BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kemapanan sebuah disiplin ilmu
ditandai dengan teori-teori yang dimilikinya, sama halnya dengan ilmu dakwah,
tanpa teori dakwah, maka apa yang disebut ilmu dakwah tidak lebih dari sekedar
kumpulan pernyataan normatif tanpa memiliki kadar analisis atas fakta dakwah
atau sebaliknya hanya merupakan kumpulan pengetahuan atas fakta dakwah yang
tidak akan bisa dijelaskan hubungan kausalitasnya antar fakta dapat memandu
pelaksanaan dakwah dalam menghadapi masalah yang kompleks. Teori dakwah menjadi
subtansi ilmu dakwah sebab isi suatu ilmu itu adalah tentang teori tentang
objek kajiannya.[1]
Secara akademik dengan adanya teori
dakwah maka dapat dilakukan generalisasi atas fakta-fakta dakwah, memandu
analisis dan klasifikasi fakta dakwah, memahami an antar variable dakwah,
mejelaskan fakta dakwah (eksplanasi), menaksir kondisi dan masalah dakwah baru
seiring dengan perubahan sosial dimasa depan, serta menghubungkan pengetahuan
masa lalu, masa kini dan yang akan datang. Ketika mampu mengeksplanasi gejala.
Dengan adanya teori-teori dakwah yang telah menyebabkan keberhasilan dakwah
masa lalu dapat diuji kembali relevansi teori dengan fakta dakwah yang ada pada
saat sekarang, dan masa depan. Apa yang menyebabkan tidak berhasilnya dakwah
masa lalu, maka akan mampu membuat control dengan upaya-upaya antisipatif.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian Teori Dakwah
2.
Apa Saja Ragam Teori Dakwah
3.
Problematika yang dihadapi dalam
pembentukan Teori Dakwah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Teori Dakwah
Teori yaitu serangkain bagian,
definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang dapat memberikan sebuah
pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar
variabel, dengan maksut menjelaskan fenomena alamiah.[2]
Dakwah bahasa al-Qur’an, dakwah
terambil dari kata da’a-yad’u-da’watan yang secara etimologi memiliki makna
menyeru atau memanggil.[3]
Sedangkan menurut terminologi adalah sebuah usaha baik perkataan maupun
perbuatan yang mengajak manusia untuk menerima islam, mengamalkan dan berpegang
teguh terhadap prinsip-psinsipnya, meyakini aqidahnya serta berhukum dengan
syari’at-Nya.[4]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa teori dakwah yaitu serangkaian variabel yang sistematis dan
saling berhubungan yang didalam nya menjelaskan suatu usaha baik perkataan
maupun perbuatan yang mengajak manusia untuk menerima islam, mengamalkan dan
berpegang teguh terhadap prinsip-prinsipnya, meyakini aqidah serta berhukum
dengan syari’at-Nya.
B.
Ragam Teori
Dakwah
Dalam
pengembangan dakwah sebagai ilmu terasa sangat tidak mungkin tanpa dibarengi
dengan adanya penemuan dan pengembangan kerangka teori dakwah.tanpa teori dakwah maka apa yang disebut
dengan ilmu dakwah tidak lebih dari sekedar kumpulan pernyatan normatif tanpa
memiliki kadar analisa atas fakta dakwah atau sebaliknya hanya merupakan
kumpulan pengetahuan atas fakta sehingga mandul untuk memandu pelaksanaan
dakwah dalam menghadapi masalah yang kompleks.
Dengan
ditemukannya teori – teori dakwah yang telah menyebabkan keberhasilan dakwah
masa lalu( dengan penelitian reflektif- penafsiran maudhu’i ) dapat di uji
kembali relevensi teori dengan fakta dakwah yang ada pada saat sekarang (dengan
metode riset dakwah partisipatif) dan kemungkinan yang akan terjadi dimasa
depan (dengan metode riset kecenderungan gerakan dakwah)
1. Teori Citra
Da’i
Makna dakwah tidak hanya sekedar
menyeru atau mengajak manusia, tetapi juga mengubah manusia sebagai pribadi
maupun kelompok agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrahnya. Dalam
rangka menegakkan dakwah sehingga ajaran Islam diketahui, dipahami,dihayati dan
dilaksanakan oleh umat diperlukan juru dakwah yang berkualitas. Juru dakwah
tersebut adalah orang yang mengerti hakikat islam dan mengetahui apa yang
sedang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Keberhasilan kegiatan dakwah
sangat ditentukan oleh kualitas dan kepribadian seorang da’i. Dengan kualitas
dan kepribadian tersebut seorang da’I akan mendapatkan kepercayaan dan citra
yang positif di mata mad’u baik individu atau masyarakat.
Kata citra pada pemahaman mayoritas
seseorang adalah suatu kesan dan penilaian terhadap seseorang, kelompok,
lembaga dan lain-lain. Citra yang berhubungan dengan seorang da’I dalam
perspektif komunikasi sangat erat kaitanya dengan kredibilitas yang
dimilikinya. Kredibilitas sangat menentukan citra seseorang. Teori citra da’I
menjelaskan penilaian mad’u terhadap kredibilitas da’I apakah da’I mendapat
penilaian positif atau negatif, dimata mad’unya. Persepsi mad’u baik positif
maupun negatif sangat berkaitan erat dengan penentuan penerimaan informasi atau
pesan yang disampaikan da’i. Semakin tinggi kredibilitas da’I maka semakin
mudah mad’u menerima pesan-pesan yang disampaikannya, begitu juga sebaliknya.[5]
Kredibilitas seseorang tidak tumbuh
dengan sendirinya, tidak secara instan, tetapi harus dicapai melalui usaha yang
terus menerus, harus dibina dan dipupuk, serta konsisten sepanjang hidup.[6]
Dakwah dalam salah satu bentuknya
melalui lisan, ada empat cara seorang da’I dinilai oleh mad’unya :
Seorang da’I dinilai dari reputasi yang mendahuluinya,
apa yang sudah seorang da’I lakukan dan memberikan karya-karya, jasa dan sikap
akan memperbaiki atau menghancurkan reputasi seorang da’i.
Mad’u menilai da’I melalui informasi
atau pesan-pesan yang disampakan seorang da’i. Cara memperkenalkan diri seorang
da’I juga berpengaruh dengan pandangan kredibilitas seorang da’I oleh mad’u.
Ungkapan kata-kata yang kotor, tidak
berarti atau rendah menunjukan kualifikasi seseorang. Cara penyampain pesan
dari da’I kepada mad’u sangat penting untuk pemahaman pesan yang ditangkap
mad’u, sebab apabila cara penyampaiannya tidak sistematis maka akan kurang
efektif di mata mad’u. Penguasaan materi dan metodologi juga kemestian yang harus
dimiliki seorang da’i.[7]
Dari cara-cara diatas menyimpulkan
bahwa seorang da’I harus sikap yang baik agar menjadi suri tauladan bagi
ma’unya, bahkan dari cara memperkenalkan dirinyapun dinilai, bertutur kata yang
baik, menyampaikan pesan dengan sistematis, efektif dan memiliki penguasaan
materi, seperti dalam firman Allah surat Al-Taubah : 122 :
وَمَا كَانَ
الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya: “Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya. ( Q.S. Al-Taubah : 122)
Kredibilitas juga erat kaitannya
dengan kharisma, walau demikian kredibilitas dapat ditingkatkan sampai batas
optimal. Seorang da’I yang berkredibilitas tinggi adalah seseorang yang
mmepunyai kopetensi di bidangnya, integritas kepribadian, ketulusan jiwa, serta
mempunyai status yang cukup walau tidak harus tinggi. Apa kredibilitas ini
dimiliki seorang da’I, maka da’I tersebut akan memiliki citra positif dihadapan
mad’unya.
Seorang da’I yang kreatif harus
memiliki wawasan manajemen Muhammad. Manajemen Muhammad adalah perkawinan
subtansi metode Nabi Musa yang kukuh dalam menggenggam aspirasi kebenaran
dengan Nabi Isa yang lemah lembut dan indah. Dalam rangka mengoptimalkan
kredibilitas dan membangun citra positif seorang da’I perlu melingkupi tiga
dimensi diantaranya yaitu :
a) Kebersihan
batin
b) Kecerdasan
mental
c) Keberanian
mental
Rasulullah Muhammad SAW sosok figur
da’I yang paling ideal, Beliau memiliki ketiga kriterian di atas. Sehingga
beliau memiliki citra positif di masyarakat. Beliau selalu memberikan solusi
yang adil ketika terjadi perselisihan. Ketika diangkat menjadi Rasul beliau
menjadi suri tauladan dalam berbagai aspek seperti aqidah, ibadah, muamalah dan
akhlaq, terpancar kesejatian, menjadi figur nyata bagi masyarakatnya, dan
segala kesempuranaan yang dimilikinya, beliau mampu menjadi pemimpin agama
sekaligus negara. Kurang dari 23 tahun beliau mampu melakukan perubahan dari
kejahiliahan kepada peradaban dunia yang timggi.
2. Teori Medan
Dakwah
Teori medan dakwah adalah teori yang
menjelaskan situasi teologis, kultural dan struktural mad’u saat pelaksanaan
dakwah islam. Dakwah islam adalah sebuah ikhtiar Muslim dalam mewujudkan islam
dalam kehidupan pribadi , keluarga, komunitas, dan masyarakat dalam semua segi
kehidupan sampai terwujudnya masyarakat yang terbaik ataudapat disebut sebagai
khairul ummah yaitu tata sosial yang mayoritas masyarakatnya beriman, sepakat
menjalan dan menegakkan yang ma’ruf dan secara berjamaa’ah mencegah yang
munkar.
Setiap Nabiullah daalam melaksanakan
dakwah selalu menjumpai system dan struktur masyarakat yang di dalamnya sudah
ada al-mala yaitu penguasa masyarakat, al-mutrafin yaitu penguasa ekonomi
masyarakat konglomerat dan kaum al-mustad’afin yaitu masyarakat yang umumnya
tertindas atau di lemahkan hak-haknya.
Keinginan subjektif manusia atau
disebut dengan nafsu yang menentukan semua orientasi hidup biasanya dominan
oleh keinginan subjektif al-malanya. Secara Sunnatullah kekuasaan dalam
masyarakat akan didominasi oleh seseorang atau sekelompok orang yang dipandang
memiliki kelebihan-kelebihan tertentu menurut masyarakat yang bersangkutan
sampai membentuk kepemimpinan masyarakat yang syah. Kekuatan dan kepemimpinan
masyarakat akan mudah goyah jika tidak memperoleh dukungan kaum aghniya yang
mengendalikan roda perekonomian masyarakat. Pola kerja sama antara kaum al-mala
dan al-mutrafin melahirkan kaum al-mustad’afin yang mereka adalah kaum yang
serba kekurangan yang direkayasa untuk tetap lemah. Dari struktur sosial di
atas ketika merespon dakwah para Nabiullah memiliki kecenderungan bahwa kaum
al-mala dan al-mutrafin selalu menolak dakwah islam.
Respon positif dalam dakwah islam
biasanya diperoleh dari kaum al-musthad’afin. Hal tersebut disebabkan oleh
posisi mereka yang dilemahkan hak-haknya dan kejernihan hatinya yang sedikit
berpeluang melakukan kejahatan secara sengaja telah menyebabkan hati mereka
mudah menerima dakwah islam.[8]
Dalam menghadapi segala bentuk
struktur masyarakat seperti kaum al-mala, al-mutrafin dan al-mustad’afin dalam
medan dakwah seorang da’I perlu menerapkan etika-etika sebagia berikut:
1) Ilmu
Hendaknya memiliki pengetahuan amar
ma’ruf nahi munkar dan perbedaan diantara keduanya. Yaitu memiliki pengeetahuan
tentang orang-orang yang menjadi sasaran perintah (amar) meupun orang-orang
yang menjadi objek cegah (nahi). Alangkah indahnya apabila amar ma’ruf dan nahi
mungkar didasari dengan ilmu semacam ini, yang dengannya akan menunjukkan orang
ke jalan yang lurus dan dapat mengantarkan mereka kepada tujuan.
Rifq (lemah lembut)
Hendaklah memiliki jiwa rifq,
sebagaimana sabda Rasulullah Saw
“ Tidaklah ada kelemah lembutan dalam sesuatu kecuali
menghiyasinya dan tidaklah ada kekerasan dalam sesuatu kecuali memburukannya”
(HR. Muslim)
2) Sabar
Hendaklah bersabar dan menahan diri
dari segala perlakuan buruk. Karena tabiat jalan dakwah memang demikian.
Apabial seorang da’I tidak memiliki kesabaran dan menahan diri, ia akan lebih
banyak merusak dari pada memperbaiki.[9]
Sebagaimana firman Allah SWT :
يَا بُنَيَّ
أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْه عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ
عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُو رِ
Artinya: “Hai
anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah)” (Q.S.Luqman:17)
Dari itu Allah swt. memribtahkan
kepada Rasul-Nya, yang mereka adalah penghulu para da’I dan pelopor amar ma’ruf
nahi mungkar, untuk senantiasa bersabar.
3. Teori Proses
dan Tahapan Dakwah
Ada beberapa tahapan dakwah
Rasulullah dan para sahabatnya yang dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama,
tahap pembentukan (takwin). Kedua, tahap penataan (tandhim). Ketiga, tahap
perpisahan dan pendelegasian amanah dakwah kepada kepada generasi penerus. Pada
setiap tahapan memiliki kegiatan dengan tantangan khusus dengan masalah yang
dihadapi. Dalam hal ini dapat dinyatakan ada beberapa model dakwah sebagai
proses perwujudan realitas ummatan khairan.
- Model Dakwah dalam Tahap Pembentukan (Takwin)
Pada tahapan ini kegiatan utamanya
adalah dakwah bil lisan (tabligh) sebagai ihtiar sosialisasi ajaran tauhid
kepada masyarakat Makkah. Interaksi Rasulullah Saw dengan mad’u mengalami
ekstensi secara bertahap: keluarga terdekat, ittishal fardhi (QS. 26: 214-215)
dan kemudian kepada kaum musyrikin, ittishal jama’i (QS. 15: 94). Sasarannya
bagaimana supaya terjadi internalisasi Islam dalam kepribadian mad’u, kemudian
apa yang sudah diterima dan dicerna dapat diekspresikan dalam ghirah dan sikap
membela keimanan (akidah) dari tekanan kaum Quraisy. Hasilnya sangat signifikan,
para elite dan awam masyarakat menerima dakwah Islam.
- Tahap Penataan Dakwah (Tandzim)
Tahap tanzhim merupakan hasil
internalisasi dan eksternalisasi Islam dalam bentuk institusionalisasi Islam
secara komprehensip dalam realitas sosial. Tahap ini diawali dengan hijrah Nabi
Saw ke Madinah (sebelumnya Yastrib). Hijrah dilaksanakan setelah Nabi memahami
karakteristik sosial Madinah baik melalui informasi yang diterima dari Mua’ab
Ibn Umair maupun interaksi Nabi dengan jama’ah haji peserta Bai’atul Aqabah.
Dari strategi dakwah, hijrah dilakukan ketika tekanan kultural, struktural, dan
militer sudah sedemikian mencekam, sehingga jika tidak dilaksanakan hijrah,
dakwah dapat mengalami involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh.
Hijrah dalam proses dakwah Islam menjadi sunnatullah. Mad’u (masyarakat) diajak
memutus hubungan dari lingkungan dan tata nilai yang dhalim sebagai upaya
pembebasan manusia untuk menemukan jati dirinya sebagaimana kondisi fitrinya
yang telah terendam lingkungan sosio-kultural yang tidak Islami. Hal ini
berarti merupakan peristiwa “menjadi” muslim dalam sejarah sebagai perwujudan
“muslim” dalam dunia fitri. Semuanya menunjukkan bahwa tanpa hijrah secara
komprehensif maka kegiatan dakwah kehilangan akar alamiahnya: kembali ke fitri.
- Tahap Pelepasan dan Kemandirian.
Pada tahap ini ummat dakwah
(masyarakat binaan Nabi Saw) telah siap menjadi masyarakat yang mandiri dan,
karena itu, merupakan tahap pelepasan dan perpisahan secara manajerial. Apa
yang dilakukan Rasulullah Saw ketika haji wada’ dapat mencerminkan tahap ini
dengan kondisi masyarakat yang telah siap meneruskan Risalahnya.
4. Teori Analisa Sistem Dakwah.
Penulis
secara khusus meneliti dakwah islam dengan pendekatan teori sistem umum (The
general system theory) yang hasilnya antara lain menyatakan :
1. Dakwah Islam adalah suatu sistem yang terdiri dari beberapa
subsistem yang saling berhubungan,bergantung dan berinteraksi dalam mencapai
tujuan dakwah.
2. Dakwah Nabi Muhammad SAW berjalan menurut alur sistem dakwah yang
doarahkan Allah SWT yang menjadi sunnah Allah yang berlaku dalam dakwah islam
yang bersifat tetap,obyetktif dan universal.
3. Dakwah islam sebagai suatu sistem memiliki masukan utama(raw input)
berupa materi pokok dakwah dari wahyu allah(al qur’an) dan assunnah ketika dikonversikan
menjadi keluaran baik dalam dataran pribadi,keluarga,kelompok,masyarakat dan
negara telah menimbulkan kemelut dan goncangan sosial yang besar ditengah tata
sosial,budaya dan peradapan yang telah mapan di tengah masyarakat.
4. Keberhasilan dakwah yang mendatangkan perubahan masyarakat yang
signifikan adalah dakwah yang dijalankan dalam sebuah sistem yang subsistem
konversinya berfungsi secara maksimal dalam mentransformasikan masukan menjadi
keluaran,yang ditopang oleh kepemimpinan yang kuat yang visioner berorentasi
pada tujuan dan perubahan lingkungan masyarakat
5. Sistem dakwah islam berjalan tepat guna ketika masukan sarana
berupa metode,peta,dana dan fasilitas dakwah tersedia secara memadai.pemilihan
dan penerapan metode yang tidak tepat dalam melakukan proses transformasi islam
akan melahirkan tatanan masyarakat berpandangan ganda disatu pihak menyatakan
beriman kepada Allah tetapi menolak menerapkan Syari’ah dalam kehidupan
bermayarakat dan bernegara .
6. Momentum berkembangnya dakwah islam adalah karena adanya keluaran
berupa negara yang menjadikan syari’ah sebagai otoritas tertinggi dalam menilai
dan mengatur kehidupan masyarakat dan negara.
7. Balikan dari tanggapan lingkungan masyarakat(mad’u) terhadap
harakah dakwah islam sebagai suatu sistem melahirkan 4 pola dasar : Pertama
informasi mengenai medan dakwah,Kedua dukungan masyarakat yang menerima dakwah
islam(umat ijabah)maka akan menjadi faktor yang dominan dalam penguatan sistem
utamanya dalam masyarakat Ketiga hambatan masyarakat yang menolak dakwah islam
akan menjadi faktir penghambat dan proses konversi sistem dakwah islam sebagai
bentuk balikan negatif yang memerlukan penyelesaian secara tuntas.Keempat
kelompok masyarakat yang bersifat netral terhadap dakwah islam tidak menerima
dan tidak menolak dakwah islam secara tegas serta tidak memberikan hambatan
dakwah islam.
C. Problematika yang dihadapi dalam pembentukan Teori Dakwah
Secara historis sudah hampir satu
abad dakwah sebagai kegiatan mengajak umat manusia masuk ke jalan Allah dan mewujudkan
Islam dalam kenyataan masyarakat telah menjadi kajian dalam dunia
akademik pada fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir. Perguruan Tinggi
Islam di perlbagai belahan dunia Islam pun telah mengikuti tradisi akademik
al-Azhar tersebut dengan membuka Jurusan Dakwah di Fakultas Ushuluddin atau
Fakultas Dakwah yang berdiri sendiri. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di
Indonesia membuka Jurusan Dakwah pada fakultas Ushuluddin, dan pada 1971
Fakultas Dakwah pun berdiri sendiri di IAIN. Para alumni Jurusan Dakwah dan
Fakultas Dakwah sudah berjumlah ribuan, mereka mengabdi dalam perlbagai
lapangan kegiatan dakwah, termasuk di dunia akademik sebagai staff pengajar.
Namun demikian, usia status akademik
yang telah begitu tua dan para alumninya diakui oleh pemerintah dan masyarakat,
ternyata masih menyimpan sebuah pertanyaan yang mendasar yang belum terjawab
secara serius dan komprehensip. Pertanyaan itu menyangkut status keilmuan
dakwah, apakah dakwah itu ilmu atau hanya sekedar pengetahuan. Jika dakwah itu
ilmu, termasuk ilmu dalam kerangka paradigma yang mana; sebaliknya jika dakwah
hanya pengetahuan, apakah termasuk pengetahuan yang telah memiliki
sistematikanya atau hanya pengetahuan biasa yang tidak terstruktur dengan
jelas.
Dalam memandang masalah di atas,
para pakar studi keislaman memiliki kategori jawaban yang beragam. Pertama,
kelompok pakar yang menyatakan bahwa dakwah sudah menjadi ilmu. Dalam kelompok
ini terdapat tiga golongan: (1) pakar Dakwah yang menyatakan bahwa dakwah
adalah ilmu yang mewujudkan Islam dalam kenyataan hidup bermasyarakat di semua
segi kehidupan yang sedang mencari jatidiri, mengembangkan metodologi serta
diawali dengan kajian epistemologi dakwah. (2). Pakar komunikasi yang
menyatakan bahwa dakwah adalah ilmu lintas disiplin yang lebih dekat pada ilmu
komunikasi dalam paradigma logis. Golongan ini menyarankan jika dakwah adalah
“ilmu” dalam pengertian ilmu pengetahuan, harus mengembangkan pendekatan
empiris. (3) pakar Sosiologi yang menyatakan bahwa dakwah adalah ilmu dalam
kategori “ngelmu” yaitu suatu perangkat kepercayaan yang memberikan pedoman
kepada manusia bagaimana cara mengatur hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama
manusia dan dengan makhluk lainnya. Kedua, kelompok pakar yang
menyatakan bahwa dakwah bukan ilmu tetapi hanya pengetahuan. Kelompok ini belum
memberikan penolakan secara ilmiah mengenai status keilmuan dakwah. Mereka baru
berbicara dalam forum-forum terbatas dengan hujjah yang tidak sistematis,
apalagi dalam bentuk tulisan ilmiah. Barangkali lebih tepat jika penilaian
mereka disebut masih bersifat spekulatif.
Pertanyaan yang muncul adalah kenapa
kalangan akademik yang secara khusus menyelenggarakan proses belajar mengajar
dan penelitian mengenai dakwah Islam, misalnya Fakultas Dakwah, masih langka
dalam pengkajian dakwah sebagai ilmu. Kelangkaan ini tercatat empat faktor
penyebab; (1) ghirah (semangat) keilmuan belum melembaga sebagai tradisi ilmiah
di kalangan staff pengajar (dosen), (2). Kelangkaan literatur yang mengkaji
dakwah sebagai ilmu yakni sebagai kajian epistemologis, (3) tiadanya dana
penelitian ilmiah yang secara khusus untuk tujuan pengembangan dakwah sebagai
ilmu, dan (4) para sarjana dakwah baik yang didalam maupun di luar kampus
terbenam dalam rutinitas kegiatan yang menyebabkan kehilangan semangat untuk
berpikir reflektif dan ilmiah mengenai dakwah. Hal ini berarti kesadaran
teoritik dan metodologis para sarjana dakwah di manapun masih sangat kurang.
Oleh itu, perlu ditumbuhkan kesadaran dan semangat meneliti dalam civitas
akademika dakwah- terutama para dosen, peneliti, dan mahasiswa yang
berkecimpung dalam dunia dakwah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori dakwah adalah
serangkaian variabel yang sistematis dan saling berhubungan yang didalam nya
menjelaskan suatu aktivitas maupun perkaatan yang baik, mengajak kepada jalan
Allah untuk kesejahteraan dunia dan akhirat.
Seorang mad’u menilai
da’I dari beberapa cara yaitu dari sikap da’I agar dapat menjadi suri tauladan
bagi mad’unya, cara seorang mad’u memperkenalkan diri begitu juga tutur kata
yang baik, menyampaikan pesan dengan sistematis, efektif dan memiliki
penguasaan materi.
Seorang da’I juga harus
memiliki kredibilitas yang baik agar pencitraannya pun positif dimata para
mad’unya, dari pencitraan yang positif tersebut maka dengan sendirinya para
mad’u akan menerima pesan-pesan yang disampaikan pen-da’i.
Dalam medan dakwah
seorang da’I pasti menjumpai berbagai struktur masyarakat yang berbeda-beda,
dalam hal tersebut seorang da’I dituntut untuk dapat memiliki wawasan, ilmu,
materi dan cara menyampaikannya dengan baik, bersikap lemah lembut dan sabar
dalam menghadapi situasi apapun.
B. Saran
Kita sebagai mahluk
Allah SWT dituntut untuk menjalankan yang ma’ruf (segala perbuatan yang
mendekatkan diri kepada Allah) dan mencegah yang munkar (segala perbuatan yang
menjauhkan diri dari Allah). Seorang muslim juga memiliki kewajiban untuk
berdakwah, dalam berdakwah kita harus memiliki sikap, ucapan, etika yang baik,
dan penyabar agar dapat menjadi panutan bagi orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Ahmad, Di Medan Dakwah Bersama Dua Imam Ibnu Taimiyah Hasan
Al-Banna ,Surakarta: Era Intermedia. 2000
Ahmad tafsir ”Filsafat Pengetahuan Islam” dalam Pandangan Keilmuan UIN
Wahyu Memandu Ilmu, Bandung : Gunung Djati Press. 2008
Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, Bandung : Widya
Padjadjaran. 2009
http:// id.wikipedia.org/wiki/Teori
http://www.kredibilitas da’i.com
Ilyas Ismail Prio Hotman, Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan
Perdaban Islam, Jakarta :Kencana.2011
Muhammad Hasan al-Jamsi, al-Du’at wa al-Da’wat al- Islamiyyahal-Muasirah,
Damaskus: Dar al Rasyid, tt.
[1] Ahmad tafsir ”Filsafat
Pengetahuan Islam” dalam Pandangan Keilmuan UIN Wahyu Memandu Ilmu,
(Bandung : Gunung Djati Press,2008), hlm. 48.
[3] Muhammad Hasan
al-Jamsi, al-Du’at wa al-Da’wat al- Islamiyyahal-Muasirah,(Damaskus: Dar al
Rasyid, tt. ), hlm. 24.
[4] Ilyas Ismail Prio
Hotman, Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Perdaban Islam, (Jakarta
:Kencana 2011), hlm. 27.
[9] Abdul Halim Ahmad, Di
Medan Dakwah Bersama Dua Imam Ibnu Taimiyah Hasan Al-Banna ,(Surakarta: Era
Intermedia, 2000), hlm. 178-179.
0 Response to "STRUKTUR TEORI DAKWAH"
Post a Comment