BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Syari’at Islam yang
datang kepada manusia, dasarnya adalah Al- Qu’an yang kemudian dijelaskan oleh
Nabi Muhammad Saw baik dengan ucapan maupun dengan perbuatannya, dimana ucapan
dan perbuatan Beliau inilah yang dikatakan sunnah. Hal ini masyarkat pada waktu
itu tidak memerlukan peraturan-peraturan dalam mengambil suatu hukum ( istimbat
), sebagaimana mereka tidak membutuhkan qaidah-qaidah untuk mengetahui bahasa
mereka yaitu bahasa Arab.
Setelah Rasulullah
tiada dan Islam mengalami perkembangan dimana bangsa Arab sudah bergaul dengan
bangsa-bangsa lain, maka dibuatlah peraturan-peraturan bahasa Arab, demi
menjaga bahasa Arab sebagai bahasa Al- Qur’an dari pengaruh bahasa asing. Disamping itu banyak peristiwa-peristiwa baru
yang timbul dalam segala lapangan hidup manusia, maka timbullah fikiran para
Ulama untuk membuat peraturan-peraturan dengan melalui ijtihad.
Peraturan yang
diusahakan oleh para ulama itu akhirnya dinamai Ushul Fiqhi yang membicarakan
sumber-sumber syara’ dari segi penunjukannya kepada hukum atas perbuatan orang
mukallaf yang mana hukum syara’ pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu
hukum Taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum taklifi meliputi hukum atau ketetapan Allah yang
berhubungan dengan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha’ ( tuntutan
perintah dan tuntutan larangan ) maupun takhsyir ( pilihan ). Sedangkan hukum
wadh’i meliputi hukum yang menghubungkan antara dua hal tersebut ( sebab
akibat ),[1] dengan kata lain hukum yang menghendaki meletakkan sesuatu
sebagai suatu sebab yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain, atau
sebagai penghalang sesuatu itu.[2]
Salah satu ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf
dalam bentuk iqtidha’ adalah tuntutan dalam bentuk perintah. Tuntutan perintah
dalam istilah ushul fiqhi disebut dengan Al- Amar. Untuk itu guna memahami
tentang terjadinya suatu hukum syara’ secara pasti dan benar, maka sangat
diperlukan kaidah-kaidah ushul fiqhi, salah satu hukum taklifi yang menggunakan
kaidah ushul fiqhi adalah tuntutan Amar.
Amar adalah suatu
lafazh yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya untuk
menuntut kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan sesuatu
perbuatan.[3] Disini dapat dipahami bahwa perintah atau permintaan seorang atasan kepada
bawahannya untuk melaksanakan suatu pekerjaan, apakah sifatnya itu segera
dilakukan atau tidak dilakukan.
Dalam masalah hukum
syara’ yang lebih tinggi kedudukannya adalah Allah Swt dan yang paling rendah
kedudukannya adalah orang mukmin mukallaf, jadi Amar itu adalah perintah Alllah
yang harus dilakukan oleh orang mukallaf, dimana perintah Allah terdapat dalam
Al- Qur’an dan Al – Hadits.
Untuk lebih memahami
masalah Al-Amar ( suruhan atau perintah ) , maka penulis akan membahas atau
mengkaji tentang masalah Perintah Wajib dalam Hukum Wajib.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa Pengertian
Perintah Wajib (Al-Amru)
2. Bagaimana Kedudukan
Perintah Wajib (Al-Amru)
3. Bagaimana Hubungan
Perintah Wajib dengan Tindakan dan Prilaku Sikap Manusia
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk Mengetahui Pengertian Perintah
Wajib (Al-Amru)
2.
Untuk Mengetahui Kedudukan Perintah
Wajib (Al-Amru)
3.
Untuk Mengetahui Hubungan Perintah
Wajib dengan Tindakan dan Prilaku Sikap Manusia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Perintah Wajib (Al-Amru)
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. secara terminologi, seperti
yang dikemukakan Abd. Al-karim Zaidan, ahli hukum islam berkebangsaan Irak,
wajib berarti:Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya
untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakanakan mendapat
pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Para ulama berbeda-beda dalam mendifinisikan Al-Amar. Menurut Imam
al- Ghazali, Al Amar adalah ucapan atau tuntutan-yang secara substansial-agar
mematuhi perintah dengan mewujudkan apa yang menjadi tuntutannya dalam
perbuatan.[4]
Sementara itu Mustafa Said al-Khind menyebutkan bahwa Amar adalah tuntutan
untuk berbuat yang datang dari yang lebih tinggi tingkatannya. Menurut Jumhur
ulama Ushul, definisi amr adalah lafadz yang menunjukkan tuntutan dari atasan
kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Selanjutnya.[5]
Hafizzuddin al-Nasafi mendifinisikan Amar sebagai titah seseorang yang
posisinya lebih tinggi kepada orang lain.[6]
Pernyataan Hafizzuddin ini senada dengan pernyataan Mu’tazilah[7]
yang mensyaratkan kedudukan pihak yang menyuruh harus lebih tinggi dari pihak
yang disuruh karena apabila kedudukan yang menyuruh lebih rendah dari yang
disuruh,maka tidak disebut Amar tapi Do’a, seperti disebutkan dalam Al-Quran
berikut:
“Ya Tuhanku, ampunilah aku beserta kedua orangtuaku. “
Pendapat
ini didukung oleh Abu Ishak al-Syirazi.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Amar adalah sesuatu yang
mengandung arti tuntutan untuk berbuat. Tuntutan ini, dilihat dari segi
sumbernya, berasal dari posisi yang lebih tinggi angkatannya[8].
Apakah
al-Amr Menunjukkan Implikasi Hukum Wajib Dengan Sendirinya?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Berikut sedikit
penjelasannya:
1. Mayoritas ulama mengatakan bahwa al-amr itu
bermakna tuntutan yang menunjukkan implikasi hukum wajib dengan sendirinya. Dan
implikasi wajib ini tidak akan berubah, kecuali ada qarinah yang
menunjukkan hal tersebut. Dengan kata lain, jika tidak ada qarinah yang
memalingkan ke makna yang lain, al-amr secara otomatis menunjukkan makna
wajib. Al-Amidi menyebutkan bahwa ini merupakan madzhabnya asy-Syafi’i, para
fuqaha, dan sekelompok orang dari kalangan mutakallimin.
2. Al-amr menunjukkan makna mandub. Ini merupakan
madzhab Abi Hasyim, kebanyakan mutakallimin dari kalangan mu’tazilah dan selain
mereka, sekelompok orang dari kalangan fuqaha, dan dinukil juga dari
asy-Syafi’i.
3. Al-amr secara lafazh bisa dimaknai sebagai wajib, bisa
juga dimaknai mandub. Ini pendapat yang juga dinukil dari asy-Syafi’i.
4. Al-amr itu bermakna tuntutan (ath-thalab).
Pendapat ini dinisbahkan oleh al-Mahalli kepada Abu Manshur al-Maturidi dari
kalangan Hanafiyah.
5. Mendiamkan maknanya sampai ada petunjuk yang bisa menunjukkan
makna yang diinginkan oleh al-amr tersebut. Al-Amidi menyatakan bahwa
ini pendapat al-Asy’ari dan para pengikutnya, seperti al-Qadhi Abu Bakar,
al-Ghazali, dan lain-lain.
6. Al-amr itu berimplikasi hukum wajib, dan ia tidak akan
berubah, kecuali dengan adanya nash yang lain dan ijma’. Implikasi hukum
wajib ini tidak berubah karena adanya qarinah, bahkan penggunaan qarinah ini
merupakan penyimpangan dari metode yang shahih. Ini merupakan pendapat kalangan
Zhahiriyah, seperti Ibn Hazm.
B. Kedudukan
Perintah Wajib (Al-Amru)
Kedudukan hukum taklifi (dalam hukum Islam) merupakan
ketetapan-ketetapan dari Allah itu sendiri. Fungsi hukum taklifi adalah sebagai
rambu-rambu bagi umat Islam mengenai berbagai perbuatan yang boleh dan
dilarang, perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan tetapi jika dilakukan tidak
berdosa, dan lain-lain.
Salah satu dari hukum taklifi adalah wajib, dan Al-Amr adalah
lafal yang menunjukkan pengertian wajib selama al-Amr itu berada dalam
kemutlakannya. Selama tidak ada dalil atau qarinah lain yang memberi implikasi
arti lain, hal ini sesuai dengan kaedah
الامريدل للوجوب
Lafal al-Amr itu, bila di dalamnya terkandung qarinah lain
mengalihkan arti makna haqiqi kepada makna lain, maka hukum yang terkandung
dalam shigat al-Amr bisa berubah menjadi : al-nadb, al-irsyad, al-do’a, al-iltimas,
al-tamanni, al-takhyir, al-tausiyah, al-ta’jiz, al-tahdid dan al-ibahah. Maka
kedudukan amar sebagai perintah wajib adalah ketetapan dari Allah yang
berfungsi sebagai rambu-rambu bagi umat Islam mengenai berbagai perbuatan yang
boleh dan dilarang. Dan ada beberapa kedudukan sighat amar berdasarkan dari
sudut pandang letak dan pemakaiannya, dianntaranya:
1. Kedudukan
Sighah Al-Amr Selepas Tegahan Atau Pengharaman
Prinsip asas al-amr adalah wajib,
tetapi apabila ia datang selepas berlakunya tegahan atau perintah pengharaman,
maka ia boleh membawa selain hukum wajib. Di sini, para ulama terdahulu telah
memberikan pelbagai pendapat tetapi hanya tiga pendapat sahaja yang akan
dibincangkan.
1)
Pendapat Imam al-Shafiiyy, mazhab
Hanbali dan sebahagian mazhab Maliki
Menurut pendapat Imam al-Shafiiyy,
mazhab Hanbali dan sebahagian mazhab Maliki, perintah selepas tegahan
menunjukkan kepada hukum harus.[9]
Mereka berhujah bahawa kedatangan perintah selepas adanya tegahan adalah tanda
yang menunjukkan perintah asal (wajib) dipalingkan kepada harus. Hal ini kerana
kebanyakan sighah al-amr yang datang selepas tegahan menunjukkan hukum harus
menurut persepakatan para ulama sebagaimana contoh berikut :
وَإِذَا
حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواۚ
Maksudnya : "dan apabila kamu
selesai bertahallul, maka berburulah". ( al-Maidah: 5: 2)
Dalam ayat ini terdapat perintah
iaitu فَاصْطَادُوا yang bermaksud "berburulah". Maka ulama usul telah
berselisih pendapat dalam menentukan hukum yang terkeluar melalui perintah ini
sama ada wajib atau harus.( Muhammad Soleh al-Usaimin 1993 : 32) Perintah
berburu ini datang selepas adanya tegahan melakukannya seperti firman Allah
S.W.T :
يَـٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ أُحِلَّتۡ لَكُم بَہِيمَةُ
ٱلۡأَنۡعَـٰمِ إِلَّا مَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ غَيۡرَ مُحِلِّى ٱلصَّيۡدِ
وَأَنتُمۡ حُرُمٌۗ إِنَّ ٱللَّهَ يَحۡكُمُ مَا يُرِيدُ
Maksudnya:
Wahai orang-orang yang beriman, penuhi serta sempurnakanlah
perjanjian-perjanjian. Dihalalkan bagi kamu (memakan) binatang-binatang ternak
(dan sebagainya), kecuali apa yang akan dibacakan (tentang haramnya) kepada
kamu. (Halalnya binatang-binatang ternak dan sebagainya itu) tidak pula bererti
kamu boleh menghalalkan perburuan ketika kamu dalam keadaan berihram.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum apa yang Dia kehendak ( al-Maidah: 5 : 1)
Ulama bersepakat mengatakan perintah
supaya berburu selepas adanya tegahan menunjukkan kepada harus, dan tidak
membawa kepada hukum wajib berdasarkan kepada perbuatan Rasulullah sendiri.
2)
Pendapat kedua pula mengatakan sighah
al-amr yang datang selepas tegahan adalah wajib.
Pendapat tersebut dipelopori oleh
kebanyakan ulama bermazhab al-Hanafi dan sebahagian mazhab al-Shafiiy dan
Maliki. Mereka berpegang kepada prinsip asal al-amr itu sendiri iaitu setiap
perintah menunjukkan kepada hukum wajib ketika tiada qarinah yang
memalingkannya kepada hukum yang lain.[10]
Ini dapat dilihat melalui firman Allah S.W.T :
فَإِذَا ٱنسَلَخَ ٱلۡأَشۡہُرُ
ٱلۡحُرُمُ فَٱقۡتُلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَيۡثُ وَجَدتُّمُوهُم
Maksudnya : “maka apabila berakhir bulan-bulan haram maka hendaklah kamu
membunuh orang-orang musyrik di mana sahaja kamu menemui mereka”. ( al-Tawbah:
9 : 5)
Perintah membunuh orang-orang
musyrikin di dalam ayat ini adalah selepas diharamkan melakukannya di dalam
bulan-bulan haram dan ia menunjukkan kepada hukum wajib menurut persepakatan
ulama.
3)
Perintah yang datang selepas
berlakunya tegahan menunjukkan kepada suruhan untuk menghapuskan tegahan itu
dan kembali kepada hukum asal sebelum berlakunya tegahan sama ada wajib, harus,
sunat dan sebagainya. Ini adalah pendapat al-Kamal Ibn al-Humam daripada mazhab
Hanafi (Abdul Karim Zaydan 2009 : 234). Mereka berhujah berdasarkan kajian yang
dibuat terhadap perintah-perintah yang datang selepas adanya tegahan ini, dan
hasil kajian tersebut mendapati bahawa hukumnya adalah sama seperti sebelum
berlakunya tegahan.
a)
Memerangi orang-orang musyrikin pada
mulanya adalah wajib, dan ia ditegah oleh Islam dalam bulan-bulan haram.
Kemudian ia diperintahkan semula setelah berakhirnya bulan-bulan tersebut.
Firman Allah S.W.T:
فَإِذَا
ٱنسَلَخَ ٱلۡأَشۡہُرُ ٱلۡحُرُمُ فَٱقۡتُلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَيۡثُ
وَجَدتُّمُوهُم
Maksudnya : “maka apabila berakhir bulan-bulan haram maka hendaklah kamu
membunuh orang-orang musyrik di mana sahaja kamu menemui mereka”. (al-Tawbah: 9
: 5)
Para ulama telah bersepakat dan
berpendapat bahawa hukum memerangi orang bulan Islam adalah wajib dan hukum
wajib ini juga kekal selepas tamatnya tempoh tegahan tersebut.
b)
Contoh ayat yang mengekalkan hukum
asal selepas datangnya tegahan adalah pada surah al-Ma’idah ayat 2 :
وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُوا
Maksudnya : "dan apabila kamu selesai bertahallul,
maka berburulah". (al-Maidah: 5 : 2 )
Hukum berburu pada mulanya
diharuskan, kemudian ditegah pada masa berihram, selepas itu diperintahkan
melakukannya setelah selesai berihram. Jumhur ulama bersepakat, ayat tersebut
menjelaskan bahawa seseorang yang selesai daripada ihram dengan bertahallul
diharuskan berburu. Hukum harus berburu merupakan hukum asal, sebelum ia
ditegah. (Abdul Latif Muda & Rosmawati Ali. 1997: 165)
2. Kedudukan
Al-Amr Dari Sudut Pengulangan Tuntutan
Prinsip asas al-amr itu adalah
sesuatu perintah itu wajib untuk dilakukan. Namun, timbul persoalan tentang
kadar sesuatu tuntutan itu untuk dilakukan. Adakah cukup sekadar sekali sahaja
melakukannya, atau perlu dilakukan berulang kali? Jika terdapat tanda atau
qarinah yang mengkehendaki untuk melakukanya berulang kali atau sebaliknya,
maka ia dihukum berdasarkan tanda atau qarinah tersebut. Namun, jika sesuatu
perintah itu tidak terdapat sebarang tanda aras yang menentukan kadarnya, maka
ulama telah berselisih pendapat :
Pendapat ini dianggap sebagai pendapat jumhur
ulama. Perintah yang tidak dikaitkan dengan sesuatu (al-amr al-mutlaq)
menunjukkan kepada tuntutan melaksanakannya tidak terikat dengan sekali atau
berulang kali. Apabila ia terlaksana dengan dilakukan sekali, ia juga
terlaksana dengan berulang-ulang, tetapi sekali adalah yang paling minima untuk
dilaksanakan. Ini adalah pendapat Imam al-Raziyy dan pengikutnya, antaranya
ialah al-Baydawiyy.[11]
Mereka berhujah bahawa al-amr yang
mutlaq kadang-kadang penggunaannya membawa maksud untuk dilakukan secara
berulang-ulang dan kadang-kadang membawa maksud sekali sahaja. Contoh ayat yang
menunjukkan kepada perlakuannya berulang-ulang adalah :
وَإِن
كُنتُمۡ جُنُبً۬ا فَٱطَّهَّرُواْۚ
Maksudnya : “Sesungguhnya sesiapa
yang berjunub maka bersucilah”. ( al-Ma’idah : 5 : 6 )
Berdasarkan kepada ayat di atas,
lafaz فَاطَّهَّرُوا adalah
sighah al-amr yang terbentuk ficl al-amr yang menunjukkan perintah wajib
bersuci apabila berjunub. Lafaz إِن menujukkan syarat supaya bersuci iaitu
wajib mandi setiap kali berjunub. (A. Hanafi M.A.1998 : 37)
Contoh al-amr mutlaq yang membawa
maksud sekali ialah sabda Rasulullah S.A.W :
ياأيها الناس ان الله كتب عليكم الحج فحجروا
Maksudnya : “Wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah
memfardhukan haji ke atas kamu, maka hendaklah kamu mengerjakan haji”.
Kebanyakan ulama mazhab Hanbali dan
Shafici berpendapat ia menunjukkan sekali berdasarkan kepada lafaz dan boleh
diandaikan berulang-ulang (Abdul Karim Zaydan 2009 : 235). Mereka berhujah
dengan hadith Rasulullah S.A.W :
ياأيها الناس ان الله كتب عليكم الحج فحجروا
Maksudnya : “Wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah
memfardhukan haji ke atas kamu, maka hendaklah kamu mengerjakan haji”.
Setelah mendengar sabda Rasulullah
ini, seorang lelaki telah bertanya kepada Rasulullah tentang perkara ini.Adakah
kefardhuan haji ini mesti dilakukan pada setiap tahun atau tidak. Pertanyaan
ini pasti lahir daripada pemahamannya bahawa perintah tersebut mungkin membawa
maksud berulang-ulang atau sekali. Ini jelas menunjukkan bahawa hadis ini
memberi maksud sama ada perlu dilakukan berulang-ulang atau sekali sahaja. Jika
tidak, sudah tentu Rasulullah akan menegur soalan itu. (Abdul Karim Zaydan 2009
: 237)
Pendapat ketiga pula daripada
sebahagian fuqaha’ dan ulama al-kalam seperti al-Asfarayiniyy, al-Shiraziyy dan
Ahmad bin Hanbal iaitu al-amr jika dikaitkan dengan sesuatu yang menunjukkan
kepada berulang kali, maka penyempurnaan kepada perkara yang diperintah itu
boleh dilakukan berulang-ulang kali seumur hidup dengan syarat perkara yang
diperintah itu mampu dilakukan. (Abd Latiff Muda & Rosmawati Ali 1997: 160)
Mereka berhujah berdasarkan
peristiwa Saidina Abu Bakar memerangi golongan yang enggan membayar zakat.
Saidina Abu Bakar berpegang dengan kewajipan untuk membayar zakat. Tiada
seorang sahabat pun yang menyangkalnya.Ini menunjukkan mereka bersepakat bahawa
perintah zakat itu wajib dilakukan berulang-ulang atau berterusan.
Hal ini juga boleh diaplikasikan
dalam sighah al-nahy yang menetapkan kepada berulang-ulang sesuatu tuntutan
yang ditegah.Ini kerana faktor sepunya kedua-dua lafaz ini adalah dari segi tuntutan
(الطلب).
C. Hubungan
Perintah Wajib dengan Tindakan dan Prilaku Sikap Manusia
Perintah
wajib adalah Perbuatan yang dituntut Allah untuk dilaksanakan oleh mukallaf
dengan sifat mesti dilakukan, yang
jika perbuatan itu dilaksanakan, maka pelakunya diberi pahala, dan jika
ditinggalkan maka ia dikenakan dosa.
Setiap perbuatan yang diperintahkan
yang sudah bersifat wajib ini dibagi
menjadi dua bagian yaitu : al-wajib al- mu'ayyan dan al-wajib al-mukhayyar[12].
1. Al-wajib
al-mu'ayyan
Yaitu
kewajiban tertentu atau “suatu kewajiban yang asy-syar'i memerintah kanuntuk
melakukan suatu perbuatan tertentu”. Artinya bahwa kewajiban ini tidak dapat
digantikan dengan perbuatan lain. Contohnya melaksanakan shalat lima waktu, kewajiban ini bersifat
tertentu dan spesifik. Jadi kewajiban ini tidak dipandang telah terlaksana
dengan mengerjakan perbuatan lainnya.
2. Al-wajib
al-mukhayyar
Yaitu
“Suatu kewajiban yang asy-syar'i memerintahkan untuk melakukan salah satu dari beberapa perbuatan tertentu”. Dalam kewajiban
ini seorang mukallaf diberi alternatif untuk melaksanakannya. Contohnya
membayar kafarat karena melanggar sumpah, asy-syar'i menyediakan pilihan antara memberi makan sepuluh orang
miskin atau puasa tiga hari. Jadi, dengan melaksanakan salah satu dari
perbuatan yang dipilih, maka seorang mukallaf telah membayar kafarat sumpahnya dan
melaksanakan kewajiban yang diperintahkan.
BAB III
PENUITUP
A. Kesimpulan
Amar (perintah Wajib) adalah sesuatu yang
mengandung arti tuntutan untuk berbuat. Tuntutan ini, dilihat dari segi
sumbernya, berasal dari posisi yang lebih tinggi angkatannya.
Kedudukan amar sebagai perintah wajib adalah ketetapan dari Allah yang
berfungsi sebagai rambu-rambu bagi umat Islam mengenai berbagai perbuatan yang
boleh dan dilarang.
Hubungan Perintah Wajib dengan
Tindakan dan Prilaku Sikap Manusia
adalah Perintah wajib merupakan Perbuatan yang dituntut Allah untuk
dilaksanakan oleh mukallaf dengan sifat mesti dilakukan, yang jika perbuatan itu dilaksanakan, maka
pelakunya diberi pahala, dan jika ditinggalkan maka ia dikenakan dosa.
B. Saran
Apabila ada suatu
kewajiban yang diperintahkan oleh syari’ muslimin diharuskan untuk
melaksanakannya. Karena hakikat hidup didunia ini hanya sebagai sarana untuk
menghambakan diri kepada Allah swt agar mendapatkan keridhaan-Nya. Salah satu
caranya ialah dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala
larangan serta mengerjakan amalan yang dianjurkan lainnya dengan tidak hanya
melakukan perintah wajib saja.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Kallaf, Kaidah-kaidah Hkum Islam ( Ilmu Ushul Fiqh ),
Edisi.III, Cet. IV; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994 .
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh, jilid 2, Ciputat: PT Logos
Wacana Ilmu , 1999.
http://zaenurinew.blogspot.com/2012/07/al-amru-dan-nahyu.html
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Cet. III; Jakarta : PT Pustaka Firdaus,
1995 .
Mukhtar Yahya dkk, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Cet. II; Bandung : PT. Al- Ma’arif, 1993 .
Rachmat Syafi’i, Ilmu ushul
fiqih, Bandung : 2007.
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media
Pratama1999.
[1]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (
Cet. III; Jakarta : PT Pustaka Firdaus, 1995 ), h.26-27
[2]Abdul
Wahab Kallaf, Kaidah-kaidah Hkum Islam ( Ilmu Ushul Fiqh ) ( Edisi.III, Cet. IV; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994 ), h. 157
[3]Mukhtar Yahya dkk, Dasar-Dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islam, ( Cet. II; Bandung : PT. Al- Ma’arif, 1993 ), h. 191
[4]Romli
SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.
175.
[5]Rachmat Syafi’i. Ilmu ushul fiqih. (Bandung :
2007) h.200 – 206.
[7]Amir
Syarifuddin. Ushul Fiqh, jilid 2, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu ,
1999), h. 162.
[8]Romli
SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama1999), h.
176.
[9] Romli SA, Muqaranah
Mazahib fil Ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 182.
[10] Romli SA, Muqaranah
Mazahib fil Ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 183.
[11] Romli SA, Muqaranah
Mazahib fil Ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 186.
[12]
http://zaenurinew.blogspot.com/2012/07/al-amru-dan-nahyu.html
0 Response to "MAKALAH PERINTAH WAJIB"
Post a Comment