Syeikh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili, tokoh yang lebih popular
dengan nama al-Jili, disebut juga al-Jailani atau al-Kailani. Jailan
tempat kelahiran Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, ia sendiri merupakan
keturunan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Syeikh Abdul Karim al-Jili
lahir pada 767 H/ 1365 M. al-Jili di lahirkan di Bagdad, kemudian
belajar ke Persia, kemudian ke India.
Dari India kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Zabid, Yaman pada
tahun 796 H, pada usia 29 tahun. Di kota Zabid itulah ia bertemu dengan
seorang Sufi Agung yang paling berpengaruh terhadap dirinya, yaitu
Syarafudin bin Ismail al-Jabarti.Dr. Yusuf Zidan, yang meneliti pemikiran dan sisi kehidupan Abdul Karim al-Jili mengatakan, “puluhan tahun Aku meneliti Abdul Karim al-Jili, Aku berkesimpulan ia adalah seorang sastrawan (sya’ir) Sufi yang sejajar dengan sastrawan sufi besar yang terkenal, Ibn Farid. Al-Jili juga seorang pemikir besar, kedalaman berfikir filosof dan kebeningan hati sufi terkumpul dalam dirinya, ia filosof sufi. Kapabilitas yang sangat jarang dijumpai, kecuali pada dua sosok; Syeikh Akbar Ibnu Arabi dan Syeikh al-Isyraq Syihabudin al-Syuhrawardi.
Pada tahun 799 H al-Jili sampai di Kota Mekah. Di kota ini ia berjumpa dengan para tokoh Tasawuf yang tinggal di sekitar Masjid al-Haram. Pada saat itu para sufi sedang mendiskusikan “Ism al-A’dzam”, mereka berkesimpulan bahwa Ism A’dzam adalah huwa (هو). Terbersit dalam hati Al-Jili muda yang hadir di tempat itu , bahwa huwa itu bukan Ism A’dzam melainkan ism syarif untuk dzat Allah, dengan alasan bahwa huwa kata ganti yang menunjukan pada yang ga’ib, sesuatu yang tak tampak, sedangkan al-Jili dengan mata hatinya melihat “Allah dalam segala sesuatu yang ada di sekitar dirinya”.
Di Kota Mekah inilah, kemudian al-Jili melakukan penempaan diri (al-Mujahadah) dengan sangat disiplin. Ia tinggal di satu tempat yang tidak ditempati orang, jika ia diketahui keberdaannya, ia akan berpindah tempat. Ditempat-tempat itu pula ia mendalami ilmu bahasa, ilmu Qur’an dan agama-agama kuno yang kemudian ia tuangkan dalam sebuah buku kritik.
Pada tahun 803 H, al-Jili sampai di Kairo Mesir. Ia datang ke al-Azhar al-Syarif dan berkumpul dengan ulama al-Azhar. Di Kairo ia merampungkan karangannya yang berjudul Gunyat Arbab al-Sima’. Kitab ini menggabungkan subjek tasawuf dan dan subjek sastra (balagah). Pada saat ia sampai di kota Gaza Palestina, ia merasakan rasa rindu luar biasa terhadap gurunya Syeikh Syarafudin al-Jabarti, ia merasakan gurunya mendekati wafat. Al-Jili sampai kembali di kota Zabid pada tahun 805 H, satu tahun sebelum wafatnya al-Jabarti (al-Jabarti wafat 806H). Ia tinggal di Masjid al-Jabarti di Kota Zabid, ia menetap disana beberapa lama sampai menyelesaikan masterpiece-nya, al-Insan al-Kamil.Kitab inilah, -sejak saat itu- yang melambungkan nama al-Jili sebagai Filsuf Sufi.
Para ilmuan berbeda pendapat mengenai tahun wafat al-Jili, Haji Khalifah mengatakan al-Jili wafat tahun 805, setelah menyelesaikan penulisan al-Insan al-Kamil”. Sedangkan Nicolson dalam Da’irat al-Ma’arif al-Islamiyah mengatakan al-Jili wafat sekitar tahun 820 H, Ignas Goldziher mengatakan al-Jili wafat antara tahun 811-820 H, Brockelman, orientalis dari Jerman mengatakan al-Jili wafat pada tahun 832 H atau 1428 M. Badrudin al-Ahdal, pengarang kitab al-Sufiyah wa al-fuqaha al-Yaman, pada bab tuhfah al-zaman bi dzikri sadat al-Yaman, menyebutkan bahwa al-Jili wafat pada tahun 826 di kota Zabid, Yaman. Menurut Dr. Yusuf Zidan, keterangan dari Badrudin al-Ahdal lebih otoritatif, mengingat al-Ahdal wafat pada tahun 855 H, ia sejaman dengan al-Jili.
Dengan demikian al-Jili dilahirkan di Bagdad pada tahun 767 H dan wafat di Kota Zabid Yaman pada tahun 826 H. al-Jili berusia 95 tahun. Sebagian besar usianya ia habiskan dengan menjalani mujahadah ruhiyah dan memperdalam ilmu-ilmu yang ia kuasai.
Kitab al-Insan al-Kamil
Para pakar menyebut Abdul Karim al-Jili sebagai interpreter, penafsir terbaik pemikiran Syeikh Muhyidin Ibn Arabi. Wajar sekali, ia mewarisi kepakaran gurunya al-Jabarti. Melihat kepakaran al-Jabarti – maha guru al-Jili- dalam pemikiran tasawuf Ibnu Arabi dan ia juga mengajarkan pemikiran Ibnu Arabi kepada murid-muridnya di Zabid. Pengaruh al-Jabarti yang sangat besar, dan dukungan penguasa secara penuh, kalangan ahli fiqh yang secara tradisi bersebrangan dengan tasawuf yang diajarkan oleh al-Jabarti, yaitu tasawuf falsafah Ibnu Arabi yang banyak disalah fahami, tidak mampu melakukan penentangan terhadap al-Jabarti.
Namun, kitab al-Insan al-Kamil yang ditulis oleh Abdul Karim al-Jili menimbulkan kegemparan luar biasa di kota Zabid. Dan memberi peluang bagi kalangan ahli fiqih untuk menyatakan keberatan mereka atas tradisi tasawuf falsafi yang berkembang di Zabid.
Sampai seorang faqih Zabid, Ibnu Amir menderita sakit satu setengah tahun, di obati dengan bermacam obat namun tidak sembuh. Datanglah seorang ahli fiqh dari kota Son’a yang membawa kitab al-Insan al-kamil al-Jili dan kitab al-Madnun ila gairi ahlihi, di bakarlah kedua kitab itu untuk memasak roti tawar. Ibnu Amir mengatakan, ia sembuh karena membuat obat dengan menggunakan kedua kitab itu untuk memasaknya.
Pro kontra seperti itu lumrah terjadi, kitab Ihya al-Gazali, kitab-kitab Ibnu Arabi, demikian juga kitab Insan kamil karya al-Jili, semua pernah dibakar oleh kalangan fuqaha literalis, tidak lama setelah para penulisnya wafat, namun demikian kitab-kitab itu mampu melampui zaman, diakui dan diterima oleh umat Islam, bahkan tak mampu ditandingi oleh ulama-ulama setelahnya. Walhasil kualitas kitab itu dan keberkahan pengarangnya telah membuat al-insan al-kamil mempunyai imunitas untuk melewati seleksi alam.
Pokok pembahasan kitab ini menjelaskan Rasulullah saw sebagai al-insan al-kamil, manusia paripurna. Diantaranya ia mengatakan:
“ketahuilah –semoga Allah menjagamu- bahwa al-insan al-kamil ialah kutub yang menjadi pros edar segala yang berwujud dari awal penciptaan hingga akhir nanti. Ia ‘satu-satunya’ wujud setelah wujud Allah swt, kemudian ia termanifestasi kedalam aneka ‘pakaian’ dan ia tampak di tempat-tempat suci. Ia kemudian disebut sesuai dengan pakaian itu. Nama aslinya adalah Muhammad. Kunyah, panggilannya Abu al-Qasim, sifatnya adalah Abdullah (hamba), sedangkan gelarnya adalah mataharinya agama (syamsu din), akan tetapi ketika ia menggunakan pakaian yang lain ia berubah nama, dan ia dipanggil dengan nama yang berbeda itu. Di setiap zaman ia akan dipanggil dengan nama yang layak untuk zaman itu. Aku menjumpai Rasulullah saw dalam rupa guruku Syeikh Syarafudin Ismail al-Jabarti… Intinya, Rasulullah saw akan menjelam disetiap jaman dengan aneka rupa. Seorang yang mempunyai adab, ketika berhadapan dengan orang yang wujudnya adalah menifestasi Rasulullah saw, hendaknya beratakrama dihadapannya sebagaian jika engkau dihadapan Rasulullah, saw.
Redaksi ini penulis terjemahkan dari al-Insan al-kami terbitan Dar al-Fikr. Demikianlah contoh uraian yang terdapat dalam kitab al-Insan al-Kamil. Kitab ini telah memukau para pemikir dan para ahli tasawuf. Bahkan berulangkali di cetak dan di publish. Kitab ini juga telah di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Meminjam istilah Maulana Habib Luthfi bin Yahya, kitab al-Insan al-kamil ini sebagaimana kitab hikam ibn Atha’illah, kitab-kitab Ibnu Arabi adalah tasawufnya kaum ‘arifin, makam kesufian paling tinggi dalam pendakian spiritual.
Oleh karena demikian itu, saya menyarankan agar pembaca hendaknya membaca buku ini bawah bimbingan seorang guru yang mumpuni, dan tentu saja sebuah buku terjemahan kitab yang memiliki kompleksitas makna seperti al-Insan al-Kamil ini perlu dibandingkan dengan teks aslinya, kecuali Anda hanya menjadikan buku ini untuk memperkaya koleksi di pustaka pribadi Anda
0 Response to "Al-Insan al-Kamil : Masterpiece Sepanjang Masa Abdul Karim al-Jili "
Post a Comment