BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah pemikiran
filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal dibicarakan oleh
banyak orang, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi
juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah
satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat
yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi
filsafat muslim beberapa abad.
Pengaruh ini terwujud
bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu
menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan
metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali
pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan
lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
Ide-ide cemerlang
gagasan Ibnu Sina memberikan kontribusi cukup baik bagi semua kalangan ilmuan,
baik dari ilmuan Muslim maupun non Muslim. Kepopuleran Ibnu Sina sudah tidak
diragukan lagi, terkhusus dari penemuan Ibnu Sina di bidang kedokteran, hal
tersebut dapat dilihat dari karyanya yang sangat popular yaitu kitab Qanun fi
al-Thib serta banyak memberikan kontribusi dalam bidang ilmu kedokteran.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana deskripsi potret riwayat hidup atau biografi Ibnu Sina?
- Apa saja karya-karya yang dibuat Ibnu Sina?
- Bagaimana deskripsi pemikiran filsafat Ibnu Sina?
C. Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui riwayat hidup Ibnu Sina.
- Untuk mengetahi karya-karya yang dibuat Ibnu Sina.
- Untuk mengetahui pemikiran Filsafat Ibnu Sina.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina
adalah Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibn Sina. Dalam dunia Barat beliau dikenal
dengan nama Avvicenna.[1] Ia lahir
pada Shafar 370 H/Agustus 980 M di Ifsyina (negeri kecil dekat Charmitan),
suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada
pemerintahan Dinasti Saman. Beliau dibesarkan di Bukharaia serta belajar
falsafah kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam.
Pendidikan awal Ibnu
Sina pada masa kanak-kanaknya ialah al-Quran dan sastra yang dipelajarinya.
Ibnu Sina mulai belajar menghafal al-Quran ketika berusia 5 tahun. Beliau sudah
menguasai tasawuf, fikah, tafsir, dan usuludin ketika berusia 10 tahun. Beliau
telah menuntut ilmu dengan Abu Abdullah an-Natli yang mengajarnya
al-Quran, fikah, mantik, ilmu hisab, sains, fizik, dan kaji bintang. Beliau
menelaah falsafah, politik dan logik, matematik, fizik, politik dan kedoktoran
hingga berusia 16 tahun. Ibnu Sina sangat meminati ilmu kedoktoran dan
metafizik. Dalam sekitar satu hingga lima tahun, beliau telah dikenal sebagai
ahli falsafah dan doktor di Bukhara.[2]
Ibnu Sina mulai menjadi
doktor ketika berusia 18 tahun. Beliau berjaya menyembuhkan Nuh bin Mansor,
pemerintah Kerajaan Samaniyah dan semenjak itu beliau dilantik menjadi doktor
istana. Pelantikan tersebut merupakan suatu peluang keemasan karena beliau
telah diberi kebebasan menggunakan perpustakaan istana yang sangat kaya dengan
beraneka jenis buku. Beliau mengambil kesempatan dengan membaca, merujuk dan
menghafal buku-buku penting di perpustakaan. Pembesar negeri lain seperti Ratu
Sayyidah dan Sultan Majdud dari Rayy, Syamsu Dawla dari Hamadan, dan Alaud
Dawla dari Isfahan juga pernah mengundangnya. Ibnu Sina digelari al-Syeikh
al-Ra’is yaitu guru para raja. Dalam bidang kedoktoran, beliau digelar
“pangeran para doktor” dan “raja obat”. Dalam dunia Islam beliau dianggap
sebagai puncak ilmu kedoktoran. Ibnu Sina pernah dilantik menjadi menteri sebanyak
dua kali. Disebabkan Ibnu Sina terlibat dalam persoalan politik, dia dipecat
dan dipenjarakan dari kedudukannya sebagai menteri. Dalam tempoh Ibnu Sina
dipenjara, beliau sempat menulis 3 buah buku. Ibnu Sina banyak
meninggalkan karya yang ditulis beliau, semuanya tidak kurang 200 buah,
kebanyakan berbahasa Arab dan Parsi.
Sewaktu Ibnu Sina
berusia 21 tahun, beliau mulai menulis karyanya yang pertama yang berjudul
"Al-Majmu" di Kawarazm yang mengandungi berbagai ilmu pengetahuan
yang lengkap. Kemudian beliau meneruskan menulis buku-buku lain. Nama-nama buku
yang pernah dikarang Ibnu Sina, termasuk yang berbentuk risalah ukuran kecil,
dimuat dan dihimpun dalam satu buku besar yang berjudul "Essai de
Bibliographie Avicenna" yang dihasilkan oleh Pater Dominican di Kairo.
Antara yang terkandung dalam buku tersebut termasuklah buku karangan yang amat
terkenal iaitu Al-Qanun Fit – Tibb.
Ia mempelajari ilmu
kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Meskipun secara teori ia belum
matang, tetapi ia banyak melakukan keberhasilan dalam mengobati orang-orang
sakit. Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku-buku filsafat dan
setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan agar diberikan
petunjuk, maka didalam tidurnya itu Tuhan memberikan pemecahan terhadap
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
Ibnu Sina pula sebagai
orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun
kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia juga orang yang pertama kali
mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat
tali pusarnya. Dia juga yang mula-mula mempraktekkan pembedahan
penyakit-penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan dia juga terkenal
sebagai dokter ahli jiwa yang kini disebut psikoterapi .
Selain sebagai filosof
dan dokter, ia juga di kenal sebagai penyair. Ilmu-ilmu pengetahuan seperti
ilmu jiwa, logika, kedokteran dan kimia, ia tulis dalam bentuk syair.
Kebanyakan buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Orang-orang Eropa
mulai mempergunakan buku-buku itu sebagai referensi diberbagai universitas.
Oleh karena itu nama Ibnu Sina pada abad pertengahan sangat berpengaruh di
Eropa.[3] Ia
meninggal pada tahun 428 H (1037 M) di Hamdzan.[4]
Dia adalah pengarang
dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan
pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai
"bapak kedokteran modern." George Sarton menyebut Ibnu Sina
"ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada
semua bidang, tempat, dan waktu." bukunya yang paling terkenal adalah The
Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai
Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb).
B. Karya-Karya Ibnu Sina
Karya-karya Ibnu Sina
yang termasyhur dalam Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al-Isyarat.
An-Najat adalah ringkasan dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat, berisikan tentang
logika dan hikmah. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan- karangan
pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia
memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya.
Walaupun ia sibuk
dengan soal negara, tetapi ia berhasil menulis sekitar dua ratus lima puluh
karya. Diantaranya karya yang paling masyhur dalam bidang kedokteran adalah
“Al-Qanun” yang berisikan pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di
Timur. Buku ini dterjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di
Universitas Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental
“As-Syifa”.[5]
Dalam sejarah
kehidupannya, Ibnu Sina juga dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat
produktif dalam menghasilkan berbagai karya buku. Buku-buku karangannya hampir
meliputi seluruh cabang ilmu pengetahuan, diantarannya ilmu kedokteran,
filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan sastra arab. Adapun
karya-karyanya sebagai berikut :
- Kitab Qanun fi al-Thib, merupakan karya ibnu sina dalam bidang ilmu kedokteran. Buku ini pernah menjadi satu-satunya rujukan dalam bidang kedokteran di Eropa selama lebih kurang lima abad. Buku ini merupakan iktisar pengobatan Islam juga diajarkan hingga kini di Timur.
- Kitab As-Syifa, merupakan karya ibnu sina dalam bidang filsafat. Kitab ini antara lain berisikan tentang uraian filsafat dengan segala aspeknya
- Kitab An-Najah, merupakan kitab tentang ringkasan dari kitab As-Syifa, kitab ini ditulis oleh ibnu sina untuk para pelajar yang ingin mempelajari dasar-dasar ilmu hikmah, selain itu buku ini juga secara lengkap membahas tentang pemikiran Ibnu Sina tentang ilmu Jiwa.
- Kitab Fi Aqsam al-Ulum al-Aqliyah, merupakan karya Ibnu Sina dalam bidang ilmu fisika. Buku ini ditulis dalam bahasa Arab juga masih tersimpan dalam berbagai perpustakaan di Istanbul, penerbitannya pertama kali dilakukan di Kairo pada tahun 1910 M, sedangkan terjemahannya dalam bahasa Yahudi dan Latin masih terdapat hingga sekarang.
- Kitab al- Isyarat wa al-Tanbihat, isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmah.
- Buku mengenai politik seperti: Risalah As-Siyasah, Fi Isbati an-Nubuwah, Al-Arzaq,
- Buku mengenai Tafsir seperti: Surah al-Ikhlas, Surah al-Falaq, Surah an-Nas, Surah al-Mu’awizataini, Surah al-A’la.
- Buku tentang Logika seperti: Al-Isyarat wat Tanbihat, al-Isyaquji, Mujiz, Kabir wa Shaghir.
- Buku tentang musik seperti: Al-Musiqa.
- Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.
Ibnu Sina banyak
menyumbang dalam tamadun Islam terutamanya dalam bidang perobatan. Kebijakan
Ibnu Sina dalam bidang perobatan mendapat perhatian dunia. Ibnu Sina berjaya
melakukan beberapa pencapaian dalam perobatan yaitu pertama, penemuan penyakit
baru. Antara penemuan penyakit yang dikaji oleh Ibnu Sina ialah pengaruh kuman
dalam penyakit, jangkitan virus seperti Tibi (TB), dan penyakit seperti
rubella, alahan (allergy), cacar (smallpox), penyakit jiwa dan
sebagainya.Kedua, Ibnu Sina mengkaji dalam bidang farmasi dan beliau dapat
menghasilkan obat yang mujarab untuk berbagai jenis penyakit. Selain itu,
beliau juga menemui untuk obat bius. Ketiga, Ibnu Sina membangunkan teknologi
perobatan dengan membuat benang khusus untuk menjahit luka pembedahan dan
lain-lain.
C. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
1. Filsafat Wujud Ketuhanan.
Dalam paham Ibnu
Sina,essensi terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujud-lah
yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal.
Kombinasi essensi dan wujud dapat dibagi :
- Essensi yang tak dapat mempunyai wujud (mumtani’al-wujud) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being). Contohnya rasa sakit.
- Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud (mumkin al-wujud) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
- Essensi yang tak boleh dan tidak mesti mempunyai wujud (wijib al-wujud).
Disini essensi tidak
bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu kesatuan. Di
sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud,
sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi ini
mesti dan wajib mempunyai wujud selama lamanya. Wajib al wujud inilah yang
mewujudkan mumkin al wujud.
Dalam pembagian wujud
wajib dan mumkin, Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun
antara lain: baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka
tentang wujud Allah didasarkan pada “hadits” dan “qadim” sehingga, setiap orang
yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman. Pendirian ini
mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk
ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu
lain.Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib. Untuk
menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina telah menyatakan sejak
awal “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan
baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada iradah Allah sejak Qadim,
sebelum Zaman.
Dari pendapat tersebut
terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu
Sina. Dimana para mutakallimin antara qadim dan baharu lebih sesuai dengan
ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan
dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang
tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak
qadim.
2. Filsafat Jiwa
Menurut pendapat Ibnu
Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang
sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia
tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan
untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih berhajat
pada badan. Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan
eratnya hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran
Aristoteles menolak suatu pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di yakininya
sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu
bersesuaian merupakan suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak
menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan
kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara
pembuktian yang lebih langsung tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang
berlaku bukan sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka mata. Jiwa manusia ,
sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari
Akal kesepuluh. Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
Jiwa tumbuh-tumbuhan
(an-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi beberapa daya;
1. Makan (nutrition),
2. Tumbuh (Growth),
3. Berkembang biak (reproduction)
Jiwa binatang
(an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi bebrapa daya;
1. Gerak (locomotion),
2. Menangkap (perception).
Dua daya ini dibagi
lagi menjadi dua bahagian :
1. Menangkap dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan pancaindera.
2. Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan indera-indera yang
meliputi : 1) Indera bersama yang menerima segala apa yang dirangkap oleh
pancaindera, 2) Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh
indera bersama, 3) Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan dalam
representasi, 4) Estimasi yang dapat manangkap hal-hal abstrak yang terlepas
dari materinya, umpama keharusan lari bagi kambing dari anjing srigala, 5)
Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
Jiwa manusia (an-Nafsul
Natiqah) meliputi dua daya ;
1. Praktis (practical) yang hubungannya adalah dengan badan.
2. Teoritis (theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.
Dengan demikian, sifat
seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa
tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat
menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) yang
mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai Malaikat dan
dekat pada kesempurnaan. Ibnu Sina, meski ia seorang dokter, namun ia sadar
bahwa penjelasan mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter dan tidak masuk dalam
disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya dalam al-qur’an di jelaskan beberapa
pertanyaan yang berkaitan dengan jiwa beserta berbagai potensinnya, yang mana
para dokter dan filosof berbeda pendapat dalam hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu
Sina mengatakan bahwa maalah jiwa adalah urusan filosof. Pengaruh Ibnu Sina
dalam soal kejiwaan ini tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab
sejak abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M, maupun pada filsafat scholastik Yahudi
dan Masehi terutama tokoh-tokohnya, seperti: Gundisalus, Guillaume, Albert Yong
Agung, St. Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Duns Scotf, serta berhubungan
dengan pemikiran Descartes tentang hakikat dan adanya jiwa.
3. Filsafat kenabian
Mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi
adalah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof, karena Nabi
memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan
filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat
macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal
mustafad.
Banyak para filosof
yang membuat tingkatan akal menjadi empat bagian, di antaranya, Al-Farabi,
Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya. kalau diklasifikasikan akal-akal tersebut
seperti di bawah ini:
- Akal Materil (al’aklul hayulaani) materil intellect yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
- Intellectus in habitu (al’aklu bilmalakah) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
- Akal Aktuil (al’aklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
- Akal Mustafad (al’aklu mustafaadu) acquired intellect) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada daya dan upaya. Akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif (al’aklu fa’aala).
Setelah melihat
penjelasan di atas mempunyai empat tingkat dan yang terendah di antaranya ialah
ada akal materil atau (al’aklul hayulan). Biasanya akal materil tidak bisa
sepenuhnya menangkap hal-hal yang abstrak, namun ketika manusia mempergunakan
akal materil ini, Allah menganugerahkan kepada manusia agar akal materil dapat
bekerja lebih besar lagi. Dalam hal ini Ibnu Sina memberi nama al-hadas yaitu
intuisi. Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu besarnya, sehingga
tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan
dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akhirnya aka ini
menjadi tinggi, dan diperoleh bagi manusia-manusia terkhusus pada pilihan Allah
mereka yang mendapatkannya adalah para Nab-Nabi Allah.
Jadi wahyu dalam
pengertian di atas yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik,
tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada
agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini,
dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak diragukan lagi
karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang
sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun sejauh mana
wahyu itu mendorong? Kecuali kalau Nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke
dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke
dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu
imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, Nabi berhak mendapat
mendapatkan derajat seorang filosof.
Salah satu ungkapan
Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada wujud yang berdiri sendiri dan ada
pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua.
Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam meteri dan ada pula yang
berada dalam materi. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua, selanjutnya
ada hewan yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang tidak rasional
(binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua …selanjutnya ada
manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung (tanpa
latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual dengan
sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi), maka yang
pertama yakni para Nabi yang lebih unggul daripada yang kedua, yakni para
filsuf. Para Nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan
makhluk-makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin segenap manusia
yang diunggulinya.
Menurut Ibnu Sina,
seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan sepanjang identitas ini
masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql Mustafad (akal yang telah dicapai).
Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian, pemberi
wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang
pengertian pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya. Oleh sebab
itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara “aksidental” bukan secara esensial,
adalah akal aktif (untuk pengertian istilah “aksidental”).
Mengenai pemikiran Ibnu
Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi adalah manusia yang paling
unggul, lebih unggul dari filosof karena Nabi memiliki akal aktual yang
sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya
dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal
materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.
Banyak para filosof
yang membuat tingkatan akal menjadi empat bahagian, di antaranya, Al-Farabi,
Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya. kalau diklasifikasikan akal-akal tersebut
seperti di bawah ini ;
- Akal Materil (al’aklul hayulaani) materil intellect yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
- Intellectus in habitu (al’aklu bilmalakah) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
- Akal Aktuil (al’aklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
- Akal Mustafad (al’aklu mustafaadu) acquired intellect) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada daya dan upaya. Akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif (al’aklu fa’aala)
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Nama lengkap Ibnu Sina
adalah Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibn Sina. Dalam dunia Barat beliau dikenal
dengan nama Avvicenna Ia lahir pada Shafar 370 H/Agustus 980 M di Ifsyina
(negeri kecil dekat Charmitan), suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah
pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman. Beliau dibesarkan di Bukharaia
serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam.
Dibidang filsafat, Ibnu
Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan
sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam
menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlap yang memancarkan cahaya
sendiri. Selain sebagai filosof dan dokter, ia juga di kenal sebagai penyair.
Ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, logika, kedokteran dan kimia, ia tulis
dalam bentuk syair.
Dalam sejarah
kehidupannya, Ibnu Sina juga dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat
produktif dalam menghasilkan berbagai karya buku. Buku-buku karangannya hampir
meliputi seluruh cabang ilmu pengetahuan, diantarannya ilmu kedokteran,
filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan sastra arab. Adapun
karya-karyanya sebagai berikut :
- Kitab Qanun fi al-Thib,
- Kitab As-Syifa,
- Kitab An-Najah
- Kitab Fi Aqsam al-Ulum al-Aqliyah,
- Kitab al- Isyarat wa al-Tanbihat
- Buku mengenai Tafsir seperti: Surah al-Ikhlas, Surah al-Falaq, Surah an-Nas, Surah al-Mu’awizataini, Surah al-A’la.
- Buku tentang Logika seperti: Al-Isyarat wat Tanbihat, al-Isyaquji, Mujiz, Kabir wa Shaghir.
- Buku tentang musik seperti: Al-Musiqa.
- Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.
Dalam paham Ibnu
Sina,essensi terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujud-lah
yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal.
Kombinasi essensi dan wujud dapat dibagi :
- Essensi yang tak dapat mempunyai wujud (mumtani’al-wujud) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being). Contohnya rasa sakit.
- Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud (mumkin al-wujud) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
- Essensi yang tak boleh dan tidak mesti mempunyai wujud (wijib al-wujud).
Menurut pendapat Ibnu
Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang
sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia
tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan
untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih
berhajat pada badan.
Mengenai pemikiran Ibnu
Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi adalah manusia yang paling
unggul, lebih unggul dari filosof, karena Nabi memiliki akal aktual yang
sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya
dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal
materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad
B. Kritik Dan Saran
Berhubung dengan
penyusunan makalah ini, yang jauh dari kesempurnaan. karena masih banyak
kesalahan dalam pembuatan makalah ini. Kepada para pembaca dimohon kritik dan
sarannya, guna untuk membangun dan meluruskan kami dari kekhilafan dalam
penyusunan makah ini.
Semoga menjadi ilmu dan
bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan yang mengamalkannya, amin.
M.M. Syarif, Para Filosof Muslim , Bandung : Mizan, 1994.
Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam , (Jakarta : Bulan Bintang, 1975.
Nasution Hasyimsyah, Filsafat Islam . Jakarta : Gaya Media
Pratama, 2005.
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam. Bandung :Pustaka Setia, 2009.
Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam , Jakarta : Bulan Bintang, 1975.
0 Response to "Biografi Ibnu Sina"
Post a Comment