleh madzhab tertentu, bahkan boleh jadi dalam memecahkan persoalan baru dipergunakanlah metodologi istinbath gabungan dari berbagai aliran ushul fiqih yang terlihat relevan untuk masa kini.
Dengan demikian, maka setiap muslimin yang telah memiliki semua persyaratan seperti tersebut di atas secara otomatis ia berkewajiban untuk melakukan ijtihad, artinya sudah tidak lagi berkewajiban atau bahkan tidak diperbolehkan bertaqlid kepada imam mujtahid lain, sebab pada dasarnya ia sendiri telah memiliki kedudukan sebagai mujtahid, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy, dan Imam Ahmad ibnu Hanbal, yang semuanya berkedudukan sebagai mujtahid dan bertaqlid satu dengan yang lainnya jelas tidak diperbolehkan.
Sekalipun demikian, yang perlu diperhatikan sekarang adalah; Bagaimana caranya ummat islam dapat menghayati dan memahami sebaik-baiknya kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, sehingga mereka tidak melakukan suatu kesalahan dalam menafsirkannya.
Akan tetapi bagi mereka yang belum atau bahkan tidak memiliki kemampuan untuk itu, maka wajib baginya bertaqlid secata muthlaq, artinya mereka tidak diperbolehkan melakukan suatu percobaan dalam berijtihad selama persyaratan belum terpenuhi[46]. Karena hal itulah, melarang seseorang untuk bertaqlid berarti memerintahkannya untuk berijtihad!
Jika sudah jelas tidak ada kemampuan untuk itu, maka yang harus dilakukan adalah dengan jalan; apa dan bagaimana ajaran islam yang terkandung di dalam kedua sumber asalnya bisa diamalkan secara baik dan benar? Hal ini hanya dapat dijawab dengan; pertanyaan yang diajukan kepada orang yang ahli dan semua perkara yang telah difatwakan wajib diterima dan diamalkan, sehingga penerimaan fatwa dari yang ahli inilah yang disebut dengan istilah “Taqlid”[47] atau “Ittiba’”.
Foot Note:
[34] Wahbah, Ushul…, Op-Cit, Juz II hal.1069
[35] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz II hal.1107 dan Abdudu; l Wahab Klhalaf, Ushul Fiqh, hal.342 atau al-Muwwaqqi’in, Juz IV hal.212
[36] Zahrah, Tarikh al-Mazhahib…, Op-Cit, hal.315
[37] Wahbah, Ushul…, Op-Cit, Juz II hal.1108
[38] Zahrah, Tarikh…, Op-Cit, hal.319
[39] Zahrah, Tarikh…, Op-Cit, hal.319
[40] Wahbah, Ushul…, Op-Cit, Juz II hal.1108
[41] Zahrah, Tarikh…, Loc-Cit.
[42] Sebagaimana dalam kaidah kelima dari kaidah keduapuluh yang diperselisihkan. Lihat al-Suyuthi, al-Asybah…, Op-Cit, hal.111 tentang transaksi jual beli. Zahrah, Tarikh…, Loc-Cit.
[43] Wahbah, Ushul…, Op-Cit, Juz II hal.1108-1109
[44] Zahrah, Tarikh al-Mazhahib…, Op-Cit, hal.320
[45] Hal ini dapat dilihat dari adanya kaidah dua puluh yang diperselisihkan seperti masalah shalat jum’at, apakah termasuk shalat dhuhur yang diringkas ataukah shalat yang pelaksanaannya disempurnakan empat rakaat. Lihat al-Suyuthi, Imam Jalal al-Din, al-Asybah wa al-Nadla’r fi al-Furu’, hal.109 dan al-Jarhazi, Abdullah bin Sulaiman al-Syafi’iy, al-Mawahib al-Saniyyah, hal.279
[46] al-Syahrastaniy, Muhammad Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad, al-Milal wa al-Nihal, hal.201
[47] Sebagaimana pandangan ahli Ushul Fiqih kalangan Hanafiyyah, seperti Kamal al-Din Ibn al-Hummam (w861H) yang mengatakan bahwa, “seseorang itu diperbolehkan untuk mengikuti keringanan-keringanan beberapa madzhab dan syara’ tidak membuat larangan, sebab bagi tiap-tiap manusia boleh berjalan dan memilih jalan yang paling ringan baginya jika dia memiliki jalan ke arah itu.” Lihat Amir Bad Syah al-Hanafi, Tahrir al-Tahrir, Juz IV, Mesir, Mushtafa al-Babi al-Halabi, 1351H, hal.254.

PEMBAHASAN
1.      Pengertian Hukum.
Menurut ahli Ushul fiqih, hukum adalah kitab Allah yang mengenai segala pekerjaan mukalaf baik titah itu mengandung tuntutan, suruhan, larangan, ataupun semata-mata menerangkan kebolehan atau menjadikan sesuatu sebab, syarat, dan penghalang terhadap suatu hukum.[1]

Ahli Ushul mendefinisikan hukum adalah kitab Allah yang menyangkut tindak tanduk mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat atau tidak atau dalam bentuk ketentuan-ketentuan.
Ahli fiqh mendefinisikan hukum adalah sifat yang merupakan pengaruh atau akibat yang timbul dari titah Allah terhadap orang mukalaf [2]

2.      Pembagian Hukum
A.    Hukum Taklifi
Adalah Hukum yang menetapkan tuntutan terhadap orang mukalaf  untuk melakukan sesuatu, atau tuntutan untuk meninggalkan sesuatu atau membolehkan memilih antara melakukan atau meninggalkan sesuatu[3]
Hukum Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.[4]

B.     Macam Macam Hukum Taklifi
Menurut jumhur(kebanyakan ulama) ada lima.
1.      Ijab
Tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh di tinggalkan. Misal.
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# öNà6¯=yès9 tbqçHxqöè? ÇÎÏÈ  
QS: An-Nur ayat 56
.” Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.”

2.      Nadb
Tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa,melainkan sebagai anjuran sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Misal.


Lafal faktubuhu (maka tuliskanlah olehmu),dalam ayat itu pada dasarnya menandung perintah (wujub,tetepi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang terdapat dalam kelnjutan dari ayat Al-Baqarah ayat 283


3.      Ibahah
Kitab Allah yang bersifat fakultatif, mengandug pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara tidak sama



4.      Karahah
Tuntutan untuk meninggalakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersihat memaksa. Misal


Perbuatan halal yang paling di benci Allah adalah Talaq.(HR.Abu Dawud, Ibnu majah,Al baihaqi dan hakim.)
5.      Tahrim
Tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Misal

                        Menurut Ulama’ Hanafiyah ada tujuh:
1.      Iftiradh
Tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil yang Qoth’i misalnya, tuntutan melaksanakan sholat dan membayar zakat. Ayat dan hadistyang mengandung tuntutan mendirikan sholat dan membayar zakat sifatnya Qoth’i.
2.      Ijab
Tuntutan Allah yang bersifat kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat Zhanni (relatif benar). Misalnya, membaca Al-fatikhah dalam sholat dan Ibadah kurban. Perbuatan perbuatan seperti ini, menurut ulama’hanafiyah tuntutannya bersifat Ijabdan wajib dilaksanakan, tetapi kewajibannya di dasarkan atas tuntutan yang Zhanni.
3.      Nadb
Maksudnya sama dengan yang di kemukakan jumhur ulama’
4.      Ibahah
Maksudnya sama dengan yang di kemukakan jumhur ulama’
5.      Karahah Tanzihiyyah
Tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa. Misal, larangan berpuasa pada hari jum’at. Karahah tanzihiyyah di kalangan hanafiyah, sama pengertiannya dengan jumhur ulama’
6.      Karahah tahriniyyah
Tuntutan kepada mukallaf Allah untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan cara memaksa, tetapi di dasarkan kepada dalil yang zhanni. Apabila pekerja yang dituntut untuk di tinggalkan, maka ia di kenakan hukuman.
7.      Tahrim
Tuntutan kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan secara memaksa dan di dasarkan pada dalil yang Qoth’i. misal, larangan membunuh orang dan berbuat zina
Perbedaan pembagian hukum taklifi antara jumhur ulama’ ushul fiqh dengan ulama’ hanafiyah tersebut bertolak dari sisi kekuatan dalil[5]
Adapun ulama’ hanafiyah merinci lagi tuntutan pasti itu dari segi kekuatan dalilnya menjadi dua, yaitu:
1.      Tuntutan mengerjakan secara pasti di tetapkan melalui dalil yang” Qoth’i “ atau pasti disebut fardlu
2.      Bila dalil yang menetapkannya tidak bersifat pasti “zhanni” hukumnya disebut wajib[6]
C.     Hukum Wadh’i
Firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.[7]
D.    Macam-Macam Hukum Wadh’i
1.      Sebab
Sesuatu yang oleh Syar’i dijadikan indikasi adanya sesuatu yang lain yang menjadikan akibatnya, sekaligus menhubungkan adanya akibat karena adanya sebab dan ketiadaan sebab. Jadi sebab merupakan sesuatu yang nyata dan pasti yang dijadikan syar’i sebagai pertanda dalam hukum syara’ mengenai akibatnya [8]
Sesuatu yang jelas dan merupakan titik tolak atau pangkal lahirnya hukum, sehingga dengan adanya sebab mengakibatkan tidak adanya hukm.
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( ( 
QS: An-Nur ayat 2

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, “


2.      Syarat
   Adalah sesuatu yang harus ada karena adanya hukum yang bergantung kepadanya. Tidak adanya syarat mengakibatkan tidak ada hukum. Contohnya, berwudlu merupakan syarat sahnya sholat. Firman Allah SWT :
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4
QS : Al-Maidah ayat 6

 “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, “



Tidak ada wudlu berarti tidak ada sholat, akan tetapi dengan adanya wudlu, tidak mesti untuk sholat, karena seseorang melakukan wudlu itu untuk keperluan untuk mebaca Al-Qur’an. Dengan demikian antara “ sebab” dan “syarat” memilikai persamaan dan perbedaan adapun kesamaannya adalah tidak ada sebab, mengakibatkan tidak adanya hukum. Sama halnya apabila tidak ada syarat, hukumpun tidak ada. Sementara itu, perbedaanya ialah denga adanya sebab harus ada hukum. Akan tetapi, dengan adanya syarat tidak harus adanya hukum.

3.      Mani’ (pengahalang)
Adalah sesuatau yang karenanya menyebabkan tidak adanya hukum meskipun telah ada dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani’ maka hukum yang tadinya meskki berlaku menjadi tidak berlaku.


Adakalanya mani’ itu dilakukan dan dalam kesanggupan orang mukallaf seperti pembunuh yang dilakukan oleh seorang ahli waris terhadap muwaris menjadi penghalang bagi keduanya untuk saling mewarisi, akan tetapi ada kalanya di luar kesanggupan manusia, seperti haid bagi seorang wanita merupakan penghalang terhadap syahnya sholat bagi wanita tersebut.

4.      Shihah
Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada mani’. Misalnya mengerjakan sholat dzuhur setelah tergelincir matahari ( sebab) dan telah berwudlu (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya ( taiadak haid, nifas, dan sebagainya). Dalam contoh ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah. Oleh sebab itu apabila sebab tidak ada dan syaratnya tudak terpenuhi, maka sholat itu tidak sah sekalipun mani’nya tidak ada.

5.      Bathil
Yaitu terlepasnyaa hukum syara’dari ketentuan yang di tetapkan dan tidak ada akibat hukum yang di timbulkannya. Misalnya, memperjuakk belikan minuman keras. Akad ini di pandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
Disamping batal, ulama’Hanafiyah juga mengemukakan hukum lain yang berdekatan dengan batal, yaitu fasid. Yaitu menurut mereka, fasid adalah terjadinya suatau kerusakan dalam unsur-unsur akad.
Jumhur ulama’ ushul fiqh / mutakalimin berpendirian antara batal dan fasid adalah dua istilah dengan pengertian yang sama yaitu sama-sama tidak sah.

6.      Azimah dan Rukhshah
Azimah adalah hukum –hukun yang disyari’atkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum ada hukum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak disyari’atkan nya seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Imam Al-baidhawi ( ahli Ushul fiqih syafi’iyyah), mengatakan bahwa “Azimah” itu adalah hukum yang di tetapkan tidak berbeda dengan dalil yang di tetapkan karena ada adzur.

 III.            KESIMPULAN
   Dari uraian makalah di atas dapat di simpulkan bahwa hukum taklifi merupakan firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat/meninggalkan sehingga menurut jumhur ulama’ ushul fiqih ada lima, yaitu: ijab, Nadb,ibahah,karahah, karahah tanzihiyah, karahah tahrimiyah,tahrim. Hukum wadh’I merupakan firman Allah yang menuntut untuk mnjadikan sesuatu yang sebab , syarat, atau penghalang dari yang lain . sebab sendiri memiliki pengertian seuatu yang oleh pembuat hukum (syar’i) di jadikan indikasi adanya sesuatu yang lain yang menjadikan akibatnya . syarat, sesuatu yang beraada di luar hukum syara’, tetapi bergantung padanya.

Daftar Pustaka
 Thoha Chabib , MA, fiqih, CV.Gani &Son, semarang,2004
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh,PT. LOGOS Wacana Ilmu.jakarta,1997.
Syafe’i Rachmat,MA. Ilmu Ushul Fiqih,.Pustaka Setia, Bandung,2007,
Wahab khalaf Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Gema Risalah, Perss,Bandung,1996.

0 Response to "IJTIHAD DI ZAMAN RASULULLAH"

Post a Comment

X-Steel - Wait