Tiga kebahagiaan menyambut Idul fitri.
Tidak terasa satu bulan penuh kita telah menjalankan ibadah puasa Ramadhan, satu bulan kita telah
berhasil menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari. Di saat bulan
penuh berkah, rahmat dan ampunan itu telah pergi, hari ini kita dipertemukan dalam momen
kegembiraan, yaitu hari raya idul fitri. Kalau kita artikan secara tekstual, bermakna "hari
berbuka" atau "hari kembali kepada fitrah", fase kehidupan manusia yang dianggap suci, bersih dan
terbebas dari segala dosa.
Di hari kemenangan ini, mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya: kegembiraan apa yang
patut kita rayakan pada saat idul fitri tiba? Apakah hanya sekedar datang dan berlalunya "suatu
hari" tanpa ada arti sebagimana hari-hari yang lain? Atau ada sebuah keistimewaan yang patut
kita banggakan di hari ini?
Pada kesempatan kali ini, saya akan mengupas tentang tiga kebahagiaan bagi komunitas muslim
dalam menyambut datangnya idul fitri. Yaitu; Bahagia telah sempurna menemui bulan Ramadhan,
dengan menjalankan perintah puasa, bahagia telah berbagi kepada saudara se-iman, dengan
menunaikan kewajiban zakat fitrah, dan bahagia dengan kesempatan halal bi halal atau
bersilaturrahim, saling mema'afkan segala kesalahan menghapus luka yang pernah tergores dan
mempererat hubungan persaudaraan.
Bahagia telah sempurna menjumpai Ramadhan:
Harus kita akui bahwa berhasil menjumpai bulan Ramadhan, dengan kondisi fisik dan mental yang
sehat, sehingga mampu melaksanakan perintah puasa dengan khidmat, adalah anugerah besar dari
yang maha kuasa, sahabat Ali bin Abi Thalib Ra (w: 40 H / 661 M) berkata: "Sehat jasmani
adalah anugrah yang paling indah"
Kita bisa membayangkan, bagaimana orang-orang yang pergi ke alam baqa' (meninggal dunia) sesaat
menjelang datangnya bulan Ramadhan, mereka tidak bisa menjumpai bulan yang penuh berkah, rahmat
dan ampunan. Padahal, melalui ibadah di bulan Ramadhan, kita diberi bonus pahala berlipat dan
kesempatan untuk melebur dosa-dosa yang pernah dilakukan. Rasulullah Saw - dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh imam Muslim - menjelaskan bahwa Ramadhan adalah bulan penuh ampunan.
Atau tidak sedikit saudara-saudara kita yang pada saat tiba bulan Ramadhan dalam keadaan sakit,
fisik maupun mentalnya tidak sehat, sehingga tidak bisa menjalankan kewajiban ibadah puasa, atau
kalaupun tetap menjalankan, tidak dengan khidmat sebagaimana orang yang normal kesehatannya.
Tentu saja dengan uzur sakit, mereka itu tidak bisa merasakan bagaimana nikmatnaya saat berbuka,
saat bersahur, bagaimana nikmatnya kita mampu mengendalikan hawa nafsu dengan sedikit mengekang
hasrat jasmani dan biologis.
Dalam satu kesempatan, ulama besar di zaman tabi'in (setelah zaman para sahabat Nabi) imam Ibnu
Sirin, (w: 110 H / 728 M) berterus terang bahwa urusan hawa nafsu adalah urusan yang paling
pelik dalam hidup ini, ia berkata: “Aku tidak pernah mempunyai urusan yang lebih pelik ketimbang
urusan jiwa”. Betapa urusan jiwa yang menyangkut pengendalian hawa nafsu adalah kendala besar
yang kerap merintangi hidup manusia, Rasulullah Saw dalam hal ini mengingatkan: "Jalan ke sorga
dilapangkan dengan mengendalikan hawa nafsu, sedangkan jalan ke neraka dilapangkan dengan
menuruti hawa nafsu" (HR. Bukhori dan Muslim)
Dengan tibanya idul fitri ini, sangatlah wajar jika kita berbahagia menampakkan kegembiraan
bersama, bukan atas dasar telah berlalunya bulan suci Ramadhan, akan tetapi kebahagiaan ini
dilandaskan pada keberhasilan kita dalam mengekang hawa nafsu dalam kadar dan rentang waktu
tertentu.
Bahagia dengan peduli terhadap sesama:
Kebahagiaan kedua yang semestinya kita rasakan pada momen datangnya hari raya idul fitri adalah,
kita telah mengeluarkan zakat fitrah. Sebuah ibadah yang tidak lain sebagai bentuk penyucian diri
setiap muslim sekaligus sebagai penyempurna puasa Ramadhan.
Zakat fitrah merupakan salah satu ibadah yang berdimensi horisontal. kalau kita perhatikan secara
kasat mata, sangatlah sepele, tidak membutuhkan jumlah harta yang berlimpah, akan tetapi setiap
muslim yang pada saat tibanya idul fitri memiliki kebutuhan pokok untuk dirinya, keluarga dan orang
yang harus dinafkahinya, maka dia berkewajiban untuk mengelurakan zakat. Nominasi harta yang
dikeluarakan pun sangat sedikit, hanya 1 Sha' sekitar 2,5 kg makanan pokok setempat, atau bisa
diuangkan sesuai dengan standar harganya.
Berbeda dengan zakat harta, zakat hewan ternak, zakat hasil bumi, zakat profesi dan zakat niaga,
jenis-jenis zakat ini hanya bisa ditunaikan oleh kalangan berada saja. Maka dari itu, prosentasi
muslim yang berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah jauh lebih banyak dari pada zakat-zakat
tersebut, hal ini sesuai dengan maqasid (tujuan) disyari'atkannya zakat fitrah yaitu untuk
mengembalikan setiap manusia pada fitrahnya.
Kalau sejenak kita menengok maqasid (tujuan) dan hikmah diwajibkannya ibadah zakat secara umum,
ternyata ajaran Islam, disamping mengupayakan kesucian diri setiap insan, juga mengharapkan
kesucian dan keberkahan harta benda yang dimilikinya. Dalam al Qur'an di jelaskan, saat Allah
Swt memerintahkan Muhammad Saw untuk merealisasikan kewajiban zakat kepada para
sahabatnya: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan – dan
mensucikan - mereka" (Qs. at Taubah: 103).
Dalam kesempatan lain Allah Swt menjelaskan: " Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridha'an Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan " (Qs. Ar Ruum: 39)
Kalau demikian kenyataannya, maka kesempatan kita untuk menjalankan kewajiban zakat fitrah,
adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Kita telah diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk mensucikan
jiwa sekaligus mewujudkan rasa peduli terhadap kondisi di sekitar kita. Bagaimanapun kebahagiaan
dalam menyambut datangnya idul fitri, juga berhak dirasakan oleh kaum miskin yang sama sekali
tidak memiliki makanan pokok saat hari raya tiba.
Berbahagia dengan bersilaturrahim:
Tradisi “halal bi halal” yang ada di setiap hari raya idul fitri adalah kesempatan bagi kita untuk
bersilaturrahim. Tentunya silaturrahim dalam maknanya yang luas, yaitu saling memafkan atas
segala kesalahan yang pernah dilakukan, saling mempererat hubungan persaudaraan atas dasar
keimanan dan kebangsaan, bukan hanya sebatas persaudaraan atas dasar kekerabatan dan hubungan
nasab keturunan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al Qur’an: "Sesungguhnya orang-orang
mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu" (Qs. Al Hujurat: 10)
Sebagaimana kita semua sadari, bahwa interaksi keseharian dalam komunitas umat manusia akan
selalu di warnai dengan berbagai hal, sesuai dengan situasi dan kondisi. Adakalanya baik ada
kalanya buruk, kadang damai kadang konflik. Implikasi dari hubungan keseharian antar sesama
manusia ini tidak selamanya menyakitkan sehingga menimbulkan kebencian, begitu juga tidak
semuanya menyenangkan sehingga menimbulkan kecintaan, pada saat-saat tertentu emosi, egois dan
kesombongan bisa saja menguasai diri kita.
Implikasi buruk yang kita terima dari sikap orang lain, begitu juga kelakuan tidak bersahabat yang
kita tunjukkan kepada orang lain, baik dengan penuh kesadaran maupun dalam ketidaksadaran,
harus kita netralisir dengan bersilaturrahim. Kita percaya, bahwa hari raya idul fitri sebagai
momen yang tepat untuk menetralisir atau paling tidak meminimalisir ketegangan hubungan antar
sesama umat manusia. Rasulullah Saw bersabda : "Wahai manusia, tebarkanlah kedamaian dan
sambunglah persaudaraan" (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Melalui silaturrahim, kita juga akan mendapatkan hikmah dan faedah yang luar biasa. Di
antaranya; akan mempermudah segala urusan, bisa menjalin partner usaha, dan memperbanyak kolega
yang tentunya akan saling menguntungkan dalam bekerjasama. Dalam satu kesempatan Rasulullah
Saw bersabda: "Barangsiapa yang ingin dijembarkan rezekinya dan dipanjangkan usianya maka
sambunglah persaudaraan" (HR. Bukhari dan Muslim). Sebagian ulama mengartikan kalimat
"panjang usia" dalam hadist di atas dengan makna "keberkahan hidup".
Tidak terasa satu bulan penuh kita telah menjalankan ibadah puasa Ramadhan, satu bulan kita telah
berhasil menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari. Di saat bulan
penuh berkah, rahmat dan ampunan itu telah pergi, hari ini kita dipertemukan dalam momen
kegembiraan, yaitu hari raya idul fitri. Kalau kita artikan secara tekstual, bermakna "hari
berbuka" atau "hari kembali kepada fitrah", fase kehidupan manusia yang dianggap suci, bersih dan
terbebas dari segala dosa.
Di hari kemenangan ini, mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya: kegembiraan apa yang
patut kita rayakan pada saat idul fitri tiba? Apakah hanya sekedar datang dan berlalunya "suatu
hari" tanpa ada arti sebagimana hari-hari yang lain? Atau ada sebuah keistimewaan yang patut
kita banggakan di hari ini?
Pada kesempatan kali ini, saya akan mengupas tentang tiga kebahagiaan bagi komunitas muslim
dalam menyambut datangnya idul fitri. Yaitu; Bahagia telah sempurna menemui bulan Ramadhan,
dengan menjalankan perintah puasa, bahagia telah berbagi kepada saudara se-iman, dengan
menunaikan kewajiban zakat fitrah, dan bahagia dengan kesempatan halal bi halal atau
bersilaturrahim, saling mema'afkan segala kesalahan menghapus luka yang pernah tergores dan
mempererat hubungan persaudaraan.
Bahagia telah sempurna menjumpai Ramadhan:
Harus kita akui bahwa berhasil menjumpai bulan Ramadhan, dengan kondisi fisik dan mental yang
sehat, sehingga mampu melaksanakan perintah puasa dengan khidmat, adalah anugerah besar dari
yang maha kuasa, sahabat Ali bin Abi Thalib Ra (w: 40 H / 661 M) berkata: "Sehat jasmani
adalah anugrah yang paling indah"
Kita bisa membayangkan, bagaimana orang-orang yang pergi ke alam baqa' (meninggal dunia) sesaat
menjelang datangnya bulan Ramadhan, mereka tidak bisa menjumpai bulan yang penuh berkah, rahmat
dan ampunan. Padahal, melalui ibadah di bulan Ramadhan, kita diberi bonus pahala berlipat dan
kesempatan untuk melebur dosa-dosa yang pernah dilakukan. Rasulullah Saw - dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh imam Muslim - menjelaskan bahwa Ramadhan adalah bulan penuh ampunan.
Atau tidak sedikit saudara-saudara kita yang pada saat tiba bulan Ramadhan dalam keadaan sakit,
fisik maupun mentalnya tidak sehat, sehingga tidak bisa menjalankan kewajiban ibadah puasa, atau
kalaupun tetap menjalankan, tidak dengan khidmat sebagaimana orang yang normal kesehatannya.
Tentu saja dengan uzur sakit, mereka itu tidak bisa merasakan bagaimana nikmatnaya saat berbuka,
saat bersahur, bagaimana nikmatnya kita mampu mengendalikan hawa nafsu dengan sedikit mengekang
hasrat jasmani dan biologis.
Dalam satu kesempatan, ulama besar di zaman tabi'in (setelah zaman para sahabat Nabi) imam Ibnu
Sirin, (w: 110 H / 728 M) berterus terang bahwa urusan hawa nafsu adalah urusan yang paling
pelik dalam hidup ini, ia berkata: “Aku tidak pernah mempunyai urusan yang lebih pelik ketimbang
urusan jiwa”. Betapa urusan jiwa yang menyangkut pengendalian hawa nafsu adalah kendala besar
yang kerap merintangi hidup manusia, Rasulullah Saw dalam hal ini mengingatkan: "Jalan ke sorga
dilapangkan dengan mengendalikan hawa nafsu, sedangkan jalan ke neraka dilapangkan dengan
menuruti hawa nafsu" (HR. Bukhori dan Muslim)
Dengan tibanya idul fitri ini, sangatlah wajar jika kita berbahagia menampakkan kegembiraan
bersama, bukan atas dasar telah berlalunya bulan suci Ramadhan, akan tetapi kebahagiaan ini
dilandaskan pada keberhasilan kita dalam mengekang hawa nafsu dalam kadar dan rentang waktu
tertentu.
Bahagia dengan peduli terhadap sesama:
Kebahagiaan kedua yang semestinya kita rasakan pada momen datangnya hari raya idul fitri adalah,
kita telah mengeluarkan zakat fitrah. Sebuah ibadah yang tidak lain sebagai bentuk penyucian diri
setiap muslim sekaligus sebagai penyempurna puasa Ramadhan.
Zakat fitrah merupakan salah satu ibadah yang berdimensi horisontal. kalau kita perhatikan secara
kasat mata, sangatlah sepele, tidak membutuhkan jumlah harta yang berlimpah, akan tetapi setiap
muslim yang pada saat tibanya idul fitri memiliki kebutuhan pokok untuk dirinya, keluarga dan orang
yang harus dinafkahinya, maka dia berkewajiban untuk mengelurakan zakat. Nominasi harta yang
dikeluarakan pun sangat sedikit, hanya 1 Sha' sekitar 2,5 kg makanan pokok setempat, atau bisa
diuangkan sesuai dengan standar harganya.
Berbeda dengan zakat harta, zakat hewan ternak, zakat hasil bumi, zakat profesi dan zakat niaga,
jenis-jenis zakat ini hanya bisa ditunaikan oleh kalangan berada saja. Maka dari itu, prosentasi
muslim yang berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah jauh lebih banyak dari pada zakat-zakat
tersebut, hal ini sesuai dengan maqasid (tujuan) disyari'atkannya zakat fitrah yaitu untuk
mengembalikan setiap manusia pada fitrahnya.
Kalau sejenak kita menengok maqasid (tujuan) dan hikmah diwajibkannya ibadah zakat secara umum,
ternyata ajaran Islam, disamping mengupayakan kesucian diri setiap insan, juga mengharapkan
kesucian dan keberkahan harta benda yang dimilikinya. Dalam al Qur'an di jelaskan, saat Allah
Swt memerintahkan Muhammad Saw untuk merealisasikan kewajiban zakat kepada para
sahabatnya: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan – dan
mensucikan - mereka" (Qs. at Taubah: 103).
Dalam kesempatan lain Allah Swt menjelaskan: " Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridha'an Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan " (Qs. Ar Ruum: 39)
Kalau demikian kenyataannya, maka kesempatan kita untuk menjalankan kewajiban zakat fitrah,
adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Kita telah diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk mensucikan
jiwa sekaligus mewujudkan rasa peduli terhadap kondisi di sekitar kita. Bagaimanapun kebahagiaan
dalam menyambut datangnya idul fitri, juga berhak dirasakan oleh kaum miskin yang sama sekali
tidak memiliki makanan pokok saat hari raya tiba.
Berbahagia dengan bersilaturrahim:
Tradisi “halal bi halal” yang ada di setiap hari raya idul fitri adalah kesempatan bagi kita untuk
bersilaturrahim. Tentunya silaturrahim dalam maknanya yang luas, yaitu saling memafkan atas
segala kesalahan yang pernah dilakukan, saling mempererat hubungan persaudaraan atas dasar
keimanan dan kebangsaan, bukan hanya sebatas persaudaraan atas dasar kekerabatan dan hubungan
nasab keturunan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al Qur’an: "Sesungguhnya orang-orang
mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu" (Qs. Al Hujurat: 10)
Sebagaimana kita semua sadari, bahwa interaksi keseharian dalam komunitas umat manusia akan
selalu di warnai dengan berbagai hal, sesuai dengan situasi dan kondisi. Adakalanya baik ada
kalanya buruk, kadang damai kadang konflik. Implikasi dari hubungan keseharian antar sesama
manusia ini tidak selamanya menyakitkan sehingga menimbulkan kebencian, begitu juga tidak
semuanya menyenangkan sehingga menimbulkan kecintaan, pada saat-saat tertentu emosi, egois dan
kesombongan bisa saja menguasai diri kita.
Implikasi buruk yang kita terima dari sikap orang lain, begitu juga kelakuan tidak bersahabat yang
kita tunjukkan kepada orang lain, baik dengan penuh kesadaran maupun dalam ketidaksadaran,
harus kita netralisir dengan bersilaturrahim. Kita percaya, bahwa hari raya idul fitri sebagai
momen yang tepat untuk menetralisir atau paling tidak meminimalisir ketegangan hubungan antar
sesama umat manusia. Rasulullah Saw bersabda : "Wahai manusia, tebarkanlah kedamaian dan
sambunglah persaudaraan" (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Melalui silaturrahim, kita juga akan mendapatkan hikmah dan faedah yang luar biasa. Di
antaranya; akan mempermudah segala urusan, bisa menjalin partner usaha, dan memperbanyak kolega
yang tentunya akan saling menguntungkan dalam bekerjasama. Dalam satu kesempatan Rasulullah
Saw bersabda: "Barangsiapa yang ingin dijembarkan rezekinya dan dipanjangkan usianya maka
sambunglah persaudaraan" (HR. Bukhari dan Muslim). Sebagian ulama mengartikan kalimat
"panjang usia" dalam hadist di atas dengan makna "keberkahan hidup".
0 Response to "memaknai hari raya idul fitri"
Post a Comment