Bagi Salafi-Wahabi, diantara jalan menuju kesyirikan adalah adanya makam ulama yang dibangun tinggi dan besar. Memang dalam hadis-hadis sahih terdapat larangan membangun kuburan. Namun bukan karena faktor kekhawatiran disembah. Sebab umat Rasulullah telah memiliki akidah yang kuat, hanya menyembah kepada Allah, bukan menyembah kuburan.
Larangan tersebut, menurut ulama Syafiiyah diarahkan ke area pemakaman umum, bukan tanah milik pribadi sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim. Syaikh al-Syaukani mengomentari dengan kalimat: "Ini tidak ada dalilnya" (Nail Authar)
Sampai sementara ini diantara dalil tersebut adalah makam para Nabi, yang memang dimakamkan di rumah atau tanah milik beliau-beliau. Buktinya makam Rasulullah juga ditinggikan sejak masa Umar bin Abdul Aziz, yang digelari Khalifah kelima ini. Setelah itu, kamar-kamar istri Rasulullah dibeli oleh Khalifah Umayyah dan diwakafkan menjadi perluasan Masjid Nabawi (Fath al-Bari). Ternyata juga tidak ada yang merobohkan makam Rasulullah. Kecuali karena keinginan Wahabi, namun berhasil dicegah oleh Komite Hijaz dari Indonesia, yang menjadi embrio berdirinya Nahdlatul Ulama.
Syaikh Abd Rauf al-Munawi juga memiliki pendapat agar makam Imam Syafii dirobohkan. Namun dijawab oleh ulama Syafiiyah yang lain bahwa Imam Syafii dimakamkan di rumah murid beliau, Abd Hakam, bukan di tanah umum untuk pemakaman.
Ulama Syafiiyah tetap berpendapat boleh makam ulama ditinggikan dan dibangun meski di tanah umum pemakaman, dengan pertimbangan "menghidupkan ziarah". Mufti al-Azhar sendiri lebih condong menguatkan pendapat ulama Jumhur dalam masalah ini, namun tidak menyalahkan pendapat ulama Syafiiyah.
Wallahu A'lam
0 Response to "Makam Ulama"
Post a Comment