Latest Updates

Fiqh Mawaris



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Didalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah khusus. Adapun masalah-masalah khusus yang dimaksud adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan perkataan lain pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya (seperti telah diuraikan pada bab terdahulu).
Masalah-masalah khusus ini terjadi disebabkan adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan/dibagi secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus, dengan kata lain penyelesaian khusus ini hanya berlaku untuk persoalan-persoalan yang khusus pula.
Untuk itu dalam penulisan makalah ini penulis ini ingin membahas sedikit tentang Fiqh Mawaris.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Fiqh Mawaris
2.      Bagaimna Kedudukan dan Urgensi Fiqh Mawaris
3.      Apa Dasar-Dasar Pewarisan Masa Jahiliyah
4.      Bagaiman Penentuan Ahli Waris.
5.      Bagaimana Hukum Waris Masa Awal Islam.
6.      Apa Dasar-Dasar Penentuan Ahli Waris







BAB II
PEMBAHASAN 

Istilah Fiqh Mawaris (فقه المواريث) sama pengertiannya dengan Hukum Kewarisan dalam bahasa Indonesia, yaitu hukum yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Ada dua nama ilmu yang membahas pembagian harta warisan, yaitu ilmu mawaris (علم المواريث) dan ilmu fara'id (علم الفرائض). Kedua nama ini (mawaris dan fara'id) disebut dalam al-Qur'an maupun al-hadis. Sekalipun obyek pembahasan kedua ilmu ini sama, tetapi istilahnya jelas berbeda.  Kataمواريث   adalah jama' dari   ميراث dan miras itu sendiri sebagai masdar dari  ورث - يرث- ارثا - وميراثا .
Secara etimologi kata miras mempunyai beberapa arti, di antaranya:  al-baqa'  (البقاء) , yang kekal; al-intiqal(الانتقال)  "yang berpindah", dan al-maurus (الموروث) yang maknanya at-tirkah (التركة) "harta peninggalan orang yang meninggal dunia". Ketiga kata ini (al-baqa', al-intiqal, dan at- tirkah) lebih menekankan kepada obyek dari pewarisan, yaitu harta peninggalan pewaris.
Adapun kata fara'id (الفرائض) dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan. Apabila dibandingkan kedua istilah di atas dalam pengertian bahasa, kata mawaris mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih menampung untuk menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia dibandingkan istilah fara'id.
Apabila ditelusuri pemakaian kedua istilah di atas di kalangan para ulama, tampaknya pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara'id daripada kata mawaris.[1] Hal ini dapat dilihat dari fiqh-fiqh klasik yang dalam salah satu babnya memakai judul bab al-faraid atau kitab al-fara'id, sebagai judul pembahasan kewarisan. Adapun pada masa belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih banyak digunakan kata mawaris, seperti Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya "al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu", jilid VIII dalam bab ke-6 memberi judul babnya الميراث. [2]
Lafad al-faraid, sebagai jamak dari kafazd faridhah, oleh para ulam faradhiyun diartikan semakna dengan lafazd mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Faraid dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara. Sedang ilmu faraidh oleh sebagian ulama faradhiyun di ta’rifkan “ ilmu fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peningalan untuk setiap pemilik harta pusaka”.
Menurut fiqih adalah apa yang ditinggalkan oleh orang mati berupa harta atau hak-hak yang karena kematianya itu menjadi hak ahli warisnya secara syar’i.
Ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari pembagian warisan dan cara penghitunganya dilihat darai kaca mata fiqih.
Istilah Fara’id adalah bahasa yang menunjukkan bentuk plural atau jamak. Adapun bentuk mufradnya adalah “Faridah” yang berarti: suatu ketentuan atau dapat pula diartikan bagian-bagian yang tertentu. Di dalam hukum waris islam dikenal dengan istilah “Ilmul Fara’id” atau disebut dengan ilmul mirats, yakni ilmu yang membahas tentang pembagian warisan dari seseorang yang meninggal dunia.
Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa: “Fiqih Mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.” Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.
Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting didalamnya:
1.      Pengatahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris;
2.      Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris; dan
3.      Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.
Dari pengertian mawaris secara bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu mawaris antara lain karena yang dibahasnya adalah mengenai tata cara pemindahan harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti al-intiqal), atau karena yang dibahas oleh ilmu ini ialah harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti tirkah).

B.       Kedudukan dan Urgensi Fiqh Mawaris
Ilmu fara’idh atau fiqih mawaris merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh karena itu, Allah sendiri dan secara langsung mengatur bagian-bagian fara’idh ini. Dia tidak menyerahkan hal tersebut kepada malaikat atau rasul yang paling dekat sekalipun. Allah telah menjelaskan masing-masing bagian ahli waris yang seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Ini berbeda dengan hukum-hukum lainnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain yang nash-nashnya bersifat global. Allah SWT menjamin surga bagi kaum muslimin yang melaksanakan hukum waris Islam ini.
Allah SWT berfirman. “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar” [An-Nisa: 13]. Allah SWT, mengancam dengan neraka dan adzab yang pedih bagi orang-orang yang menyelisihi batasan-batasan fara’idh Islam tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya kedalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa : 14], Rasulullah SAW memerintahkan agar umat Islam mempelajarai ilmu fara’idh dan mengajarkannya.
Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah fara’idh, sebab ia adalah bagian dari agamamu”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata: “Pelajarilah fara’idh, nahwu dan Sunnah sebagaimana kamu mempelajari Al-Qur’an” Ibnu Abbas Ra, ketika menafsirkan ayat 73 surat Al-Anfal, dia menyatakan: “Jika kamu tidak mengambil ilmu waris yang diperintahkan oleh Allah, maka pasti akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”.
Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak pandai fara’idh, adalah seperti baju burnus yang tidak memiliki kepala”. Para ulama Islam sangat peduli dan memberi perhatian yang besar terhadap ilmu ini, dengan berdiskusi, mengajarkan, merumuskan kaidah-kaidahnya, dan menuliskannya dalam literarur (kitab) fiqih. Ini semua karena, fara’idh merupakan bagian dari agama Islam, diwahyukan langsung oleh Allah, dan dijelaskan serta dipraketkkan oleh Rasulullah SAW. (Lihat Syaikh Shalih Fauzan dalam At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 13-16)

C.      Dasar-Dasar Pewarisan Masa Jahiliyah
Orang-orang Arab jahiliyah adalah tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan berperang. Kehidupan mereka tergantung dari hasil jarahan dan rampasan perang dari bangsa-bangsa yang telah mereka taklukkan, dan juga ada yang tergantung dari hasil memperniagakan rempah-rempah. Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang telah diwarisi dari leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia.Tradisi tersebut menganggap bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa janda perempuan dari orang yang telah meninggal merupakan wujud harta peninggalan yang dapat dipusakakan dan dipusakai kepada dan oleh ahli waris si mati .
Banyak sekali riwayat-riwayat dari para sahabat yang menceritakan hal tersebut. Ibn Abi Thalhah, misalnya mengutib suatu riwayat Ibn Abbas r.a yang menjelaskan: “Konon bila terjadi seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang perempuan (janda), kerabatnya melemparkan pakaiannya dimuka perempuan tersebut. (Atas tindakan ini) maka yang melarangnya untuk dikawini oleh orang lain. Jika perempuan tersebut cantik teru s dikawininya dan juga jelek ditahannya sampai meninggal dunia untuk kemudian dipusakai harta peninggalannya.” )
Bukti bahwa tradisi mewarisi janda simati itu betul-betul terjadi pada zaman jahiliyah ialah tindakan seorang yang bernama Mihshan bin Abu Qais al-Aslat, sesaat ayahnya meninggal dunia, ia berhasrat mengawini janda ayahnya yang tidak diurus belanjanya dan tidak diberi pusaka sedikitpun dari harta peninggalan ayahnya. Atas desakan dari calon suaminya yang baru janda tersebut meminta ijin kepada Rasulullah agar diperkenankan berkawin dengan Mihsham. Disaat itu Rasulullah belum dapat memberikan jawaban secara spontan. Baru beberapa saat kemudian, setelah Allah menurunkan ayat dari surat An-Nisa’: 19
“ Hai orang- orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita- wanita( janda- janda si mati) dengan cara paksaan.”
Tata aturan pembagian harta pusaka di dalam masyarakat jahiliyyah, sebelum Islam datang, didasarkan atas nasab dan kekerabatan, dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu mereka yang lelaki yang sudah dapat memenggul senjata untuk mempertahankan kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan orang-orang perempuan, yaitu istri ayah atau istri saudara di jadikan harta pusaka.[3]
Kemudian, pengangkatan anak, berlaku dikalangan jahiliyah dan apabila sudah dewasa si anak angkat mempunyai hak yang sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan karena itu, apabila bapak angkat ini meninggal, anak angkat mempunyai hak mewaris sepenuh-penuhnya atas harta benda bapak angkatnya.

D.      Penentuan Ahli Waris
Dalam penentuan ahli waris ada sebab- sebab mempusakai yaitu ada 3 macam:[4]
1.      Adanya pertalian kerabat( qarabah)
2.      Adanya janji prasetia( muhalafah)
3.      Adanya pengangkatan anak( tabanny atau adopsi)
Hak pusaka belum dapat digunakan sebagaimana mestinya, selama ia tidak memiliki dua buah syarat berikut:
1.      Sudah dewasa
2.      Orang laki- laki
`           Pertalian-kerabat saja belum cukup kiranya dijadikan alasan untuk menuntut hak pusaka, selagi tidak di lengkapi dengan adanya kekuatan jasmani yang sanggup untuk membela, melindungi dan memelihara qabilah atau sekurang- kurangnya keluarga mereka. Dengan demikian para ahli waris jahiliyah dari golongan kerabat semuanya terdiri dari golongan laki- laki. Mereka itu ialah :
1.      Anak laki-laki
2.      Saudara laki-laki
3.      Paman
4.      Anak paman, Yang kesemuanya harus sudah dewasa.
Janji-prasetia itu baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, bila salah seorang pihak telah mengikrarkan janji prasetianya kepada pihak lain, dengan ucapan (sumpah).
Pengangkatan Anak eorang yang telah mengambil anak laki- laki orang lain untuk di pelihara dan dimasukkan didalam keluarga yang menjadi tanggungannya menjadi bapak angkat terhadap anak yang telah diadopsi dengan berstatus anak nasab. Anak angkat tersebut bila sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia, dapat mempusakai harta peninggalan bapak angkatnya seperti anak keturunannya sendiri .

E.       Hukum Waris Masa Awal Islam
Pada masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti. Di dalamnya masih terdapat penambahan-penambahan yang lebih bekonotasi strategis untuk kepentingan dakwah, atau bahkan “politis”. Tujuannya adalah, untuk merangsang persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam. Pertimbangannya, kekuatan Islam pada masa itu, dirasakan masih sangat lemah baik sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapan-pemantapan ajarannya, yang masih dalam dinamika perubahan.

F.       Dasar-Dasar Penentuan Ahli Waris
Dasar penentuan ahli waris pada zaman awal-awal islam masih mengunakan adat yang berlaku diantaranya: [5]
1.      Pertalian kerabat (Al-Qarabah);
2.      Janji prasetia (Al-bilf wa al mu`aqadah);
3.      Pengangkatan anak (Al-tabanni) atau adopsi;
4.      Hijrah dari Mekah ke Madinah;
5.      Ikatan persaudaraan (Al-muakhah) antara orang-orang Muhajirin (pendatang) dan orang-orang Anshor, yaitu orang-orang Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin dari Mekah di Madinah.






BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Fiqh mawaris adalah ilmu yang membahas dan mengatur harta orang yang sudah meninggal dengan tatacaranya. Fiqih mawaris adalah istilah yang kutang popular dikalangan ulama, para ulama mengunakan istilah faraid. Dapat disimpulkan bahwa suatu proses meneruskan serta mengoperkan harta benda keluarga, oleh karena proses maka pewarisan sudah dimulai ketika orang tua masih hidup. Dari satu generasi (orang tua) kepada turunannya, oleh karena itu ahli waris utama dalam hukum adat adalah anak turunnya pewaris, Peralihan harta Pewarisan tidak menjadi akuut dengan   meninggalnya salah satu orang tua, artinya ketika orang tua meningal dunia harta bendanya tidak harus segera dibagi.

B.       Kritik dan Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Tentunya masih banyak sekali kekurangan dan kelemahanya, karena keterbatasan pengetahuan dan kurangnya rujukan atau refrensi yang ada hubunganya dengan makalah ini. Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah pada berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penullis khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.








DAFTAR PUSRAKA

Ali as-Sabuny,Muhammad, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah fi Dau al-Kitab a as-Sunnah, 1989.
Al-Fauzan, Saleh, fiqih Sehari-Hari, Jakarta; Gema Insani Press, 2005.
Rahman Fatchur, Ilmu Waris, Bandung; PT. Alma’arif, 1971.
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta; PT. Rineka Cipta.


[1] Al-Fauzan, Saleh, fiqih Sehari-Hari, Jakarta; Gema Insani Press, 2005.
[3] Rahman Fatchur, Ilmu Waris, Bandung; PT. Alma’arif, 1971.
[4] Ali as-Sabuny,Muhammad, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah fi Dau al-Kitab a as-Sunnah, 1989.

0 Response to "Fiqh Mawaris"

Post a Comment

X-Steel - Wait