BAB I
PENDAHULUAN
Didalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah khusus. Adapun masalah-masalah khusus yang dimaksud adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan perkataan lain pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya (seperti telah diuraikan pada bab terdahulu).
Masalah-masalah khusus ini terjadi disebabkan adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan/dibagi secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus, dengan kata lain penyelesaian khusus ini hanya berlaku untuk persoalan-persoalan yang khusus pula.
Didalam hukum waris Islam ditemui beberapa persoalan kewarisan yang harus diselesaikan secara khusus, yaitu terdiri:
a. Al-Gharawain (Umariyatin)
b. Al-Musyarakah (Musyarikah)
c. Masalah kakek bersama saudara (Akdariyah)
BAB II
MASALAH-MASALAH KHUSUS
(AL-GHARAWAIN, AL-MUSYARAKAH, DAN AKDARIYAH)
A. Al-Gharawain (umariyatin) dan Penyelesaiannya
Gharawain, bentuk tasniyah dari lafadz ghara (binatang cemerlang). Itu disebut demikian karena kemasyhurannya bagaikan bintang yang cemerlang. Nama lain dari gharawain adalah Umariyatin karena cara penyelesaiannya tersebut diperkenalakan oleh Umar bin Khattab r.a.
Masalah gharawain adalah salah satu bentuk masalah dalam kewarisan yang pernah diputuskan oleh Umar dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti oleh jumhur ulama. Masalah ini terjadi waktu penjumlahan beberapa furudh dalam satu kesus kewarisan yang hasilnya tidak memuaskan beberapa pihak.
Masalah gharawain terjadi hanya dalam dua kemungkinan, yaitu sebagai berikut:
1. Jika seorang yang meninggaldunia memiliki ahli waris suami, ibu, dan ayah
2. Jika seorang meninggal memiliki ahli waris istri, ibu, dan ayah
Yang dimaksud ahli waris disini adalah ahli waris yang tidak terhijab karena boleh jadi ahli waris lain masih ada tetapi terhijab oleh ayah.
Dengan demikian, untuk menentukan apakah suatu kasus warisan itu merupakan kasus gharawain atau tidak, terlebih dahulu harus ditentukan siapa saja yang menjadi ahli waris orang yang meninggal, kemudian siapa yang terhijab, dan ternyata ahli waris yang berhak mendapat bagian warisan, yaitu suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan ayah.
Apabila ahli waris yang berhak untuk mendapatkan bagian warisan hanya terdiri atas suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan ayah, dapat dipastikan bahwa persoaln warisan tersebut adalah persoalan yang khusus yang diistilahkan dengan gharawain.
Penyelesaian kasus gharawain tidaklah seperti penyelesaian kasus-kasus kewarisan pada umumnya. Apabila diselesaikan secara biasa, hasilnya sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/3 1/3 x 6 = 2
Ayah ¼ ¼ x 6 = 1 (asabah: 6-5 = 1)
Apabila penyelesaian dengan seperti diatas, terlihat bahwa hasilnya untuk ibu adalah 1/3 x 6 = 2, sedangkan ayah hanya memperolah 1. Padahal semestinya pendapatan ayah harus lebih besar daripada pendapatan ibu. Disamping itu, ayah selain sebagai ashabul furud juga merupakan ahli waris yang berhak menerima bagian dengan asabah.
Jadi, persoalan gharawain ini terletak pada penerimaan ibu yang lebih besar daripada penerimaan ayah. Untuk menghilangkan kejanggalan ini, haruslah diselesaikan secara khusus, yaitu penerimaan ibu bukanlah 1/3 harta peninggalan, melainkan hanya 1/3 dari sisa harta peninggalan.
Ada perbedaan pendapat diantara para ulama faradiyun dalam masalah ini.
1. Menurut Umar r.a, yang kemudian diikuti pleh para sahabat, seperti Usman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, serta para ahli ra’yi dan para ahli fuqaha, seperti Al-Hasan, As-Saury, Imam Malik, dan Imam Syafi’i, ibu menerima bagian 1/3 sisa. Dengan demikian, penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/3 sisa 1/3 x (6-3) = 1
Ayah Asabah 6-4 = 2
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ¼ ¼ x 4 = 1
Ibu 1/3 sisa 1/3 x (4-1) = 1
Ayah Asabah 4-2 = 2
Mereka berpendapat demikian dengan mengemukakan alas am sebagai berikut:
1. Rangkaian kalimat فلأ مه الثلث dalam firman Allah SWT. Surat An-Nisa ayat 11, maksudnya adalah sepertiga peninggalan, baik seluruh harta peninggalan atau sebagiannya. Andaikan tidak mengacu pada pengertian demikian, niscaya firman Allah SWT. وورثه ابوه tidak berarti apa-apa. Ketika menerangkan bahwa jika yang mewarisi hanya ibu dan ayah saja, Allah menjelaskan bagian ibu, yaitu 1/3 nya, yang berarti 1/3 harta yang diwarisi oleh ibu dan ayah. Jadi, sekiranya ibu dan ayah tidak bersama-sama dengan suami atau istri, mereka mendapat hak atas seluruh harta penunggalan sehingga bagian ibu pun, adalah 1/3 seluruh harta peninggalan. Apabila ibu dan ayah mewarisi bersama-sama denagn salah seorang suami istri, bukan seluruh harta peninggalan yang dijadikan hak oleh keduanya, melainkan sisa setelah diberikan kepada salah seorang suami istri, ibu hanya menerima 1/3 sisa harta peninggalan.
Sesuai dengan nash Al-Qur’an, bila ahli warisnya hanya ibu dan ayah saja, ibu mendapat bagian 1/3 secara fard dan ayah menerima sisanya, yaitu 2/3, dengan perbandingan 1:2. ketentuan ini tidak berlaku bila ibu-ayah mewarisi bersama-sama dengan salah seorang suami istri. Kalau ini dijalankan, bagian ibu tentumelebihi dari separuh bagian ayah.
Dalam maslah pertama, ibu mendapat 1/3 dari asal masalah 6 = 2, sedangkan ayah hanya mendapat sisanya, yaitu 6-3-2 = 1.
Dalam masalah kedua, ibu menerima 1/3 dari asal masalah 12 = 4, sedangkan ayah hanya menerima 12-3-4 = 5.
Jadi, perbandingan penerimaan saham ibu dengan ayah dalam masalah pertama
= 2:1, dan perbandingan penerimaan saham ibu dengan ayah dalam maslah kedua = 4:5, yang demikian ini bertentangan dengan nash.
2. Ibnu Abbas r.a, berpendapat bahwa ibu dalam kedua masalah tersebut mendapat bagian 1/3 harta peninggalan. Oleh karena itu, penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/3 1/3 x 6 =2
Ayah Asabah 6-5 =1
Ahli Waris Fard Asal masalah: 12 sahamnya
Suami ¼ ¼ x 12 = 3
Ibu 1/3 1/3 x 12 = 4
Ayah Asabah 12-7 = 5
3. Ibnu Sirin dan Abu Tsaur mengatakan bahwa dalam masalah pertama, suami bersama-sama dengan ibu dan ayah maka ibu mendapat 1/3 sisa harta peninggalan. Adapun dalam masalah yang kedua, istri bersama-sama ibu dan ayah, maka ibu mendapatkan 1/3 harta peninggalan, seperti pendapat Ibnu Abbas r.a, sehingga penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/3 sisa 1/3 x (6-3) = 1
Ayah Asabah 6-4 =2
Ahli Waris Fard Asal masalah: 12 sahamnya
Suami ¼ ¼ x 12 = 3
Ibu 1/3 1/3 x 12 = 4
Ayah Asabah 12-7 = 5
B. Al-Musyarakah dan Penyelesaiannya
Persoalan musyarakah juga merupakan persoalan yang khusus untuk menyelesaikan persoalan warisan antara saudara-saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan sama saja) dengan saudara laki-laki sekandung. Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan bahwa kasus Al-Musyarakah ini terjadi apabila ahli waris terdiri atas:
1) Suami
2) Ibu atau nenek
3) Saudara laki-laki sekandung
4) Saudara seibu lebih dari seorang
Untuk menyelesaikan masalah musyarakah, perhatikanlah contoh berikut:
a. Seorang meninggal, ahli warisnya terdiri atas suami, ibu, dua saudara perempuan seibu, dan lima saudara laki-laki sekandung.
Dalam kasus tersebut, fard masing-masing adalah :
Suami ½
Ibu 1/6 (ada saudara lebih dari seorang)
2 sdri pr seibu
4 = 1/3 (karena lebih dari seorang)
2 sdr lk seibu
5 sdr lk sekandung asabah binafsih
Kalau didasarkan pembagian secara biasa, hasilnua adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
2 sdri pr seibu
1/3 1/3 x 6 = 2
2 sdr lk seibu
5 sdr lk sekandung asabah binafsih = habis
Dari penyelesaian diatas, tampak terlihat bahwa saudara seibu memperoleh warisan, sedangkan saudara laki-laki sekandung tidak memperoleh bagian karena tidak ada sisa pembagian.
Penyelesaian kasus seperti ini tentu merupakan suatu kejanggalan karena ahli waris yang hanya merupakan saudara seibu mendapat bagian, sedangkan saudara yang sekandung tidak memperoleh bagian sama sekali. Bukankah saudara seibu dan saudara sekandung lahir dari ibu yang sama?
Oleh karena itu, saudara laki-laki yang seibu dan seayah menyampaikan keberatannya atas penyelesaian dengan cara biasa ini dengan mengemukakan alasan sebagai berikut:
“ Anggaplah bapak kami himar (keledai) atau hajar (batu), namun ibu kami adalah sama, maka tidaklah pantas kalau saudara seibu mendapatkan bagian, sedangkan kami yang mempunyai ibu sama tidak mendapat bagian.” Itulah sebabnya kasus seperti ini disebut juga dengan istilah himariyah atau hijariyah.
Untuk mengatasi persoalan ini, dibagilah harta warisan secara khusus, yaitu mensyariatkan seluruh saudara, antara saudara seibu dan saudara laki-laki sekandung. Dalam hal ini, saudara laki-laki sekandung digabungkan dengan saudara seibu. Bagian mereka digabungkan tanpa dibedakan antara laki-laki dan perempuan, sebab ahli waris saudara seibu, tidak dibedakan lagi antara laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian, penyelesaian masalah musyarakah ini adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah:(x9) Tashih
6 sahamnya masalah=54
Suami ½ ½ x 6 = 3 3 x 9 = 27
Ibu 1/6 1/6 x 6 =1 1 x 9 = 9
2 sdri pr seibu (x9)
2 sdr lk seibu 1/3 1/3 x 6 = 2 9 x 2 =18
5 sdr lk sekandung
Mencari sah masalah (tashih):
Jumlah Adadur Ruus dibagi saham = 18 : 2 = 9 (tabayun)
Tashih masalah: 6 x 9 = 54
Seluruh saudara memperoleh: 9 x 2 = 18
1 saudara memperoleh: 1 x 18/9 = 2
Kemungkinan, masalah musyarokah itu banyak sekali, namun harus memenuhi syarat, yaitu jika ahli waris (setelah selesai halang menghalangi) terdapat:
1. Suami
2. Ibu atau nenek
3. Saudara seibu dari seorang (baik laki-laki maupun perempuan)
4. Saudara laki-laki sekandung
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi musyarakah. Perlu diketahui bahwa saudara perempuan sekandung tidak menjadi persyaratan. Ini karena apabila saudara laki-laki itu tidak ada, saudara perempuan sekandung akan menjadi ashobah bil ghair. Begitu pula apabila saudara seibu hanya satu orang tidak terjadi musyarokah karena akan ada sisa harta (untuk ahli waris ashobah).
b. Seorang meninggal, ahli warisnya terdiri atas:
1 suami
2 saudara laki-laki ayah sekandung
3 saudara perempuan ayah sekandung (dzawil arham)
2 saudara perempuan ayah sekandung (dzawil arham)
2 saudara angkat (bukan ahli waris)
5 saudara perempuan seibu
2 saudara laki-laki seibu
3 saudara laki-laki sekandung
2 saudara laki-laki seayah
1 ibu
1 nenek
Dalam kasus tersebut, setelah dikerjakan sesuai dengan tahapan-tahapannya (penentuan ahli waris, hijab, ashobah), ternyata ahli waris yang berhak menerima hanya terdiri atas: suami, ibu, saudara seibu, saudara laki-laki sekandung.
Komposisi ahli waris tersebut sudah memenuhi syarat unuk terjadinya musyarokah walaupun saudara perempuan sekandung tidak ada (saudara perempuan tidaklah menjadi syarat untuk terjadinya musyarokah).
Untuk menyelesaikan kasus ini, perlu kehati-hatian sebab secara sepintas persoalan ini bukanlah kasus istimewa dan bisa diselesaikan seperti halnya penyelesaian kasus biasa. Padahal semestinya penyelesainnya harus dilakukan secara khusus, yaitu melalui penyelesaian musyarokah.
Penyelesaian biasa:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
sdri pr seibu
1/3 1/3 x 6 = 2
sdr lk seibu
sdr lk sekandung asabah binafsih = habis
Dengan cara penyelesaian biasa ini, terlihat bahwa saudara laki-laki sekandung tidak memperoleh bagian sama sekali, sebab tidak ada sisa. Sebaliknya saudara seibu baaik yang laki-laki maupun perempuan memperoleh bagian, tentu penyelesaian seperti ini adalah penyelesaian salah. Penyelesaian dengan musyarokah:
Ahli Waris Fard Asal masalah:(x5) Tashih
6 sahamnya masalah=30
Suami ½ ½ x 6 = 3 3 x 5 = 15
Ibu 1/6 1/6 x 6 =1 1 x 5 = 5
5 sdri pr seibu (x5)
2 sdr lk seibu 1/3 1/3 x 6 = 2 2x 5 =10
3 sdr lk sekandung
Mencari sah masalah (tashih):
Jumlah Adadur Ruus dibagi saham = 10 : 2 = 5 (tadakhul)
Tashih masalah: 6 x 5 = 30
Hasil akhir:
Suami : 15/30 = ½ dari harta warisan
Ibu : 5/30 = 1/6 dari harta warisan
10 saudara : 10/30 = 1/3 dari harta warisan
1 saudara : 1/30 dari harta warisan
C. Akdariyah dan Penyelesaiannya.
Dinamakan Akdariyah karena menurut suatu pendapat yang mengajukan persoalan ini bernama Akdar. Dalam kasus akdariyah ini, susunan ahli waris adalah suami, kakek, saudara perempuan dan ibu. Dalam hal ini juga yang dipertimbangkan adalah hak yang akan diterima oleh kakek jangan sampai ia mendapat sedikit.
Jika kakek ditempatkan sebagai ashobah karena ia satu-satunya kerabat laki-laki maka ia tidak akan dapat apa-apa karena harta habis terbagi di kalangan dzawil furud. Suami mendapat ½ karena pewaris tidak meninggalkan anak, ibu menerima 1/3 karena tidak ada anak dan demikian pula seorang saudara perempuan mendapat ½ karena pewaris adalah kalalah. Jumlah furudh akan menjadi ½ + ½
+ 1/3 = 3/6 + 3/6 + 2/6 = 8/6. Kalau kakek diberi hak sebagai furudh 1/6 maka hal ini juga berbenturan dengan prinsip sebagai ayah, kakek harus menerima banyak lebih dari ibu, sedangkan dalam kedudukan sebagai seoarang laki-laki tentu tidak mungkin ia menerima lebih kecil dari saudara perempuan. Dalam hal ini kakek berada dalam posisi yang serba tidak enak.
Menurut cara Abu Bakar, penyelesaiannya adalah sebagai berikut: suami mendapat ½ sebagai furudh, ibu menerima 1/3 sebagai furudh dan kakek menerima sisanya yaitu 1/6 sebagai asobah. Sedangkan saudara perempuan terhalang oleh kakek dan dengan demikian tidak mendapatkan warisan. Karena kakek sudah menerima kemungkinan terbaik, maka masalah dianggap selesai.
Umar dan Ibnu Mas’ud memeberikan solusi sebagai berikut: suami 1/2 , saudara perempuan ½, untuk kakek 1/6 sebagai furudh dan untuk ibu 1/6. Kemudian pembagiannya diselesaikan secara ‘aul. Ibu diberi 1/6 dengan pertimbangan supaya haknya tidak melebihi hak kakek. Namun alasan perubahan persentase bagian yang di dapat ibu (1/6) dari yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, tidak pernah dijelaskan baik oleh Umar maupun Ibnu Mas’ud. Dalam kasus ini, berarti keduanya lebih mementingkan perasaan daripada tuntutan hokum.
Zaid bn Tsabit memberikan penyelesaian yang jenius dan memberikan porsi yang lebih besar kepada kakek meskipun membentur beberapa prinsip lainnya. Metode yang dilakukannya adalah sebagai berikut: Setiap orang ditentukan furudhnya, yaitu:
• Suami ½ = 3/6
• Ibu 1/3 = 2/6
• Saudara perempuan ½ = 3/6
• Kakek 1/6 = 1/6
Jumlah: 9/6
Setelah dilakukan ‘aul hak masing-masing adalah:
• Suami menjadi 3/9
• Ibu menjadi 2/9
• Saudara perempuan menjadi 3/9
• Kakek menjadi 1/9
Masing-masing ibu dan suami sebagai orang luar yang mendampingi kakek dan saudara perempuan diberikan haknya, sudah itu hak saudara perempuan dan kakek digabung menjadi 3/9 + 1/9 = 4/9. Jumlah ini dibagikan kepada kakek dan saudara perempuan dengan perbandingan 2:1. Dengan demikian:
• Hak kakek menjadi 2/3 x 4/9 = 8/27
• Bagian saudara perempuan 1/3 x 4/9 = 4/27
Dari penyelesaian menurut Zaid tersebut memang telah terpenuhi keinginan untuk menjadikan hak kakek (8/27) lebih besar dari saudara perempuan (4/27) dan ibu. Namun saudara perempuan yang semestinya mendapatkan ½ atau setelah di’aulkan menjadi 3/9 atau 9/27 menjadi 4/27. Hal ini berarti menjadi korban dari kebijakan diatas.
BAB III
KESIMPULAN
Masalah gharawain adalah salah satu bentuk masalah dalam kewarisan yang pernah diputuskan oleh Umar dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti oleh jumhur ulama. Masalah ini terjadi waktu penjumlahan beberapa furudh dalam satu kesus kewarisan yang hasilnya tidak memuaskan beberapa pihak.
Persoalan musyarakah juga merupakan persoalan yang khusus untuk menyelesaikan persoalan warisan antara saudara-saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan sama saja) dengan saudara laki-laki sekandung.
Dinamakan Akdariyah karena menurut suatu pendapat yang mengajukan persoalan ini bernama Akdar. Dalam kasus akdariyah ini, susunan ahli waris adalah suami, kakek, saudara perempuan dan ibu. Dalam hal ini juga yang dipertimbangkan adalah hak yang akan diterima oleh kakek jangan sampai ia mendapat sedikit.
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak. 1995. Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis. Jakarta: Sinar Grafika
Salman, Otje dan Mustafa Haffas . 2006. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika Aditama.
Syarifuddin, Amir. 2005. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana.
Umam, Dian Khairul. 1999. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.
PENDAHULUAN
Didalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah khusus. Adapun masalah-masalah khusus yang dimaksud adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan perkataan lain pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya (seperti telah diuraikan pada bab terdahulu).
Masalah-masalah khusus ini terjadi disebabkan adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan/dibagi secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus, dengan kata lain penyelesaian khusus ini hanya berlaku untuk persoalan-persoalan yang khusus pula.
Didalam hukum waris Islam ditemui beberapa persoalan kewarisan yang harus diselesaikan secara khusus, yaitu terdiri:
a. Al-Gharawain (Umariyatin)
b. Al-Musyarakah (Musyarikah)
c. Masalah kakek bersama saudara (Akdariyah)
BAB II
MASALAH-MASALAH KHUSUS
(AL-GHARAWAIN, AL-MUSYARAKAH, DAN AKDARIYAH)
A. Al-Gharawain (umariyatin) dan Penyelesaiannya
Gharawain, bentuk tasniyah dari lafadz ghara (binatang cemerlang). Itu disebut demikian karena kemasyhurannya bagaikan bintang yang cemerlang. Nama lain dari gharawain adalah Umariyatin karena cara penyelesaiannya tersebut diperkenalakan oleh Umar bin Khattab r.a.
Masalah gharawain adalah salah satu bentuk masalah dalam kewarisan yang pernah diputuskan oleh Umar dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti oleh jumhur ulama. Masalah ini terjadi waktu penjumlahan beberapa furudh dalam satu kesus kewarisan yang hasilnya tidak memuaskan beberapa pihak.
Masalah gharawain terjadi hanya dalam dua kemungkinan, yaitu sebagai berikut:
1. Jika seorang yang meninggaldunia memiliki ahli waris suami, ibu, dan ayah
2. Jika seorang meninggal memiliki ahli waris istri, ibu, dan ayah
Yang dimaksud ahli waris disini adalah ahli waris yang tidak terhijab karena boleh jadi ahli waris lain masih ada tetapi terhijab oleh ayah.
Dengan demikian, untuk menentukan apakah suatu kasus warisan itu merupakan kasus gharawain atau tidak, terlebih dahulu harus ditentukan siapa saja yang menjadi ahli waris orang yang meninggal, kemudian siapa yang terhijab, dan ternyata ahli waris yang berhak mendapat bagian warisan, yaitu suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan ayah.
Apabila ahli waris yang berhak untuk mendapatkan bagian warisan hanya terdiri atas suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan ayah, dapat dipastikan bahwa persoaln warisan tersebut adalah persoalan yang khusus yang diistilahkan dengan gharawain.
Penyelesaian kasus gharawain tidaklah seperti penyelesaian kasus-kasus kewarisan pada umumnya. Apabila diselesaikan secara biasa, hasilnya sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/3 1/3 x 6 = 2
Ayah ¼ ¼ x 6 = 1 (asabah: 6-5 = 1)
Apabila penyelesaian dengan seperti diatas, terlihat bahwa hasilnya untuk ibu adalah 1/3 x 6 = 2, sedangkan ayah hanya memperolah 1. Padahal semestinya pendapatan ayah harus lebih besar daripada pendapatan ibu. Disamping itu, ayah selain sebagai ashabul furud juga merupakan ahli waris yang berhak menerima bagian dengan asabah.
Jadi, persoalan gharawain ini terletak pada penerimaan ibu yang lebih besar daripada penerimaan ayah. Untuk menghilangkan kejanggalan ini, haruslah diselesaikan secara khusus, yaitu penerimaan ibu bukanlah 1/3 harta peninggalan, melainkan hanya 1/3 dari sisa harta peninggalan.
Ada perbedaan pendapat diantara para ulama faradiyun dalam masalah ini.
1. Menurut Umar r.a, yang kemudian diikuti pleh para sahabat, seperti Usman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, serta para ahli ra’yi dan para ahli fuqaha, seperti Al-Hasan, As-Saury, Imam Malik, dan Imam Syafi’i, ibu menerima bagian 1/3 sisa. Dengan demikian, penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/3 sisa 1/3 x (6-3) = 1
Ayah Asabah 6-4 = 2
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ¼ ¼ x 4 = 1
Ibu 1/3 sisa 1/3 x (4-1) = 1
Ayah Asabah 4-2 = 2
Mereka berpendapat demikian dengan mengemukakan alas am sebagai berikut:
1. Rangkaian kalimat فلأ مه الثلث dalam firman Allah SWT. Surat An-Nisa ayat 11, maksudnya adalah sepertiga peninggalan, baik seluruh harta peninggalan atau sebagiannya. Andaikan tidak mengacu pada pengertian demikian, niscaya firman Allah SWT. وورثه ابوه tidak berarti apa-apa. Ketika menerangkan bahwa jika yang mewarisi hanya ibu dan ayah saja, Allah menjelaskan bagian ibu, yaitu 1/3 nya, yang berarti 1/3 harta yang diwarisi oleh ibu dan ayah. Jadi, sekiranya ibu dan ayah tidak bersama-sama dengan suami atau istri, mereka mendapat hak atas seluruh harta penunggalan sehingga bagian ibu pun, adalah 1/3 seluruh harta peninggalan. Apabila ibu dan ayah mewarisi bersama-sama denagn salah seorang suami istri, bukan seluruh harta peninggalan yang dijadikan hak oleh keduanya, melainkan sisa setelah diberikan kepada salah seorang suami istri, ibu hanya menerima 1/3 sisa harta peninggalan.
Sesuai dengan nash Al-Qur’an, bila ahli warisnya hanya ibu dan ayah saja, ibu mendapat bagian 1/3 secara fard dan ayah menerima sisanya, yaitu 2/3, dengan perbandingan 1:2. ketentuan ini tidak berlaku bila ibu-ayah mewarisi bersama-sama dengan salah seorang suami istri. Kalau ini dijalankan, bagian ibu tentumelebihi dari separuh bagian ayah.
Dalam maslah pertama, ibu mendapat 1/3 dari asal masalah 6 = 2, sedangkan ayah hanya mendapat sisanya, yaitu 6-3-2 = 1.
Dalam masalah kedua, ibu menerima 1/3 dari asal masalah 12 = 4, sedangkan ayah hanya menerima 12-3-4 = 5.
Jadi, perbandingan penerimaan saham ibu dengan ayah dalam masalah pertama
= 2:1, dan perbandingan penerimaan saham ibu dengan ayah dalam maslah kedua = 4:5, yang demikian ini bertentangan dengan nash.
2. Ibnu Abbas r.a, berpendapat bahwa ibu dalam kedua masalah tersebut mendapat bagian 1/3 harta peninggalan. Oleh karena itu, penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/3 1/3 x 6 =2
Ayah Asabah 6-5 =1
Ahli Waris Fard Asal masalah: 12 sahamnya
Suami ¼ ¼ x 12 = 3
Ibu 1/3 1/3 x 12 = 4
Ayah Asabah 12-7 = 5
3. Ibnu Sirin dan Abu Tsaur mengatakan bahwa dalam masalah pertama, suami bersama-sama dengan ibu dan ayah maka ibu mendapat 1/3 sisa harta peninggalan. Adapun dalam masalah yang kedua, istri bersama-sama ibu dan ayah, maka ibu mendapatkan 1/3 harta peninggalan, seperti pendapat Ibnu Abbas r.a, sehingga penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/3 sisa 1/3 x (6-3) = 1
Ayah Asabah 6-4 =2
Ahli Waris Fard Asal masalah: 12 sahamnya
Suami ¼ ¼ x 12 = 3
Ibu 1/3 1/3 x 12 = 4
Ayah Asabah 12-7 = 5
B. Al-Musyarakah dan Penyelesaiannya
Persoalan musyarakah juga merupakan persoalan yang khusus untuk menyelesaikan persoalan warisan antara saudara-saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan sama saja) dengan saudara laki-laki sekandung. Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan bahwa kasus Al-Musyarakah ini terjadi apabila ahli waris terdiri atas:
1) Suami
2) Ibu atau nenek
3) Saudara laki-laki sekandung
4) Saudara seibu lebih dari seorang
Untuk menyelesaikan masalah musyarakah, perhatikanlah contoh berikut:
a. Seorang meninggal, ahli warisnya terdiri atas suami, ibu, dua saudara perempuan seibu, dan lima saudara laki-laki sekandung.
Dalam kasus tersebut, fard masing-masing adalah :
Suami ½
Ibu 1/6 (ada saudara lebih dari seorang)
2 sdri pr seibu
4 = 1/3 (karena lebih dari seorang)
2 sdr lk seibu
5 sdr lk sekandung asabah binafsih
Kalau didasarkan pembagian secara biasa, hasilnua adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
2 sdri pr seibu
1/3 1/3 x 6 = 2
2 sdr lk seibu
5 sdr lk sekandung asabah binafsih = habis
Dari penyelesaian diatas, tampak terlihat bahwa saudara seibu memperoleh warisan, sedangkan saudara laki-laki sekandung tidak memperoleh bagian karena tidak ada sisa pembagian.
Penyelesaian kasus seperti ini tentu merupakan suatu kejanggalan karena ahli waris yang hanya merupakan saudara seibu mendapat bagian, sedangkan saudara yang sekandung tidak memperoleh bagian sama sekali. Bukankah saudara seibu dan saudara sekandung lahir dari ibu yang sama?
Oleh karena itu, saudara laki-laki yang seibu dan seayah menyampaikan keberatannya atas penyelesaian dengan cara biasa ini dengan mengemukakan alasan sebagai berikut:
“ Anggaplah bapak kami himar (keledai) atau hajar (batu), namun ibu kami adalah sama, maka tidaklah pantas kalau saudara seibu mendapatkan bagian, sedangkan kami yang mempunyai ibu sama tidak mendapat bagian.” Itulah sebabnya kasus seperti ini disebut juga dengan istilah himariyah atau hijariyah.
Untuk mengatasi persoalan ini, dibagilah harta warisan secara khusus, yaitu mensyariatkan seluruh saudara, antara saudara seibu dan saudara laki-laki sekandung. Dalam hal ini, saudara laki-laki sekandung digabungkan dengan saudara seibu. Bagian mereka digabungkan tanpa dibedakan antara laki-laki dan perempuan, sebab ahli waris saudara seibu, tidak dibedakan lagi antara laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian, penyelesaian masalah musyarakah ini adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah:(x9) Tashih
6 sahamnya masalah=54
Suami ½ ½ x 6 = 3 3 x 9 = 27
Ibu 1/6 1/6 x 6 =1 1 x 9 = 9
2 sdri pr seibu (x9)
2 sdr lk seibu 1/3 1/3 x 6 = 2 9 x 2 =18
5 sdr lk sekandung
Mencari sah masalah (tashih):
Jumlah Adadur Ruus dibagi saham = 18 : 2 = 9 (tabayun)
Tashih masalah: 6 x 9 = 54
Seluruh saudara memperoleh: 9 x 2 = 18
1 saudara memperoleh: 1 x 18/9 = 2
Kemungkinan, masalah musyarokah itu banyak sekali, namun harus memenuhi syarat, yaitu jika ahli waris (setelah selesai halang menghalangi) terdapat:
1. Suami
2. Ibu atau nenek
3. Saudara seibu dari seorang (baik laki-laki maupun perempuan)
4. Saudara laki-laki sekandung
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi musyarakah. Perlu diketahui bahwa saudara perempuan sekandung tidak menjadi persyaratan. Ini karena apabila saudara laki-laki itu tidak ada, saudara perempuan sekandung akan menjadi ashobah bil ghair. Begitu pula apabila saudara seibu hanya satu orang tidak terjadi musyarokah karena akan ada sisa harta (untuk ahli waris ashobah).
b. Seorang meninggal, ahli warisnya terdiri atas:
1 suami
2 saudara laki-laki ayah sekandung
3 saudara perempuan ayah sekandung (dzawil arham)
2 saudara perempuan ayah sekandung (dzawil arham)
2 saudara angkat (bukan ahli waris)
5 saudara perempuan seibu
2 saudara laki-laki seibu
3 saudara laki-laki sekandung
2 saudara laki-laki seayah
1 ibu
1 nenek
Dalam kasus tersebut, setelah dikerjakan sesuai dengan tahapan-tahapannya (penentuan ahli waris, hijab, ashobah), ternyata ahli waris yang berhak menerima hanya terdiri atas: suami, ibu, saudara seibu, saudara laki-laki sekandung.
Komposisi ahli waris tersebut sudah memenuhi syarat unuk terjadinya musyarokah walaupun saudara perempuan sekandung tidak ada (saudara perempuan tidaklah menjadi syarat untuk terjadinya musyarokah).
Untuk menyelesaikan kasus ini, perlu kehati-hatian sebab secara sepintas persoalan ini bukanlah kasus istimewa dan bisa diselesaikan seperti halnya penyelesaian kasus biasa. Padahal semestinya penyelesainnya harus dilakukan secara khusus, yaitu melalui penyelesaian musyarokah.
Penyelesaian biasa:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
sdri pr seibu
1/3 1/3 x 6 = 2
sdr lk seibu
sdr lk sekandung asabah binafsih = habis
Dengan cara penyelesaian biasa ini, terlihat bahwa saudara laki-laki sekandung tidak memperoleh bagian sama sekali, sebab tidak ada sisa. Sebaliknya saudara seibu baaik yang laki-laki maupun perempuan memperoleh bagian, tentu penyelesaian seperti ini adalah penyelesaian salah. Penyelesaian dengan musyarokah:
Ahli Waris Fard Asal masalah:(x5) Tashih
6 sahamnya masalah=30
Suami ½ ½ x 6 = 3 3 x 5 = 15
Ibu 1/6 1/6 x 6 =1 1 x 5 = 5
5 sdri pr seibu (x5)
2 sdr lk seibu 1/3 1/3 x 6 = 2 2x 5 =10
3 sdr lk sekandung
Mencari sah masalah (tashih):
Jumlah Adadur Ruus dibagi saham = 10 : 2 = 5 (tadakhul)
Tashih masalah: 6 x 5 = 30
Hasil akhir:
Suami : 15/30 = ½ dari harta warisan
Ibu : 5/30 = 1/6 dari harta warisan
10 saudara : 10/30 = 1/3 dari harta warisan
1 saudara : 1/30 dari harta warisan
C. Akdariyah dan Penyelesaiannya.
Dinamakan Akdariyah karena menurut suatu pendapat yang mengajukan persoalan ini bernama Akdar. Dalam kasus akdariyah ini, susunan ahli waris adalah suami, kakek, saudara perempuan dan ibu. Dalam hal ini juga yang dipertimbangkan adalah hak yang akan diterima oleh kakek jangan sampai ia mendapat sedikit.
Jika kakek ditempatkan sebagai ashobah karena ia satu-satunya kerabat laki-laki maka ia tidak akan dapat apa-apa karena harta habis terbagi di kalangan dzawil furud. Suami mendapat ½ karena pewaris tidak meninggalkan anak, ibu menerima 1/3 karena tidak ada anak dan demikian pula seorang saudara perempuan mendapat ½ karena pewaris adalah kalalah. Jumlah furudh akan menjadi ½ + ½
+ 1/3 = 3/6 + 3/6 + 2/6 = 8/6. Kalau kakek diberi hak sebagai furudh 1/6 maka hal ini juga berbenturan dengan prinsip sebagai ayah, kakek harus menerima banyak lebih dari ibu, sedangkan dalam kedudukan sebagai seoarang laki-laki tentu tidak mungkin ia menerima lebih kecil dari saudara perempuan. Dalam hal ini kakek berada dalam posisi yang serba tidak enak.
Menurut cara Abu Bakar, penyelesaiannya adalah sebagai berikut: suami mendapat ½ sebagai furudh, ibu menerima 1/3 sebagai furudh dan kakek menerima sisanya yaitu 1/6 sebagai asobah. Sedangkan saudara perempuan terhalang oleh kakek dan dengan demikian tidak mendapatkan warisan. Karena kakek sudah menerima kemungkinan terbaik, maka masalah dianggap selesai.
Umar dan Ibnu Mas’ud memeberikan solusi sebagai berikut: suami 1/2 , saudara perempuan ½, untuk kakek 1/6 sebagai furudh dan untuk ibu 1/6. Kemudian pembagiannya diselesaikan secara ‘aul. Ibu diberi 1/6 dengan pertimbangan supaya haknya tidak melebihi hak kakek. Namun alasan perubahan persentase bagian yang di dapat ibu (1/6) dari yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, tidak pernah dijelaskan baik oleh Umar maupun Ibnu Mas’ud. Dalam kasus ini, berarti keduanya lebih mementingkan perasaan daripada tuntutan hokum.
Zaid bn Tsabit memberikan penyelesaian yang jenius dan memberikan porsi yang lebih besar kepada kakek meskipun membentur beberapa prinsip lainnya. Metode yang dilakukannya adalah sebagai berikut: Setiap orang ditentukan furudhnya, yaitu:
• Suami ½ = 3/6
• Ibu 1/3 = 2/6
• Saudara perempuan ½ = 3/6
• Kakek 1/6 = 1/6
Jumlah: 9/6
Setelah dilakukan ‘aul hak masing-masing adalah:
• Suami menjadi 3/9
• Ibu menjadi 2/9
• Saudara perempuan menjadi 3/9
• Kakek menjadi 1/9
Masing-masing ibu dan suami sebagai orang luar yang mendampingi kakek dan saudara perempuan diberikan haknya, sudah itu hak saudara perempuan dan kakek digabung menjadi 3/9 + 1/9 = 4/9. Jumlah ini dibagikan kepada kakek dan saudara perempuan dengan perbandingan 2:1. Dengan demikian:
• Hak kakek menjadi 2/3 x 4/9 = 8/27
• Bagian saudara perempuan 1/3 x 4/9 = 4/27
Dari penyelesaian menurut Zaid tersebut memang telah terpenuhi keinginan untuk menjadikan hak kakek (8/27) lebih besar dari saudara perempuan (4/27) dan ibu. Namun saudara perempuan yang semestinya mendapatkan ½ atau setelah di’aulkan menjadi 3/9 atau 9/27 menjadi 4/27. Hal ini berarti menjadi korban dari kebijakan diatas.
BAB III
KESIMPULAN
Masalah gharawain adalah salah satu bentuk masalah dalam kewarisan yang pernah diputuskan oleh Umar dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti oleh jumhur ulama. Masalah ini terjadi waktu penjumlahan beberapa furudh dalam satu kesus kewarisan yang hasilnya tidak memuaskan beberapa pihak.
Persoalan musyarakah juga merupakan persoalan yang khusus untuk menyelesaikan persoalan warisan antara saudara-saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan sama saja) dengan saudara laki-laki sekandung.
Dinamakan Akdariyah karena menurut suatu pendapat yang mengajukan persoalan ini bernama Akdar. Dalam kasus akdariyah ini, susunan ahli waris adalah suami, kakek, saudara perempuan dan ibu. Dalam hal ini juga yang dipertimbangkan adalah hak yang akan diterima oleh kakek jangan sampai ia mendapat sedikit.
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak. 1995. Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis. Jakarta: Sinar Grafika
Salman, Otje dan Mustafa Haffas . 2006. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika Aditama.
Syarifuddin, Amir. 2005. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana.
Umam, Dian Khairul. 1999. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.
0 Response to " Hukum Waris Islam"
Post a Comment