Akhir zaman ini kita sering membaca atau mendengar seseorang yang melarang Muslim lain untuk mengamalkan sebuah amal tertentu dengan alasan Haditsnya Dhaif (dhaif). Bagaimanakah sebenarnya hukum mengamalkan Hadits Dhaif? Benarkah umat Islam dilarang untuk mengamalkan Hadits Dhaif? BOLEHKAH MENGAMALKAN HADITS DHAIF ?
Secara garis besar, Hadits dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Hadits Shahih, Hasan dan Dhaif. Berdasarkan pengelompokan ini, maka semua ulama telah bersepakat bahwa Hadits Dhaif adalah Hadits, artinya ia juga ucapan, perbuatan atau pernyataan Nabi Muhammad saw.
Dengan kata lain, Hadits Dhaif adalah Hadits – bukan ucapan yang dibuat-buat – serta dinisbatkan kepada Nabi, BUKAN HADITS PALSU. Adapun Hadits PALSU di dalam ilmu Hadits disebut dengan nama Hadits MAUDHU’, BUKAN DHAIF .
Singkat kata, Hadits Dhaif adalah ucapan Nabi Muhammad saw yang diwaspadai tingkat kebenarannya dikarenakan perawi atau yang meriwayatkannya memiliki beberapa kekurangan menurut ulama Hadits. Namun di sisi lain, para ulama juga tidak menyangkal bahwa bisa jadi perawi yang diragukan tersebut memang benar-benar menyampaikan HADITS NABI apa adanya. Karena itu para ulama tidak mendustakan Hadits Dhaif dan tidak pula serta-merta membenarkan Hadits Dhaif. Mereka memilih sikap berhati-hati.
Satu hal yang harus dimengerti adalah tidak ada satupun ulama Hadits yang berani menafikan keseluruhan Hadits Dhaif, sebab menuduh seluruh Hadist Dhaif sebagai Hadits yang palsu berarti seseorang telah mendustakan ucapan Rasulullah saw dan menyebabkan seseorang tersebut menjadi kufur.
Lalu bagaimanakah sikap para ulama terhadap Hadits Dhaif, apakah mereka membuang dan memberangusnya, ataukah mereka memakainya dan mengamalkannya?
Dalam hal ini secara garis besar para ulama terbagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, Pertama adalah kelompok yang menerima Hadits Dhaif secara mutlak bahkan untuk menentukan hukum Islam. Kedua, kelompok yang menganjurkan untuk mengamalkan Hadits Dhaif, selama Hadits tersebut berisi nasehat dan ajakan-ajakan kebaikan (Fadhilah Amal), bukan Hadits tentang suatu hukum (red: misal untuk menentukan hukum halal-haram; sah-tidak sah;wajib/haram;dalil aqidah tentang Ketuhanan). Ketiga, kelompok yang menolak pengamalan Hadits Dhaif secara mutlak.
Mayoritas Ulama Islam memilih untuk berada dalam kelompok tengah-tengah atau kelompok kedua, yaitu mereka yang menganjurkan untuk mengamalkan Hadits Dhaif selama Hadits tersebut berisi nasehat dan ajakan-ajakan kebaikan (Fadhilah Amal). Di antara tokoh yang terkenal tegas menyatakan hal ini adalah IMAM NAWAWI, seorang ulama madzhab SYAFI’I. Karya Imam Nawawi menjadi rujukan seluruh umat Islam hingga kini, di antara karya beliau yang sangat populer di dunia Islam khususnya di tanah air kita adalah RIYADHUS SHALIHIN, ARBA’IN AN-NAWAWIYAH dan AL-ADZKAR.
Imam BUKHARI, pengarang Sahih AL-BUKHARI, bahkan tak segan-segan mencantumkan lebih dari 200 Hadits Dhaif di dalam bukunya yang berjudul Adabul Mufrad, buku yang berisikan adab keseharian seorang Muslim dalam mengarungi kehidupan dunia. Ini menunjukkan bahwa Imam Bukhari yang sangat mengerti mana Shahih dan mana Dhaif, beliau justru tidak alergi kepada Hadits Dhaif.
Ibnu Katsir, seorang pakar Hadits dan sekaligus ahli tafsir, dalam tafsirnya yang sangat terkenal, bahkan juga mencantumkan begitu banyak Hadits Dhaif untuk memperkuat argumennya dalam menafsirkan sebuah ayat.
Imam Ahmad bin Hambal, pemuka madzhab Hambali yang menghapal satu juta Hadits bahkan menyatakan, “Hadits dhaif itu lebih baik daripada qiyas.” Beliau bahkan menjadikan Hadits Dhaif sebagai landasan untuk menentukan sebuah ketentuan hukum saat tidak ditemukan Hadits Shahih yang menjelaskannya.
Kesimpulannya, Hadits Dhaif adalah ucapan Nabi, bukan Hadits Palsu, dan sehubungan dengan anjuran kebajikan dan arahan untuk beramal saleh, MAYORITAS ULAMA SEPAKAT AGAR UMAT ISLAM MENGAMALKAN HADITS DHAIF.
Oleh: Habib Novel bin Muhammad Al-Aydrus
Pengasuh Majelis AR-RAUDHAH, SOLO