BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kaidah
fiqh adalah suatu ilmu yang berkaitan penjelasan tentang hukum-hukum yang umum.
Kaidah fiqh boleh di ta’rehkan sebagai hkum syara’ secara keseluruhan yang
erangkumi berbagai masalah hukum fiqh. Terdapat berbagai kaidah fiqh yang telah
diperkenalkan oleh para ulama untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan
yang baru timbul dalam sehari-hari.
Kaidah-kaidah
yang diperkenalkan jelas dapat memberi dampak positif dalam memelihara
kemaslahatan ummat sekarang. Terdapat lima kaidah utama yang disepakati
dikalangan fiqaha. Salah satunya adalah الآمور
بمقاصدها (segala sesuatu tergantung pada niatnya).
Kaidah
ini berasal dari banyak materi fiqh, karena di dalam fiqh, nilai suatu
perbuatan tergantung pada niatnya. Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu
wajib atau sunnah, adāan atau qadhāandalam muamalah, apakah niat member atau meminjamkan, dalam jinayat apakah
kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian kaidah
2.
Apa
yang menjadi Sumber Pengambilan Kaidah
3.
Bagaimana
Aplikasi Kaidah
4.
Apa
saja Kaidah-Kaidah Cabang
5.
Bagaimana
Pengecualian Kaidah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian kaidah
Kaidah
secara etimologi diambil dari bahasa arab القاعدةyang artinya adalah pondasi atau
dasar, sedangkan القواعد adalah bentuk jama’ dari القاعدة. maka kaidah secara etimologi mempunyai
arti dasar.
Sedangkan dalam tintauan terminologi
kaidah punya beberapa arti:
a. الامر الكلي الذي ينطبق على
جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
Artinya : ketentuan universal yang bisa bersusaian dengan
bagian-bagiannya serta bisa difahami hukumnya dari perkara tersebut.[1]
b.
Al-Yuriza
mengungkapkan makna terminiloginya adalah sebuah hukum dalam masalah yang masuk
dalam cakupan pembahasan.
Sedangkan
manyoritas ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan “hukum yang biasa berlaku
yangb bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya dan juga yaitu kaidah yang
bersifat umum yang mengelompokkan masalah-masalah fiqh terperinci menjadi
beberapa kelompok dan kaidah juga merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan
dan mengisbath hukum bagi sesuatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan
masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaidah”.
1.
Pengertian
kaidah الأمور بمقاصدها
Maksud
dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya. Dengan kata
lain bahwa setiap mukallaf dan berbagai bentuknya serta hubungannya baik dalam
ucapannya, perbutan, dan lain sebagainya bergantung pada niatnya. Dengan kata
lain niat dan motif yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu
melakukan perbuatan menjadi kreteria yang menentukan nilai dan status hukum
amal yang ia lakukan.
Di kalangan ulama-ulama syafi’iyyah
diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai pedengan pelaksanaannya.[2]
قصد الشيء مقترنا بفعله او القصد المقارن للفعل
Dalam shalat misalnya, yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud
di dalam hati dan wajib niat disertai dengan takbiratul ihram.[3]
القصد بالقلب ويجب ان تكون النية
مقارنة لتكبير
“Di kalangan mazhab hambali juga mengatakan bahwa tempat niat ada
didalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud
adalah hati. Jadi apabila meyakini didalam hatinya, itupun sudah cukup dan
wajib niat didahulukan dari perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan
takbiratul ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas menyertai dengan ibadah.
2.
Fungsi
Niat
1.
Untuk
membedakan ibadah dan adat kebiasaan
2.
Untuk
membedakan kualitas pebuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3.
Untuk
menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang
wajib dari yang sunnat.
Dengan menyertakan niat, perbuatan-perbuatan berikut ini dapat
dibedakan sebagai perbuatan ibadat dan perbuatan yang berdasarkan adat
kebiasaan .
Mandi dan wudhuk yang disertai niat untuk beribadah akan berbeda
dengan mandi dan mencuci muka yang menurut kebiasaan untuk membersihkan badan
dan muka.
Menyerahkan sebagian harta kepada fakir miskin jika di barengi
dengan niat membayar zakat atau bersedekah atau tebusan sumpah yang di langgar,
maka perbuatan itu menurut adat sebagai sumbangan sosial.
Karena berniat untuk melakukan ibadah puasa, maka meninggalkan
makan dan minum itu dapat menjadi amal ibadah, bukan hanya sekedar menghindari
suatu penyakit atau mengurangi pengeluaran belanja bagaimana yang biasa terjadi
menurat adat kebiasaan.
3.
waktu pelaksanaan niat
Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal ibadah. Hal ini di
dasarkan penelitian ulama yang mengatakan bahwa huruf “ba” yang terletak
pada kata bi Al-Niyyati mempunyai
makna mushahabah (membersamakan). Hal ini memberi sebuah pengertian bahwa niat merupakan bagian dari amal itu
sendiri, oleh kerenanya niat tidak boleh diakhirkan dari amal yang akan
dikerjakan, apalagi didahulukan. Namun aturan main ini tidaklah bersifat kaku.
Ulama masih memberikan toleransi dalam beberapa ritual ibadahdi sesuaikan
dengan kondisi dan faktor kesulitan pelaksanaannya. Disamping ini, kemampuan
pelaksanaan niatpun masih dipertimbangkan. Faktor lain yang menjadi
pertimbangan fuqaha adalah permulaan suatu ibadah bersifat nisbi dan relatif,
artinya permulaan amal ibadah yang satu dengan yang lainnya tidak lah sama.
Berikut ini adalah beberapa contoh niat yang boleh didahulukan
karena faktor kesulitan membersamakan
dengan permulaan pekerjaan.
a.
Puasa
wajib
b.
Pembagian
zakat
c.
Kafarah
d.
Penyembelihan
Qurban
4.
hal-hal yang membatalkan niat
Hal-hal yang membatalkan niat adalah:
1.
Riddah
atau murtad, yaitu terputusnya agama islam seseorang. Baik yang ditimbulkan
dari niat, ucapan atau perbuatan yang menyebabkan kuffur.
2.
Berniat
memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang di jalankan, semisal orang
melakukan shalat, kemudian berniat memutuskan shalatnya, maka shalatnya menjadi
batal. Hukum batalnya shalat dengan niat memutus ini merupakan qiyas dengan
masalah iman, dimana iman sendiri bisa putus hati seorang muslim.
3.
Niat
mengganti atau memindah suatu ibadah di klasifikasikan dan digambarkan dengan
contoh berikut:
a.
Mengganti
sebuat shalat fardhu dengan shalat fardhu yang lain, maka kedua-duanya menjadi
tidak sah.
b.
Mengganti
shalat sunat dengan fardhu juga tidak sah kedua-duanya.[4]
B.
Sumber Pengambilan Kaidah
Kaidah
الأمور بمقاصدها ketika di rujukkan kepada Al-Quran dan Hadits,
antara lain:
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# ......
Artinya: Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus........(Q. S Al- Bayyinah [98]:
5)
}§øs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4
Artinya: Dan
tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu(Q. S Al-Ahzab [33]: 5).
w ãNä.äÏ{#xsã ª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏY»yJ÷r& `Å3»s9ur Nä.äÏ{#xsã $oÿÏ3 ôMt6|¡x. öNä3ç/qè=è% 3
ª!$#ur îqàÿxî ×LìÎ=ym ÇËËÎÈ
Artinya: Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),
tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk
bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun (Q. S
Al-Baqarah[2]: 225)
Dalam
hadist nabi antara lain:
انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ
ما نوى فمن كانت هجرته الى الله و رسوله فهجرته الى الله و رسوله ومن كانت هجرته
لدنيا يصيبها او امرأة ينكحها فهجرته الى ما هجر اليه.
Artinya: Setiap
perbuatan itu bergantung kepada niatnya dan bagi setiap orang sesuai dengan
niatnya, barang siapa berhijrah karena Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa berhijrah karena mengharap kepentingan
dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang
diniatkannya (HR.Bukhari dari Umar bin Khatab).[5]
من قاتل ليكون كلمة الله هي العليا فهو
في سبيل الله عز و جل
Artinya:
Barangsiapa berperang dengan maksud meninggikan kalimat Allah swt, Maka dia ada
dijalan Alah. (HR. Bukhari dari Abu Musa)
انك لن تنفق نفقة تبتغى بها وجه الله
الا أجرن عليها حتى ما يجعل في فم امرأتك
Artinya: sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan
maksud mencari keridhaan Allah swt diberi fahala walaupun sekedar sesuap
kedalam mulut istrimu. (HR. Bukhari).
من اتى فراشه وهو ينوى ان تقوم يصلى من
الليل فغلبته عيناه حتى اصبح كتب له ما نوى
Artinya: barang
siapa yang tidur berniat shalat malam, kemudian dia tertidur sampai subuh maka
di tulis baginyapahala sesuai dengan niatnya. (HR. Al-Nasai dari Abi Dzar.
$tBur tb$2 C§øÿuZÏ9 br& |NqßJs? wÎ) ÈbøÎ*Î/ «!$# $Y7»tFÏ. Wx§_xsB 3
ÆtBur ÷Ìã z>#uqrO $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur ÷Ìã z>#uqrO ÍotÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB 4
ÌôfuZyur tûïÌÅ3»¤±9$# ÇÊÍÎÈ
Artinya: barang
siapa menghendaki pahala dunia kami berikan pahala itu dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, kami berikan pahala itu. Dan kami akan memberikan
balasan kepada orang yang bersyukur (Q.S. Ali Imran [3]:145)
نية المؤمن خير من عمله
Artinya: Niat
orang mukmin itu lebih baik daripada amal perbuatannya saja (yang kosong dari
niat) (RW. Ath-Thabrani)
Imam Ahmad sependapat dengan iamam syafi’i bahwa hadist niat itu
adalah salah satu dari tiga hadist yang menjadi tempat pengembalian seluruh
hukum islam. Menurut beliau tiga buah hadist yang menjadi tempat pengembalian
hukum itu adalah:
Pertama hadist
yang telah tersebut di atas.
Hadist kedua.
من احدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو
رد
Artinya: Barang
siapa mengada-adakan dalam agama ku ini sesuatau yang bukan termasuk agama,
maka tertolakkan, (RW. Bukhari Muslim).
انما بعث الناس على نياتهم
Artinya:
Sesungguhnya manusia itu di bangkitkan menurut niatnya.
C.
Aplikasi Kaidah
1.
Dalam
shalat tidak disyaratkan niat menyebutkan jumlah raka’at, maka bila seseorang
muslim berniat melaksanakan shalat magrib 4 raka’at tetapi ia tetap dalam
melaksanakan 3 raka’at, maka shalatnya tetap sah.[6]
2.
Seseorang
yang akan melaksanakan shalat zuhur tetapi niatnya melaksanakan shalat ashar,
maka shalatnya tidak sah.[7]
3.
Seseorang
bersumpah untuk tidak berbicara dengan seseorang, dan maksudnya dengan Ridwan.
Maka sumpahnya hanya berlaku pada ridwan saja.[8]
4.
Seseorang
niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka’at dia berpindah kepada shalat
tahiyyatal-masjid, maka batal shalat zuhurnya.[9]
5.
Seseorang
mengkasad bahwa tujuan dari memakan sesuatu makanan ataupun minuman yaitu untuk
bisa beribadah kepada Allah swt, maka perbuatannya tersebut diberi pahala.[10]
6.
Seorang
suami yang mentalak istrinya dengan menggunakan lafat kinayah, maka apabila
suami tidak meniatkan lafaz kinayah tersebut kepada talak maka talaknya itu
tidak sah.[11]
Tetapi bila dikasadkan sebagai lafaz talak maka talaknya sah.
7.
Seseorang
yang tidur dan berniat supaya bisa kuat untuk beribadah, maka perbuatan tidurnya
itu diberi pahala.
8.
Seseorang
perempuan yang sedang berhaiz tidak melaksanakan shalat atau pun puasa dengan
niat menjunjung perintah syar’i, maka niatnya tersebut akan diberi pahala.
9.
Seseorang
yang belajar pelajaran metematikayang berniat supaya bisa memecahkan masalah
yang terdapat dalam faraiz, maka niatnya itu diberi pahala.
D.
Kaidah-Kaidah Cabang
Beberapa
kaidah cabang yang bersumber dari kaidah itu, antara lain:
لا ثواب الا بالنية
“Tidak ada pahala selain dengan niat”
Selama perbuatan-perbuatan itu tidak di anggap baik atau buruk jika
tanpa niat dari pelakunya, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala slama
tidak diniatkan yang baik, ketetapan semacam ini telah disepakati oleh selruh
ulama. Adapun mengenau sahnya amal, ada yang disepakati oleh para ulama bahwa
niat itu sebagai syaratnya, separti niat didalam wudhu. Ulama syafi’iyyah dan
malikiyah menganggap niat itui fardhu
(wajib), ulama hambaliyah menganggapnya sebagai syarat sahnya dan ulama
hanafiyah menetapkan sebagai sunat muakkadah. Artinya jika tidak, tidak
dipahalai, sekalipun shalatnya juga sah.
Kesukaran yang berlebihan yang dimaksudkan untuk menambah pahala.
Justru tidak akan di pahalai, tetapi yang di pahalai adalah kesukatan yang
lazimdalam melakukan amalan itu.
ما يشترط فيه التعيين فالخطأ فيه مبطل
"dalam amal yang
di syari’atkan mensyaratkan niat, maka kekeliruan pernyataanya membatalkan
amalanya”
Misalnya kekeliruan menyatakan niat
1.
Dalam
shalat zuhur dengan shalat asahar.
2.
Dalam
shalat idul fitri dengan idul adha.
3.
Dalam
shalat rawatib zuhur dengan shalat rawatib ashar.
4.
Dalam
shalat dua raka’at ihram denga shalat dua raka’at tawaf dan sebaliknya.
5.
Dalam
berpuasa ‘arafah dengan puasa ‘asyura, dan sebagainya.
Menjadikan tidak sahnya amal perbuatan yang dilakukan disebabkan masing-masing
dari perbuatan itu di tuntut adanya pernyataan niat itu untuk membedakan ibadah
yang satu dengan yang lainya.[12]
ما يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا
اذا عينه وأخظأ ضر
"perbuatan yang
secara keseluruhan di haruskan niat tetapi secara terperinci tidak di haruskan
menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya dan ternyata keliru, muzarat”.
Misalnya:
Seseorang bersembahyang jama’ah dengan niat ma’mum kepada muhammad. Ternyata
orang yang menjadi imamnya bukan muhammad, tetapi amin. Shalat jama’ah orang
tersebut tidak sah, sebab keimamahannya telah digugurkan oleh amin sedang niat
kema’mumannya telah digugurkam oleh muhammad, lantaran berma’mumannya dengan
Amin tanpa diniatkan. Menyatakan siapa imamnya dalam sembahyang berjamaah tidak
disyari’atkan, tetapi yang disyari’atkan adalah niatnya berjamaah.
ما
يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا اذا عينه وأخظ لم يضر
"perbuatan yang
secara keseluruhan di haruskan niat tetapi secara terperinci tidak di haruskan
menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya dan ternyata keliru, tidak
muzarat”.
Misalnya:
1.
Seseorang
bersembahyang ashar dengan menyatakan niatnya bersembahyang dimesjid IAIN Sunan
Kalijaga, padahal ia bersembahyang dimesjid Syuhada Yogyakarta, sembahyang
orang tersebut tidak batal. Sebab niat sembahyangnya sudah di penuhi dan benar,
sedangkan yang keliru adalah pernyataan tempatnya, kekeliruan tentang
pernyataan tempat sembahyang yang tidak ada hubungannya dengan niat shalat baik
secara garis besar maupun secara terperinci.
2.
Seseorang
bersembahyang dengan menyatakan pada niatnya sembahyang pada hari kamis,
padahal hari yang ia sembahyang itu adalah hari jum’at, maka sembahyangnya
tidak batal sama sekali, sebab menyatakan hari dan tanggal ia sembahyang tidak
disyari’atkan.[13]
E.
Pengecualian Kaidah
Diantara pengecualian kaidah diatas adalah:
1.
Sesuatu
perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah bukan adat, sehingga tidak bercampur
dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada
Allah, Malaikat, khauf ,raja’, iqamah, azan, zikir dan membaca Al-Quran kecuali membacanya dalam
rangka nazar.
2.
Tidak
diperlukan niat dalam meninggalkan perbuatan seperti meninggalkan perbuatan
zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang (Haram) karena tidak melakukan
perbuatan tersebut maksudnya sudah tercapai, memang betul, diperlukan niat
apabila mengharapkan pahala dengan meninggalkan larangan.
3.
Keluar
dari shalat tidak diperlikan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan suatu
perbuatan bukan meninggalkan suatu perbuatan.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
الآمور بمقاصدها Adalah kaidah yang pertama dari lima kaidah atas, الآمور بمقاصدها merupakan suatu
kaidah yang menjelaskan tentang segala hal yang berhubungan dengan niat
seseorang dalam melakukan suatu perbuatan, baik itu perbuatan yang di wajibkan
oleh syara’ maupun tidak.
Sah atau tidaknya amlan seorang muslim harus didasari dulu dengan
berniat dalam hatinya, agar perbuatan yang sedang diperbuatnya itu mendapat
pahala ataupun sah.
Tujuan dari mempelajari ilmu kaidah-kaidah fiqh adalah untuk
mengetahui apa sebenarnya maksud dari niat itu sendiri. Memang kenyataannya
banyak realita dilapangan yang tidak mestinya terjadi, mengenai ketentuan atau
cara berniat didalam suatu perbuatan. Hal ini dikarenakan ketidak tahuan
ataupun kurangnya informasi yang didapat yang benar mengenai niat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, Ushul Fiqh Wal Kawaid Fiqhiyyah, Jakarta:
Sa’diyyah Fitran, tt.
Abu
Ishak Al- Syirazi, Al-Muhadzdzab, ttp, Dar Al-Fikr, tt, Juz. 1.
Imam
Jalaluddin Abdurrahman Bin Abi Bakar As-Sayuti Asy-Syafi’i, Al-Ashbah Wa
An-Nadzair, Surabaya: Al-Hidayah, tt.
KH.
Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, Kiadah Fiqh Konseptual, Cet. 4, Surabaya:
Khalista, 2006.
Prof.
Dr. Mukhtar Yahya, prof. Drs. Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh
Islam, Cet. I, Bandung; Al-Ma’arif, 1986.
Prof.
DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqh, Cet. III, Bandung: Pustaka
Setia, 2007.
Prof.
H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Edisi 1, Cet. IV, Jakarta: Kencana, 2011.
Qulyubi
Wa Amirah, Hasyiah Syihabuddin Al-Qulyubi Wa Amirah, Singapura: Maktabah
Wa Mathba’ah Mar’i, tt Juz, 1.
Syeh
Ahmad bin Syeh Hijazi Al-Fasyani, Al-Majalisussaniyah, ttp: tt.
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya untuk Allah, tuhan seru sekalian alam, Shalawat
dan Salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw. Yang diutus membawa
syari’at yang mudah sebagai jalan dalam menempuh kebahagiaan dunia dan
akhiratmenuju keridhaan-Nya.
Pentingnya peranan Qawaid Fiqhiyyah dalam kajian ilmu syari’ah dari
dahulu dampai sekarang menhaji motivasi generasi muslim untuk tetap mempelajari
secara mendalam. Para ulama menghimpun sejumah persoalan fiqh yang dapat
dijangkau oleh suatu kaidah fiqh tersebut, melalui kaidah fiqh yang bersifat
memberi peluang bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat
menguasai fiqh dengan lebih mudah dan tidak memakan waktu yang relatif lama.
Dengan mengusai kaidah fiqh akan mengetahui benang merah yang
kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh dan lebih arif di dalam
menetapkan fqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus adat, kebiasaan,
keadaan yang berlainan, selain itu juga akan lebih moderat dalam menyikapi
masalah-masalah sisial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi
terhadap problema-problema yang terus muncul
dan berkembang dalam masyarakat.
Mudah-mudahan makalah ini bisa menjadi ilmu penambah bagi
kawan-kawan terutama bagi penulis sendiri, dan semoga bermanfaat bagi para
pembaca. kepada kawan-kawan yang telah mmbantu mencari bahan dalam pembuatan
makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih.
Samalanga, 14 April 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ..................................................................................... i
KATA
PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR
ISI ................................................................................................. iii
BAB
I : PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A.
Latar Belakang
Masalah.......................................................................
1
B.
Rumusan Masalah.................................................................................
1
BAB
II : PEMBAHASAN .......................................................................... 2
A.
Pengertian
kaidah..........................................................................
2
B.
Sumber
Pengambilan Kaidah.........................................................
5
C.
Aplikasi Kaidah.............................................................................
7
D.
Kaidah-Kaidah
Cabang.................................................................
8
E.
Pengecualian
Kaidah.....................................................................
10
BAB
III : KESIMPULAN ............................................................................ 12
DAFTAR
PUSAKA ...................................................................................... 13
[1] Imam
Jalaluddin Abdurrahman Bin Abi Bakar As-Sayuti Asy-Syafi’i, Al-Ashbah Wa
An-Nadzair, (Surabaya: Al-Hidayah, tt), hal. 3
[2] Qulyubi Wa
Amirah, Hasyiah Syihabuddin Al-Qulyubi Wa Amirah, (Singapura: Maktabah
Wa Mathba’ah Mar’i, tt) Juz, 1, hal. 45.
[3] Abu Ishak Al-
Syirazi, Al-Muhadzdzab, (ttp, Dar Al-Fikr, tt), Juz. 1, hal. 70
[4] KH. Maimoen
Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, Kiadah Fiqh Konseptual, Cet. 4, 9
Surabaya: Khalista, 2006), hal. 101
[5] Syeh Ahmad bin
Syeh Hijazi Al-Fasyani, Al-Majalisussaniyah, (ttp: tt), hal. 3.
[6] Prof. DR.
Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqh, Cet. III, (Bandung: Pustaka Setia,
2007) Hal. 279.
[7] Ibid....
[8] Ibid...
[9] Ibid...
[10] Abdul Hamid
Hakim, Mabadi Awwaliyah, Ushul Fiqh Wal Kawaid Fiqhiyyah, (Jakarta:
Sa’diyyah Fitran, tt) hal. 22.
[11] Ibid...
[12] Prof. Dr.
Mukhtar Yahya, prof. Drs. Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam,
Cet. I, (Bandung; Al-Ma’arif, 1986), hal. 492.
[13] ibid
[14] Prof. H. A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Yang Praktis, Edisi 1, Cet. IV, ( Jakarta: Kencana, 2011),
hal. 36.
0 Response to "MAKALAH AL-UMURU الآمور بمقاصدها "
Post a Comment