BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama paripurna yang
dianugerahkan kepada seluruh manusia melalui seorang Nabi terakhir yang ummi
sebagai tuntunan (baca: syari’at) untuk memperoleh kebahagiaan di
Dunia dan Akhirat. Sebagai sebuah anugerah dari yang maha Esa tentunya segala
sesuatu yang ada di dalamnya adalah murni hanya untuk kepentingan umat, karena
Allah adalah dzat yang suci dari tujuan-tujuan pribadi.
perpijak dari sini dan dalil-dalil
nash maka Ulama’ membuat sebuah kaidah
pokok dari tujuan syari’at yaitu, mendatangkan berbagai kemaslahatan serta
menolak berbagai kerusakan.
Perlu kita ketahui bahwa semua
mujtahid berpijak dengan konsep ini dalam menghasilkan produk-produk hukum
karena mereka semua sepakat bahwa denganya Syari’at Islam telah membuktikan
bahwa ia adalah agama yang paripurna yang mampu untuk menjawab berbagai
tantangan dari perkembangan zaman dan peradaban yang tidak bisa kita pungkiri
telah memiliki wujud yang selalu berubah-ubah ditiap situasi dan kondisi.
Dalam ini penulis akan memaparkan
tentang salah satu dari tujuan syari’at yaitu maslahah yang akan membuka
wawasan kita tentang kajian Ushul Fiqh dan semoga bisa membuat kita lebih arif
di dalam menyikapi segala permasalahan yang ada di sekitar kita yang terus
berkembang dan berubah dari waktu kewaktu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian
Maslahah
2.
Bagaimana
Tingkatan Dalam Maslahah
3.
Apa Syarat-Syarat
Maslahah Mursalah
4.
Bagaiman
Hujah maslahah mursalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maslahah
Menurut
istilah umum Maslahah adalah: mendatangkan segala bentuk kemangfaatan atau
menolak segala kemungkinan yang merusak. Lebih jelasnya Mangfaat adalah
ungkapan dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang masih berhubungan
denganya, sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan atau segala
resuatu yang ada kaitan denganya.
Pandangan terhadap Maslahah tebagi
menjadi dua bagian, yaitu pandangan maslahah menurut kaum sosialis materialis
serta pandanganya menurut syara’(hakikat syara’), dalam pembahasan pertama al
Syatiby mengatakan: “ maslahat
ditinjau dari segi artinya adalah segala sesuatu yang menopang keberlangsungan
dan Menyerpurnakan kehidupan manusia, serta
memenuhi segala keinginan rasio
dan syahwatnya secara mutlak” [1]. Sedangkan
menurut arti secara Syara’ (hakikat) adalah segala sesuatu yang menopang
kehidupan di dunia tidak dengan cara merusaknya serta mampu menuai hasil dan
beruntung di akhirat, dalam hal ini al Syatiby mengatakan, “ menarik kemaslahatan
dan membuang hal-hal yang merusak bisa juga disebut dengan melaksanakan
kehidupan di dunia untuk kehidupan di akhirat”[2]. sedangkan
menurut al Ghozali maslahah adalah: “memelihara tujuan-tujuan syari’at”.
sedangkan tujuan syara’ meliputi lima dasar pokok, yaitu: 1.melindungi agama (hifdu
al diin), 2.melindungi jiwa (hifdu al nafs), 3.melindungi akal (hifdu
al aql), 4.melindungi kelestarian manusia (hifdu al nasl),
5.melindungi harta benda (hifdu al mal).[3]
Bukan hal yang diragukan lagi bahwa
lafad al-Maslahah dan al-Mafsadah adalah berupa bentuk yang masih umum, yang
menurut kesepakatan ulama’ adalah mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan
dunia dan akhirat, al-Syatibi menyatakan “bahwa tujuan dari diturunkanya
Syari’at adalah untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat secara bersamaan.”.[4] Perlu kita tahuhui bahwa kemaslahatah akhirat
adalah hal yang paling penting dalam pandangan Islam, yaitu tercapainya
keridhoan dari Allah yang maha pemurah di akhirat nanti, karena dalam pandangan
islam hidup tidak hanya berhenti pada kehidupan di Dunia saja, dengan kata lain
bahwa kerhidhoan Allah di akhirat tidak bisa terlepas dengan keridhoaNya di
dunia dan bagaimana seseorang menentukan sikapnya di dunia.
Dari
pengertian di atas dan hasil penelitian para ulama’ serta nash-nash syari’at
terbukti bahwa segala ketentuan hukum yang ada pada Syari’at adalah terfokus
pada konsep kemaslahatan Umat, sebagaimana firman Allah:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.(Q.S al
Ambiya:107), unsur maslahah dalam hal ini tentunya hanya bisa di rasakan dan
dirumuskan dengan sempurna oleh orang-orang mempunyai kecerdasan yang sempurna
dan kompeten di bidangnya, karena pandangan maslahah bisa saja berbeda-beda
dari tiap orang sesuai dengan kemampuanya[5].
B. Tingkatan
Dalam Maslahah
Dalam pengunaan maslahah ada tiga
tingkatan yang harus kita ketahui, yang dalam pengunaanya juga terdapat
perbedaan di antara Ulama’.
1. Daruriyah,
tingkatan ini adalah segala sesuatu yang bisa menjaga terhadap rusaknya lima asas daripada syari’at yang
telah penulis sebutkan di atas, seperti pemberlakuan had terhadap pelaku zina
dikarenakan merusak nasab.
2. Hajiyah,
tingkatan yang tidak sampai merusak asas syari’at akan tetapi dibutuhkan,
seperti menikahkan anak-anak.
3. Tahsiniyah,
yaitu tingkatan maslahah yang tidak mambahayakan dasar-dasar Syari’at dan tidak
dibutuhkan, seperti menikahkan seorang wanita dengan lelaki yang sederajat.[6]
Setelah kita mengetahui tentang
urutan daripada maslahah kita harus mengetahui hukum dari ketiga tingkatan
tersebut, tingkatan yang pertama wajib dilaksanakan, sedangkan tingkatan kedua
dan ketiga hanya bisa dilaksankan apabila ditopang oleh dalil-dalil yang pasti
dan kuat. Apabila tidak di dukung oleh
rasio disebut dengan Istihsan, apabila di topang oleh suatu asal maka di sebut
Qiyas,[7] dan apabila bersandar dengan darurat maka disebut dengan Istislah atau
Maslahah Mursalah.
Maslahah adalah tujuan daripada
syari’at dan hukuim-hukum yang meliputinya, secara tidak langsung konsep ini
tentunya dipakai dan harus menjadi persyaratan utama yang perlu dipegang dan
mendasari pemikiran para mujtahid, walaupun nanti dalam pengejawantahanya para
Mujtahid memiliki pengertian yang berbeda-beda, dalam pembahasah ini Fuqoha’
terbagi menjadi tiga kelompok,
a.
Mereka yang berpegang teguh pada
dhohir daripada Nash (al Qur’an dan Hadist), serta mereka berkeyakinan bahwa
kemaslahatan tidaklah akan keluar dari Nash tersebut, mereka ini adalah
kelompok dhohiriyah yang tidak mengakui Qiyas sebagai metode pengalian hukum,
mereka hanya mengakui bahwa hanya Nash sajalah yang patut untuk dijadikan
sumber dari pengalian hukum karena tidak ada kemaslahatan diluar daripada Nash[8]
b.
Kelompok ulama’ yang mengakui bahwa
kemaslahatan ada dalam Nash, akan tetapi mereka juga mendalami penyebab ,tujuan
, dan inti daripada kemaslahatan yang ada di dalam Nash sehinga mereka mampu
untuk menganalogikan masalah-masalah baru yang terjadi dengan dalil-dalil Nash
sebagai representasi dari konsep maslahah. Tetapi mereka menolak konsep maslahah yang tidak bisa dianalogikan dengan
dalil-dalil Nash sehinga kepentinga-kepentingan individu atau hawa nafsu bisa
terminimalisasi dengan sempurna. Mereka adalah golongan fuqoha’ yang mengakui
konsep Qiyas sebagai metode pengalian hukum.
c.
Mereka yang memiliki angapan bahwa
maslahah adalah suatu bentuk yang berdiri sendiri yang mengakar pada lima dasar
pokok syari’at yang telah disebutkan di atas walaupun tampa dilandasi oleh dalil
nash yang jelas-jelas mendukung atau menolaknya, dan hal inilah yang oleh
Ulama’ disebut dengan maslahah mursalah atau istislah yang di
pakai oleh malikiyah seandainya maslahah ditopang dengan dalil Nash yang jelas
atau yang masih memiliki kesamaan sebab atau illat maka disebut dengan Qiyas.
Secara garis
besar maslahah terbagi menjadi tiga bagian:
1. maslahah mu’tabarah.
2. maslahah mulghu.
3. Maslahah
Mursalah.
Dan untuk
lebih jelasnya penulis akan paparkan satu persatu dari pembagian tersebut di bawah
ini.
1.
Maslahah
Mu’tabarah
Maslahah mu’tabarah adalah maslahah
yang ada ada dalil-dalinya dalam Syara’ atau kaidah ushul fiqh dan memiliki
hubungan langsung dengan lima dasar Syari’ah yaitu melindungi agama, akal,
harta, nasab, dan jiwa, Perpijak dari kaidah ini maka timbulah konsep qiyas
dalam Mazhab syafi’I yaitu mempertimbangkan suatu hukum yang lahir dari
pendalaman rasio terhadap Nash yang jelas. mengenai maslahah ini semua jumhur
Ulama’ sepakat tentang keabsahanya.[9]
2.
Maslahah Mulghu
Maslahah mulghu adalah maslahah yang
di tolak oleh Syara’, dengan kata lain bahwa maslahah ini hanya murni berpijak
pada rasio semata, dan para Ulama’ sepakat tentang penolakan mereka terhadap
maslahah model ini dikarenakan akan memberikan peluang yang luas kepada peran
nafsu atau kepentingan individu. Seperti yang pernah fatwakan oleh Yahya ibn
yahya tentang kafarah jima’ di siang hari pada bulan Ramadhan kepada seorang
amir dengan puasa dua bulan berturut-turut, beliau berargumentasi bahwa apabila
seorang amir atau orang yang kaya diberi keluasan untuk memilih tiga opsi atau
urutan diantara memerdekakan budak, memberi makan fakir miskin, dan puasa dua
bulan sudah barang tentu ia akan memilih selain puasa karena itu lebih mudah
baginya, sedangkan Menurut beliau tujuan daripada kafarat adalah membuat efek
jera bagi seseorang. Pendapat ini tentunya bertentangan dengan para Ulama’ yang
berpendapat di antara memilih tiga opsi dari kifarat atau mengurutkanya, karena
dari fatwa beliau itu terkesan subjektif, oleh karena itu banyak ulama’ yang
menolak fatwa beliau.
3. Maslahah Mursalah.
Imam Maliki dalam memahami
maslahah mengeluarkan sebuah metode yang
bernama Maslahah Mursalah, Maslahah Mursalah menurut bahasa adalah kebaikan
atau kemangfaatan secara umum, sedangkan menurut terminologi ulama’ Ushul Fiqh
adalah berpegang teguh terhadap tujuan umum dari Syariat, akan tetapi tidak
dilandasi oleh argumentasi yang jelas dari Nash tentang persetujuan atau
penolakan terhadapnya, sebagian ulama’ ada yang menyebutnya dengan Istislah,
atau Almunasib al Mursal (adanya keterikatan dengan tujuan Syariat secara umum
tampa ada spesifikasi yang jelas),
seperti yang telah dilakukan oleh para Sahabat dengan mengumpulkan
Mushaf dan membakar semua Mushaf yang tidak sesuai dengan tulisan Ustman,
sebenarnya apa yang dilakukan para sahabat ini tidak ada dalil yang jelas akan
tetapi sesuai dengan tujuan umum daripada Syariat yaitu menjaga agama islam
dari perpecahan.
Maslahah mursalah sebenarnya tidak
hanya membuat suatu hukum tanpa ada hubunganya dengan Syari’at, Maslahah
mursalah juga memiliki hubungan yang mengarah kepada tujuan daripada Syari’at
walaupun tidak sekuat Qiyas, karena hubungan yang ada dalam maslahah mursalah
bersifat global (kulli) oleh karena itu ada yang menyebutnya Munasib al Mursal.
Adapun metode penerapanya secara umum adalah:
a.
Jenis permasalahan yang dibahas cenderung mengarah pada jenis yang tertera
pada Nash.
b.
Bentuk permasalahan yang dibahas cenderung mengarah dengan bentuk yang
telah tertera pada Nash.
Dalam menangapi maslahah mursalah
ini para Ulama’ menjadi dua kubu antara yang menyetujui dengan konsep yang di
usung oleh Mazhab Maliki ini dengan yang tidak menyetujuinya.
1. Mereka yang tidak setuju dengan
konsep ini antara lain adalah Mazhab Syafi’I, Syi’ah, dan Dhohiri. mereka yang
tidak sependapat dengan konsep ini memiliki beberapa alasan antara lain:
1.
Bahwa teks hukum-hukum syariat
adalah hukum yang suci dan telah menerangkan berbagai permasalahan yang ada
sampai akhir zaman walaupun tidak secara langsung, serta tidak akan
bertentangan dengan perubahan sedikitpun oleh situasi dan kondisi, dengan
adanya nash al Qur’an yang berbunyi: “Apakah manusia
mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja” (tanpa pertanggung jawaban)?(al qiyamah36:)
2.
Maslahah mursalah berkutat di antara
maslahah mulghu yang tertolak dan maslahah yang mu’tabarah, karena tidak adanya
dalil yang jelas oleh karena itu harus manolaknya[11]
3.
Mengunakan maslahah mursalah akan
menyebabkn seseorang tidak memahami syari’at dengan sempurna karena akan
terjadi pencampur adukan antara hukum syari’at dengan hawa nafsu dan memberikan
peluang terhadap sifat subjektifitas terhadap orang-orang yang tidak bertangung
jawab dalam mengunakan hukum.
Tetapi di kemudian hari kebanyakan
dari ulama’ mutaakhirin dari kelompok mazhab yang menentang banyak mengunakan
metode ini walaupun dengan syarat-syarat tertentu di karenakan banyaknya
masalah-masalah baru yang sangat mendesak untuk diselesaikan. kalau kita
melihat realitas produk-produk fiqh mqzhab mereka sebenarnya juga sering
memakai maslahah mursalah, sebagaimana dalam mazhab Syafi’I dalam menjawab tentang seseorang yang
dibunuh oleh suatu kelompok maka keseluruhanya wajib terkena had, dengan
argumentasi firman Allah:
“Dan jika kamu memberikan
balasan, Maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan
kepadamu..(al nahl:126). dan pendapat ini kemudian dijadikan
ijma’.
2. Mereka yang menyetujuinya antara lain Mazhab
Maliki (mazhab ini adalah pelopor dari maslahah mursalah), Hanafi, dan Hambali,
dan Mereka yang sependapat dengan metode ini memiliki argumentasi yang akan
penulis jelaskan pada argumentasi maslahah mursalah.
C. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah.
Imam Malik dalam mengunakan maslahah
mursalah sebenarnya tidak memberikan peluang terhadap subjektivitas seseorang,
ini terbukti dengan adanya syarat-syarat yang beliau terapkan terhadap
pengunaanya dengan ketat, syarat-syarat tersebut adalah:
1.
Maslahah mursalah harus memiliki kecenderungan mengarah dengan tujuan
syari’at walaupun secara umum dan tidak
bertentangan dengan dasar-dasar Syara’, dalil-dalil hukum.
2.
Pembahasanya harus bersifat rasional dengan indikasi seandainya dipaparkan
terhadap orang-orang berakal mereka akan menerimanya.
3.
Pengunaanya bertujuan untuk kebutuhan yang sangat darurat atau untuk
menghilangkan berbagai bentuk kesulitan dalam beragama.[12]
4.
Maslahah mursalah yang di gunakan untuk membuat hukum adalah benar-benar
Maslahah secara nyata bukan dugaan.
5.
Maslahah yang dipakai adalah maslahah umum, bukan maslahah bagi kepentingan
satu golongan atau indifidu tertentu.
D. Hujah maslahah mursalah
Setelah kita mengetahui argumentasi
dari para Ulama’ yang menolak konsep maslahah mursalah hendaknya kita juga
harus tahu alasan-alasan para Ulama’ yang getol mempertahankan konsep ini,
sebenarnya perbedaan mereka hanyalah apabila konsep maslahah mursalah dipakai
di dalam muamalat (hubungan antar manusia), adapun apabila diterapkan dalam
masalah yang bersifat ibadah maka semua ulama’ sepakat tentang tidak berlakunya
konsep ini, karena ibadah yang kita terima dari Syari’ bersifat doktrin
(tauqifi) yang tidak sepenuhnya terjangkau oleh akal[13]. Adapun alasan-alasan yang mendasari beberapa Ulama’ mengunakan maslahah
mursalah adalah:
a.
bahwa kehidupan manusia akan selalu
berjalan mengikuti gerak zaman oleh karena itu kemaslahatan manusia juga akan
berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
b.
seandainya konsep maslahah mursalah
ini tidak diterapkan di masyakat maka mereka akan banyak mendapati
kesulitan-kesulitan dalam hidup ini, sedangkan Syari’at Islam tidak diturunkan
kecuali untuk membuat pengikutnya menjadi labih mudah dalam mengarungi hidup
ini,[14] seperti
keterangan dalam firman Allah:
“dan dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.(al
haj:78)
c.
para mujtahid di masa Sahabat sebagian dari mereka mengunakan maslahah
mursalah dalam beberapa keputusan mereka dan tidak ada yang mengingkari mereka.[15]
Secara garis
besar Ulama’ memiliki pendapat yang berbada-beda dalam mengunakan Maslahah
mursalah.
1. Maslahah
mursalah apabila memiliki asal yang jelas dari Nash maka ulama’ menyebutnya
dengan Qiyas, bahkan ada yang mengatakan hal ini tidak bisa disebut dengan
Maslahah mursalah lagi.
2. Maslahah
mursalah boleh dipakai apabila memiliki kecenderungan mengarah kepada tujuan
Syari’at dan tidak jelas-jelas bertentangan denga Nash.
3. maslahah
mursalah boleh digunakan apabila diduga memiliki kedekatan makna dengan kaidah
umum walaupun tidak berhubungan langsung dengan Nash yang jelas. Sebenarnya
maslahah inilah yang banyak dikecam oleh beberapa Ulama’ karena memberikan
peluang terhadap peran nafsu dan subjektivitas seseorang.
4. Konsep
maslahah mursalah hanya bisa dipakai apabila dalam keadaan darurat saja, ini
adalah pendapat imam al ghozali dalam kitabnya al Mustasfa, akan tetapi
pendapat ini ditolak oleh beberapa Ulama’, bahwa konsep darurat memiliki
ketentuan tersendiri yang berbeda dengan Maslahah mursalah yaitu “ darurat akan
memperbolehkan perkara yang diharamkan” serta darurat mamiliki dalil tersendiri
di dalam Syari’at dan tidak bisa di campur adukan dengan Maslahah mursalah.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Eksistenti dari sebuah aliran atau
mazdhab adalah berada pada kredibilitas dan kemampuanya untuk selalu mampu
menjawab persoalan yang berkembang pada masanya dengan tanpa meningalkan
identitas dan dasar-dasar pokok yang dianutnya (aqidah), maka dengan
dengan mempertahankan konsep maslahah inilah kita akan mendapati bahwa
Mashab-mazhab Fiqh mencoba membuktikan bahwa islam adalah agama yang
mudah dan tidak membebani umatnya dengan hal-hal yang sukar dengan tampa
tercerabut dari pondasi awalnya (al Qur’an-Hadis), karena konsep yang di
usung oleh maslahah adalah bertujuan untuk membahas hal-hal yang nyata serta
terjadi di sekitar umat.
Melihat situasi perkembangan zaman
saat ini yang begitu pesat dan cepat serta banyaknya hal-hal yang tidak mungkin
bisa terjawab hanya dengan merujuk pada
teks-teks produk dari sebuah metode yang berkembang pada masa lalu ,
maka pentinglah kiranya bagi kita untuk merujuk pada konsep-konsep yang
mendasari para Mujtahid dalam menjawab perkembangan zaman pada masa mereka,
terutama tentang metode mereka di dalam mengunakan dan mengolah dasar pokok
daripada Syari’at yaitu Al-maslahah, karena dengan ini kita akan menjadi umat
yang dinamis dan lebih suka berpikir objektiv, Karena diturunkannya syariat di
tengah kehidupan umat manusia adalah untuk mewujudkan keamanan dan
kesejahteraan (kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat. Oleh sebab
itu, agar keamanan dan kesejahteraan kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di
akhirat dapat terwujud maka segala ikhtiar yang dilakukan umat manusia di muka
bumi harus selalu sejalan dengan tuntunan Syariat. Untuk memenuhi tuntutan dan kepentingan manusia serta merespon berbagai
dinamika kehidupan, maka setiap pengambilan keputusan harus memenuhi
kriteria kepentingan umum (maslahah ‘ammah) yang dibenarkan oleh syara’.
DAFTAR PUSTAKA
Al ghozali, Al Mustasfa, Juz 1, Bairut.Daar Al Ihya’ Al Turats Al ‘Araby, 1997.
Al Imam Muhammad Abu Zahra, Ushul Al Fiqh, Kairo. Dar al fikr al ‘araby 1997.
Dr M.Ibn Ahmad Taqiyah. Masadiru Al Tasyri’ Al Islamy”,
(Lebanon: Muasisu Al Kitab Al Tsaqofiyah, 1999.
Dr. Ahmad raisuni, Nadhoriyat
Al Maqosid Inda Syatibi, (Mesir: Dar al kalimah, 1997.
Khalifah ba bakr.’al ijtihad bi al ra’yi.kairo.maktabah al zahra.
1997
Wahbah zuhaily. Ushul Fiqh”.kuliyat da’wah al islami. 1990.
[2]Ibid Hlm 205
[4]Dr. Ahmad raisuni.op.cit Hlm 203.
[6]Al
ghozaly.op.cit.Hlm217
[7]Ibid.
[8]ibid.
Hlm 246
[9]Khalifah
ba bakr.1997.’al ijtihad bi al ra’yi.kairo.maktabah al zahra. Hlm 427
[10]Ibid.hlm.429
[11]Dr
M.Ibn Ahmad Taqiyah. Masadiru Al Tasyri’ Al Islamy”, (Lebanon: Muasisu
Al Kitab Al Tsaqofiyah, 1999). Hlm 137
[12]Khalifah
ba bakr.op.cit. Hlm.452
[14]Wahbah zuhaily.1990.”Ushul Fiqh”.kuliyat
da’wah al islami. Hlm 89
[15]Dr M.ibn ahmad taqiyah. Op.cit. Hlm.
136
[16] Ibid. Hlm 140
0 Response to "MAKALAH MASHLAHAH"
Post a Comment