BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan
antara satuu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus
berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.
dalam kehidupan sosial, Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita semua tentang
bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan
bersama.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah
ingin membahas beberapa diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad yaitu Ijarah,
‘Ariah, Mukhabarah, Muzara’ah dan Musaqah. Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah untuk kehidupan
sosial.
B. Rumusan Masalah
Dari latar
belakang di atas, rumusan masalah yang muncul adalah:
1.
Apa Pengertian, hukum dasar, syarat
dan rukun Ijarah dan ‘Ariyah
2.
Apa Macam-Macam Ijarah dan ‘Ariyah
3.
Apa Pengertian Hukum Dasar, Syarat Dan Rukun Muzara’ah, Mukhabarah Dan Musaqah
4.
Bagaimana Pelaksanaan Muzara’ah, Mukhabarah dan Musaqah
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui Apa Pengertian,
hukum dasar, syarat dan rukun Ijarah dan ‘Ariyah
2.
Untuk mengetahui Apa Macam-Macam Ijarah
dan ‘Ariyah
3.
Untuk mengetahui Apa pengertian Hukum dasar, syarat dan rukun Muzara’ah, Mukhabarah dan Musaqah
4.
Untuk mengetahui Bagaimana Pelaksanaan Muzara’ah, Mukhabarah dan Musaqah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ijarah dan ‘Ariyah
1.
Pengertian,
hukum dasar, syarat dan rukun
a.
Pengertian
Ijarah
Ijarah berasal dari bahasa Arab yang
berarti upah,sewa,jasa,imbalan atau ganti. Al- ijarah merupakan salah satu
bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia,sewa-menyewa,
kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain. Secara terminologi, ada
beberapa definisi al-ijarah yan dikemukakan para ulama fiqih :
Pertama, ulama hanafiyah
mendefinisikannya dengan : Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.
Kedua, ulama syafi’iyah
mendefinisikannya dengan : Transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju,
tertentu, bersifat mubah danboleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Ketiga, ulama malikkiyah dan
hanabillah mendefinisikannya dengan: Pemilikan
manfaat suatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.[1]
Ijarah secara sederhana diartikan
dengan “transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu”. Bila yang menjadi
objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut ijarat
al-‘ain atau sewa menyewa ; seperti menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang
menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga seseorang, disebut
ijarat al-zimmah atau upah mengubah menjahit pakaian. Keduanya disebut AL-Ijarah
dalam literatul arab.[2]
b.
Dasar Hukum
Ijarah
Ijarah baik dalam bentuk sewa
–menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah itu merupakan muamalah yang telah
disyariatkan dalam islam. Hukum asalnya adalah boleh atau mubah bila dilakukan
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan islam.
Adapun landasan hukum al-ijarah
adalah al-qur’an dan hadis rasul
1)
Firman Allah dalam surat al-Baqarah
:233
÷bÎ)ur öN?ur& br& (#þqãèÅÊ÷tIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& xsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/
Artinya : “jika kamu menginginkan mengupahkan menyusukan anakmu, boleh saja
asal kamu menyerahkan upahnya secara patut”.
2)
Firman Allah dalam surat Al-Qashash
: 26 dan 27
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»t çnöÉfø«tGó$# ( cÎ) uöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ tA$s% þÎoTÎ) ßÍé& ÷br& y7ysÅ3Ré& y÷nÎ) ¢ÓtLuZö/$# Èû÷ütG»yd #n?tã br& ÎTtã_ù's? zÓÍ_»yJrO 8kyfÏm (
Artinya : “
Salah seorang diantara kedua anak perempuan itu berkata; ‘hai bapakku upahlah
dia, sesungguhnya orang yang engkau upah itu adalah kuat dan terpercaya.’ Si
bapak berkata “ saya bermaksud menikahkan engkau dengan salah seoran anak
perempuan ku dengan ketentuan kamu menjadi orang yan upahan saya selama delapan
musim haji”.[3]
Berdasarkan hadis rasul
3)
Hadist riwayat Bukhari dari Aisyah
“Rasullullah
dan abu kabar pernah menyewa seorang dari Bani al-Dil sebagai penunjuk jalan
yang ahli, dan orang tersebut beragama yang di anut oleh oran-orang kafir
Quraisy. Mereka berdua memberikan kepada orang tersebut kendaraannya dan
menjanjikan kepada oran tersebut supaya dikembalikan sesudah tiga malam di ua
Tsur”.
4)
Hadist riwayat Ibnu Majah
“Berikanlah upah kepada orang yang kamu pakai
tenaganya sebelum keringatnya kering”.[4]
c.
Rukun al-
Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah
itu hanya satu, yaitu ijab ( ungkapan menyewakan ) dan qabul (persetujuan
terhadap sewa menyewa).
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakaan bahwa rukun
al-ijarah itu ada empat, yaitu : orang yang berakad, sewa atau imbalan, manfaat,
dan shigat( ijab dan qabul). Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang
berakad, sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat al-ijarah, bukan
rukunnya.
d.
Syarat –
syarat al- Ijarah
1.
Untuk kedua orang yang berakad
(al-muta’aqidin), menurut ulama syafi’iyah dan hanabillah, di syariatkan telah
baligh dan berakal. Tetapi menurut ulama Hanafiyah dan malikkiyah berpendapat
bahwa kedua orang yang berakad tidak harus mencapai usia baligh, tapi anak yang
telah mumayyiz pun boleh melakukan akad al-ijarah,namun ,mereka mengatakan
apabila seorang anak yang mumayyiz melakukan al-ijarah terhadap harta atau
dirinta, maka akad itu sah apabila disetujui oleh walinya.
2.
Kedua belah pihak yang berakad
menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad al-ijarah. QS. An-nisa : 29
Artinya :” wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta kamu dengan cara yang batil, kecuali melalui suatu
perniagaan yang berlaku suka sama suka…..”.
- Manfaat yang menjadi obyek al-ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak muncul perlselisihan kikemudian hari.
- Obyek al-ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara lansung dan tidak cacat.
- Obyek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Kaidah fiqh menyatakan “sewa menyewa dalam masalah maksiat tidak boleh”.
- Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
- Obyek yang disewakan itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah, mobil,dan hewan tungangan.
- Upah/sewa dalam akad al-ijarah harus jelas, tertentu dan sesuai yan bernilai harta. Seperti khamar dan babi tidak boleh jadi upah dalam akad al-ijarah, karena kedua benda itu tidak bernilai harta dalam islam.
- Ulama Hanafiyah menyatakan upah/sewa itu sejenis dengan manfaat yang disewa.[5]
e.
Pengertian
‘Ariyah
Secara etimologi bahasa arab al-
‘ariyah berarti sesuatu yan di pinjam,pergi dan kembali atau sekedar atau
pinjaman. Sedangkan secara terminologi fiqh, ada beberapa definisi al-‘ariyah
yang dikemukakan oleh para ulama fiqih.
Pertama, ulama malikkiyah dan imam
as-syarakhsi, tokoh fiqih hanafi, mendefinisikan“pemilikan manfaat sesuatu
tanpa rugi”
Kedua, ulama syafi’iyah dan
hanabillah, yaitu “kebolehan memanfaatkan barang orang lain tanpa anti rugi”.
Dalam arti sederhana al-‘ariyah
adalah menyerahkan suatu wujud barang untuk dimanfaatkan tanpa imbalan. Sehubungan
dengan pengertian tersebut, maka bila Barang yang di manfaatkan itu harus
dengan imbalan tertentu, maka dia dinamai sewa-menyewa atau ijarah bukan
‘ariyah. Karena yang di transaksikan dalam hal ini hanya manfaatnya, yang dapat
dikuasai oleh yang meminjam hanyalah mannfaatnya sedangkan wujud bendanya tetap
milik bagi yang punya yang harus dikembalikan. Bila yang dikembalikan itu
bukan wujud barangnya, tetapi nilai atau harganya atau dalam bentuk lain tidak
dinamakan pinjam meminjam, tetapi utang- piutang.
‘Ariyah secara kebahasaan berarti ‘pinjaman”.
Kata ini sudah menjadi suatu istilah teknis dalam ilmu fikih untuk menyebutkan
perbuatan pinjam-meminjam , sebagai salah satu aktivitas antara manusia. Dalam
pelaksanaannya,’ariyah di artikan sebagai perbuatan pemberian milik untuk
sementara waktu oleh seseorang kepada pihak lain, pihak yang menerima
kepemilikan itu dipebolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta
yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan,dan pada waktu tertentu penerima
harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi.
Inilah kira-kira gambaran dari kegiatan pinjam-meminjam(‘ariyah). Oleh sebab
itu, para ulama biasanya mendefinisikan ‘ariyah itu sebagai pembolehan oleh
seseorang untuk di manfaatkan harta miliknya oleh oang lain tanpa diharuskan
memberi imbalan.[6]
f.
Dasar hukum
al- ‘ariyah
Al- ‘ariyah sebagai sarana dalam rangka tolong menolong antara orang yang
mampu, menurut ulama fiqh, didasarkan kepada firman Allah dalam surat Al-maidah,
5:2 yang berbunyi
wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (
Artinya: “bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan
ketakwaan”
Kemudian hadist rasullulah :
Artinya: “ rasullulah saw. Meminjamkan kuda Abi Talhah dan mengendarainya.(
HR Al-Bukhari dan Muslim dari shafwan ibn Umaiyah).
Dari riwayat Abu Daud dari shafwan juga dikatakan bahwa rasulullah saw.
Meminjam baju perang Abu shafwan, lalu ia mengatakan
Artinya :” apakah hal ini merupakan pemakaian tanpa izin (gasab) wahai
Muhammad ? Rasulullah saw. Malah menjawab: “tidak, ini saya pinjam dengan
jaminan.”
Berdasarkan ayat dan hadis diatas para ulam fiqh sepakat mengatakan bahwa hukum
al-‘ariyah adalah mandub (sunah, karena melakukan al-‘ariyah ini merupakan slah
satu bentuk ta’abbud (ketaatan) pada Allah swt.[7]
g.
Rukun
Al-‘ariyah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa
rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang. Menurut ulama
Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni ucapan
ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjam barang pada waktu transaksi
sebabmemanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin. Secara umum, jumhur
ulama fiqh menyatakan bahwa ukun ariyah ada empat, yaitu :
- Mu’ir (peminjam)
- Musta’ir (yang meminjamkan)
- Mu’ar (barang yang dipinjam)
- Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.[8]
Menurut Syafi’iyah, rukun ariyah
adalah sebagai berikut.
- Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata. “saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
- Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu orang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah:
1.
Baligh, maka batal ariyah yang
dilakukan anak kecil atau shabiy;
2.
Berakal, maka batal ariyah yang
dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila;
3.
Orang tersebut tidak dimahjur
(dibawah curatelle), maka tidak sah ariyah yang dilakukan oleh orang yang
berada dibawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
4.
Benda yang diutangkan. Pada rukun
ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
1.
Materi yang dipinjamkan dapat
dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang materinya tidak dapat digunakan,
seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk
menyimpan padi;
2.
Pemanfaatan itu dibolehkan, maka
batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’, seperti
meminjam benda-benda najis.
h.
Syarat-
syarat Al- ariyah
1.
Orang yang meminjam ituharuslah
orang yang berakal dan cakap bertindak hukum, karena orang yang tidak berakal
tidak dapat dipercaya memegang amanah, sedangkan barang al-ariyah ini pada
dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh orang yang memanfaatkannya. Oleh
sebab itu anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh melakukan akad
ariyah.
2.
Barang yang dipinjam itu bukan jenis
barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah, seperti makanan.
Jenis-jenis barang yang tidak habis atau musnah apabila dimanfaatkan antara
lain : rumah, tanah, pakaian, dan binatang ternak, kecuali apabila dihabiskan
atau dimusnahkan.
3.
Barang yang dipinjamkan itu harus
secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam. Artinya, dalam al-‘ariyah,pihak
peminjam harus menerima langsung barang itu dan dapat ia manfaatkan secara
langsung pula.
4.
Manfaat barang yang dipinjam itu
termasuk manfaat yang mubah (dibolehkan syara’).
2.
Macam-Macam
Ijarah dan ‘Ariyah
a.
Macam –
macam al- ijarah
Dilihat dari segi obyeknya, akad
al-ijarah dibagi oleh para ulama fiqh kepada dua macam, yaitu :
a) Al- ijarah
yang Bersifat manfaat
Seperti sewa-menyewa rumah,toko, kendaraan,
pakaian, dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yan dibolehkan
syarat’ untuk dipergunakan, maka para ulama fikih sepakat menyatakan boleh
dijadikan obyek sewa –menyewa.
b) Al- ijarah
yang bersifat pekerjaan
Ialah dengan cara mempekerjakan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaaan. Al- ijarah seperti ini, menurut
ulama fiqh, hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh
bangunan, tukang jahit, buruh pabrik dan tukang sepatu. Al-ijarah seperti ini
ada yang bersifat pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga, dan
yang bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang menjual jasanya
untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan tukang
jahit. Kedua bentuk al-ijarah terhadap pekerjaan ini menurut ulama fiqh
hukumnya boleh.
b.
Macam-Macam
‘Ariyah
a). Ariyah Mutlak
Ariyah mutlak yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak
dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk meminjam
saja atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya.
Contohnya, seorang meminjam binatang, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal
yang berkaitan dengan penggunaan binatang tersebut, misalnya waktu tempat
mengendarainya. Jadi hukumnya sebagaimana pemilik hewan-hewan, yaitu dapat
mengambil. Namun, demikian, harus sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada
masyarakat. Tidak dibolehkan menggunakan binatang tersebut siang dan malam
tanpa henti. Sebaliknya, jika penggunaannya tidak sesuai kebiasaan dan barang
pinjaman rusak, peminjam harus bertanggung jawab.
b). Ariyah Muqayyad
Ariyah muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu
dan kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya.
Hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut. Hal
ini karena asal dari batas adalah menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang
menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang. Dengan demikian
dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan untuk
memanfaatkannya.
B.
Muzara’ah,
Mukhabarah dan Musaqah
1. Pengertian, hukum dasar, syarat dan rukun
a.
Pengertian
Muzara’ah dan Mukhabarah
Menurut
etimologi, muzara,ah adalah wazan “mufa’alatun” dari kata “az-zar’a” artinya
menumbuhkan. Al-muzara’ah memiliki arti yaitu al-muzara’ah yang berarti
tharhal-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal.
Sedangkan
menurut istilah muzara’ah dan mukhabarah adalah:
a) Ulama Malikiyah; “Perkongsian
dalam bercocok tanam”
b) Ulama Hanabilah: “Menyerahkan
tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan
tanaman hasilnya tersebut dibagi antara keduanya.
c) Ulama Syafi’iyah: “Mukhabarah
adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkan dan benuhnya berasal
dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya
berasal dari pemilik tanah.
Muzara’ah
ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah
Mukhabarah
ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Munculnya
pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena
adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam
Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan
ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam
Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi
ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata: Muzaraah merupakan asal dari ijarah (mengupah atau
menyewa orang), dikarenakan dalam keduanya masing-masing pihak sama-sama
merasakan hasil yang diperoleh dan menanggung kerugian yang terjadi.
Imam Ibnul
Qayyim berkata: Muzaraah ini lebih jauh dari kezaliman dan kerugian dari pada
ijarah. Karena dalam ijarah, salah satu pihak sudah pasti mendapatkan
keuntungan. Sedangkan dalam muzaraah, apabila tanaman tersebut membuahkan
hasil, maka keduanya mendapatkan untung, apabila tidak menghasilkan buah maka
mereka menanggung kerugian bersama.[9]
b.
Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabarah
Dasar hukum
yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah
adalah:
a) Berkata Rafi’ bin Khadij:
“Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami
persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang
mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak
berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara
demikian (H.R. Bukhari)
b) Hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Nuslim dari Ibnu Abbas r.a. “Sesungguhnya Nabi Saw. menyatakan,
tidak mengharamkan muzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian
menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barangsiapa yang memiliki tanah,
maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia
tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu
c) Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya
Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh
mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik
dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
d) Imam Al-Bukhari berkata, Qais bin
Muslim telah berkata dari Abu Ja’far, Ia berkata, tidaklah di Madinah ada
penghuni rumah hijrah kecuali mereka bercocok tanam dengan memperoleh sepertiga
atau seperempat (dari hasilnya), maka Ali, Sa’ad bin Malik,’Abdullah bin Mas’ud
,’Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Urwah , keluarga Abu Bakar, keluarga Umar,
keluarga Ali, dan Ibnu Sirin melakukan Muzaraah (HR.Bukhari).[10]
e) Imam Ibnul Qayyim berkata : kisah
Khaibar merupakan dalil kebolehan Muzara’ah dan Mukhabarah, dengan membagi
hasil yang diperoleh antar pemilik dan pekerjanya, baik berupa buah buahan
maupun tanaman lainnya. Raulullah sendiri bekerja sama dengan orang-orang
Khaibar dalam hal ini. Kerja sama tersebut berlangsung hingga menjelang wafat
Beliau, serta tidak ada nasakh yang menghapus hukum tersebut. Para Khulafaur
rasyidin juga melakukan kerja sama tersebut. Dan ini tidak termasuk dalam jenis
mu’ajarah (mengupah orang untuk bekerja) akan tetapi termasuk dalam musyarakah
(kongsi/kerjasama), dan ini sama seperti bagi hasil.[11]
c. Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzara’ah Dan Mukhabarah
Dari Hadits di
atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan
melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Sebagian ulama melarang paroan tanah
ataupun ladang beralasan pada Hadits pertama yang diriwayatkan oleh bukhari
tersebut di atas.
Ulama yang lain
berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah.
Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka
mengambil alasan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Adapun Hadits
yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian
tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di
masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil
penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang
oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan
demikian bukanlah dengan cara adil.
Menurut Imam
Syafi’i, Hukum muzaraah adalah bathil atau tidak sah dikarenakan bibit dari
pertanian tersebut dari pemilik tanah dan pekerjanya mendapatkan separuh dari
hasil panen. Menurut beliau muzaraah ini bisa sah dengan syarat Pemilik tanah
yang sekaligus pemilik benih tadi mendapatkan 2/3 dari hasil panen atau lebih
dan pekerjanya mendapatkan 1/3.[12]
d. Syarat Muzara’ah dan mukhabarah
Disyaratkan
dalam muzara’ah dan mukhabarah ini ditentukan kadar bagian pekerja atau bagian
pemilik tanahdan hendaknya bagian tersebut adalah hasil yang diperoleh dari
tanah tersebut seperti
sepertiga, seperempat atau lebih dari
hasilnya.[13]
e.
Pengertian Musaqah
Al musaqah berasal dari kata as saqa. Diberi nama ini karena
pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari
sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqah (penyiraman/pengairan).
pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari
sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqah (penyiraman/pengairan).
Menurut
Istilah Musaqah adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang menyiramnya
dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah
dalam jumlah tertentu.[14]
Menurut ahli fiqih adalah
menyerahkan pohon yang telah atau belum ditanam dengan sebidang tanah, kepada
seseorang yag menanam dan merawatnya di tanah tersebut (seperti menyiram dan
sebagainya hingga berbuah). Lalu pekerja mendapatkan bagian yang telah disepakati
dari buah yang dihasilkan, sedangkan sisanya adalah untuk pemiliknya.[15]
f. Dasar Hukum Musaqah
Dasar hukum
yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah adalah:
a.
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada
penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan
diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil
pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
b.
Dari Ibnu Umar: ” Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma dan
tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari
harta mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya.” (HR.
Bukhari dan Muslim) [16]
g. Rukun-rukun musaqah
1)
Obyek musaqah
Para ulama berbeda pendapat
mengenai obyek musaqah:
a)
Daud berpendapat bahwa musaqah tidak terjadi kecuali pada pohon kurma saja.
Dalil yang dipakai adalah bahwa musaqah adalah sebuah keringanan sehingga tidak
boleh melebihi obyeknya yang disebutkan di dalam hadits.
b)
Syafi’i berpendapat pada pohon kurma dan anggur saja. Landasan Imam Syafi’i
adalah dengan mengiyaskan dengan hadits Attab Bin Usaid walaupun hukum mengenai
hadits tersebut berkaitan dengan zakat. ” Bahwa Rasulullah mengutusnya dan
memerintahkannya agar menksir anggur dan zakatnya ditunaikan dalam bentuk
kurma, sebagaimana ditunaikannya sakat pohon kurma dalam bentuk kurma.”
c)
Malik berpendapat diperbolehkan pada setiap batang pohon yang kuat seperti
pohon delima, pohon tin, dan pohon zaitun serta yang serupa dengan hal tersebut
tanpa ada keharusan, dan pada batang pohon yang tidak kokoh seperti pohon
mentimun, serta semangka disertai dengan ketidakmampuan pemiliknya untuk
mengurusinya, begitu juga dengan pertanian. Dan tidak boleh terjadi pada
sesuatu yang merupakan bagian dari sayur mayur menurut seluruh ulama kecuali
Ibnu Dinar karena ia membolehkan musaqah padanya apabila tumbuh sebelum diambil
hasilnya.
Mereka juga berbeda pendapat
apabila pohon kurma tersbut bercampur dengan tanah putih dengan buah-buahan,
apakah diperbolehkan tanah dijadikan untuk akad mudaqah bersam dengan pohon
kurma dengan imbalan sebagian dari pohon kurma atau sebagian pohon kurma dan
sebagian hasil bumi:
a)
Sekolompok ulama’ berpendapat dibolehkannya hal tersebut.
2)
Pekerjaan yang berhubungan dengan musaqah
Adapun rukun yang berupa
pekerjaan, sesungguhnya para ulama secara global telah sepakat bahwa yang
menjadi kewajiban bagi seorang pekerja adalah menyiram serta membuat sumur.
Mereka berbeda pendapat mengenai pemotongan. Menjadi kewajiban siapa dan
menutup pagar, membersihkan mata air serta kincir angin.
a)
Menurut Malik, kebiasaan dalam musaqah yang dibolehkan bagi pemilik kebun
untuk mensyaratkan adalah menutup pagar, pemberian minuman, mengawinkan pohon
kurma, memotong pelepah kurma serta memetik buah.
b)
Syafi’i berkata ”Pekerja tidak berkewajiban untuk menutup pagar karena
bukan termasuk bagian dari sesuatu yang berpengaruh dalam penambahan buah
seperti pengawinan dan penyiraman.”
c)
Muhammad bin Ali Hasan berkata: ”Ia tidak berkewajiban untuk membersihkan
kincir air dan mata air.”[18]
3)
Sifat Pekerjaan yang ada dalam musaqah
Para ulama sepakat bahwa musaqah
dibolehkan menggunakan segala sesuatu yang telah disepakati dari bagian-bagian
buah. Mereka juga sepakat bahwa tidak diperbolehkan dalam musaqah untuk
mensyartkan adanya manfaat tambahan, seperti salah seorang dari keduanya
mensyaratkan kepada mitranya tambahan dirham ataupun dinar.[19]
4)
Tenggang Waktu
Adapun pensyaratan waktu dalam
musaqah ada dua macam yaitu: waktu yang disayaratkan agar dibolehkannya musaqah
dan waktu yang merupakan syarat sahnya akad dan hal tersebut terbatas jangka
waktunya.
Adapun waktu yang disayaratkan
agar akadnya dibolehkan: para sahabat sepakat bahwa musaqah dibolehkan sebelum
nampaknya kelayakan buah.[20]
h. Syarat-syarat musaqah
1)
Ahli dalam akad
2)
Menjelaskan bagian penggarap
3)
Membebaskan pemilik dari pohon, dengan artian bagian yang akan dimiliki
dari hasil panen merupakan hasil bersama.
4)
Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
5)
Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.
2. Pelaksanaan Muzara’ah dan
Mukhabarah
Yang tidak diperbolehkan dalam Muzaraah dan Mukhabarah
Dalam muzara’ah,
tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan
sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak
boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
Dari Hanzhalah
bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua
orang pamanku, bahwa mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan
(sewa) hasil yang tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang
dikecualikan oleh si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian
saya (Hanzhalah bin Qais) bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar
dan Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.”
Al-Laits berkata, “Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang
mempunyai pengetahuan perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud,
niscaya mereka tidak membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.”
Dari Hanzhalah
juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal
menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa.
Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan
(sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan
beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu
selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu)
sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa)
dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” [21]
Keabsahan
musaqah tergantung pada rukun-rukunnya, waktunya, serta syarat-syarat yang
disyaratkan pada rukun-rukunnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijarah adalah “transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu”. Bila yang
menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut
ijarat al-‘ain atau sewa menyewa ; seperti menyewa rumah untuk ditempati. Bila
yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga seseorang,
disebut ijarat al-zimmah atau upah mengubah menjahit pakaian. Keduanya disebut
AL-Ijarah dalam literatul arab. Sedangkan ,
‘Ariyah adalah menyerahkan suatu wujud barang untuk
dimanfaatkan tanpa imbalan. Sehubungan dengan pengertian tersebut, maka bila
Barang yang di manfaatkan itu harus dengan imbalan tertentu, maka dia dinamai
sewa-menyewa atau ijarah bukan ‘ariyah. Karena yang di transaksikan dalam hal
ini hanya manfaatnya, yang dapat dikuasai oleh yang meminjam hanyalah
mannfaatnya sedangkan wujud bendanya tetap milik bagi yang punya yang harus
dikembalikan. Bila yang dikembalikan itu bukan wujud barangnya, tetapi
nilai atau harganya atau dalam bentuk lain tidak dinamakan pinjam meminjam,
tetapi utang- piutang.
1.
Muzara’ah ialah mengerjakan tanah
(orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya
(seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung pemilik tanah
2.
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah
(orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua,
sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung
orang yang mengerjakan.
3.
Musaqah adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang menyiramnya dan
menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam
jumlah tertentu
4.
Dasar hukum yang dijadikan landasan Muzara’ah, mukhabarah dan musaqah
adalah hadits dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya
Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh
mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik
dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
5.
Disyaratkan dalam muzara’ah dan mukhabarah maupun musaqah ini ditentukan
kadar bagian pekerja atau bagian pemilik tanah /buah dan hendaknya bagian
tersebut adalah hasil yang diperoleh dari tanah/buah tersebut seperti
sepertiga, seperempat atau lebih dari
hasilnya.
6.
Ada perbedaan pendapat mengenai hukum dari muzaraah dan mukhabarah di
kalangan ulama’ salaf, ada yang mengatakan muamalah ini haram dan ada yang
membolehkannya dikarenakan perbedaan pemahaman hadits Nabi Muhammad SAW.
7.
Hukum dari muzaraah, mukhabarah dan musaqah ada yang bersifat sahih yaitu
akad dari muamalah tersebut sesuai dengan ketentuan syara’ dan ada yang
bersifat fasid (rusak) yaitu akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan syara’.
B. Saran
Kami penyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak memiliki
kekurangan baik dari segi isi maupun penulisannya. Maka dari itu kami menerima
semua saran dan tanggapan yang teman-teman semua berikan.
Atas saran dan tanggapannya kami sebagai penyaji makalah mengucapkan terima
kasih, semoga apa yang ada didalam makalah ini dapat kita ambil manfaatnya dan
dapat kita terapkan dalam dalam kehidupan sehari-hari selama itu tidak
bertentangan dengan agama kita yakni Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dzibbi , Ahmad bin
Muhammad. Al Lubab Fi Al-Fiqh Asy-Syafi’I.
Beirut: Dar Kutub Al-‘Ilmiayah, 2004.
Adzim , Abdul bin Badawi. Al-Wajiz. diterjemahkan oleh Team
Tasyfiyah, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2007.
Al-Fauzan,
Saleh. Fiqih Sehari-Hari,
diterjemehkan oleh Abdul Hayyik Al-Kattani dkk. Jakarta:
Gema Insan, 2005.
Ayo Belajar Fiqih Muamalah,
http://echyli2n.blogspot.com/fiqih-muamalah-musaqah/ akses: tanggal 6 maret
2009
Harun
Nasrun , Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama,2007
Karim Helmi,
Fiqh Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1997
Karim karim,
Fiqh Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1993
Rozalinda, Fiqh
Muamalah Dan Aplikasinya Pada Perbankan Syari’ah, Padang : Haifa
Press,2005
Rusyd, Ibnu.
Bidayatul Mujtahid. diterjemahkan
oleh Abu Usamah Fatkhur Rokhman. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Syafe’i
Rachmat, Fiqih Muamalah,Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001
Syarifuddin
Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor : PrenadaMedia, 2003
[9] Saleh
al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, diterjemehkan oleh Abdul Hayyik Al-Kattani
dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal: 480
[10]Abdul Adzim bin Badawi, Al-Wajiz, diterjemahkan oleh
Team Tasyfiyah, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2007), hal: 582
[11]Saleh al-Fauzan,op cit, hal: 477
[12]Ahmad bin Muhammad Ad-Dzibbi, Al Lubab Fi Al-Fiqh
Asy-Syafi’I, (Beirut: Dar Kutub Al-‘Ilmiayah, 2004,) hal: 92
[13]Saleh al-Fauzan,op cit, hal: 480
.
[14]Ibid, hal: 584
[15]Saleh al-Fauzan,op cit, hal: 476
[16]Ibnu Rusyd,
Bidayatul Mujtahid, diterjemahkan oleh Abu Usamah Fatkhur Rokhman, (Jakarta,
Pustaka Azzam, 2007), hal: 483
[17]Ibid,hal: 485
[18]Ibid, hal: 487
[19]Ibid, hal: 490
[20]Ibid, hal :491
[21]Abdul Adzim bin Badawi, op cit, hal: 583
0 Response to "Makalah hukum dasar, syarat dan rukun Ijarah dan ‘Ariyah"
Post a Comment