BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mediasi
Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak
ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang
membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang
diterima oleh kedua belah pihak.[1]
Mediasi disebut emergent mediation apabila mediatornya
merupakan anggota dari sistem sosial pihak-pihak yang bertikai, memiliki
hubungan lama dengan pihak-pihak yang bertikai, berkepentingan dengan hasil
perundingan, atau ingin memberikan kesan yang baik misalnya sebagai teman yang
solider.
Pengertian mediasi menurut Priatna Abdurrasyid yaitu suatu
proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya
kepada seorang mediator (seseorang yg mengatur pertemuan antara 2 pihak atau
lebih yg bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa biaya besar
besar tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang
bersengketa. Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping dan penasihat.
Sebagai salah satu mekanisme menyelesaikan sengketa, mediasi digunakan di
banyak masyarakat dan diterapkan kepada berbagai kasus konflik.
Proses
Pemeriksaan Perkara Pidana di Indonesia
Tahap Penyelidikan
Seorang penyidik dalam melaksanakan
tugasnya memiliki koridor hukum yang harus di patuhi, dan diatur secara formal
apa dan bagaimana tata cara pelaksanaan, tugas-tugas dalam penyelidikan.
Artinya para penyidik terikat kepada peraturan-peraturan, perundang-undangan,
dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam menjalankan tugasnya.
Dalam pelaksanaan proses penyidikan,
peluang-peluang untuk melakukan penyimpangan atau penyalagunaan wewenang untuk
tujuan tertentu bukan mustahil sangat dimungkinkan terjadi. Karena itulah semua
ahli kriminalistik menempatkan etika penyidikan sebagai bagian dari
profesionalisme yang harus d miliki oleh seorang penyidik sebagai bagian dari
profesionalisme yang harus dimiliki oleh seorang penyidik. Bahkan, apabila
etika penyidikan tidak dimiliki oleh seseorang penyidik dalam menjalankan tugas
-tugas penyidikan, cenderung akan terjadi tindakan sewenang-wenang petugas yang
tentu saja akan menimbulkan persoalan baru.
Ruang lingkup penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang mengatur dalam undang-undang No 26 tahun 2000
pasal I angka 5. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima
laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang
dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Berdasarkan ketentuan Pasal
16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah
penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak hak asasi
tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan
Barang Bukti.
Penyelidikan yang dilakukan
penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah
(presumption of innocence) sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan umum butir
3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan
hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak
hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada
penyidik.
Apabila didapati tertangkap tangan,
tanpa harus menunggu perintah penyidik, penyelidik dapat segara melakukan
tindakan yang diperlukan seperti penangkapan, larangan, meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan. Selain itu penyelidik juga dapat meakukan
pemerikasaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik jari dan memotret
atau mengambil gambar orang atau kelopmpok yang tertangkap tangan tersebut.
Selain itu penyidik juga dapat membawa dang mengahadapkan oarang atau kelompok
tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal 105 KUHAP menyatakan bahwa
melaksanakan penyelidikan, penyidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan
diberi petunjuk oleh penyidik.
Tahap Penyidikan.
Pengertian penyidikan diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang terdapat Pada Pasal 1 butir I yang
berbunyi sebagai berikut:
“Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia Atau Pejabat Pegawai Negari Sipil tertentunyang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.“
Dari pengertian penyidik diatas,
dalam penjelasan undang-undang disimpulkan mengenai pajabat yang berwenang
untuk melakukan penyidikan yaitu: Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
(POLRI); dan Pejabat Pegawai Negari Sipil yang diberi wewenang khusus oleh
Undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Selain penyidik, dalam KUHAP dikenal
pula penyidik pembantu, ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal I butir
3 KUHAP, yangmenyebutkan bahwa:
“Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang karena diberikan diberi wewenang tertentu dapat
melakukan penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini”.
Selanjutnya mengenai pengertian
penyidik pembantu diatur dalam Pasal 1 Butir 12 Undang-undang No.2 tahun 2002,
yang menyatakan Bahwa:
“Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam
melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-undang”.
Mengenai Penyidik Negari Sipil
Dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) KUHAP, Bahwa
“Yang dimaksud dengan penyidik dalam ayat ini adalah
misalnya pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan yang melakukan
tugas penyelidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh
undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.”
Berdasarkan ketentuan
perundang-undangan mengenai penyidik dan penyidik pembantu di atas, dapat
diketahui bahwa untuk dapat melaksanakan tugas penyidikan harus ada pemberian
wewenang. Mengenai pemberian wewenang tersebut menurut Andi Hamzah, berpendapat
bahwa:
“Pemberian wewenang kepada penyidik bukan semata-mata
didasarkan atas kekuasaan tetapi berdasarkan atas pendekatan kewajiban dan
tanggung jawab yang diembannya, dengan demikian kewenangan yang diberikan
disesuaikan dengan kedudukan, tingkat kepangkatan, pengetahuan serta ringannya
kewajiban dan tanggung jawab penyidik.”
Tugas penyidikan yang dilakukan oleh
Penyidik POLRI adalah merupakan penyidik tunggal bagi tindak pidana Umum,
tugasnya sebagai penyidik sangat sulit dan membutuhkan tanggung jawab yang
besar, karena penyidikan merupakan tahap awal dari rangkaian proses
penyelesaian perkara pidana yang nantinya akan berpengaruh bagi tahap proses
peradilan selanjutnya.
Sedangkan pada Pasal I butir 2 KUHAP
menjelaskan mengenai pengertian penyidikan, sebagai berikut:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”
Segubungan dengan hal tersebut Yahya
Harahap memberikan Penjelasan mengenai penyidik dan penyidikan sebagai berikut:
“Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan
ketentuan umum Pasal I Butir I dan 2, Merumuskan pengertian penyidikan yang
menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu
yang diberi wewenang oleh undang-undang. Sadangkan penyidik sesuai dengan cara
yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dan
dengan bukti itu membuat atau menjadi terang suatu tindak pidana yang terjadi
serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya”
Sedangkan Andi Hamzah
dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia menyimpulkan defenisi dari Pasal I
Butir 2 KUHAP, sebagai berikut:
Penyidikan (acara pidana) hanya dapat dilakukan
berdasarkan undang-undang, hal ini dapat disimpulkan dari kata-kata…menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan ini dapat dibandingkan
dengan Pasal 1 Ned.Sv. Yang berbunyi: Strafvordering heeft allen wet
voorzien. (Hukum acara pidan dijalnkan hanya berdasarkan
Undang-undang).
Acara pidana dijalankan jika terjadi
tindak pidana hal ini dapat disimpulkan dari kata membuat terang tindak pidana
yang terjadi, hal inilah yang tidak disetujui oleh Van Bemmelen, karena,
katanya mungkin saja acara pidana berjalan tanpa terjadi delik; contoh klasik
yang dikemukakan ialah kasus Jean Clas di Prancis yang menyangkut seorang Ayah
dituduh membunuh anaknya, padahal itu tidak terjadi namun proses pidannya sudah
berjalan.
Selanjutnya Andi Hamzah kembali
bahwa Penyidikan ialah ialah suatu istilah yang dimaksud sejajar dengan
pengertian Opsparing (Belanda), dan Investigation (Inggris) atau
Penyisatan/Sjasat (Malaysia). Defenisi penyidikan dalam KUHAP. Menurut bahasa
Belanda adalah sama dengan Opsporing.
Berikut ini Andi Hamzah mengutip pendapat De Pinto ang
menyatakan bahwa; Menyidik (Opsporing). Beartipemeriksaan permulaan oleh
Pejabat-pejabat yang untuk itu oleh undang-undang segera setelah mereka dengan
jalan apapun mendengar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadinya suatu
pelanggaran hukum
Penyidikan merupakan aktivitas
yurisdis yang dilakukan penyelidik untuk mencari dan menemukan kebenaran sejati
(Membuat terang jelas tentang tindak pidana yang terjadi.
Apa yang dikemukakan tentang
penyelidikan tersebut diatas Buchari Said menyebutkan sebagai aktivitas
yuridis, maksudnya adalah aktivitas yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan
hukum positif sebagai hasil dari tindakan tersebut harus dapat dipertanggung
jawabkan secara yuridis pula, karena kata yuridis menunjuk kepada adanya suatu
peraturan hukum yang dimaksud tiada lain peraturan-peraturan mengenai hukum
acara pidana.
Tujuan utama penyidikan adalah untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti dapat membuat terang suatu
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal I butir 2 KUHAP. Dalam melaksanakan tugas penyidikan
untuk mengungkapkan suatu tindak pidana, maka penyidik karena kewajibannya
mempunyai wewenang sebagimana yang tercantum di dalam isi ketentuan Pasal 7
ayat (1) Kitab Undang-udang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo. Pasal 16 ayat (1)
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia,
yang menyebutkan bahwa wewenang penyidik adalah sebagi berikut:
- Menerima Laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
- melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
- menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
- melakukan penangkapan, penahanan,penggeledahan dan penyitaan;
- mengenai sidik jari dan memotret seseorang;
- memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
- Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
- mendatang orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
- mengadakan penghentian penyidikan;
- mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Penyidikan yang dilakukan tersebut
didahului dengan pemberitahuan kepada penutut umum bahwa penyidikan terhadap
suatu peristiwa pidana telah mulai dilakukan. Secara formal pemberitahuan
tersebut disampaikan melalui mekanisme Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun
kekurangan yang dirasa sangat menghambat adalah tiada ada ketegasan dari
kentuan tersebut kapan waktunya penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut
Umum.
Dalam hal penyidik telah selesai
melakukan penyidikan, penyidik wajib segara menyerahkan berkas perkara tersebut
kepada penutut umum. Dan dalam hal penutut umum berpendapat bahwa hasil
penyidikan tersebut kurang lengkap. Penutut umum segera mengembalikan berkas
perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila
pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam waktu 14 Hari penutut
umum tidak mengembalikan berkas tersebut, maka penyidikan dianggap selesai.
Tahap Penuntutan
Dalam Undang-undang ditentukan bahwa
hak penututan hanya ada pada penututan umum yaitu Jaksa yang diberi wewenang
oleh kitab-kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana No.8 tahun tahun 1981. Pada
Pasal 1 butir 7 KUHAP Tercantum defenisi penututan sebagai berikut;
“Penuntutan adalah tindakan penututan umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan suapay
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”
Yang bertugas menurut atau penuntut
umum ditentukan di Pasal 13 jo Pasal butir 6 huruf b yang pada dasarnyan
berbunyi :
“Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk melakukan penututan dan melaksanakan penetapan
hakim “
Kemudian Muncul undang-undang No. 5
tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya tidak
diberlakukan lagi dan diganti oleh Undang-undang No. 16 tahun 2004, yang
menyatakan bahwa kekuatan untuk melaksanakan penuntutan itu dilakukan oleh
kejaksaan. Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tetap Kejaksaan Republik
Indonesia yang memberikan wewenang kepada Kejaksaan (Pasal 30), yaitu:
- Melakukan Penuntutan;
- Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
- Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersayarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat
- Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
- Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dan penyidik.
Mengenai kebijakan penuntutan,
penuntut umumlah yang menentukan suatu perkara hasil penyidikan, apakah sudah
lengkap ataukah tidak untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk diadili. Hal
ini diatur dalam pasal 139 KUHAP. Jika menurut pertimbangan penututan umum
suatu perkara tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke Pengadilan ataukah
perkara tersebut bukan merupakan suatu delik, maka penuntut umum membuat
membuat suatu ketetapan mengenai hal itu (Pasal 140 ayat (2) butir b (KUHAP).
Mengenai wewenang penutut umum untuk menutup perkara demi hukum seperti
tersebut dalam Pasal 140 (2) butir a (KUHAP), Pedoman pelaksanaan KUHAP memberi
penjelasan bahwa “Perkara ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan buku I
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut yang
diatur dalam Pasal 76;77;78 dan 82 KUHP.
Penuntutan Perkara dilakukan oleh
Jaksa Penuntut umum, dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang diembannya.
Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penempatan hakim.
Dalam melaksanakan penuntutan yang menjadi
wewenangnya, penuntut Umum segera membuat surat dakwaan berdasarkan hasil
penyidikan. Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau perkara
ditutup demi hukum, maka penuntut umum menghentikan penuntutan yang dituangkan
dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka berada dalam tahanan tahanan,
sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus segera di
keluarkan dari tahanan. Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut
dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut
dibertahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan
kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan
negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohon
praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu KUHAP dan apabila
kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan
terhadap tersangka.
Nebis in Idem berarti
tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan (feit)
yang sama. Ketentuan ini disahkan pada pertimbangan, bahwa suatu saat
(nantinya) harus ada akhir dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya
ketentuan pidana terhadap suatu delik tertentu. Asas ini merupakan pegangan
agar tidak lagi mengadakan pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama
dari satu tindakan pidana yang sudah mendapat putusan hukum yang tetap.
Dengan maksud untuk menghindari dua
putusan terhadap pelaku dan tindakan yang sama juga akan menghindari usaha
penyidikan/ penuntutan terhadap perlakuan delik yang sama, yang sebelumnya
telah pernah ada putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap. Tujuan dari atas
ini ialah agar kewibawaan negara tetap junjung tinggi yang berarti juga
menjamin kewibawaan hakim serta agar terpelihara perasaan kepastian hukum dalam
masyarakat
Agar supaya suatu perkara tidak
dapat diperiksa untuk kedua kalinya apabila; Pertama Perbuatan yang didakwakan
(untuk kedua kalinya) adalah sama dengan yang didakwakan terdahulu. Kedua
Pelaku yang didakwa (kedua kalinya) adalah sama. Ketiga untuk putusan yang
pertamateri terhadap tindakan yang sama itu telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.
Belakangan dasar ne bis in
idem itu digantungkan kepada beberapa hal bahwa terhadap seseorang itu
juga mengenai peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakim dengan
vonis yang tidak diubah lagi. Putusan :
Pertama Penjatuhan
Hukuman (veroordeling) Dalam hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa
terdakwa terang salah telah melakukan peritiwa pidana yang dijatuhkan
kepadanya;atau
kedua: Pembebasan
dari penuntutan hukum (ontslag van rechtvervoging) Dalam hal ini
hakim memutuskan, bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itu
dibuktikan dengan cukup terang, akan tetapi peritiwa itu ternyata bukan
peristiwa pidana, atau terdakwanya keadapatan tidak dapat di hukum karena tidak
dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu, bahwa keslahan terdakwa
atas peristiwa yang dituduhkan kepadanya tidak cukup buktinya.
Dalam Pasal 77 KUHP yang berbunyi: Hak
Menuntut hukum gugur (tidak berlaku lagi) lantaran si terdakwa meninggal dunia.
Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum putus ada putusan terakhir
dari pengadilan maka hak menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf
pengutusan, maka pengusutan itu dihentikan. Jika penuntut telah dimajukan, maka
penuntut umum harus oleh pengadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan
tentunya (Niet-ontvankelijk) umumnya demikian apabila pengadilan banding atau
pengadilan kasasi masih harus memutuskan perkaranya.
Pasal 82 82 KUHP yang berbunyi :
Ayat (1) :” Hak menuntut hukum karena pelanggaran yang terancam hukuman utama
tak lain dari pada denda, tidak berlaku lagi bagi maksimun denda dibayar dengan
kemauan sendiri dan demikian juga di bayar ongkos mereka, jika penilaian telah
dilakukan, dengan izin amtenaar yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam
tempo yang ditetapkannya”.
Ayat (2): ”Jika perbuatan itu terencana selamanya
denda juga benda yang patut dirampas itu atau dibayar harganya, yang ditaksir
oleh amtenaar yang tersebut dalam ayat pertama”.
Ayat (3):” Dalam hal Hukuman itu tambah diubahkan
berulang-ulang membuat kesalahan, boleh juga tambahan itu dikehendaki jika hak
menuntut hukuman sebab pelanggaran yang dilakukan dulu telah gugur memenuhi
ayat pertama dan kedua dari pasal itu’.
Ayat (4);”Peraturan dari pasal ini tidak berlaku bagi
orang yang belum dewasa ,yang umumnya sebelum melakukan perbuatan itu belum
cukup enam belas tahun”.
Penghapusan hak penuntutan bagi
penuntut umum yang diatur dalam Pasal 82 KUHP mirip dengan ketentuan hukum
perdata mengenai transaksi atau perjanjian.
Tahap Pemeriksaan Pengadilan
Apabila terhadap suatu perkara
pidana telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut diajukan kepengadilan.
Tindak Pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili dan diputus oleh
majelis hakim dan Pengadilan Negeri yang berjumlah 3 (Tiga) Orang.
Pada saat majelis hakim telah ditetapkan, selanjutnya
ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh penuntut
umum kepada terdakwa di alat tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat
kediaman terakhir apabila tempat tinggalnya diketahui. Dalam hal ini surat
panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk perkara apa ia dipanggil.
Surat panggilan termaksud disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum
sidang dimulai.
Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang yang
negatif (Negatif wettelijk). Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 183 KUHAP menyatakan:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadinya
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berdasarkan pernyataan tersebut,
nyatalah bahwa pembuktian harus didasarkan apad alat bukti yang disebutkan
dalam undang-undang disertai keyakinan hakim atas alat-alat bukti yang diajukan
dalam persidangan, yang terdiri dari:
- Keterangan saksi;
- Keterangan Ahli;
- Surat;
- Petunjuk; dan
- Keterangan terdakwa.
Disamping itu kitab Undang-undang
hukum Acara Pidana juga menganut minimun pembuktian (minimum bewijs),
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 tersebut. Minimun pembuktian berarti
dalam memutuskan suatu perkara pidana hakim harus memutuskan berdasarkan
sejumlah alat bukti. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan batasan
minimal penggunaan alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti, yaitu minimal dua
alat bukti disertai oleh keyakinan hakim.
Tahap memeriksaan perkara pidana
dipengadilan ini dilakukan setelah tahap pemeriksaan pendahuluan selesai.
Pemeriksaan ini dilandaskan pada sistem atau model Accusatoir, dan dimulai
dengan menyampaikan berkas perkara kepada Public prosecutor.
Pemeriksaan dimuka sidang pengadilan
diawali dengan pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan ynag dilakukan
secara sah menurut undang-undang. Dalam hal ini KUHAP pasal 154 telah
memberikan batasan syarat undang undang dalam hali KUHAP pasal 154 telah memberikan
batasan syarat syahnya tentang pemanggilan kepada terdakwa, dengan ketentuan;
Surat panggilan kepada terdakwa
disampaikan di alat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak
diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.
Apabila terdakwa tidak ada ditempat
kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang
berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir. dalam
hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat
rumah tahanan negara. Penerimaan surat panggilan terdakwa sendiri ataupun orang
lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan. apabila tempat
tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan
ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang
mengadili perkaranya.
PROSES PERKARA PIDANA MASUK KE PENGADILAN BERDASARKAN
KUHAP
Acara
- Pelimpahan perkara ke pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum di sertai dengan surat dakwaan. Keterangan. Pasal 143 KUHAP
- Kemudian Ketua PN mempelajarinya, apakah perkara tersebut masuk wewenangnya atau bukan.Keterangan. Pasal 147 KUHAP
- Maka setelah itu Ketua PN menetapkan, bahwa PN tersebut berwenang mengadili, dan PN tersebut tidak berwenang mengadili. Keterangan. Pasal 84 KUHAP
Perkara perdata ada 2 yaitu perkara
gugatan contohnya perkara gugatan sengketa tanah dan perkara permohonan
contohnya permohonan polygami. Dalam hal proses pemeriksaan perkara gugatan
timbul karena adanya gugatan yang diajukan oleh pihak ke pengadilan.
Adapun proses pemeriksaan perkara
gugatan (dalam praktek) biasanya sebagai berikut :
- Diawali karena adanya gugatan masuk ke pengadilan. Gugatan tersebut diproses dahulu di bagian panitera perdata yaitu mulai dari membayar panjar biaya perkara, penetapan nomor register perkara, disampaikan ke Ketua Pengadilan, Ketua Pengadilan menetapkan Majelis Hakim, selanjutnya Majelis Hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan melalui panitera agar pihak penggugat dan tergugat dipanggil sesuai dengan hari sidang yang telah ditetapkan.
- Pada persidangan pertama jika Penggugat atau wakilnya tidak pernah hadir setelah dipanggil secara patut dan sah selama 3 kali berturut-turut maka majelis hakim akan memberikan putusan gugatan gugur. Sebaliknya jika Tergugat tidak hadir setelah dipanggil secara patut dan sah selama 3 kali berturut-turut maka majelis hakim akan memberikan putusan Verstek. Namun demikian jika Penggugat dan Tergugat hadir, maka majelis hakim akan menanyakan dahulu apakah gugatannya ada perubahan, jika ada diberika kesempatan untuk merubah dan dicata panitera pengganti. Jika tidak ada perubahan majelis Hakim akan melakukan mediasi untuk berdamai paling lama 40 hari.
- Jika selama 40 hari tersebut mediasi ataud amai tidak tercapai, maka persidangan selanjutnya adalah pembacaan gugatan oleh Penggugat. Dalam prakteknya pembacaan gugatan selalu tidak dilakukan yang terjadi adalah gugatan dianggap dibacakan sepanjang antara Penggugat dan Tergugat sepakat. Hal ini untuk menghemat waktu. karena pada dasarnya gugatan tersebut sudah dibaca oleh Tergugat ketika gugatan disampaikan pengadilan (juru sita) minimal 3 hari sebelum persidangan pertama dimulai.
- Setelah pembacaan gugatan selesai atau dianggap dibacakan, Majelis Hakim menanyakan kepada Tergugat apakah ada tanggapan baik lisan maupun tertulis. Apabila lisan majelis hakim pada persidangan tersebut akan mencatat dan apabila tertulis biasanya diberi kesempatan 1 minggu untuk menanggapinya yang disebut dengan Jawaban Tergugat atas Gugatan Penggugat. Dalam jawaban tergugat ini tergugat dapat melakukan bantahan, mengakui dan tidak membantah dan tidak mengakui (referte) serta mengajukan eksepsi (formil dan materil) dan rekonvensi (gugatan balik).
- Pada persidangan selanjutnya adalah menyerahkan Jawaban Tergugat. Dalam prakteknya jawaban tergugat tidak dibacakan tetapi diberi kesempatan kepada Penggugat secara tertulis untuk menanggapi Jawaban Tergugat yang disebut dengan Replik Penggugat (Tanggapan terhadap Jawaban Tergugat). Replik Penggugat isinya sebenarnya harus mempertahankan dalil-dalil isi gugatan adalah benar sedangkan dalil-dalil dalam jawaban tergugat adalah salah. Replik juga bisa lisan tentunya jika lisan jawaban harus dibacakan agar Penggugat tahu yang mana yang akan ditanggapinya.
- Pada persidangan berikutnya adalah menyerahkan Replik Penggugat Dalam prakteknya Replik Penggugat juga tidak dibacakan tetapi diberi kesempatan kepada Tergugat secara tertulis untuk menanggapi Replik Penggugat yang disebut dengan Duplik Tergugat (Tanggapan terhadap Replik Penggugat). Duplik Tergugat isinya sebenarnya harus mempertahankan dalil-dalil jawaban Tergugat adalah benar sedangkan dalil-dalil dalam Replik Penggugat adalah salah. Duplik juga bisa lisan tentunya jika lisan Replik harus dibacakan agar Tergugat tahu yang mana yang akan ditanggapinya.
- Pada persidangan berikutnya, adalah menyerahkan Duplik Tergugat yaitu tanggapan terhadap Replik Penggugat. Setelah Duplik, majelis hakim akan melanjutkannya penyerahan alat-alat bukti tertulis Penggugat. Kemudian Tergugat diminta juga menyerahkan alat-alat bukti tertulis kepada majelis hakim.
- Setelah penyerahan alat bukti tertulis selesai, jika penggugat merasa perlu menghadirkan saksi-saksi untuk mendukung alat bukti tertulisnya, maka majelis hakim memberikan kesempatan dan dilakukan pemeriksaan saksi untuk diminta keterangannya sesuai perkara. Setelah itu baru diberi kesempatan juga pada Tergugat untuk menghadirkan saksi untuk dimintai keterangannya.
- Setelah pemeriksaan alat bukti selesai, dilanjutkan dengan pemeriksaan setempat (PS) yaitu Majelis Hakim akan datang ke lokasi objek sengketa (tanah) untuk melihat fakta apakah antara isi gugatan dengan fakta dilapangan mempunyai kesesuaian.
- Apabila pemeriksaan setempat selesai, dilanjutnya dengan kesimpulan oleh penggugat maupun tergugat.
- Terakhir adalah putusan hakim (vonis). Jika eksepsi diterima putusannya adalah gugatan tidak dapat diterima (NO), jika gugatan dapat dibuktikan oleh penggugat putusan hakim adalah mengabulkan baik seleuruh maupun sebagian serta jika gugatan tidak dapat dibuktikan oleh Penggugat, putusan hakim adalah menolak gugatan. (CATATAN : SEBELUM VONIS HAKIM DIJATUHKAN, PERDAMAIAN MASIH DAPAT DILAKUKAN, BAHKAN PERDAMAIAN TERSEBUT HARUS SELALU DITAWARKAN HAKIM PADA SETIAP TAHAP PERSIDANGAN).
- Terhadap putusan hakim, jika para pihak merasa keberatan dapat melakukan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi. Pernyataan banding tersebut dapat dilakukan pada saat putusan dijatuhkan atau pikir-pikir setelah 14 hari sejak putusan dijatuhkan.
0 Response to "Makalah Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral"
Post a Comment