Latest Updates
Showing posts with label biografi. Show all posts
Showing posts with label biografi. Show all posts

Pencetus Tarian Sufi



Tarian sufi (beberapa sumber mengatakan 'sema')

diciptakan oleh Jalaluddin Rumi. Seorang Sufi yang
dilahirkan di kota Balkh-Afghanistan, 30 September 1273.
Tarian berputar melawan arah jarum jam ini merupakan
paduan warna dari tradisi, sejarah, kepercayaan, dan
budaya Turki.
Kenapa Berputar ?
Menurut Profesor Zaki Saritoprak, pakar dan pemerhati
pemikiran Jalaluddin Rumi dari Monash University,
Australia, berpandangan bahwa kondisi dasar semua yang
ada di dunia ini adalah berputar. Tidak ada satu benda dan
makhluk yang tidak berputar. Keadaan ini dikarenakan
perputaran elektron, proton, dan neutron dalam atom yang
merupakan partikel terkecil penyusun semua benda atau
makhluk.
Tarian sufi yang didominasi gerakan berputar-putar
mengajak akal untuk menyatu dengan perputaran
keseluruhan ciptaan dari tidak ada, ada, kemudian kembali
ke tiada.
Berapa Lama Berputar
Dalam berputar, penari tidak memiliki patokan waktu
tentang “berapa lama ia harus berputar” atau “seberapa
cepat putarannya”, tetapi penari dituntut terus berputar
hingga ia kehilangan emosi dan menyerahkan diri
sepenuhnya pada Yang Maha Kuasa.
Apa Makna Tarian Sufi ?
Tangan kanan yang menghadap ke atas memiliki makna
bahwa sang penari mendapatkan hidayah dari Allah,
kemudian tangan kiri yang menghadap ke bawah memiliki
makna menyebarkan hidayah yang telah diterima. Ini
menyimbolkan adanya hubungan yang baik antara makhluk
dengan Sang Khalik dan hubungan antara makhluk dengan
makhluk lainnya.
Garakan kaki para penari sufi juga memiliki beberapa
makna tentang kehidupan. Kaki kanan yang digunakan
untuk melakukan putaran memiliki makna bahwa
seseorang akan melangkah ke arah yang lebih baik. kaki
kanan pun ketika melakukan pergerakan menyimbolkan
bahwa ia menginjak-injak segala sifat keduniawian dan
memilih untuk melangkah kea rah yang benar yaitu,
seusuai putaran yang sebenarnya. Kaki kiri sebagai
tumpuan pun memiliki makna bahwa bagaimanapun
seseorang bergerak asalkan memiliki tumpuan yang elas
maka orang tersebut tidak akan terperosok ke dalam
jurang kemaksiatan.
Pakaian para penari sufi memiliki beberapa atribut yang
sangat khas. Di bagian kepala penari memakai topi
maulawi. Selanjutnya, penari pun memakai jubah hitam
dan tennur putih.
Topi maulawi yang dipakai penari sufi adalah topi
merupakan topi memanjang. Topi ini melambangkan batu
nisan. Dengan perlambangan seperti itu maka tarian ini
mengingatkan pada kematian, sehingga akan seseorang
akan selalu mempersiakan diri pada kematian.
Jubah hitam melambangkan alam kubur yang ketika
dilepaskan melambangkan kelahiran kembali menuju
kebenaran. Sedangkan tennur putih melambangkan kain
kafan yang membungkus ego.
Penari sufi memakai kuff. Kuff adalah kulit yang
dipergunakan Rasullulah pada musim dingin sebagai alas
kaki. Digunakannya kuff untuk menghindari menjejak bumi
karena energi bumi negatif, penuh keduniawian.

Madzhab Syafi’iyyah.
Menurut para ulama Syafi’iyyah hukum Tarian adalah
Mubah menurut pendapat yang mu’tamad, kecuali jika ada
tarian goyangan patah-patahnya seperti yang dilakukan
para bencong (laki-laki yang berpura-pura jadi perempuan),
maka hukumnya menjadi haram.



Syaikh Islam Zakariyya al-Anshari mengatakan :
(ﻭﺍﻟﺮﻗﺺ ) ﺑﻼ ﺗﻜﺴﺮ ( ﻣﺒﺎﺡ ) ﻟﺨﺒﺮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﻴﻦ } ﺃﻧﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻗﻒ
ﻟﻌﺎﺋﺸﺔ ﻳﺴﺘﺮﻫﺎ ﺣﺘﻰ ﺗﻨﻈﺮ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺤﺒﺸﺔ ﻭﻫﻢ ﻳﻠﻌﺒﻮﻥ ﻭﻳﺰﻓﻨﻮﻥ ﻭﺍﻟﺰﻓﻦ ﺍﻟﺮﻗﺺ { ﻷﻧﻪ
ﻣﺠﺮﺩ ﺣﺮﻛﺎﺕ ﻋﻠﻰ ﺍﺳﺘﻘﺎﻣﺔ ﺃﻭ ﺍﻋﻮﺟﺎﺝ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺻﺮﺡ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﻤﺼﻨﻒ ﺍﻟﻔﻮﺭﺍﻧﻲ
ﻭﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ ﻓﻲ ﻭﺳﻴﻄﻪ ﻭﻫﻲ ﻣﻘﺘﻀﻰ ﻛﻼﻡ ﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﻔﺎﻝ ﺑﺎﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﻭﻋﺒﺎﺭﺓ ﺍﻷﺻﻞ
ﻣﺤﺘﻤﻠﺔ ﻟﻬﺎ ﺣﻴﺚ ﻗﺎﻝ ﻭﺍﻟﺮﻗﺺ ﻟﻴﺲ ﺑﺤﺮﺍﻡ ( ﻭﺑﺎﻟﺘﻜﺴﺮ ﺣﺮﺍﻡ ﻭﻟﻮ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ) ﻷﻧﻪ
ﻳﺸﺒﻪ ﺃﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻤﺨﻨﺜﻴﻦ
“ {Dan ar-Raqsh/tarian} tanpa goyangan alay hukumnya
mubah karena ada dalil dari dua sahih Bukhari dan Muslim,
bahwasanya Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk
Aisyah dengan menutupinya sehingga Aisyah bias melihat
kepada Habaysah yang sedang bermain, berzafin dan
menari “, karena hal itu hanyalah semata-mata gerakan
kelurusan dan kebengkokan. Dan hukumnya mubah
sebagaimana ditegaskan si mushannif al-Faurani dan al-
Ghazali dalam kitab al-Wasithnya, itu juga ketentuan kalam
lainnya. Al-Ghaffal mengatakannya makruh. Redaksi yang
pertama kemungkinan asalnya makruh, dengan sekiranya ia
berkata, “ Dan ar-Raqsh tidaklah haram (dan dengan
goyangan alay maka hukumnya haram meskipun dari
wanita) karena itu menyerupai prilaku para bencong “[2]
Dalam Hasyiah al-Qulyubi dan Umairah disebutkan :
( ﻻ ﺍﻟﺮﻗﺺ ) ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﺪﻡ ﻟﻮ ﺭﻓﻊ ﺭﺟﻼ ﻭﻗﻌﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﻓﺮﺣﺎ ﺑﻨﻌﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ
ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﺫﺍ ﻫﺎﺝ ﺑﻪ ﺷﻲﺀ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﻭﺃﺯﻋﺠﻪ ﻋﻦ ﻣﻜﺎﻧﻪ ، ﻓﻮﺛﺐ ﻣﺮﺍﺭﺍ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻣﺮﺍﻋﺎﺓ
ﺗﺰﻳﻦ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ
“ {Dan bukan ar-Raqsh} Ibnu Abi ad-Dam mengatakan, “
Seandainya seseorang mengangkat satu kakinya dan duduk
di atas satu kaki lainnya karena rasa gembira dengan
nikmat Allah Ta’ala, jika sesuatu mengobarkan hatinya,
maka dia mengeluarkan kaki satunya dan
menggoncangkannya dari tempatnya, lalu melompat
beberapa kali tanpa memperhatikan perhatian manusia,
maka itu tidaklah mengapa “. [3]
Imam an-Nawawi mengatakan :
ﻻ ﺍﻟﺮﻗﺺ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻴﻪ ﺗﻜﺴﺮ ﻛﻔﻌﻞ ﺍﻟﻤﺨﻨﺚ
“ (Dan tidak haram) ar-Raqhs (tarian) kecuali jika ada
goyangan patahnya seperti perilaku bencong “.[4]



Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :
ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻓﻼ ﻳﺤﺮﻡ ﻟﻔﻌﻞ ﺍﻟﺤﺒﺸﺔ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺣﻀﺮﺗﻪ ﻣﻊ ﺗﻘﺮﻳﺮﻩ ﻋﻠﻴﻪ
“ Adapun ar-Raqsh maka tidaklah haram karena perbuatan
Habasyah di hadapan Nabi disertai pengakuan Nabi
kepadanya “.[5]
Dalam fatwa beliau yang lain ketika ditanya tentang
hokum tarian, beliau menjawab :
ﻧﻌﻢ ﻟﻪ ﺃﺻﻞ ﻓﻘﺪ ﺭُﻭﻯ ﻓﻰ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﻥّ ﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﺃﺑﻰ ﻃﺎﻟﺐ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺭﻗﺺ ﺑﻴﻦ
ﻳﺪﻯ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠّﻢ ﻟﻤّﺎ ﻗﺎﻝ ﻟﻪ ” ﺃﺷﺒﻬﺖ ﺧَﻠﻘﻰ ﻭﺧُﻠﻘﻰ ” ﻭ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ
ﻟﺬّﺓ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﻭ ﻟﻢ ﻳﻨﻜﺮ ﻋﻠﻴﻪ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠّﻢ
“ Ya, tarian memiliki dasar pijakannya. Sungguh telah
diriwayatkan dala satu hadits bahwasanya Jakfar bin Abi
Thalib radhiallahu ‘anhu menari di hadapan Nabi shallahu
‘alaihi wa sallam, ketika beliau bersabda, “ Engkau
menyerupaiku dari rupa dan akhlakmu “. Hal itu karena
merasakan lezatnya pembicaraan Nabi padanya dan Nabi
pun tidak mengingkarinya…”. [6]
Madzhab Hanbaliyyah.
Menurut ulama Hanabilah, ar-Raqsh hukumnya makruh jika
bertujuan permainan, dan mubah jika ada hajat syar’iyyah.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang orang-
orang shufi dan tarian mereka :
ﺇﻥّ ﻫﺆﻻﺀ ﺍﻟﺼﻮﻓﻴﺔ ﺟﻠﺴﻮﺍ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻮﻛﻞ ﺑﻐﻴﺮ ﻋﻠﻢ ” ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ”
ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻗﻌﺪﻫﻢ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ” ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻪ ” ﺇﻥّ ﻫﻤّﺘﻬﻢ ﻛﺒﻴﺮﺓ ” ﻗﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ ” ﻻ ﺃﻋﻠﻢ ﻗﻮﻣًﺎ
ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﺍﻷﺭﺽ ﺃﺣﺴﻦ ﻣﻦ ﻗﻮﻡ ﻫﻤّﺘُﻬﻢ ﻛﺒﻴﺮﺓ ” ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻪ ” ﺇﻧّﻬﻢ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﻭ ﻳﺮﻗﺼﻮﻥ ”
ﻓﻘﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ “ ﺩﻋﻬﻢ ﻳﻔﺮﺣﻮﺍ ﻣﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺎﻋﺔ
“ Sesungguhnya mereka para shufi duduk di dalam masjid-
masjid dengan tawakkal tanpa ilmu ?, maka imam Ahmad
menjawab, “ Mereka pakai ilmu, duduklah bersama mereka
di masjid-masjid “. Ada juga yang bertanya, “ Semangat
mereka besar sekali “, imam Ahmad menjawab, “ Aku tidak
mengetahui suatu kaum di muka bumi ini yang lebih baik
dari kaum yang semangatnya besar “. Lalu ditanya lagi, “
Sesungguhnya mereka (para shufi) itu berdiri dan menari-
nari “, maka imam Ahmad menjawab, “ Biarkan mereka
bergembira sesaat bersama Allah “. [7]



Al-Mardawi mengatakan :
ﻭﺫﻛﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺳﻴﻠﺔ : ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻭﺍﻟﻠﻌﺐ ﻛﻠﻪ ، ﻭﻣﺠﺎﻟﺲ ﺍﻟﺸﻌﺮ
“ Disebutkan dalam al-Wasilah, : Dimakruhkan ar-Raqsh
dan semua yang bersifat permainan dan majlis-majlis syi’ir
“. [8]
Al-Bahuti mengatakan :
( ﻭﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻭﻣﺠﺎﻟﺲ ﺍﻟﺸﻌﺮ ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﺴﻤﻰ ﻟﻌﺒﺎ ) ﺫﻛﺮﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺳﻴﻠﺔ
ﻟﺤﺪﻳﺚ ﻋﻘﺒﺔ ﺍﻵﺗﻲ ( ﺇﻻ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﻴﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﺘﺎﻝ ﺍﻟﻌﺪﻭ ) ﻟﻤﺎ ﺗﻘﺪﻡ
“ Dan dimakruhkan ar-Raqsh dan majlis-majlis syi’ir dan
semua yang dinamakan permainan. Telah disebutkan
dalam al-Wasilah karena ada hadits Uqbah yang akan
datang. Kecuali ar-Raqsh atau permainan yang membantu
atas memerangi musuh, sebagaimana telah berlalu “. [9]
Madzhab Malikiyyah.
Imam ash-Shawi mengatakan :
ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻓﺎﺧﺘﻠﻒ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ، ﻓﺬﻫﺒﺖ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ، ﻭﻃﺎﺋﻔﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ،
ﻭﻃﺎﺋﻔﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺘﻔﺮﻳﻖ ﺑﻴﻦ ﺃﺭﺑﺎﺏ ﺍﻷﺣﻮﺍﻝ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻓﻴﺠﻮﺯ ﻷﺭﺑﺎﺏ ﺍﻷﺣﻮﺍﻝ ، ﻭﻳﻜﺮﻩ ﻟﻐﻴﺮﻫﻢ
، ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﺮﺗﻀﻰ ، ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﻮﻏﻴﻦ ﻟﺴﻤﺎﻉ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ، ﻭﻫﻮ
ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﺴﺎﺩﺓ ﺍﻟﺼﻮﻓﻴﺔ ، ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻋﺰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺴﻼﻡ : ﻣﻦ ﺍﺭﺗﻜﺐ ﺃﻣﺮﺍ ﻓﻴﻪ
ﺧﻼﻑ ﻻ ﻳﻌﺰﺭ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : } ﺍﺩﺭﺀﻭﺍ ﺍﻟﺤﺪﻭﺩ ﺑﺎﻟﺸﺒﻬﺎﺕ { ، ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : } ﺑﻌﺜﺖ ﺑﺎﻟﺤﻨﻴﻔﻴﺔ ﺍﻟﺴﻤﺤﺔ { ، ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : } ﻭﻣﺎ ﺟﻌﻞ ﻋﻠﻴﻜﻢ
ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻣﻦ ﺣﺮﺝ { ﺃﻱ ﺿﻴﻖ
“ Adapun ar-Raqsh, maka para ulama fiqih berbeda
pendapat; sekelompok ulama menghukuminya makruh,
sekelompok lainnya menghukumi mubah dan sekelompok
ulama lainnya membedakannya di Antara orang-orang yang
memiliki ahwal dan selainnya, maka hukumnya boleh bagi
orang-orang yang memiliki ahwal dan makruh bagi
selainnya. Inilah ucapan yang diridhai dan atas pendapat
ini mayoritas ulama fiqih yang membolehkan nyanyian, dan
inilah madzhab para sadah shufiyyah. Imam Izzuddin bin
Abdissalam berkata, “ Barangsiapa yang melakukan suatu
perkara yang masih ada perbedaan pendapat di Antara
ulama, maka tidak boleh dita’zir, karena Nabi bersabda, “
Hindarilah menghukum dengan perkara yang masih syubhat
“, Allah juga berfirman, “ Allah tidak menjadikan kesempitan
dalam agama “. [10]
Madzhab Hanafiyyah.
Ibrahim al-Halbi al-Hanafi mengatakan :
ﻭﻣﺎ ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻟﺒﺰﺍﺯﻱ ﻣﻦ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻦ ﺗﺤﺮﻳﻢ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻣﺤﻤﻮﻝ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﺍﻗﺘﺮﻥ ﺑﺸﻲﺀ ﻣﻦ
ﺍﻟﻠﻬﻮ ﻛﺎﻟﺪﻑِّ ﻭﺍﻟﺸﺒَّﺎﺑﺔ ، ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ، ﺃﻭ ﺑﺎﻟﺘﻜﺴﺮ ﻭﺍﻟﺘﻤﺎﻳﻞ ، ﻭﺃﻣَّـﺎ ﻣﺠﺮﺩ ﺍﻟﺮﻗﺺ
ﻓﻤﺨﺘﻠﻒ ﻓﻲ ﺣﺮﻣﺘﻪ
“ Dan apa yang telah disebutkan oleh al-Bazzaazi tentang
adanya ijma’ keharaman ar-Raqsh, maka itu diarahkan jika
disertai sesuatu yang bersifat permaianan seperti daff dan
syabbabah atau dengan adanya goyangan (alay seperti
bencong). Adapun hanya ar-Raqsh (tarian) semata, maka
hukumnya ada perbedaan di Antara ulama “.[11]



Ibnu Abidin mengatakan :
( ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻛﺮﻩ ﻛﻞ ﻟﻬﻮ ) ﺃﻱ ﻛﻞ ﻟﻌﺐ ﻭﻋﺒﺚ ﻓﺎﻟﺜﻼﺛﺔ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﻭﺍﺣﺪ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ
ﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻼﺕ ﻭﺍﻹﻃﻼﻕ ﺷﺎﻣﻞ ﻟﻨﻔﺲ ﺍﻟﻔﻌﻞ ، ﻭﺍﺳﺘﻤﺎﻋﻪ ﻛﺎﻟﺮﻗﺺ ﻭﺍﻟﺴﺨﺮﻳﺔ ﻭﺍﻟﺘﺼﻔﻴﻖ
ﻭﺿﺮﺏ ﺍﻷﻭﺗﺎﺭ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﻨﺒﻮﺭ ﻭﺍﻟﺒﺮﺑﻂ ﻭﺍﻟﺮﺑﺎﺏ ﻭﺍﻟﻘﺎﻧﻮﻥ ﻭﺍﻟﻤﺰﻣﺎﺭ ﻭﺍﻟﺼﻨﺞ ﻭﺍﻟﺒﻮﻕ ، ﻓﺈﻧﻬﺎ
ﻛﻠﻬﺎ ﻣﻜﺮﻭﻫﺔ ﻷﻧﻬﺎ ﺯﻱ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ
“ Ucapan : Dan dimakruhkan semua permaianan. Yakni
semua permainan, tiga perkara itu bermakna satu
sebagaimana dalam syarh at-Takwilat, dan
memuthlakkannya mencangkup perbuatan itu sendiri.
Mendengarkannya sama seperti ar-Raqsh (menari), ejekan,
bertepuk tangan dan memetik senar mandolin, rabab,
terompet dam simbal, maka semua itu hukumnya makruh
karena itu hiasan kaum kafir “[12]
Kesimpulan dari pendapat ulama fiqih :
1. Hukum ar-Raqsh (Tarian), para ulama berbeda
pendapat; menurut madzhab Syafi’iyyah hukumnmya
diperinci; jika tidak ada goyangan sebagaimana
perilaku bencong (laki-laki yang berpura-pura jadi
perempuan), maka hukumnya boleh, jika ada maka
hukumnya haram. Menurut madzhab Hanbaliyyah
hukumnya makruh jika ada unsur permainanannya.
Menurut madzhab Malikiyyah hukumnya diperinci.
Menurut madzhab Hanafiyyah hukumnya makruh. Dan
ada sebagian ulama yang menghukumi haram.
2. Ar-Raqsh masih dalam persoalan ijtihadiyyah
furu’iyyah di Antara ulama, maka tidak sepatutnya
terjadi perseteruan keras dalam hal ini.

PERJUANGAN ABUYA SAYYID MUHAMMAD AL-MALIKI DAN PUTRA BELIAU MENENTANG PENINDASAN KERAJAAN TIRAN SAUDI WAHABI TERHADAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH


"Surga tidak gratis" adalah kalimat yang diucapkan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, sosok kharismatik panutan Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) pada abad ini. Oleh murid-muridnya, beliau akrab dipanggil dengan sebutan “Abuya”, sebuah panggilan akrab seorang anak ke orang tuanya. Kalimat ini sangat kesohor di kalangan murid beliau karena ia diucapkan dalam sebuah momen yang sangat fenomenal yang tidak mungkin dilupakan oleh murid-murid beliau.
Konon, kalimat tersebut diucapkan oleh Abuya Sayyid Muhammad ketika beliau sudah diputuskan untuk dihukum mati (penggal) oleh pemerintah Arab Saudi, negeri dimana beliau tinggal. Menurut penuturan dari santri-santri senior beliau, ketika itu, sekitar tahun 70-an beliau mendapat panggilan dari Raja Saudi, ketika itu masih Raja Fahd bin Abdul Aziz. Kertas surat panggilannya berwarna merah. Semua masyarakat Saudi tahu bahwa jika ada penduduk Saudi dipanggil pemerintah dengan surat panggilan berwarna merah, pasti yang bersangkutan akan dihukum mati atau paling tidak kalau memang tidak dihukum mati maka ia dipenjara.
Sebelum memenuhi panggilan raja, Abuya Sayyid Muhammad memerintahkan kepada murid-muridnya untuk membacakan aurad (wirid) dan adzkar (zikir) untuk keselamatan beliau. Murid-murid beliau yang biasanya setiap hari tiada henti belajar, saat itu kegiatan belajar mengajar di Masyru’-nya (Masyru': istilah untuk pesantren Abuya) dihentikan. Hanya diisi dengan aurad dan adzkar saja. Dan saat itu beliau senantiasa berwasiat kepada santri-santrinya agar mereka tetap teguh dan tidak goyah untuk meneruskan perjuangan beliau, jika beliau dalam waktu dekat sudah tidak lagi bersama mereka.
Sehari sebelum diwajibkannya Abuya Sayyid Muhammad menghadap raja, beliau sudah berada di Riyadl yang merupakan ibu kota Saudi Arabia. Tepat pada hari dimana Abuya Sayyid Muhammad diwajibkan datang ke istana raja, beliau dijemput oleh Pangeran Salman (yang saat ini sudah menjadi Raja Saudi). Sebagai catatan, bahwa saat itu jika ada penduduk Saudi yang memiliki masalah dengan pemerintah Saudi dan diputuskan untuk dihukum mati, pasti Salman yang menanganinya. Pertama kali Salman bertemu Sayyid Muhammad, dia langsung berkata kepada beliau, “Wahai Muhammad, jika ada penduduk Saudi dipanggil pemerintah menggunakan kertas merah dan saya yang menanganinya, tentu kamu sudah tahu mau diapakan orang tersebut?” Salman bermaksud menggertak dan mengerdilkan hati Abuya Sayyid Muhammad. Akan tetapi, digertak seperti itu, Abuya Sayyid Muhammad sama sekali tidak gentar. Mendengar Ucapan Salman itu, justru Abuya Sayyid Muhammad malah seperti “macan dibangunkan dari tidurnya”. Saat itulah beliau menjawab, “AL JANNAH MA HI BALASY, YA SALMAN” (Surga tidak gratis, wahai Salman). Allah Akbar. Sebuah kalimat yang benar-benar mencerminkan keberanian pengucapnya.
Singkat cerita, entah apa yang terjadi pada Raja Fahd, akhirnya hari itu Sayyid Muhammad tidak jadi bertemu dengan Raja Fahd, karena Fahd akan bepergian ke luar negeri. Dan Abuya Sayyid Muhammad sudah diperbolehkan pulang ke Makkah. Semua heran atas sikap Fahd yang langsung berubah 360 derajat. Apakah benar dia tidak jadi menghukum mati Sayyid Muhammad hanya karena lantaran dia sibuk akan bepergian atau entah karena sebab yang lain, wallahu a’lam. Sampai sekarang tidak ada yang mengetahui penyebabnya.
Tetapi, mendengar bahwa raja urung menemui Abuya Sayyid Muhammad dan Sayyid Muhammad sudah diperbolehkan pulang ke Makkah, lagi-lagi Abuya Sayyid Muhammad semakin menunjukkan kejantanannya. “Saya datang ke Riyadl karena dipanggil raja. Dan saya tidak akan kembali ke Makkah kalau masih belum bertemu raja. Atau paling tidak aku harus bertemu raja walau hanya sebentar. Kalau tidak, aku akan menunggu raja sampai dia kembali ke Saudi. Pokoknya, aku harus bertemu Raja. Sebab aku ke Riyadl karena dipanggil Raja.” Demikian Abuya Sayyid Muhammad menunjukkan kejantanannya kepada Salman. Dihaturkanlah perkataan Abuya Sayyid Muhammad kepada raja. Dan akhirnya Raja Fahd memberikan waktu sebentar di Bandara untuk bertemu dengan Abuya Sayyid Muhammad, sesaat sebelum naik pesawat. Pertemuan itu diabadikan dalam sebuah foto fenomenal yang sampai sekarang sering kita lihat. Dimana difoto itu Sayyid Muhammad dan Raja Fahd sama-sama duduk di kursi. Kalau kita cermati foto tersebut, ekspresi beliau berdua sudah sangat mewakili suasana saat itu. Tegang. Ya, kesan tegang itulah yang akan kita tangkap dari suasana saat itu.
Konon, saat beliau akan kembali ke Makkah, bukannya beliau malah terkena hukuman, tapi justru beliau diberi hadiah oleh Raja Fahd. Mungkin hal itu dilakukan oleh Fahd, karena katakjubannya akan keberanian Abuya Sayyid Muhammad.
Saat ini perjuangan Sayyid Muhammad diteruskan oleh putra beliau, Sayyid Ahmad. Beliau oleh para murid dan pencintanya juga akrab disapa dengan “Abuya”. Keteguhan serta kejantanan Abuya Sayyid Ahmad juga tak ubahnya Abuya Sayyid Muhammad.
Tahun 2006 Abuya Sayyid Ahmad mengadakan Maulid besar-besaran. Dimana jamaah yang hadir saat itu bukan hanya dari Makkah saja. Penduduk Madinah dan Thaif juga banyak yang hadir. Dari luar negeripun juga banyak yang hadir. Bahkan ruang “qa’ah” (aula) di Masyru’ beliau saat itu sampai tidak mampu menampung hadirin.
Seminggu setelah acara maulid besar-besaran itu, Abuya Sayyid Ahmad juga dipanggil pemerintah. Seperti Abahnya ketika dipanggil raja, kita yang biasanya setiap hari disibukkan dengan pelajaran, saat itu Abuya Sayyid Ahmad memerintahkan kita untuk menghentikan pelajaran. Siang dan malam hanya kita isi dengan “Shalat Hasbanah”, aurad dan ahzab.
Tepat dihari pemanggilan Abuya Sayyid Ahmad, dari pagi kita sudah kumpul di “qa’ah”, melaksanakan Shalat Hasbanah, membaca aurad dan ahzab. Ba’da Dzuhur Abuya Sayyid Ahmad datang dan langsung memerintahkan kita untuk berkumpul di kelas. Tidak tertangkap dari ekspresi wajah Abuya Sayyid Ahmad dan semua dari kita kecuali perasaan tegang. Mulai Abuya Sayyid Ahmad menceritakan kejadian saat beliau diinterograsi. Kata Abuya, “Anak-anakku… tadi aku dipaksa untuk menanda tangani surat pernyataan untuk tidak mengadakan Maulidan lagi. Tadi aku jawab mereka dengan jawaban demikian, ‘ALA ROQOBATII MA UWAQQI’ (taruhan leherku, aku tidak akan menanda tangani)!”. Allahu Akbar.
Beliau kemudian melanjutkan ceritanya, sedang kita semua sangat tegang, “Wahai anak-anakku, kata yang mengiterograsi aku tadi, aku masih akan dipanggil lagi. Jika aku tidak lagi bersama kalian, maka tolong teruskan perjuangan ini. Jangan kalian putus perjuangan ini hanya karena tidak ada aku,” begitu dawuh Abuya, yang membuat mata kita saat itu berkaca-berkaca. Bahkan banyak dari kawan-kawan saat itu sampai sesenggukan. Tidak tega dengan apa yang dialami Abuya Ahmad, sekaligus dipenuhi perasaan mencekam. Dan sampai sekarang Abuya Ahmad tetap tidak berkenan untuk menanda tangani pernyataan untuk tidak lagi mengadakan maulidan.
Semenjak itu, orang-orang sepuh Makkah sering mentahbis beliau dengan sebuah pameo, “hadza as syibl min dzak al asad” (anak singa ini dari singa yang itu). Tapi bagi kami beliau bukan hanya seperti itu. Bagi kami, beliau adalah “hadza al asad min dzak al asad” (singa ini dari singa yang itu).
Sungguh keberanian yang menggetarkan semesta. Sungguh kejantanan yang terwarisi dari kakek beliau berdua, Habibuna Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh keberanian yang terwarisi oleh lisan yang mengucap “Allaah. Allaah. Allaah” dihadapan Du’tsur ketika si Du’tsur menghunuskan pedang ke lehernya seraya berkata, “Sekarang, siapa yang bisa menyelematkan engkau dari aku, hai Muhammad?”, dan terjatuhlah pedang Du’tsur tersetrum oleh kalimat yang terhentak dari lisan pemimpin para pemberani itu, Habibuna Muhammad SAW.
Meskipun kita tidak bisa menteladani syaja’ah (keberanian) istimewa ini seratus persen, semoga kita masih terciprati sedikit sifat syaja’ah beliau
Aamiin Allahumma Aamiin.

KH. RIDHWAN ABDULLAH: PENCIPTA LAMBANG NAHDHATUL ULAMA (NU)


Di antara ulama pondok pesantren, ada seorang ulama yang memiliki keahlian melukis. Beliau adalah KH. Ridhwan Abdullah (selanjutnya dibaca Kyai Ridhwan Abdullah). Banyak jasa beliau di bumi Indonesia terutama di kalangan Jam’iyah Nahdhatul Ulama. Dalam kancah ulama NU, beliau dikenal sebagai pencipta lambang NU.
Secara kebetulan, sehari sebelum Muktamar digelar, Kyai Ridhwan Abdullah mendapatkan petunjuk lewat mimpi seusai melaksanakan shalat Istikharah. Dalam mimpi itu muncul gambar bola dunia yang dilingkupi tali dan sembilan bintang. Keesokan harinya petunjuk itupun digambar oleh Kyai Ridhwan Abdullah di atas selembar kain dan ditambahi tulisan arab Nahdhatul Ulama sebagai hasil kreasinya. Setelah jadi, gambar tersebut disodorkan kepada para Kyai dan serentak mereka menyetujui. Maka jadilah lambang NU seperti yang kita kenal dan kita lihat sekarang ini.
MASA KANAK-KANAK.
Sang Pencipta Lambang Nahdhatul Ulama yang elegan itu adalah anak sulung dari enam bersaudara dari pasangan Kyai Abdullah dan Nyai Marfu’ah, lahir di kampung Carikan Gang I, Praban, Kelurahan Alun-alun Contong, Kecamatan Bubutan, Surabaya, pada tahun 1884.
Pendidikan dasarnya diperoleh di sekolah Belanda. Agaknya di situlah, dia mendapatkan pengetahuan teknik dasar menggambar dan melukis. Dia tergolong murid yang pintar, sehingga ada orang Belanda yang ingin mengadopsinya. Belum selesai sekolah di situ, orangtuanya kemudian mengirimnya ke Pesantren Buntet di Cirebon. Ayah Kyai Ridhwan, Abdullah, memang berasal dari Cirebon, Ridwan adalah anak bungsu.
Setelah lulus dari sekolah setingkat Sekolah Dasar, beliau mondok di sejumlah pesantren, di antara salah satunya adalah di pesantren Syeikh Kholil Bangkalan. Beliau ikut ndalem Syeikh Kholil, membantu urusan rumah tangga Syeikh Kholil, seperti bersih-bersih rumah, mencuci pakaian dan mengasuh putera Syeikh Kholil dan lain-lain. Setelah lama nyantri di pesantren Syeikh Kholil dan membantu urusan rumah tangganya, suatu ketika Syeikh Kholil berteriak:
“Maling, maling….! Sambil menuding ke arah Kyai Ridhwan Abdullah.
Serentak saja ia lari pontang panting demi menghindari amukan para santri yang membawa alat pukul sekenanya. Untung Kyai Ridhwan Abdullah berhasil lolos, sehingga tidak babak belur diamuk para santri.
Sampai di rumah diceritakanlah apa yang terjadi kepada orang tuanya yang terkejut melihat penampilan anaknya yang dekil dan lusuh. Mendengar itu, ayahnya pergi ke Bangkalan guna melakukan klarifikasi. Alangkah kagetnya Kyai Abdullah (ayah Kyai Ridhwan), sebelum satu patah kata pun diucapkan, Syeikh Kholil Bangkalan sudah berkata terlebih dahulu:
“Anakmu itu nakalan, wong sudah pinter, sudah banyak menguasai ilmuku, kok masih betah di sini, kalau tidak pakai cara itu, dia tidak akan mau pulang” Jelas Waliyullah itu. Subhanallah ...
Setelah itu Kyai Ridhwan Abdullah meneruskan belajarnya di Tanah Suci. Bahkan sempat dua kali, pertama dari tahun 1901 sampai tahun 1904, dan yang kedua dari tahun 1911 sampai tahun 1912. Maka mulai dari tahun 1912 inilah, beliau pulang ke Tanah Air dan menetap di Surabaya.
TENTANG BELIAU.
Kyai Ridhwan Abdullah dikenal sebagai Kyai yang dermawan. Setiap anak yang berangkat mondok dan sowan ke rumah beliau, selain diberi nasihat juga diberi uang, padahal beliau sendiri tidak tergolong orang kaya.
Di kalangan ulama pondok pesantren, Kyai Ridhwan Abdullah dikenal sebagai ulama yang memiliki ilmu pengetahuan agama dan pengalaman yang luas. Pergaulan beliau sangat luas dan tidak hanya terbatas di kalangan pondok pesantren.
Di samping itu, beliau dikenal sebagai ulama yang memiliki keahlian khusus di bidang seni lukis dan seni kaligrafi. Salah satu karya beliau adalah bangunan Masjid Kemayoran Surabaya. Masjid dengan pola arsitektur yang khas ini adalah hasil rancangan Kyai Ridhwan Abdullah.
Sebagai Kyai, Ridhwan Abdullah lebih banyak bergerak di dalam kota. Dalam beberapa hal, dia tidak sependapat dengan Kyai yang tinggal di pedesaan. Misalnya, sementara Kyai di pedesaan mengharamkan kepiting, ia justru menghalalkannya.
Ia dapat dikategorikan sebagai Kyai inteletual. Pergaulannya dengan tokoh nasionalis seperti Bung Karno, Dr. Sutomo, dan H.O.S Tjokroaminoto cukup erat. Apalagi, tempat tinggal mereka tidak berjauhan dengan rumahnya, di Bubutan Gang IV/20.
Kyai Ridhwan Abdullah dikenal sebagai Kyai yang low profile, baik dalam bermasyarakat maupun dalam berorganisasi, bersahaja dan sederhana. Meskipun di rumah mertuanya tersedia beberapa kereta kuda bahkan ada juga sepeda motor, untuk keluar rumah, Kyai Ridhwan Abdullah lebih memilih berjalan kaki dengan kitab salaf di tangan kanan dan payung hitam di tangan kirinya. Biasanya, di belakangnya ikut satu dua anak kecil yang dengan setia mengikutinya, baik sekedar untuk bermain hingga menghadiri pengajian yang dipimpinnya. Nampaknya, gemerlap harta tidak membuat Kyai Ridhwan Abdullah terlena (bahkan di kemudian hari, beliau rela menjual beberapa tokonya demi NU). Hari-hari beliau disibukkan dengan hal-hal ukhrawi. Hampir tiap malam beliau mengisi pengajian dari mushalla atau masjid satu ke lainnya, masuk keluar kampung.
Semasa hidupnya Kyai Ridhwan Abdullah sempat menikah dua kali. Dari pernikahan pertama lahir KH. Mahfudz, KH. Dahlan (keduanya anggota TNI) dan Afifah. Setelah sang istri wafat, beliau menikah lagi hingga lahir juga tiga anak, yaitu KH. Mujib Ridhwan, KH. Abdullah Ridhwan dan Munib.
Beliau adalah salah satu motor penggerak lahirnya Nahdhatul Ulama, selain Kyai Wahab Chasbullah dan Mas Alwi. Kyai Wahab Chasbullah dengan gagasan-gagasan cemerlangnya, Mas Alwi dengan usulan namanya dan Kyai Ridhwan Abdullah dengan desine lambangnya.
PERJUANGAN BELIAU.
Kyai Ridhwan Abdullah tidak memiliki pondok pesantren. Tetapi beliau dikenal sebagai guru agama, muballigh yang tidak kenal lelah. Beliau diberi gelar ‘Kyai Keliling’. Maksudnya Kyai yang menjalankan kewajiban mengajar dan berdakwah dengan keliling dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Biasanya, Kyai Ridhwan Abdullah mengajar dan berdakwah pada malam hari. Tempatnya berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lainnya dan dari satu surau ke surau yang lain. Daerah-daerah yang secara rutin menjadi tempat beliau mengajar adalah kampung Kawatan, Tembok dan Sawahan.
Sebelum Nahdhatul Ulama (NU) berdiri, Kyai Ridhwan Abdullah mengajar di Madrasah Nahdhatul Wathan –lembaga pendidikan yang didirikan oleh Kyai Wahab Chasbullah pada tahun 1916. Beliaulah yang berhasil menghubungi Kyai Mas Alwi untuk menduduki jabatan sebagai kepala Madrasah Nahdhatul Wathan menggantikan Kyai Mas Mansyur. Beliau juga terlibat dalam kelompok diskusi Tashwirul Afkar (1918), dua lembaga yang menjadi embrio lahirnya organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Ketika NU sudah diresmikan, ia aktif di Cabang Surabaya dan mewakilinya dalam muktamar ke-13 NU di Menes, Pandeglang, pada tanggal 15 Juni 1938.
Dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia Kyai Ridhwan Abdullah ikut bergabung dalam barisan Sabilillah. Pengorbanan beliau tidak sedikit, seorang puteranya yang menjadi tentara PETA (Pembela Tanah Air) gugur di medan perang. Pada tahun 1948, beliau ikut berperang mempertahankan kemerdekaan RI dan pasukannya terpukul mundur sampai ke Jombang.
Banyak jasa perjuangan Kyai Ridhwan Abdullah, di antaranya beliaulah yang mengusulkan agar para syuhada yang gugur dalam pertempuran 10 Nopember 1945 dimakamkan di depan Taman Hiburan Rakyat (THR). Tempat inilah yang kemudian dikenal dengan Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa.
Kyai Ridhwan Abdullah sendiri meninggal dunia tahun 1962, dan dimakamkan di pemakaman Tembok, Surabaya. Bakat dan keahlian beliau dalam melukis diwarisi oleh seorang puteranya, KH. Mujib Ridhwan.
JASA BELIAU.
Nama Kyai Ridhwan Abdullah tidak bisa dipisahkan dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan Jam’iyah Nahdhatul Ulama. Pada susunan pengurus NU periode pertama, Kyai Ridhwan Abdullah masuk menjadi anggota A’wan Syuriyah. Selain menjadi anggota Pengurus Besar NU, beliau juga masih dalam pengurus Syuriyah NU Cabang Surabaya.
Pada tanggal 12 Rabiul Awal 1346 H, bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1927 diselenggarakan Muktamar NU ke-2 di Surabaya. Muktamar berlangsung di Hotel Peneleh. Pada saat itu peserta muktamar dan seluruh warga Surabaya tertegun melihat lambang Nahdhatul Ulama yang dipasang tepat pada pintu gerbang Hotel Peneleh. Lambang itu masih asing karena baru pertama kali ditampilkan. Penciptanya adalah Kyai Ridhwan Abdullah.
Untuk mengetahui arti lambang NU, dalam Muktamar NU ke-2 itu diadakan majelis khusus, pimpinan sidang adalah Kyai Raden Adnan dari Solo. Dalam majelis ini, pimpinan sidang meminta Kyai Ridhwan Abdullah menjelaskan arti lambang NU.
Secara rinci Kyai Ridhwan Abdullah menjelaskan semua isi yang terdapat dalam lambang NU itu. Beliau menjelaskan:
“Lambang tali adalah lambang agama. Tali yang melingkari bumi melambangkan Ukhuwah Islamiyah kaum muslimin seluruh dunia. Untaian tali yang berjumlah 99 melambangkan Asmaul Husna. Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Besar Muhammad SAW. Empat bintang kecil samping kiri dan kanan melambangkan Khulafaur Rasyidin, dan empat bintang di bagian bawah melambangkan madzhabul arba’ah (empat madzhab). Sedangkan jumlah semua bintang yang berjumlah sembilan melambangkan Wali Songo.”
Setelah mendengarkan penjelasan Kyai Ridhwan Abdullah, seluruh peserta majelis khusus sepakat menerima lambang itu. Kemudian Muktamar ke-2 Nahdhatul Ulama memutuskannya sebagai lambang Nahdhatul Ulama. Dengan demikian secara resmi lambang yang dibuat oleh Kyai Ridhwan Abdullah menjadi lambang Nahdhatul Ulama.
Sesudah upacara penutupan Muktamar, Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari memanggil Kyai Ridhwan Abdullah dan menanyakan asal mula pembuatan lambang NU yang diciptakannya. Kyai Ridhwan Abdullah menyebutkan bahwa yang memberi tugas beliau adalah Kyai Wahab Chasbullah. Pembuatan gambar itu memakan waktu satu setengah bulan.
Kyai Ridhwan Abdullah juga menjelaskan bahwa sebelum menggambar lambang NU, terlebih dahulu dilakukan shalat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Hasilnya, beliau bermimpi melihat sebuah gambar di langit yang biru jernih. Bentuknya persis dengan gambar lambang NU yang kita lihat sekarang.
Setelah mendengar penjelasan Kyai Ridhwan Abdullah, Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari merasa puas. Kemudian beliau mengangkat kedua tangan sambil berdoa. Setelah memanjatkan doa beliau berkata:
“Mudah-mudahan Allah mengabulkan harapan yang dimaksud di lambang Nahdhatul Ulama.”
KISAH PENCIPTAAN LAMBANG NAHDHATUL ULAMA. (Muktamar NU Ke-2, Surabaya 1927) .
NU dikenal sebagai ormas yang memiliki nama-nama legendaris seperti: Symbol Jagat, Bintang Sembilan, juga dikenal sebagai ormas yang memiliki Lambang Bumi. Lambang-lambang itu memiliki makna yang terus menemukan relevansi. Symbol tersebut juga mengalami perkembangan sesuai dengan dinamika zaman. Kedalaman makna symbol NU tersebut bisa dilihat dari proses penciptaannya, yang memang mengatasi kondoisi-kondisi manusiawi, sehingga makna yang disebarkan juga melampaui zaman.
Alkisah, menjelang Muktamar yang waktu itu lazim disebut Kongres, walaupun dalam dokumen resmi kata Muktamar juga digunakan. Dalam Muktamar NU ke-2 bulan Rabiul Awal 1346 H bertepatan dengan bulan Oktober 1927, di Hotel Muslimin Peneleh Surabaya memiliki cerita tersendiri. Kongres ini rencananya diselenggarakan lebih meriah ketimbang Muktamar pertama Oktober 1926 yang persiapannya serba darurat. Kali ini muktamar dipersiapkan lebih matang hanya bidang materi, manajemennya, tetapi juga perlu disemarakkan dengan kibaran bendera. Dengan sendirinya bendera perlu simbol atau lambang.
Pada saat itu Muktamar kurang dua bulan diselenggarakan, tetapi NU belum memiliki lambang. Keadaan itu membuat Ketua Panitia Muktamar Kyai Wahab Chasbullah, cemas, maka diadakan pembicaraan empat mata dengan Kyai Ridhwan Abdullah di rumah Kawatan Surabaya. Semula pembicaraan berkisar pada persiapan konsumsi Kongres NU, yang ketika itu dipegang oleh Kyai Ridhwan Abdullah. Kemudian pembicaraan beralih kepada lambang yang perlu dimiliki oleh NU, sebagai identitas dan sekaligus sebagai mitos.
Selama ini memang Kyai Ridhwan Abdullah telah dikenal sebagai Ulama yang punya bakat melukis. Makanya Kyai Wahab Chasbullah meminta agar dibuatkan lambang NU yang bagus buat Jam’iyah kita ini agar lebih mudah mengenalinya. Tentu saja permintaan Kyai Wahab Chasbullah yang mendadak tersebut agak sulit diterima. Tetapi akhirnya disepakati juga demi kehebatan NU, maka Kyai Ridhwan Abdullah mulai mencari inspirasi.
Beberapa kali sketsa lambang dibuat. Tetapi semuanya dirasakan masih belum mengena di hati, maka gambar dasar tersebut diganti lagi sampai beberapa kali. Usaha membuat gambar dasar lambang NU tersebut sudah diulang beberapa kali dengan penuh kesabaran hingga memakan waktu satu bulan setengah dengan demikian Kongres sudah diambang pintu semestinya sudah diselesaikan.
Sampai tiba waktunya, Kyai Wahab Chasbullah pun datang menagih pesanan.
“Mana Kyai, lambang NU-nya?” Tanya Kyai Wahab Chasbullah.
Dijawab oleh Kyai Ridhwan:
“Sudah beberapa sketsa lambang NU dibuat. Tapi rasanya masih belum sesuai untuk lambang NU, karena itu belum bisa kami selesaikan.”
Mendengar jawaban itu Kyai Wahab Chasbullah mendesak:
“Seminggu sebelum Kongres sebaiknya gambar sudah jadi lho!!..
Melihat ketidakpastian itu Kyai Ridwan Abdullah hanya menjawab:
“Insya Allah.”
Bagaimanapun waktu untuk membuat gambar yang sempurna, sudah demikian sempitnya. Maka jalan yang ditempuh oleh Kyai Ridhwan Abdullah adalah melakukan shalat istikharah. Minta petunjuk kepada Allah SWT. Pada suatu ketika shalat malampun dilakukan. Seusai shalat Kyai Ridhwan Abdullah tidur lagi. Dalam tidurnya Kyai Ridhwan Abdullah mendapat petunjuk melalui mimpi, ia tiba-tiba melihat sebuah gambar di langit biru. Bentuknya sama dengan lambang NU yang sekarang.
Pada waktu itu, jam dinding sekitar pukul 2 malam. Setelah terbangun dari tidur Kyai Ridhwan Abdullah langsung mengambil kertas dan pena. Sambil mencoba mengingat-ingat sebuah tanda di langit biru, dalam mimpinya, pelan-pelan symbol dalam mimpi tersebut dicoba divisualisasikan. Tak lama kemudian sketsa lambang NU pun jadi dan mirip betul dengan gambar dalam mimpinya.
Pada pagi harinya, sketsa kasar tersebut disempurnakan dan diberi tulisan Nahdhatul Ulama dari huruf Arab dan NU huruf latin. Dalam sehari penuh gambar tersebut dapat diselesaikan dengan sempurna. Maklum Kyai Ridhwan Abdullah adalah seorang pelukis yang berbakat.
Kesulitan yang kedua dihadapi oleh Kyai Ridhwan Abdullah adalah bagaimana mencari bahan kain untuk menuangkan lambang tersebut sebagai dekorasi dalam medan Kongres. Beberapa toko di Surabaya dimasuki, tak ada yang cocok karena warna-warna yang terlihat di dalam mimpi tak ada yang cocok dengan warna kain yang ada di toko-toko Surabaya.
Akhirnya Kyai Ridhwan Abdullah coba mencarinya ke Malang. Kebetulan kain yang dicari-cari ditemukan, sayang hanya sisa 4 X 6 meter. Walaupun jumlahnya hanya sedikit tapi tetap dibeli dan dibawa pulang ke Surabaya dan langsung dipotong sesuai dengan ukuran gambar yang sudah dirancang. Bentuk lambang NU itu dibuat memanjang ke bawah. Lebar 4 meter Panjang 6 meter, ini merupakan bentuk asli lambang NU.
Menjelang pembukaan Muktamar symbol NU telah dipasang di arena Muktamar yang megah. Symbol baru itu menambah keindahan suasana. Ketika Muktamar dibuka dan kepada Muktamirin diperkenalkan symbol baru tersebut, maka semua hadirin yang berjumlah 18 ribu orang itu berdecak kagum melihat gambar yang indah dan sakral tersebut. Symbol tersebut memang mewakili dinamika abad ke-19. Karena itu pada perjalanan berikutnya mengalami penyederhanaan sebagai pendinamisasian, sesuai dengan semangat zaman yang mulai bergerak menuju kemajuan, dan didorong oleh semangat perjuangan.
X-Steel - Wait