Beberapa orang –entah sejak kapan- sering sekali mengaku
kalau pendapat fiqih yang ia pegang itu ialah pendapatnya
madzhab al-Syafi’iiyah tapi nyatanya sama sekali pendapat itu
kita tidak temukan itu di buku-buku fiqih madzhab Imam al-
Syafi’i, sama sekali tidak ada. Akhirnya malah menyalahi
pendapat madzhab.
Jadi kalau ditanya tentang pendapatnya tersebut, ia menjawab
dengan lugas: “ini pendapat Imam al-Syafi’i, loch!”.
Anehnya, sama sekali ia menyimpulkan pendapatnya tersebut
hanya dari sebuah hadits, tanpa melirik bagaimana ushul-fiqh
yang berlaku dalam madzhab Imam Muhammad bin Idris ini. ia
hanya tahu satu perkataan Imam al-Syafi’i yang masyhur lalu
dijadikan sandaran, yaitu:
ﺇﺫَﺍ ﺻَﺢَّ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚُ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻫَﺒِﻲ
“kalau haditsnya shahih, maka ini adalah madzhabku!”
Cuma karena perkataan ini, kalau ia mendapati hadits dan itu
derajatnya shahih –menurut dia-, dia langsung menghukum
hukum fiqih yang ada dalam hadits itu lalu mengatakan itu
adalah pendapat madzhab al-Syaf’iyyah, tanpa peduli bahwa
pendapatnya itu menyelisih pendapat resmi madzhab. Toh
karena memang ia hanya tahu itu saja, tanpa pernah buka
kitab-kitab madzhab al-Syafi’iyyah.
Tentu ini adalah bentuk kekeliruan dalam memahami perkataan
Imam al-Syafi’i. pemahaman seperti ini, ujungnya nanti akan
berbuah ‘penghakiman’ terhadap Imam mulia tersebut bahwa
beliau ‘keliru’ dan ‘salah’. Wah hebat, bisa menyalahkan Imam!
Atau bisa jadi, pengakuannya itu hanya untuk dijadikan
‘tamemng’, agar pendapatnya itu diterima di khalayak, ia
menunggang label madzhab al-Syafi’i.
Contoh Kasus
Contohnya begini, yang paling familiar ialah masalah qunut.
Pendapat resmi madzhab al-Syafi’iyyah qunut subuh itu sunnah
muakkad dan masuk dalam kategori sunnah Ab’adh dalam
sholat yang kalau tertinggal, diganti dengan sujud sahwi
sebelum salam.
Ternyata hadits perihal qunut subuh itu setelah diteliti oleh
mereka –yang menyalahkan Imam- itu adalah hadits yang
dhaif, karena dhaif maka tidak bisa dipakai, bahkan ada yang
mengatakan bid’ah. Lalu karena mengacu pada pemahamannya
terhadap perkataan Imam al-Syafi’i secara tekstual itu, ia
katakan:
“ini madzhab Imam al-Syafi’i, karena Imam al-Syafi’i bilang
madzhabnya itu madzhab hadits yang shahih, sedangkan hadits
qunut subuh itu dhaif. Jadi qunut subuh tidak ada. Begini
madzhab Imam al-Syafi’i!”
Nah, dari perkataan seperti ini, terlihat ada bentuk justifikasi
kesalahan, dan indikasi seakan-akan Imam al-Syafi’i keliru
memilih hadits dan tidak piawai memilih mana yang shahih dan
mana yang dhaif. Seakan-akan ia mengajari Imam al-Syafi’i.
Bagaimana bisa seorang ahli hadits sekelas Imam al-Syafi’i
keliru menilai sebuah hadits?
Ini seperti mengajari nelayan bagaimana caranya memegang
jaring ikan, atau seperti mengajari montir bagaimana caranya
memegang obeng. Jelas pekerjaan yang sia-sia dan sama
sekali tidak menghormati yang diajari, plus tidak tahu diri.
Nelayan memang kerjaannya di laut dan memegang jaring,
tidak mungkin salah. Montir pun demikian.
Itu yang pertama, yang kedua yaitu supaya ‘dagangannya laku’;
menggunakan label madzhab Imam al-Syafi’i saja agar bisa
diterima di masyarakat awam.
Pengukuhan bukan Penyerahan
Sepertinya memang ada kesalahan dalam memahami perkataan
Imam al-Syafi’i itu. Semua beranggapan bahwa Imam al-Syafi’i
menyerahkan (tafwidh) begitu saja madzhabnya kepada
khalayak. Tapi justru ini adalah Pengukuhan dan pernyataan
final bahwa segala apa yang beliau fatwakan –dan akhirnya
menjadi madzhab-, itu semua disandarkan kepada hadits yang
menurut beliau shahih, karena memang beliau juga adalah
seorang muhaddits (ahli hadits) yang paham mana hadits cacat
dan tidak.
Tidak mungkin seorang imam Mujtahid bukan seorang ahli
hadits, tidak mungkin! Bagaimana bisa seorang mengistinbath
sebuah hukum dan dia tidak tahu sumber (al-Quran dan Hadits)
yang baik dan buruk.
Dan juga shahih di sini punya arti bahwa ini shahih (sah) untuk
dijadikan dalil fiqih. Karena hadits yang derajatnya shahih, tidak
serta merta bisa dijadikan dalil hukum karena, karena bisa jadi
itu di-naskh atau ada yang mengkhususkannya (takhshish), atau
di-ta’wil. Jadi memang ini adalah bentuk pengukuhan atas
segala apa yang difatwakan oleh beliau. Bukan penyerahan.
Menjadi tidak masuk akal kalau ini berarti tafwidh
(penyerahan), bagaimana bisa seorang mujtahid malah
menyerahkan madzhabnya kepada khalayak yang belum tentu
setara kapasitas keilmuannya dengan beliau. Lalu buat apa
beliau cape-cape mengumpulkan hasil ijtihadnya kalau ujung-
ujungnya beliau serahkan kepada khalayak?
Dan kalau berarti tafwidh, ini juga punya dampak yang negative.
Akhirnya, siapa saja yang menemukan hadits dan –menurutnya-
itu shahih, ia langsung mengaku-ngaku kalau itu madzhabnya
Imam al-Syafi’i. padahal tidak begitu.
Kalau Haditsnya Shahih, itu Madzhabku!
Jadi memang perkataan Imam al-Syafi’i tidak bisa diartikan
secara tekstual begitu saja. Perlu ada pemahaman yang pas
sehingga tidak mencederai kapasitas Imam al-Syafi’i sebagai
seorang mujtahid mutlak. Dan sebenarnya, kita tidak perlu
bersusah payah, karena pernyataan Imam ini sudah dijelaskan
oleh salah satu ulama madzhab al-Syafi’iyyah itu sendiri; yaitu
Imam al-Nawawi dalam muqadimah kitabnya “al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab” (1/63 - 64).
ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻗَﺎﻟَﻪُ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻟﻴﺲ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺍﻥ ﻛﻞ ﺃﺣﺪ ﺭَﺃَﻯ ﺣَﺪِﻳﺜًﺎ ﺻَﺤِﻴﺤًﺎ
ﻗَﺎﻝَ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺬْﻫَﺐُ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ ﻭَﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻈَﺎﻫِﺮِﻩِ : ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻓِﻴﻤَﻦْ ﻟَﻪُ ﺭُﺗْﺒَﺔُ
ﺍﻟِﺎﺟْﺘِﻬَﺎﺩِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺬْﻫَﺐِ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺗَﻘَﺪَّﻡَ ﻣِﻦْ ﺻِﻔَﺘِﻪِ ﺃَﻭْ ﻗَﺮِﻳﺐٍ ﻣِﻨْﻪُ : ﻭَﺷَﺮْﻃُﻪُ ﺃَﻥْ
ﻳَﻐْﻠِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﻇَﻨِّﻪِ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲَّ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻢْ ﻳَﻘِﻒْ ﻋَﻠَﻰ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﺃَﻭْ ﻟَﻢْ
ﻳَﻌْﻠَﻢْ ﺻِﺤَّﺘَﻪُ : ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺇﻧَّﻤَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﺑَﻌْﺪَ ﻣُﻄَﺎﻟَﻌَﺔِ ﻛُﺘُﺐِ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ ﻛُﻠِّﻬَﺎ ﻭَﻧَﺤْﻮِﻫَﺎ
ﻣِﻦْ ﻛُﺘُﺐِ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ ﺍﻟْﺂﺧِﺬِﻳﻦَ ﻋَﻨْﻪُ
“dan yang dikatakan oleh Imam al-Syafi’i ini maksudnya bukan
berarti bahwa setiap orang yang mendapati hadits shahih lalu
berkata ‘ini madzhab al-Syafi’i’ dan beramal sesuai zahir
(teks)nya. bukan seperti itu! Tapi ini berlaku hanya kepada
orang yang kapasitasnya sudah mencapai derajat mujtahid
dalam madzhab ini dengan ketentuan yang sudah disebutkan
sebelmunya, atau mendekati derajat mujtahid itu.
Dan syaratnya, ia harus benar-benar tahu –setelah meneliti-
bahwa Imam al-Syafi’i tidak tahu hadits itu atau tidak tahu
derajat ke-shahihan hadits tersebut. Dan (kemampuan) ini bisa
didapatkan bagi mereka yang sudah membaca semua kitab-
kitab Imam al-Syafi’i dan kitab-kitab lain dari murid-muridn sang
Imam yang mengambil ilmu dari beliau.”
Jadi memang maksud dari perkataan sang Imam tidak bisa
diterjemahkan secara tekstual, karena memang maksudnya itu
bukan ‘menyerahkan’ (tafwidh) tapi pengukuhan. Kalau
memang mau diterjemahkan secara tekstual begitu, mestilah ia
orang yang mumpuni dan sudah mencapai derajat mujtahid
madzhab. Kalau mujtahid madzhab tidak bleh kecuali dia yang
sudah membaca dan menelaah semua kitab-kitab Imam al-
Syafi’i beserta kitab murid-murid mereka yang mengambil fiqih
dari sang Imam.
Kenapa begitu sulit syaratnya? Imam Nawawi kemudian
menjelaskan lagi kenapa syaratnya sangat ketat:
ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﺷْﺘَﺮَﻃُﻮﺍ ﻣَﺎ ﺫَﻛَﺮْﻧَﺎ ﻟِﺄَﻥَّ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲَّ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺗَﺮَﻙَ ﺍﻟْﻌَﻤَﻞَ ﺑِﻈَﺎﻫِﺮِ
ﺃَﺣَﺎﺩِﻳﺚَ ﻛَﺜِﻴﺮَﺓٍ ﺭَﺁﻫَﺎ ﻭَﻋَﻠِﻤَﻬَﺎ ﻟَﻜِﻦْ ﻗَﺎﻡَ ﺍﻟﺪَّﻟِﻴﻞُ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﻃَﻌْﻦٍ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺃَﻭْ
ﻧَﺴْﺨِﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﺗَﺨْﺼِﻴﺼِﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﺗَﺄْﻭِﻳﻠِﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﻧَﺤْﻮِ ﺫَﻟِﻚَ
“mereka (ulama al-Syafi’iyyah) mensyaratkan (sulit) seperti itu
karena memang Imam al-Syafi’i tidak mengamalkan banyak
hadits yang ia dapati dan ia tahu derajat –keshahihannya-, itu
karena ada dalil/bukti lain menurut beliau yang mencederai
status hadits tersebut, atau –bisa jadi- hadits itu sudah
dihapus, atau juga ada dalil lain yang men-takhshish-nya, atau
hadits itu maknanya dita’wil (ditafsiri bukan secara tekstua),
atau keran sebab lain yang membuat hadits itu tidak bisa
diamalkan.”
Paraghraf ini menunjukan bahwa memang Imam al-Syafi’i
bukan orang sembarang dan punya kapasitas tinggi dalam
starata mujtahid, sehingga semua muridnya sangat percaya
bahwa sang Imam tidak lalai. Imam al-Syafi’i tidak mungkin
asal dalam memnentuka sebuah hukum, dan beliau tidak hanya
bersandar hanya dengan satu hadits, akan tetapi beliau
kumpulkan hadits yang ada dan beliau teliti barulah keluar
sebuah produk hukum.
Imam an-Nawawi mencontohkan bahwa hadits berbukanya
orang yang berbekam itu derajatnya shahih, akan tetapi Imam
al-Syafi’i tidak berhukum seperti itu, karena hadits itu walaupun
shahih tapi sudah di-nask (hapus) dengan hadits lain yang
mengatakan sebaliknya.
Jadi, ketika ada hadits shahih tapi tidak diamalkan oleh sang
Imam, itu bukan karena sang Imam tidak tahu atau tidak
paham, tapi justru ada hadits atau dalil lain yang membuat
hadits itu tidak bisa diamalkan seperti perkataan Imam an-
Nawawi di atas.
Bahkan Imam an-Nawawi meriwayatkan perkataan Imam Ibnu
Khuzaimah (w. 331 H) yang dengan tegas mengatakan bahwa
tidak ada hadits Rasulullah saw dalam masalah halal-haram
(hukum syariat) yang tertinggal oleh Imam al-Syafi’i dalam
kitab-kitabnya.
Tidak Bisa Menerbangkan Pesawat, Jadi Penumpang Saja
So. Kita tidak bisa asal mengatakan bahwa “ini madzhab syafi’i
karena haditsnya shahih”, padahal madzhab al-Syafi’i tidak
berkata demikian. Kalau memang mau seperti itu, harus sadar
diri dan berkaca:
Mujtahidkah kita? sehingga berani mengklaim madzhab syafi’i
hanya dengan hadits –yang menurut kita- itu shahih?
Atau kalau memang bukan mujtahid, sudah berapa kitab
madzhab al-Syafi’i yang kita baca? Sebagaimana syarat yang
disebutkan oleh ulama madzhab al-Syafi’i.
Kalau memang hanya belajar dari internet dan ngaji sabtu ahad
doiang, ya jangan menunggangi label madzhab al-Syafi’i seperti
itu. Merasa rugikah kita kalau kita ber-tawadhu’ saja dan
mengatakan:
“hadits ini menurut ulama fulan bin fulan itu derajatnya shahih.
Tapi madzhab Imam al-Syafi’i berfatwa sebaliknya. Mungkin
hadits menurut Imam al-Syafi’i ini punya cacat yang ulama
fulan itu tidak tahu, atau ada dalil lain yang dipakai oleh sang
Imam yang membuat hadits tidak bisa diamalkan”.
Tanpa perlu mengaku-ngaku “ini madzhab Imam al-Syafi’I,
karena hadits ini shahih!”, ini sama saja mengajarkan pilot
bagaimana caranya memegang navigasi. Kalau memang tidak
bisa menerbangkan pesawat, ya duduk saja sebagai
penumpang.
Wallahu a’lam.
kalau pendapat fiqih yang ia pegang itu ialah pendapatnya
madzhab al-Syafi’iiyah tapi nyatanya sama sekali pendapat itu
kita tidak temukan itu di buku-buku fiqih madzhab Imam al-
Syafi’i, sama sekali tidak ada. Akhirnya malah menyalahi
pendapat madzhab.
Jadi kalau ditanya tentang pendapatnya tersebut, ia menjawab
dengan lugas: “ini pendapat Imam al-Syafi’i, loch!”.
Anehnya, sama sekali ia menyimpulkan pendapatnya tersebut
hanya dari sebuah hadits, tanpa melirik bagaimana ushul-fiqh
yang berlaku dalam madzhab Imam Muhammad bin Idris ini. ia
hanya tahu satu perkataan Imam al-Syafi’i yang masyhur lalu
dijadikan sandaran, yaitu:
ﺇﺫَﺍ ﺻَﺢَّ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚُ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻫَﺒِﻲ
“kalau haditsnya shahih, maka ini adalah madzhabku!”
Cuma karena perkataan ini, kalau ia mendapati hadits dan itu
derajatnya shahih –menurut dia-, dia langsung menghukum
hukum fiqih yang ada dalam hadits itu lalu mengatakan itu
adalah pendapat madzhab al-Syaf’iyyah, tanpa peduli bahwa
pendapatnya itu menyelisih pendapat resmi madzhab. Toh
karena memang ia hanya tahu itu saja, tanpa pernah buka
kitab-kitab madzhab al-Syafi’iyyah.
Tentu ini adalah bentuk kekeliruan dalam memahami perkataan
Imam al-Syafi’i. pemahaman seperti ini, ujungnya nanti akan
berbuah ‘penghakiman’ terhadap Imam mulia tersebut bahwa
beliau ‘keliru’ dan ‘salah’. Wah hebat, bisa menyalahkan Imam!
Atau bisa jadi, pengakuannya itu hanya untuk dijadikan
‘tamemng’, agar pendapatnya itu diterima di khalayak, ia
menunggang label madzhab al-Syafi’i.
Contoh Kasus
Contohnya begini, yang paling familiar ialah masalah qunut.
Pendapat resmi madzhab al-Syafi’iyyah qunut subuh itu sunnah
muakkad dan masuk dalam kategori sunnah Ab’adh dalam
sholat yang kalau tertinggal, diganti dengan sujud sahwi
sebelum salam.
Ternyata hadits perihal qunut subuh itu setelah diteliti oleh
mereka –yang menyalahkan Imam- itu adalah hadits yang
dhaif, karena dhaif maka tidak bisa dipakai, bahkan ada yang
mengatakan bid’ah. Lalu karena mengacu pada pemahamannya
terhadap perkataan Imam al-Syafi’i secara tekstual itu, ia
katakan:
“ini madzhab Imam al-Syafi’i, karena Imam al-Syafi’i bilang
madzhabnya itu madzhab hadits yang shahih, sedangkan hadits
qunut subuh itu dhaif. Jadi qunut subuh tidak ada. Begini
madzhab Imam al-Syafi’i!”
Nah, dari perkataan seperti ini, terlihat ada bentuk justifikasi
kesalahan, dan indikasi seakan-akan Imam al-Syafi’i keliru
memilih hadits dan tidak piawai memilih mana yang shahih dan
mana yang dhaif. Seakan-akan ia mengajari Imam al-Syafi’i.
Bagaimana bisa seorang ahli hadits sekelas Imam al-Syafi’i
keliru menilai sebuah hadits?
Ini seperti mengajari nelayan bagaimana caranya memegang
jaring ikan, atau seperti mengajari montir bagaimana caranya
memegang obeng. Jelas pekerjaan yang sia-sia dan sama
sekali tidak menghormati yang diajari, plus tidak tahu diri.
Nelayan memang kerjaannya di laut dan memegang jaring,
tidak mungkin salah. Montir pun demikian.
Itu yang pertama, yang kedua yaitu supaya ‘dagangannya laku’;
menggunakan label madzhab Imam al-Syafi’i saja agar bisa
diterima di masyarakat awam.
Pengukuhan bukan Penyerahan
Sepertinya memang ada kesalahan dalam memahami perkataan
Imam al-Syafi’i itu. Semua beranggapan bahwa Imam al-Syafi’i
menyerahkan (tafwidh) begitu saja madzhabnya kepada
khalayak. Tapi justru ini adalah Pengukuhan dan pernyataan
final bahwa segala apa yang beliau fatwakan –dan akhirnya
menjadi madzhab-, itu semua disandarkan kepada hadits yang
menurut beliau shahih, karena memang beliau juga adalah
seorang muhaddits (ahli hadits) yang paham mana hadits cacat
dan tidak.
Tidak mungkin seorang imam Mujtahid bukan seorang ahli
hadits, tidak mungkin! Bagaimana bisa seorang mengistinbath
sebuah hukum dan dia tidak tahu sumber (al-Quran dan Hadits)
yang baik dan buruk.
Dan juga shahih di sini punya arti bahwa ini shahih (sah) untuk
dijadikan dalil fiqih. Karena hadits yang derajatnya shahih, tidak
serta merta bisa dijadikan dalil hukum karena, karena bisa jadi
itu di-naskh atau ada yang mengkhususkannya (takhshish), atau
di-ta’wil. Jadi memang ini adalah bentuk pengukuhan atas
segala apa yang difatwakan oleh beliau. Bukan penyerahan.
Menjadi tidak masuk akal kalau ini berarti tafwidh
(penyerahan), bagaimana bisa seorang mujtahid malah
menyerahkan madzhabnya kepada khalayak yang belum tentu
setara kapasitas keilmuannya dengan beliau. Lalu buat apa
beliau cape-cape mengumpulkan hasil ijtihadnya kalau ujung-
ujungnya beliau serahkan kepada khalayak?
Dan kalau berarti tafwidh, ini juga punya dampak yang negative.
Akhirnya, siapa saja yang menemukan hadits dan –menurutnya-
itu shahih, ia langsung mengaku-ngaku kalau itu madzhabnya
Imam al-Syafi’i. padahal tidak begitu.
Kalau Haditsnya Shahih, itu Madzhabku!
Jadi memang perkataan Imam al-Syafi’i tidak bisa diartikan
secara tekstual begitu saja. Perlu ada pemahaman yang pas
sehingga tidak mencederai kapasitas Imam al-Syafi’i sebagai
seorang mujtahid mutlak. Dan sebenarnya, kita tidak perlu
bersusah payah, karena pernyataan Imam ini sudah dijelaskan
oleh salah satu ulama madzhab al-Syafi’iyyah itu sendiri; yaitu
Imam al-Nawawi dalam muqadimah kitabnya “al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab” (1/63 - 64).
ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻗَﺎﻟَﻪُ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻟﻴﺲ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺍﻥ ﻛﻞ ﺃﺣﺪ ﺭَﺃَﻯ ﺣَﺪِﻳﺜًﺎ ﺻَﺤِﻴﺤًﺎ
ﻗَﺎﻝَ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺬْﻫَﺐُ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ ﻭَﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻈَﺎﻫِﺮِﻩِ : ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻓِﻴﻤَﻦْ ﻟَﻪُ ﺭُﺗْﺒَﺔُ
ﺍﻟِﺎﺟْﺘِﻬَﺎﺩِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺬْﻫَﺐِ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺗَﻘَﺪَّﻡَ ﻣِﻦْ ﺻِﻔَﺘِﻪِ ﺃَﻭْ ﻗَﺮِﻳﺐٍ ﻣِﻨْﻪُ : ﻭَﺷَﺮْﻃُﻪُ ﺃَﻥْ
ﻳَﻐْﻠِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﻇَﻨِّﻪِ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲَّ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻢْ ﻳَﻘِﻒْ ﻋَﻠَﻰ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﺃَﻭْ ﻟَﻢْ
ﻳَﻌْﻠَﻢْ ﺻِﺤَّﺘَﻪُ : ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺇﻧَّﻤَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﺑَﻌْﺪَ ﻣُﻄَﺎﻟَﻌَﺔِ ﻛُﺘُﺐِ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ ﻛُﻠِّﻬَﺎ ﻭَﻧَﺤْﻮِﻫَﺎ
ﻣِﻦْ ﻛُﺘُﺐِ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ ﺍﻟْﺂﺧِﺬِﻳﻦَ ﻋَﻨْﻪُ
“dan yang dikatakan oleh Imam al-Syafi’i ini maksudnya bukan
berarti bahwa setiap orang yang mendapati hadits shahih lalu
berkata ‘ini madzhab al-Syafi’i’ dan beramal sesuai zahir
(teks)nya. bukan seperti itu! Tapi ini berlaku hanya kepada
orang yang kapasitasnya sudah mencapai derajat mujtahid
dalam madzhab ini dengan ketentuan yang sudah disebutkan
sebelmunya, atau mendekati derajat mujtahid itu.
Dan syaratnya, ia harus benar-benar tahu –setelah meneliti-
bahwa Imam al-Syafi’i tidak tahu hadits itu atau tidak tahu
derajat ke-shahihan hadits tersebut. Dan (kemampuan) ini bisa
didapatkan bagi mereka yang sudah membaca semua kitab-
kitab Imam al-Syafi’i dan kitab-kitab lain dari murid-muridn sang
Imam yang mengambil ilmu dari beliau.”
Jadi memang maksud dari perkataan sang Imam tidak bisa
diterjemahkan secara tekstual, karena memang maksudnya itu
bukan ‘menyerahkan’ (tafwidh) tapi pengukuhan. Kalau
memang mau diterjemahkan secara tekstual begitu, mestilah ia
orang yang mumpuni dan sudah mencapai derajat mujtahid
madzhab. Kalau mujtahid madzhab tidak bleh kecuali dia yang
sudah membaca dan menelaah semua kitab-kitab Imam al-
Syafi’i beserta kitab murid-murid mereka yang mengambil fiqih
dari sang Imam.
Kenapa begitu sulit syaratnya? Imam Nawawi kemudian
menjelaskan lagi kenapa syaratnya sangat ketat:
ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﺷْﺘَﺮَﻃُﻮﺍ ﻣَﺎ ﺫَﻛَﺮْﻧَﺎ ﻟِﺄَﻥَّ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲَّ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺗَﺮَﻙَ ﺍﻟْﻌَﻤَﻞَ ﺑِﻈَﺎﻫِﺮِ
ﺃَﺣَﺎﺩِﻳﺚَ ﻛَﺜِﻴﺮَﺓٍ ﺭَﺁﻫَﺎ ﻭَﻋَﻠِﻤَﻬَﺎ ﻟَﻜِﻦْ ﻗَﺎﻡَ ﺍﻟﺪَّﻟِﻴﻞُ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﻃَﻌْﻦٍ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺃَﻭْ
ﻧَﺴْﺨِﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﺗَﺨْﺼِﻴﺼِﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﺗَﺄْﻭِﻳﻠِﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﻧَﺤْﻮِ ﺫَﻟِﻚَ
“mereka (ulama al-Syafi’iyyah) mensyaratkan (sulit) seperti itu
karena memang Imam al-Syafi’i tidak mengamalkan banyak
hadits yang ia dapati dan ia tahu derajat –keshahihannya-, itu
karena ada dalil/bukti lain menurut beliau yang mencederai
status hadits tersebut, atau –bisa jadi- hadits itu sudah
dihapus, atau juga ada dalil lain yang men-takhshish-nya, atau
hadits itu maknanya dita’wil (ditafsiri bukan secara tekstua),
atau keran sebab lain yang membuat hadits itu tidak bisa
diamalkan.”
Paraghraf ini menunjukan bahwa memang Imam al-Syafi’i
bukan orang sembarang dan punya kapasitas tinggi dalam
starata mujtahid, sehingga semua muridnya sangat percaya
bahwa sang Imam tidak lalai. Imam al-Syafi’i tidak mungkin
asal dalam memnentuka sebuah hukum, dan beliau tidak hanya
bersandar hanya dengan satu hadits, akan tetapi beliau
kumpulkan hadits yang ada dan beliau teliti barulah keluar
sebuah produk hukum.
Imam an-Nawawi mencontohkan bahwa hadits berbukanya
orang yang berbekam itu derajatnya shahih, akan tetapi Imam
al-Syafi’i tidak berhukum seperti itu, karena hadits itu walaupun
shahih tapi sudah di-nask (hapus) dengan hadits lain yang
mengatakan sebaliknya.
Jadi, ketika ada hadits shahih tapi tidak diamalkan oleh sang
Imam, itu bukan karena sang Imam tidak tahu atau tidak
paham, tapi justru ada hadits atau dalil lain yang membuat
hadits itu tidak bisa diamalkan seperti perkataan Imam an-
Nawawi di atas.
Bahkan Imam an-Nawawi meriwayatkan perkataan Imam Ibnu
Khuzaimah (w. 331 H) yang dengan tegas mengatakan bahwa
tidak ada hadits Rasulullah saw dalam masalah halal-haram
(hukum syariat) yang tertinggal oleh Imam al-Syafi’i dalam
kitab-kitabnya.
Tidak Bisa Menerbangkan Pesawat, Jadi Penumpang Saja
So. Kita tidak bisa asal mengatakan bahwa “ini madzhab syafi’i
karena haditsnya shahih”, padahal madzhab al-Syafi’i tidak
berkata demikian. Kalau memang mau seperti itu, harus sadar
diri dan berkaca:
Mujtahidkah kita? sehingga berani mengklaim madzhab syafi’i
hanya dengan hadits –yang menurut kita- itu shahih?
Atau kalau memang bukan mujtahid, sudah berapa kitab
madzhab al-Syafi’i yang kita baca? Sebagaimana syarat yang
disebutkan oleh ulama madzhab al-Syafi’i.
Kalau memang hanya belajar dari internet dan ngaji sabtu ahad
doiang, ya jangan menunggangi label madzhab al-Syafi’i seperti
itu. Merasa rugikah kita kalau kita ber-tawadhu’ saja dan
mengatakan:
“hadits ini menurut ulama fulan bin fulan itu derajatnya shahih.
Tapi madzhab Imam al-Syafi’i berfatwa sebaliknya. Mungkin
hadits menurut Imam al-Syafi’i ini punya cacat yang ulama
fulan itu tidak tahu, atau ada dalil lain yang dipakai oleh sang
Imam yang membuat hadits tidak bisa diamalkan”.
Tanpa perlu mengaku-ngaku “ini madzhab Imam al-Syafi’I,
karena hadits ini shahih!”, ini sama saja mengajarkan pilot
bagaimana caranya memegang navigasi. Kalau memang tidak
bisa menerbangkan pesawat, ya duduk saja sebagai
penumpang.
Wallahu a’lam.
0 Response to "Pemahaman Yang Salah Dari Sebagian Sekte-sekte Menyesatkan"
Post a Comment