Kenapa kalian memaafkan Imam al-Bayhaqi, Ibn al-Jawzi dan Imam Suyuthi tapi tidak pada Imam al-Ghazali?
-----------------------------------------------------
-----------------------------------------------------
Apakah sebab terkandung beberapa hadis lemah (dla’if) dan palsu (maudlu’) lalu kita meninggalkan kitab Ihya’ Ulumuddin? Nyatanya al-Hafidz al-‘Iraqi mentakhrij hadis kitab Ihya' yang diberi nama ‘al-Mughni ‘an Hamlil Asfar fil Asfar fi Takhriji Ma fil Ihya’ minal Akhbar’. Kalau Imam al-Iraqi tidak melihat ada kemanfaatan dalam kitab ihya, niscaya beliau akan meninggalkannya.
Imam al-Ghazali itu bagian dari ulama pakar fikih, ushul fikih, mantiq, filsafat dan beragam fan ilmu yang lain, meski kompetensi beliau dalam ilmu hadis tidak seperti kompetensinya dalam cabang-cabang ilmu lainnya.
Sebagian ulama berkata, “Apakah kamu ingin pakar sekaligus dalam bidang fikih dan hadis? Jangan mimpi! Umur itu sangat pendek. Ia (umur) tidak sanggup memberi durasi waktu untuk itu (menjadi pakar dalam kedua ilmu tersebut sekaligus).
Syekh Mustafa Imran yang dikalangan ulama al-Azhar dijuluki Imam al-Ghazali Kecil karena kepakarannya dan kecerdasannya, juga pakar dalam ilmu akidah dan ilmu kalam pernah memberi pesan pada para muridnya:
“Wahai anakku, umur itu sangat pendek. Kamu tidak akan mampu mencakup semua fan ilmu dengan kapasitas pakar dengan durasi yang begitu pendek. Maka ambillah spesialisasi satu fan ilmu dan ikutilah semua fan ilmu (meski tidak sampai kapasitas pakar). Artinya, misalkan ambil kepakaran dalam ilmu fikih akan tetapi kamu tetap belajar keilmu yang lain meski tidak sampai taraf pakar.”
“Wahai anakku, umur itu sangat pendek. Kamu tidak akan mampu mencakup semua fan ilmu dengan kapasitas pakar dengan durasi yang begitu pendek. Maka ambillah spesialisasi satu fan ilmu dan ikutilah semua fan ilmu (meski tidak sampai kapasitas pakar). Artinya, misalkan ambil kepakaran dalam ilmu fikih akan tetapi kamu tetap belajar keilmu yang lain meski tidak sampai taraf pakar.”
Imam al-Bayhaqi pemikik kitab ‘as-Sunan al-Kubra’ dalam mukadimah kitab ‘Dalailin-Nubuwwat’ beliau mengatakan bahwa beliau hanya menggunakan hadis yang shahih saja, bukan da’if apalagi maudlu’. Namun para pakar menjumpai bahwa beliau melanggar syarat yang ia tulis sendiri (hanya menggunakan hadis shahih). Artinya, banyak konten hadis dla’if dan maudlu’ juga dalam kitabnya.
Al-Hafidz as-Suyuti dalam mukadimah ‘al-Jami’ as-Shaghir’-nya beliau mengatakan bahwa kitabnya bersih dari hadis-hadis maudlu’at (palsu). Nyatanya, al-Hafidz Ahmad al-Ghumari menjumpai banyak hadis maudlu’, lalu menulis sebuah kitab yang diberi nama ‘al-Mughir ‘alal Ahadisil Maudlu’atil Jami’ as-Shaghir’. Kemudian saudaranya menjumpai bahwa Syekh Ahmad masih melewatkan beberapa hadis maudlu’ yang ada lalu membuat catatatan kaki pada kitab saudaranya tersebut.
Ilmu itu laksana samudera. Kenapa kita tidak mempermasalahkan kepada Imam Ibn al-Jawzi, al-Bayhaqi dan as-Suyuti tapi tidak kepada Imam al-Ghazali?
-Syekh Muhammad Yahya al-Kattani.
Keterangan foto: Dari kiri; Syekh Muhammad Muhanna (Musytasyar Grand Syekh al-Azhar), Syekh Awwad Manqusy, Syekh Muhammad Yahya al-Kattani,............, Syekh Muhammad Ibrahim Abdul Baits al-Kattani dan Syekh Usamah Sayyid Azhari.
0 Response to "Kalam Hikmah Syekh Muhammad Yahya al-Kattani"
Post a Comment