BAB I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Peradilan
adalah salah suatu urusan di dalam rumah tangga negara yang teramat penting.
Bagaimanapun baiknya segala peraturan hukum yang diciptakan di dalam suatu
negara, guna menjamin keselamatan masyarakat dan yang menuju kepada tercapainya
kesejahteraan rakyat, peraturan – peraturan itu tak akan memberikan faedah,
apabila tidak ada suatu tahapan (instansi), yang harus memberikan isi dan
kekuatan kepada kaidah – kaidah hukum, yang diletakkan di dalam undang – undang
dan peraturan hukum lainnya.[1] Karena
itu harus ada pihak yang dengan keputusannya atas dasar undang – undang dapat
memaksa orang mentaati segala peraturan negara, dan menjadi forum dimana
penduduk dapat mencari keadilan serta penyelesaian persoalan – persoalan
tentang hak dan kewajibannya masing – masing menurut hukum.
Oleh
karena itu, maka adanya peradilan yang baik dan teratur serta mencukupi
kebutuhan adalah suatu keharusan di dalam susunan negara hukum.
Sampai
sekarang umat manusia masih memandang kehadiran dan keberadaan peradilan
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, tetap perlu dan dibutuhkan. Tempat dan
kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi masih tetap
diandalkan sebagai [2]:
- katup penekan atau “the pressure valve” atas segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat dan pelanggaran ketertiban umum.
- Tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan atau “the last resort”, sehingga pengadilan diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and to enforce justice).
Dari
kedudukan dan keberadaannya sebagai “the pressure valve” dan “the last
resort”, peradilan masih tetap diakui memegang peran, fungsi, dan
kewenangan sebagai :
- penjaga kemerdekaan masyarakat, atau in guarding the freedom of society,
- Wali masyarakat, atau are regarding as costudian of society,
- Pelaksana penegakan hukum yang lazim disebut dalam ungkapan “judiciary as the upholders of the rule of law”.
I.2
Rumusan Masalah
- Bila ada gugatan mengenai surat penetapan yang dikeluarkan oleh Dinas Pemerintah, apakah itu merupakan kewenangan pengadilan negeri untuk menerima, memeriksa, memutus serta mengadilinya?
- BAB II
SUSUNAN
BADAN PERADILAN
Istilah
Peradilan dan Pengadilan adalah memiliki makna dan pengertian yang berbeda,
perbedaannya adalah :
1.
Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechtspraak
dalam bahasa Belanda yang meksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan tugas Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.
2.
Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court dan rechtbank
dalam bahasa Belanda yang dimaksud adalah badan yang melakukan
peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Kata
Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni “adil” yang
memiliki pengertian:
a.
Proses mengadili.
b. Upaya
untuk mencari keadilan.
c.
Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan.
d.
Berdasar hukum yang berlaku.
Sistem
peradilan dapat ditinjau dari beberapa segi. Pertama, segala sesuatu berkenaan
dengan penyelenggaraan peradilan. Di sini, sistem peradilan akan mencakup
kelembagaan, sumber daya, tata cara, prasarana dan sarana, dan lain – lain.
Kedua, sistem peradilan diartikan sebagai proses mengadili (memeriksa dan
memutus perkara).
II.1
Kelembagaan Peradilan
Kelembagaan
peradilan dapat dibedakan antara susunan horizontal dan vertikal. [3] Susunan
horizontal menyangkut berbagai lingkungan badan peradilan (peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan peradilan
pajak). Selain itu ada juga badan peradilan khusus dalam lingkungan peradilan
umum, dan Mahkamah Konstitusi. Khusus untuk daerah Nanggroe Aceh Darussalam
diadakan pula badan peradilan yaitu Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syari’ah
Propinsi.
Susunan
vertikal adalah susunan tingkat pertama, banding dan kasasi. Terhadap susunan
horizontal didapati pemikiran untuk mengadakan lingkungan baru baik yang
mandiri maupun yang berada dalam lingkungan yang sudah ada.
Lingkungan
badan peradilan untuk perkara – perkara sederhana berkaitan dengan sususan
vertikal, yaitu kalaupun ada banding hanya ke pengadilan negeri. Hal serupa
untuk perkara – perkara sederhana ini sekaligus berkaitan dengan susunan
vertikal yaitu kalaupun ada banding hanya ke pengadilan negeri. Hal serupa
untuk perkara – perkara di bidang kekeluargaan seperti perceraian, hak
pemeliharaan anak, pembagian kekayaan bersama, atau warisan. Untuk perkara
perceraian dan hak pemeliharaan anak tidak perlu sampai tingkat kasasi, cukup
sampai pemeriksaan tingkat banding.
Dengan
begini, setidaknya ada dua hal yang dapat dicapai dari sistem ini;
- pertama, bagi pencari keadilan akan cepat sampai pada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (kepastian hukum).
- kedua, sebagai cara membatasi kasasi. Dengan cara ini dapat dihindari bertumpuk – tumpuknya permohonan kasasi.
Pada
saat ini ada beberapa peradilan khusus dalam lingkungan peradilan umum yaitu
pengadilan niaga, pengadilan ad hoc HAM, Pengadilan korupsi, dan pengadilan
hubungan industrial. Ada pula kekhususan dalam pemeriksaan perkara anak – anak
yaitu peradilan anak yang diadakan pada setiap badan peradilan mulai dari
pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung. Tetapi, peradilan anak bukan merupakan
lingkungan khusus (pengadilan). Kekhususannya hanya mengenai hakim khusus
(hakim anak yang ditetapkan ketua Mahkamah Agung) dan tata cara pemeriksaan
khusus.[4]
II.2
Dasar Hukum
- Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Sebelum
amandemen, lembaga peradilan di Indonesia hanya berpusat pada satu, yaitu
Mahkamah Agung (pasal 24). Selain itu, tidak diatur mengenai independensi
lembaga peradilan. Setelah amandemen, lembaga peradilan Indonesia dijalankan
oleh dua lembaga, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (pasal 24, 24A,
24B, 24C). selain itu ditegaskan bahwa lembaga peradilan memiliki independensi
(kebebasan kekuasaan kehakiman atau “the independence of the judiciary”)[5].
- Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48/2009)
- Undang – Undang Mahkamah Agung (UU No. 14/1985 jo UU No. 5/2004 jo UU No. 3/2009)
- Undang – Undang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24/2003)
- Undang – Undang Peradilan Umum (UU No. 2/1986 jo UU No. 8/2004 jo UU No. 49/2009)
- Undang – Undang Peradilan Agama (UU No. 7/1989 jo UU No. 3/2006 jo UU No. 50/2009)
- Undang – Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No. 5/1986 jo UU No. 9/2004)
- Undang – Undang Peradilan Militer (UU No. 31/1997)
II.3
Lembaga Peradilan Indonesia
Badan
Peradilan yang Berada di bawah Mahkamah Agung Meliputi badan Peradilan Dalam
Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Selain itu, sesuai dengan amandemen UUD 1945, ada Mahkamah
Konstitusi yang juga menjalankan kekuasaan kehakiman bersama – sama dengan
Mahkamah Agung.
A.
Mahkamah Agung
Mahkamah
Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara.
Menurut
Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:
*
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan
di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
Undang-Undang
*
Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
*
Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi
B.
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah
Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama
dengan Mahkamah Agung.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah:
- Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,
- memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945,
- memutus pembubaran partai politik,
- memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
- Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
C.
Peradilan Umum
Peradilan
Umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang menjalankan
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.
Peradilan
umum meliputi:
- Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Negeri (biasa disingkat: PN) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari Pimpinan (Ketua PN dan Wakil Ketua PN), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita. Pengadilan Negeri di masa kolonial Hindia Belanda disebut landraad.[6]
- Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi. Pengadilan Tinggi merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri.
Pengadilan
Tinggi juga merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa
kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
Susunan
Pengadilan Tinggi dibentuk berdasarkan Undang-Undang dengan daerah hukum
meliputi wilayah Provinsi. Pengadilan Tinggi terdiri atas Pimpinan (seorang
Ketua PT dan seorang Wakil Ketua PT), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
D.
Peradilan Agama
Peradilan
Agama adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur
dalam Undang-Undang.
Lingkungan
Peradilan Agama meliputi:
- Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota Provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Agama memiliki tugas dan wewenang untuk mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
Selain
itu, Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang untuk mengadili di
tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama
di daerah hukumnya.
Pengadilan
Tinggi Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi
wilayah Provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua
dan Wakil Ketua), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
- Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota.
Sebagai
Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
- Perkawinan
- warisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
- wakaf dan shadaqah
- ekonomi syari’ah
Pengadilan
Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Kota
atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua PA dan
Wakil Ketua PA), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.
E.
Peradilan Militer
Peradilan
Militer adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan tindak
pidana militer.
Peradilan
Militer meliputi:
- Pengadilan Militer
Pengadilan
Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah Mahkamah Agung
di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat
pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit yang berpangkat Kapten
ke bawah.
Nama,
tempat kedudukan, dan daerah hukum Pengadilan Militer ditetapkan melalui Keputusan
Panglima. Apabila perlu, Pengadilan Militer dapat bersidang di luar tempat
kedudukannya bahkan di luar daerah hukumnya atas izin Kepala Pengadilan Militer
Utama.
- Pengadilan Militer Tinggi
Pengadilan
Militer Tinggi merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah Mahkamah
Agung di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada
tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit yang berpangkat
Mayor ke atas.
Selain
itu, Pengadilan Militer Tinggi juga memeriksa dan memutus pada tingkat banding
perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya
yang dimintakan banding.
Pengadilan
Militer Tinggi juga dapat memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
- Pengadilan Militer Utama
Pengadilan
Militer Utama merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah Mahkamah
Agung di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada
tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang
telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang
dimintakan banding.
Selain
itu, Pengadilan Militer Utama juga dapat memutus pada tingkat pertama dan
terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili antar Pengadilan Militer
yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan,
antar Pengadilan Militer Tinggi, dan antara Pengadilan Militer Tinggi dengan
Pengadilan Militer.
F.
Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan
Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa
Tata Usaha Negara.
Peradilan
Tata Usaha Negara meliputi:
- Pengadilan Tata Usaha Negara
Pengadilan
Tata Usaha Negara (biasa disingkat: PTUN) merupakan sebuah lembaga peradilan di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu kota kabupaten
atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tata Usaha Negara
berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara.
Pengadilan
Tata Usaha Negara dibentuk melalui Keputusan Presiden dengan daerah hukum
meliputi wilayah Kota atau Kabupaten.
Susunan
Pengadilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pimpinan (Ketua PTUN dan Wakil Ketua
PTUN), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
- Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara (biasa disingkat: PTTUN) merupakan sebuah lembaga
peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu
kota Provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa Tata
Usaha Negara di tingkat banding.
Selain
itu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang untuk
memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan
mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya.
Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum
meliputi wilayah Provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara terdiri
dari Pimpinan (Ketua PTTUN dan Wakil Ketua PTTUN), Hakim Anggota, Panitera, dan
Sekretaris.
II.4
Wewenang Mengadili
- Wewenang Mutlak
Masing –
masing badan peradilan yang telah disebutkan sebelumnya mempunyai wewenang
untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara – perkara
jenis tertentu yang mutlak tidak dapat dilakukan badan peradilan yang lain.
Wewenang masing – masing badan peradilan inilah yang dinamakan wewenang mutlak
(kompetensi absolut)[7].
Tiap –
tiap tingkatan pengadilan pada masing – masing badan peradilan tersebut juga
mempunyai wewenang sendiri – sendiri, yang secara mutlak pula tidak dapat
dilakukan oleh pengadilan tingkatan yang lain. Ini juga termasuk kepada
kompetensi absolut.
Pengadilan
negeri merupakan pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perdata pada tingkat pertama (pasal 50 UU No.
2 tahun 1986). Tugas dan wewenang Pengadilan Negeri dalam perkara perdata meliputi
semua perkara mengenai hak milik dan hak – hak yang timbul karenanya serta hak
– hak keperdataan lainnya, termasuk penyelesaian masalah yang berhubungan
dengan jurisdiksi volunter (tuntutan hak hak yang tidak mengandung sengketa),
kecuali apabila dalam undang – undang ditetapkan pengadilan lain untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikannya, seperti perkara perceraian mereka yang
beragama Islam yang menjadi wewenang Pengadilan Agama (pasal 63 UU No. 1 tahun
1974), atau tentang perselisihan perburuhan yang menjadi wewenang Pengadilan
Hubungan Industrial.
Wewenang
Pengadilan Negeri tersebut merupakan wewenang mutlak (kompetensi absolut) yang
tidak dapat dilakukan oleh pengadilan lain, baik dalam lingkungan badan
peradilan yang sama (Peradilan Umum) maupun dalam lingkungan badan peradilan
yang lain.
Pengadilan
Tinggi merupakan pengadilan yang bertugas dan berwenang mengadili perkara
perdata dan pidana pada tingkat banding; dan mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir sengketa kewenangan mengadili antar-pengadilan negeri di daerah
hukumnya (pasal 51 UU No. 2 tahun 1986)
Sedangkan
Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan yang tertinggi bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutuskan pada tingkat kasasi permohonan kasasi terhadap putusan
terakhir semua badan peradilan (pasal 29 UU No. 14 tahun 1985), memeriksa dan
memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan
mengadili antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan
di lingkungan peradilan yang lain, antara dua pengadilan yang ada dalam daerah
hukum Pengadilan Tingkat Banding yang berlainan dari lingkungan peradilan yang
sama, antara dua pengadilan Tingkat Banding di lingkungan peradilan yang sama,
atau antara lingkungan peradilan yang berlainan, dan karena perampasan kapal
asing dan muatannya oleh kapal perang RI berdasarkan peraturan yang berlaku
(pasal 33 UU No. 14 tahun 1985), serta memeriksa dan memutuskan permohonan
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (pasal 28 UU No. 14 tahun 1985).
Eksepsi
(tangkisan) tentang tidak berwenangnya pengadilan secara mutlak untuk memeriksa
dan memutuskan suatu perkara dapat diajukan setiap saat selama persidangan
berlangsung (pasal 134 HIR / 160 RBg)[8]. Hakim
secara ex
officio tidak bergantung pada ada tidaknya eksepsi tentang
ketidakwenangan absolut tersebut, harus menyatakan dirinya tidak berwenang
mengadili suatu perkara manakalah perkara itu bukan wewenangnya, tetapi
wewenang mutlak pengadilan lain.
Putusan
yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap suatu perkara yang secara mutlak tidak
berwenang memeriksa dan mengadilinya adalah batal demi hukum.
- Wewenang Relatif
Tiap –
tiap Pengadilan Negeri mempunyai daerah hukum sendiri – sendiri. Daerah hukum
inilah yang menentukan wewenang nisbi (kompetensi relatif) suatu Pengadilan
negeri untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara
perdata.[9]
Secara
umum, dapat dikatakan bahwa suatu pengadilan negeri mempunyai wewenang nisbi
untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang
tergugatnya bertempat tinggal (berdomisili) di daerah hukumnya.
Secara
khusus dan terperinci tentang wewenang nisbi pengadilan negeri diatur dalam
pasal 118 HIR / 142 RBg, yang menentukan sebagai berikut:
- gugatan perdata pada tingkat pertama yang termasuk wewenang pengadilan negeri, diajukan kepada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat, atau jika tidak diketahui tempat tinggal, tempat kediamannya yang sebenarnya.
- jika tergugat lebih dari seorang sedang mereka tidak tinggal dalam satu daerah hukum pengadilan negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal salah seorang tergugat menurut pilihan penggugat.
- jika tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat.
- jika gugatan itu mengenai benda tetap (benda tak bergerak) maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi benda tetap itu terletak. Jika benda tetap tersebut terletak dalam beberapa daerah hukum pengadilan negeri maka gugatan diajukan kepada salah satu pengadilan negeri menurut pilihan penggugat.
- apabila ada suatu tempat tinggal yang dipilih dan ditentukan bersama dalam suatu akta, maka penggugat kalau ia mau dapat mengajukan gugatannya kepada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih tersebut,
kompetensi
relatif pengadilan negeri juga diatur secara khusus dalam peraturan pemerintah
no 9 tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan undang – undang no 1 tahun
1974, yang menentukan bahwa gugatan perceraian mereka yang bukan beragama Islam
diajukan kepada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
tergugat (pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 22 ayat (1)).
Apabila
tempat kediaman tergugat tidak jelas, tidak diketahui atau tidak mempunyai
tempat kediaman yang tetap, atau tempat kediaman di luar negeri, maka gugatan
perceraian tersebut diajukan pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat (pasal 20 ayat (2)). Demikian pula jika
gugatan perceraian itu karena salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama
dua tahun berturut – turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya, maka gugatan perceraian tersebut
diajukan kepada pengadilan negeri di tempat kediaman penggugat (pasal 21 ayat
(1)).
Yang
dimaksud dengan tempat tinggal tergugat adalah tempat dimana tergugat secara
resmi menetap dan ia harus dicari untuk kepentingan – kepentingannya.
Petunjuknya adalah dimana ia tercatat sebagai penduduk (yang dibuktikan dengan
dipunyainya kartu penduduk) atau dimana ia terdaftar sebagai wajib pajak.
Eksepsi
(tangkisan) tentang tidak berwenangnya pengadilan negeri (secara nisbi) untuk
memeriksa dan memutuskan suatu perkara perdata, hanya dapat diajukan pada jawaban
pertama, setidaknya sebelum mengajukan tangkisan lain. Hakim hanya dapat
menyatakan dirinya tidak berwenang (secara nisbi) untuk memeriksa dan
memutuskan suatu perkara, apabila tergugat mengajukan eksepsi yang menyatakan
pengadilan negeri tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut.
Eksepsi
tentang tidak berwenangnya pengadilan negeri, untuk memeriksa dan memutuskan
suatu perkara perdata harus diberikan putusan sela oleh hakim. Bilamana eksepsi
tersebut ditolak maka pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan (pasal 134, 135 HIR
/ 160, 161 RBg). Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri terhadap suatu
perkara yang secara relatif tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya
tetap dipandang sebagai putusan yang sah. [10]
BAB III
ANALISIS
dan PEMBAHASAN
III.1
Contoh Kasus Kewenangan Mengadili
Pengadilan tak berwenang adili gugatan PT HIN
20 Aug
2010
OLEH
ELVANI HARIFANINGSIH
Bisnis Indonesia
Bisnis Indonesia
Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat menyatakan tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara
gugatan PT Hotel Indonesia Natour (HIN) melawan Disnakertrans Provinsi DKI
Jakarta dan Himpunan Mantan dan Karyawan Hotel Indonesia-Inna Wisata (HIMKHI).
“Menerima
eksepsi para tergugat,” ujar Nani Indrawati, ketua majelis hakim perkara No.213/PDT.G/20107PN.JKT.PST, saat sidang
pembacaan putusan sela di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemarin. Dalam
pertimbangan hukumnya, majelis hakim sependapat dengan eksepsi para tergugat
(HIMKHI dan Disnakertrans) yang menyatakan bahwa gugatan ini seharusnya menjadi
kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya.
Pasalnya,
yang menjadi pokok permasalahan dalam gugatan itu adalah terkait dengan
dikeluarkannyasuratpenetapan dari tergugat I NO.1540/-1/836.1
tertanggal 20 Maret 2006 yang isinya memerintahkan PT HIN melaksanakan putusan
P4P No. Tar.l36/M/ KP4p/VIII/2005.
Kemarin, pada saat sidang pembacaan putusan sela dengan majelis hakim Nani
Indrawati, F.X. Jiwo Santoso, dan Herdy Agus-ten, penggugat (PT HIN) maupun
kuasa hukumnya tidak datang menghadiri jalannya sidang.
Sementara
itu, kuasa hukum tergugat 1, Bernado Yulianto, berpendapat bahwa putusan sela
ini sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu seharusnya gugatan memang
dilayangkan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara karena yang dipermasalahkan
adalah surat penetapan yang dikeluarkan tergugat I.
Di lain
pihak, perwakilan HIMKHI, Joko Sujono, menyebutkan bahwa dengan adanya putusan
sela ini pihaknya dalam waktu dekat akan meminta pengadilan untuk segera
melaksanakan proses eksekusi dan pencairan dana. Sebelumnya, PT HIN menggugat
kedua tergugat, karena dinilai melakukan perbuatan melawan hukum karena
tergugat I mengeluarkan Penetapan No. 1540/-1/836.1. tertanggal 20 Maret 2006
yang isinya memerintahkan PT HIN melaksanakan putusan P4P nomor Tar.
136/M/KP4p/ V1II/20O5.
III.2
Analisis
BAB IV
SIMPULAN
IV.1
Kesimpulan
Badan
Peradilan yang Berada di bawah Mahkamah Agung Meliputi badan Peradilan Dalam
Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Selain itu, sesuai dengan amandemen UUD 1945, ada Mahkamah
Konstitusi yang juga menjalankan kekuasaan kehakiman bersama – sama dengan
Mahkamah Agung.
Di
lingkungan peradilan umum dibagi lagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.
Ada dua
kewenangan pada hukum acara perdata, yang pertama adalah kewenangan absolut
atau mutlak, yaitu kewenangan menyangkut pembagian kekuasaan antar badan –
badan peradilan. Yang kedua adalah kewenangan relatif, yang mengatur mengenai
pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan yang serupa, tergantung pada
tempat tinggal tergugat.
IV.2
Saran
[1] Mr. R.
Tresna, Peradilan
di Indonesia dari abad ke abad, W. Versluys N.V., Jakarta, 1957.
hlm. 101
[2] M.
Yahya Harahap, S.H., Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan
dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
hlm. 237 – 238
[3] Prof.
Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L., Sistim Peradilan Berwibawa: Suatu Pencarian,
FH UII Press, Yogyakarta, 2005. hlm. 15.
[4] Ibid,
hlm. 16
[5] M.
Yahya Harahap, S.H., Op.cit. hlm.
5.
[6] Mr. R.
Tresna, Op.cit. hlm.
58 – 59
[7] H.
Riduan Syahrani, S.H. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. hlm. 37 – 38.
[8] Ny. Retnowulan
Sutantio, S.H. & Iskandar Oeripkartawinata, S.H., Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009. hlm. 40
[9] H.
Riduan Syahrani, S.H., Op.cit.,
hlm. 39
[10] Ibid,
hlm. 41
0 Response to "Makalah hukum acara perdata mengenai peradilan di Indonesia"
Post a Comment