Al-Bushiri, setelah bertanya dengan sosok yang ia buat, tentang sebab air mata yang mengalir tanpa henti hingga bercampur dengan darah, apakah ia karena teringat sang Kekasih di Salam, atau sebab hembusan angin yang membawa aromanya, atau karena kilatan petir yang memperlihatkan jelas tempat tinggalnya, sosok itu hanya terdiam. Tidak ada satu jawaban pun yang keluar. Seolah sosok tersebut mengingkari semua alasan yang telah disebut Al-Bushiri. Ia tidak mau mengakui apa yang sedang hatinya rasakan.
Akhirnya, Al-Bushiri mulai mengungkap bukti-bukti yang tidak mungkin ia pungkiri:
فما لعينيك إن قلت اكففا همتا * وما لقلبك إن قلت استفق يهم
“Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan kedua matamu, setiap kali kamu memintanya untuk berhenti menangis, justru semakin deras air mata yang mengalir. Juga apa yang sebetulnya hatimu sedang rasakan? Setiap kali kamu minta ia untuk sadar, justru semakin hilang kendali dalam rindu.”
Orang-orang yang mengerti akan faham, bahwa mata akan membongkar semua rahasia. Ia mampu menyampaikan kalimat rindu saat lidah terdiam bisu, ia ahli dalam mengungkapkan cinta saat seluruh tubuh terdiam. Sebagaimana sosok yang diajak bicara oleh Al-Bushiri, meskipun ia tidak memberikan jawaban, tapi mata yang mewakili isi hatinya. Bahkan ia lebih kuat sebagai dalil dari pada hanya untaian kata.
Begitu juga hati seseorang yang sedang hilang kendali dalam cinta, ia tidak akan pernah tunduk dengan apa yang diperintahkan oleh akal. Cinta itu kini mulai membuat hati buta. Akal yang tidak lagi mampu menanggung rasa, tetap hati hadapi sebagai pengorbanan.
**
Setelah sosok yang diajak bicara hanya terdiam bisu, kini ia tidak lagi berbicara dengannya:
أ يحسب الصب أن الحب منكتم * ما بين منسجم منه ومضطرم
“Apakah orang yang sedang merindu (al-shabb) itu mengira bahwa cintanya dapat tersembunyi begitu saja? Padahal ada air mata yang mengalir dan hati yang diliputi api kerinduan yang membara?”
Al-Bushiri merubah dhamir dalam susunan bait syiirnya, yang tadinya mukhatab kepada sosok tersebut, kini ia gunakan dhamir ghaib, yang dikenal dengan istilah al-Iltifat, agar pembaca tidak bosan.
Beliau dalam bait ini, juga menggunakan istifham al-inkari, pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, yang tujuannya hanya untuk membantah lawan bicara; sebab sosok yang awalnya di ajak bicara tidak mengakui bahwa air mata yang keluar tersebut bukan disebabkan kekasih.
Tapi memang begitu tabiat pecinta, pada awalnya ia memang enggan untuk mengutarakan rasa yang ada di hatinya. Mungkin, ada dua sebab: yang pertama, cinta selalu saja membuat pemiliknya terlihat lemah, ia begitu terikat dengan sang kekasih, apapun yang kekasih inginkan pasti ia turuti. Cinta membuat lemah yang kuat, membuat lembek orang yang tegar, oleh karenanya mereka selalu berusaha untuk menutupi kerinduannya.
Di sisi lain, para Wali Allah, yang begitu perhatian dengan ikhlas, mereka enggan mengatakan air mata yang mengalir itu karena rindunya kepada Allah dan Rasul-Nya, hingga bisa jadi, penyakit riya akan menghinggapi cinta mereka tersebut. Oleh karena itu, ada ungkapan: al-Rijal dumu'uhum tasilu tahta juludihim. (Orang yang kuat akan mengalirkan air matanya di bawah kulit mereka).
Al-Hamdani pernah berkata:
بلى أنا مشتاق وعندي لوعة ** ولكن مثلي لا يذاع له سر
“Betul! Aku adalah seorang perindu, dan aku punya rasa perih dan nyeri dalam kalbu. Tapi orang yang sepertiku, bukanlah orang yang suka menyebarkan rahasia, sepertimu.”
إذا الليل أضواني بسطت يد الهوى * وأذللت دمعا من خلائقه الكبر
“Namun saat malam tiba, ia membuatku lemah tak memiliki kuasa, aku hamparkan rasa cinta yang ku pendam, dan aku alirkan air mata yang tertahan.”
Begitulah para pecinta. Begitulah orang yang cinta kepada Rasulullah, mereka tidak akan pernah lalai dari mengingat kekasih, bagaimana bisa mereka melupakannya? Jika sedang makan, makan, tidur, yang teringat hanyalah sang kekasih. Rasulullah ada di setiap sisi hidup mereka.
Di antara mereka ada yang memiliki cinta, rindu hingga mengantarkan mereka kepada kematian. Syahid memiliki banyak tingkatan. Dan yang paling tinggi adalah syahid cinta; yaitu orang yang wafat karena terbunuh dengan pedang cinta dan rindu.
Sayyidatina Fathimah RA. setelah wafatnya Rasulullah, hatinya terasa seperti terpotong, jiwanya seperti terbakar rasa rindu, ia tidak mampu menanggung hidup tanpa dibersamai oleh Rasulullah. Tidak lama beliau menanggung rindu, 6 bulan setelahnya, Sayyidatina Fathimah pun menyusul kekasihnya.
Sayyidina Abu Bakr Al-Shiddiq, khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah. Jika disebut Rasulullah dalam mimbar, beliau akan menangis, dan terus menangis, hingga tangisan itu membuat semua orang yang hadir juga ikut menangis. Tidak lama beliau memimpin, akhirnya beliau juga menyusul Rasulullah. Ulama berkata: Abu Bakar wafat dengan pedang kerinduan.