Latest Updates

BURDAH BAIT 8

BURDAH BAIT 8

 

Saat orang yang ditanya tentang air mata yang mengalir begitu derasnya hingga bercampur dengan darah semakin jelas alasannya, bahwa sebetulnya semua itu disebabkan cinta yang begitu dalam. Ia sudah tidak mampu lagi untuk menepis tuduhan, dan akhirnya ia mengakui:


نعم، سرى طيف من أهوى فأرقني ** والحب يعترض اللذات بالألم


“Betul (semua yang kamu tuduhkan tentang air mata yang mengalir bercampur dengan darah), karena bayangan kekasihku muncul lewat saat malam hari, yang kemudian ia membuatku sulit untuk tidur. Dan cinta yang bermula terasa lezat, kini berubah menjadi derita.”


Na'am. Iya. Ia kini mengakui jika sebab air mata itu karena teringat kekasih yang berada di Salam sebab bayangannya yang hadir datang pada malam hari. Lezatnya cinta kini berubah menjadi lezatnya perih dalam mencintai; sebab apa yang ia harapkan dari kekasihnya agar dapat bertemu dan bersua belum juga terwujud. Potongan bait al-Bushiri ini, mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad saat beliau sedang dalam perjalanan menuju Madinah Al-Munawwarah:


سَلَكنا الفَيافي وَالقفار عَلى النَجب

يَحدو بِنا الأَشواق لا حادي الرَكب


Kami tempuh hamparan gurun yang begitu luas dengan membawa bekal secukupnya. Rindu ini sangat kuat mendorong kami untuk terus pergi. 


يَلذ لَنا أَن لا يَلذ لَنا الكَـرى

لَما خالَطَ الأَرواح مِن خالص الحُب


Perjalanan yang begitu membuat kami merasa nikmat, karena kami tidak menikmati tidur yang nyenyak (karena lelah menahan rindu), saat cinta suci ini telah bercampur aduk dengan arwah kami. 


Cinta yang suci ini, yang menjadikan perindu merasakan nikmat dengan tidak merasakan nikmat materialistik, tergambar jelas isyarat-isyaratnya pada surat Yusuf. Surat yang menjadi gambaran perjalanan para perindu, yang Nabi Ya'qub menjadi pemeran utama yang begitu merindukan anaknya. 


Al-Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Al-Saqqaf, salah seorang sastrawan nan faqih pernah bertanya kepada gurunya, tentang tema syiir terindah menurut dirinya. Ia menjawab: “Syiir tentang rindu, dan perpisahan kekasih dengan orang yang ia cintai.” jawaban gurunya itu berlandaskan dengan dalil. Karena Al-Quran, saat ingin menceritakan kisah Nabi Yusuf, ia menyebutkan pada ayat ke-3:


نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ ٱلْقَصَصِ


Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik. (QS. Yusuf 3).


Karena Al-Quran menyebutkan akan menceritakan kisah terbaik, kemudian setelahnya Al-Quran menceritakan kisah Nabi Yusuf dan ayahnya yang berisi tentang kerinduan seorang ayah karena berpisah dengan anaknya. Oleh karena itu, Guru dari Habib Abdulrahman berkeyakinan bahwa kisah rindu dan perpisahan adalah kisah terbaik yang pernah diceritakan. 


Lihat saja bagaimana saat Nabi Yusuf memberikan bajunya kepada saudara-saudaranya agar diberi kepada sang ayah. Saat mereka sedang dalam perjalanan dan masih berada di Mesir, dan sang Ayah di Palestina, ayahnya berkata: “Sungguh, aku mencium bau Yusuf.”


Sebelum menemukan tanda-tanda bertemu dengan anaknya, mata sang ayah tidak mampu untuk melihat, sebab tangisan yang tiada henti, menahan rindu yang tak berujung. Namun, sebatas baju itu sampai kepada ayahnya, matanya kembali normal, ia kembali mampu melihat. Seolah hidupnya hanya menjadi nikmat kembali dengan kembalinya sang kekasih, anak yang selama ini ia rindukan. 


Dari mana Nabi Ya'qub bisa mendapatkan kembali lezatnya bertemu dengan kekasih? Jawabannya, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat, dia tak pernah berputus asa dari kasih sayang Allah. 


يَٰبَنِىَّ ٱذْهَبُوا۟ فَتَحَسَّسُوا۟ مِن يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَا۟يْـَٔسُوا۟ مِن رَّوْحِ ٱللَّهِ ۖ


Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.


Nabi Ya'qub seolah memberikan pelajaran, sekalipun kamu sudah sampai pada batas wajar manusia dalam merindu, hingga panca indera sudah hilang fungsinya, tidak lagi mampu melihat karena terlalu sering menangis, tidak mampu lagi merasakan nikmatnya makan, tidak ada lagi nikmat untuk tidur, jangan berputus asa dari kasih sayang Allah, barangkali di titik itu, Allah pertemukan dengan kekasih yang selama ini didambakan. 


Suatu saat, pertemuan itu akan ada. Dimulai dengan tanda, seperti bayangan yang hadir bagi al-Bushiri yang membuatnya tak bisa tidur, atau aroma baju Yusuf bagi Ya'qub yang membuatnya merasa kehadiran Yusuf. Kemudian datang utusan sang kekasih, dan setelahnya datanglah waktu yang ditunggu, waktu bertemu dengan kekasih. 


BURDAH BAIT 5,6 dan 7.

BURDAH BAIT 5,6 dan 7.

 

Al-Bushiri, setelah memberikan dalil pertama bahwa semua keadaan yang dia rasakan hingga menangis dengan aliran darah itu betul-betul karena cinta, ia kali ini menyebutkan lagi dalil kedua:


لو لا الهوى لم ترق دمعا على طلل ** ولا أرقت لذكر البان والعلم.


“Seandainya bukan karena cinta, air matamu tidak akan mengalir hanya karena melihat bangunan yg pernah disinggahi oleh kekasih. Seandainya bukan karena cinta, kamu tidak akan sulit untuk tidur, hanya karena ingat pepohonan dan pegunungan yang ada di dekat rumah kekasih.”


Al-Bajuri dalam syarahnya menjelaskan, bahwa sulit bagi orang orang yang sedang merindu untuk tidur karena nyenyaknya tidur disebabkan karena lambung yang basah yang didapat dari makanan dan minuman. Karena orang yang rindu sulit untuk mengendalikan nafsu makan, akhirnya lambungnya mengering yang membuat ia kesulitan tidur. Ditambah dengan rindu sendiri berhawa panas dalam pikiran yang membuat pemiliknya sulit untuk fokus hingga bisa tertidur. 


Al-Bushiri menyebutkan al-bani yang berarti pohon yang beraroma wangi, dan al-'alami yang berarti pegunungan yang indah. Bisa jadi yang diinginkan al-Bushiri adalah makna tekstualnya, yaitu ingat dengan sekitar tempat tinggal kekasih saja bisa membuatnya sulit untuk tidur, apalagi mengingat sang kekasih. Atau, al-Bushiri ingin menyamakan harumnya pohon itu dengan harumnya sang kekasih, dan menyamakan indah dan kokohnya pegunungan sama dengan tegaknya sang kekasih, sehingga maknanya adalah, ia teringat dengan aroma harum sang kekasih dan postur tubuhnya yang begitu tegak, sehingga ia kesulitan untuk tidur. 


Mengingat tempat-tempat yang pernah dikunjungi kekasih memang membuat orang yang sedang kasmaran akan sulit mengendalikan dirinya. Dulu, Qais juga mengalami hal yang seperti ini, sulit mengendalikan diri saat ia melewati rumah Laila, ia bersenandung:


أمر  على  الديار  ديار  ليلى * وأقبل ذا الجدار وذا الجدارا

وما حب الديـار شغفنَ قلبي * ولكن حب من سكن الديارا


“Aku berjalan di rumah, rumahnya Laila. Aku kecup dinding yang ini dan itu. Bukan rumah itu yang membuat jiwaku melayang girang, tapi cinta kepada sang pemilik rumahnya lah yang membuat jiwa ini senang.”


Begitu juga Imam Nawawi yang dulu pernah ingin menziarahi Imam Syafi'i. Dari kejauhan, beliau melihat kubah makam, dan beliau menangis. Bukan karena kubahnya, tapi penghuni Makam tersebut. 


**


فكيف تنكر حبا بعد ما شهدت ** به عليك عدول الدمع والسقم


“Mana mungkin (setelah semua yang terjadi ini) kamu masih mengingkari cinta yang kamu pendam,  setelah terlihat begitu nyata bukti yang tidak akan berdusta: rasa sakit (saqam) dan air mata (dam'i)?!”


Al-Bushiri saat menyebutkan rasa sakit dan air mata sebagai bukti agar ia tidak lagi mengingkari rasa cinta itu, beliau sifati dengan 'Udul (sesuatu yang tidak akan berdusta), padahal air mata dan rasa sakit itu bisa saja muncul selain karena cinta. Tapi, al-Bushiri mengungkapkannya dengan 'udul, seolah itu pasti karena cinta. Karena sangat terlihat perbedaan antara tangisan cinta dan lainnya, juga sangat berbeda rasa sakit karena cinta dan sakit karena penyakit medis. 


**


وأثبت الوجد خطي عبرة وضنى ** مثل البهار على خديك والعنم


“(Mana mungkin juga kamu mengingkari cinta) padahal rasa cinta dan duka nestapa itu telah menggoreskan dua garis di atas kedua pipi karena rasa lemah dan tak berdaya. Mirip seperti mawar kuning dan merah.”


Al-Bushiri ingin memberikan sebuah potongan gambaran yang sangat indah tentang wajah orang yang sedang diselimuti rasa rindu yang begitu dalam. Ia gambarkan, dua pipi itu seperti dataran yang dipenuhi oleh bunga-bunga mawar berwarna kuning. Ini sangat cocok dengan wajah orang yang sedang merindu yang biasanya pucat, kurang makan dan jarang tidur, hingga kesehatannya begitu mencemaskan. Di tengah hamparan bunga mawar berwarna kuning itu, ada dua garis merah dari bunga-bunga mawar merah, yang menjadi gambaran air mata yang mengalir yang bercampur dengan darah.


Gambaran yang diberikan oleh al-Bushiri ini, mirip dengan kisah yang dialami oleh Tsauban. Salah satu pelayan Rasulullah. Ia dulunya adalah tawanan perang yang dibebaskan oleh Rasulullah. Namun setelah bebas, ia tidak ingin pulang ke kampung halamannya dan memilih untuk tinggal, dan melayani Rasulullah. 


Tsauban terkenal dengan cintanya yang begitu luar biasa kepada Rasulullah. Jika Rasulullah menjauh darinya untuk pergi sebentar saja, ia akan gelisah tidak menentu. Jika Rasulullah kembali, ia akan kembali bahagia dan asik menikmati keindahan Rasulullah. 


Suatu hari, Rasulullah mendapati Tsauban yang sedang terlihat sangat sedih. Wajahnya pucat dan menguning. Rasulullah pun bertanya tentang apa yang ia sedang rasakan? 


Tsauban menjawab: “jika aku mengingat akhirat aku sangat sedih. Karena engkau angkat diangkat oleh Allah ke derajat yang sangat tinggi bersama para Nabi. Lalu bagaimana dengan diriku yang akan jauh darimu? Dan jika aku tidak masuk surga, aku tidak akan melihatmu lagi selamanua.”


Rasulullah sangat terharu dengan jawaban Tsauban. Tidak lama setelah itu, turun sebuah ayat yang seolah menjadi jawaban atas kesedihan yang dialami oleh Tsauban:


وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّينَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا.


“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa 69)


BURDAH BAIT 3 & 4

BURDAH BAIT 3 & 4

 Al-Bushiri, setelah bertanya dengan sosok yang ia buat, tentang sebab air mata yang mengalir tanpa henti hingga bercampur dengan darah, apakah ia karena teringat sang Kekasih di Salam, atau sebab hembusan angin yang membawa aromanya, atau karena kilatan petir yang memperlihatkan jelas tempat tinggalnya, sosok itu hanya terdiam. Tidak ada satu jawaban pun yang keluar. Seolah sosok tersebut mengingkari semua alasan yang telah disebut Al-Bushiri. Ia tidak mau mengakui apa yang sedang hatinya rasakan. 


Akhirnya, Al-Bushiri mulai mengungkap bukti-bukti yang tidak mungkin ia pungkiri:


فما لعينيك إن قلت اكففا همتا * وما لقلبك إن قلت استفق يهم


“Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan kedua matamu, setiap kali kamu memintanya untuk berhenti menangis, justru semakin deras air mata yang mengalir. Juga apa yang sebetulnya hatimu sedang rasakan? Setiap kali kamu minta ia untuk sadar, justru semakin hilang kendali dalam rindu.”


Orang-orang yang mengerti akan faham, bahwa mata akan membongkar semua rahasia. Ia mampu menyampaikan kalimat rindu saat lidah terdiam bisu, ia ahli dalam mengungkapkan cinta saat seluruh tubuh terdiam. Sebagaimana sosok yang diajak bicara oleh Al-Bushiri, meskipun ia tidak memberikan jawaban, tapi mata yang mewakili isi hatinya. Bahkan ia lebih kuat sebagai dalil dari pada hanya untaian kata. 


Begitu juga hati seseorang yang sedang hilang kendali dalam cinta, ia tidak akan pernah tunduk dengan apa yang diperintahkan oleh akal. Cinta itu kini mulai membuat hati buta. Akal yang tidak lagi mampu menanggung rasa, tetap hati hadapi sebagai pengorbanan. 


**


Setelah sosok yang diajak bicara hanya terdiam bisu, kini ia tidak lagi berbicara dengannya:


أ يحسب الصب أن الحب منكتم * ما بين منسجم منه ومضطرم


“Apakah orang yang sedang merindu (al-shabb) itu mengira bahwa cintanya dapat tersembunyi begitu saja? Padahal ada air mata yang mengalir dan hati yang diliputi api kerinduan yang membara?”


Al-Bushiri merubah dhamir dalam susunan bait syiirnya, yang tadinya mukhatab kepada sosok tersebut, kini ia gunakan dhamir ghaib, yang dikenal dengan istilah al-Iltifat, agar pembaca tidak bosan. 


Beliau dalam bait ini, juga menggunakan istifham al-inkari, pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, yang tujuannya hanya untuk membantah lawan bicara; sebab sosok yang awalnya di ajak bicara tidak mengakui bahwa air mata yang keluar tersebut bukan disebabkan kekasih. 


Tapi memang begitu tabiat pecinta, pada awalnya ia memang enggan untuk mengutarakan rasa yang ada di hatinya. Mungkin, ada dua sebab: yang pertama, cinta selalu saja membuat pemiliknya terlihat lemah, ia begitu terikat dengan sang kekasih, apapun yang kekasih inginkan pasti ia turuti. Cinta membuat lemah yang kuat, membuat lembek orang yang tegar, oleh karenanya mereka selalu berusaha untuk menutupi kerinduannya. 


Di sisi lain, para Wali Allah, yang begitu perhatian dengan ikhlas, mereka enggan mengatakan air mata yang mengalir itu karena rindunya kepada Allah dan Rasul-Nya, hingga bisa jadi, penyakit riya akan menghinggapi cinta mereka tersebut. Oleh karena itu, ada ungkapan: al-Rijal dumu'uhum tasilu tahta juludihim. (Orang yang kuat akan mengalirkan air matanya di bawah kulit mereka). 


Al-Hamdani pernah berkata:


 بلى أنا مشتاق وعندي لوعة ** ولكن مثلي لا يذاع له سر


“Betul! Aku adalah seorang perindu, dan aku punya rasa perih dan nyeri dalam kalbu. Tapi orang yang sepertiku, bukanlah orang yang suka menyebarkan rahasia, sepertimu.”


إذا الليل أضواني بسطت يد الهوى * وأذللت دمعا من خلائقه الكبر


“Namun saat malam tiba, ia membuatku lemah tak memiliki kuasa, aku hamparkan rasa cinta yang ku pendam, dan aku alirkan air mata yang tertahan.”


Begitulah para pecinta. Begitulah orang yang cinta kepada Rasulullah, mereka tidak akan pernah lalai dari mengingat kekasih, bagaimana bisa mereka melupakannya? Jika sedang makan, makan, tidur, yang teringat hanyalah sang kekasih. Rasulullah ada di setiap sisi hidup mereka. 


Di antara mereka ada yang memiliki cinta, rindu hingga mengantarkan mereka kepada kematian. Syahid memiliki banyak tingkatan. Dan yang paling tinggi adalah syahid cinta; yaitu orang yang wafat karena terbunuh dengan pedang cinta dan rindu. 


Sayyidatina Fathimah RA. setelah wafatnya Rasulullah, hatinya terasa seperti terpotong, jiwanya seperti terbakar rasa rindu, ia tidak mampu menanggung hidup tanpa dibersamai oleh Rasulullah. Tidak lama beliau menanggung rindu, 6 bulan setelahnya, Sayyidatina Fathimah pun menyusul kekasihnya. 


Sayyidina Abu Bakr Al-Shiddiq, khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah. Jika disebut Rasulullah dalam mimbar, beliau akan menangis, dan terus menangis, hingga tangisan itu membuat semua orang yang hadir juga ikut menangis. Tidak lama beliau memimpin, akhirnya beliau juga menyusul Rasulullah. Ulama berkata: Abu Bakar wafat dengan pedang kerinduan. 

BURDAH BAIT 2

BURDAH BAIT 2

Setelah Imam Al-Bushiri bertanya pada bait pertama tentang sebab keluarnya air mata yang bercampur dengan darah, apakah karena teringat Sang Kekasih yang ada di Salam? Sosok yang diajak bicara belum memberikan jawaban.


Al-Bushiri kembali bertanya kepada sosok itu:


أم هبت الريح من تلقاء كاظمة * وأومض البرق في الظلماء من إضم


Apakah darah yang keluar dari mata itu, karena ingatanmu tentang angin (Rihh) yang berhembus dari arah tempat tinggal Sang Kekasih, atau karena kilatan petir yang menyinari gelapnya malam pada Gunung idhami (nama gunung di Madinah)?


Al-Bushiri bertanya tentang hembusan angin karena seorang yang sedang dibendung oleh cinta akan terus memikirkan Sang Kekasih. Tiap detik waktu yang dia miliki hanya dihabiskan untuk merenung, memikirkan keindahan Kekasih. Maka jika datang angin yang berhembus dari arah tempat tinggalnya, khayalannya kembali datang bahwa yang datang adalah aroma Sang kekasih, dan mulailah air mata rindu itu kembali mengalir, hingga jika ia kering, darah lah yang akan menjadi penggantinya.


Al-Bushiri juga memilih kata (Rih) dalam menyebut angin dengan kalimat mufrad (tunggal) yang mana biasanya jika ia datang dengan mufrad, maknanya diartikan dengan angin yang kencang yang bahkan bisa membahayakan manusia. Sebagaimana pada Ali Imran, Allah berfirman:


مَثَلُ مَا يُنْفِقُونَ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رِيحٍ فِيهَا صِرٌّ أَصَابَتْ حَرْثَ قَوْمٍ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَأَهْلَكَتْهُ.


Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya.


Pemilihan kalimat Riih oleh Al-Bushiri, seolah ia ingin mengatakan bahwa angin yang berhembus itu menstimulasi rasa rindu menjadi semakin panas dan meninggi, yang awalnya kerinduan itu hanya sebatas bayangan yang terlintas atau kegelisahan yang berat, kini berubah menjadi tangisan yang tiada henti hingga darah menjadi mengalir, yang bisa saja, jika darah tersebut terus mengalir akan membuat jasmani orang yang merindu dalam keadaan bahaya karena kehabisan darah.


Atau Al-Bushiri ingin mengartikan Riih bukan angin, tapi aroma (raihah) sang kekasih yang hadir tanpa adanya hembusan. Ia hadir begitu saja. Sebab pecinta, sensitifitasnya akan sangat tajam kepada setiap sesuatu yang berhubungan dengan orang yang ia cintai. Ini seperti apa yang pernah terjadi pada Nabi Ya'qub yang waktu itu juga merindukan anaknya, Nabi Yunus, di dalam ayat itu, beliau juga menggunakan kata Riih (hembusan angin) tapi yang diinginkan adalah aroma. Allah berfirman:


وَلَمَّا فَصَلَتِ ٱلْعِيرُ قَالَ أَبُوهُمْ إِنِّى لَأَجِدُ رِيحَ يُوسُفَ


Tatkala kafilah itu telah ke luar (dari negeri Mesir) berkata ayah mereka: "Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf.


**


Dua bait Burdah ini seakan memberikan isyarat tentang fungsinya wasilah dalam menyambung hubungan yang melonggar. Mungkin saat ini, kerinduan belum bisa menguat, tapi melihat kubah hijau, atau dengan menyebut nama Kekasih, rindu itu kembali membuncah. Sebagaimana dalam dua bait ini, kerinduan sang perindu itu semakin naik setelah ada ingatan yang datang, atau hembusan angin yang lewat, atau kilatan petir yang membuat rumah sang kekasih terlihat dari jarak jauh. 


BURDAH BAIT 1

BURDAH BAIT 1



أ من تذكر جيران بذي سلم ** مزجت دمعا جرى من مقلة بدم.


“Apakah karena teringat sang kekasih yang berada di Salam (nama pohon yang tumbuh di antara Mekkah dan Madinah), tercampur air mata yang mengalir dari kelopak matamu dengan darah?”


Imam Al-Bushiri memulai Qasidahnya dengan menampilkan sesosok orang lain selain dirinya, untuk ditanyakan tentang perasaan cinta kepada sang kekasih. Cara ini dikenal oleh para ahli bahasa dengan nama Al-Tajrid, yaitu menghilangkan diri sang penyair, dan menampilkan sosok orang lain sebagai titik pembicaraan. Kemudian, Al-Bushiri mulai bertanya kepada sosok itu, tentang sebab darah itu keluar dari matanya? Apakah karena teringat sang kekasih? Seolah Al-Bushiri malu, merasa tidak pantas untuk menampakkan cinta kepada Rasulullah, oleh karena itu beliau tampilkan sosok lain dengan menggunakan cara Tajrid ini. 


Salam, merupakan nama pohon yang tumbuh di antara Mekkah dan Madinah yang biasa digunakan oleh para musafir untuk berteduh. Oleh karenanya, pohon ini digunakan oleh Al-Bushiri sebagai icon kerinduan nagi para musafir. Karena Sang kekasih pernah berteduh di sana, atau karena di perjalanan, para musafir selalu rindu dengan tempat berteduh.


Kalimat (جيران) arti asalnya merupakan tetangga, namun yang diinginkan oleh Al-Bushiri adalah Sang Kekasih, yaitu Nabi Muhammad. Kalimat ini juga seolah memberikan isyarat, bahwa para pecinta nantinya akan hidup berdampingan dengan Sang

Kekasih di Dar Al-Salam (surga). 


Penggunaan kalimat (ذي), memberikan nilai penghormatan, cinta dan pengagungan kepada kata yang disebutkan sebelumnya. Sebagaimana ayat menyebutkan, Allahu Dzul Arsyil Majid, yang tidak hanya memberikan arti Allah memiliki Asry, tapi Allah lebih mulia dari Arsy. Karena susunan kata yang menggunakan kalimat (ذي) menunjukkan kata sebelumnya lebih mulia. 


Berbeda dengan kalimat (Shahib) yang menujukan kata sebelumnya berada lebih bawah dari kata yang berada di setelahnya. Sebagaimana kita mengatakan, Abu Bakr Shahib Rasulillah, dan kita tidak mengatakan Rasulullah Shahib Abu Bakr. Karena susunan yang pertama, Abu Bakr Shahib Rasulullah, selain menunjukkan kebersamaan Abu Bakr dengan Rasulullah, tapi juga memberikan arti Abu Bakr derajatnya berada di bawah Rasulullah. 


Apakah karena mengingat Sang Kekasih di Salam, air mata yang keluar dari kelopak mata itu keluar tercampur dengan darah? 


Cinta yang luar biasa dari orang tersebut membuat air mata rindu yang terus menerus keluar kini kering, karena rindu memang terasa panas dalam hati, yang membuat air mata mengering, dan membuat aliran darah terluka dan pecah, hingga akhirnya, keluar darah sebagai pengganti air mata yang mengering.



Definisi Sesuatu (syai'un)

Definisi Sesuatu (syai'un)

 

Kata sya'iun (sesuatu) secara etimologi bermakna segala yang dapat diketahui atau diceritakan, baik ada atau pun tidak ada. Syarif  al-Jurjani (abad ke-8) dalam at-Ta'rifat mengatakan:

«الشيء: في اللغة هو ‌ما ‌يصلح ‌أن ‌يعلم ‌ويخبر ‌عنه، عند سيبويه، وقيل الشيء عبارة عن الوجود، وهو اسم لجميع المكونات، عرضًا كان أو جوهرًا، ويصح أن يعلم ويخبر عنه. وفي الاصطلاح: هو الموجود الثابت المتحقق في الخارج»

"Syai'un secara etimologi adalah apa yang layak diketahui dan diceritakan, menurut Sibawaih. Konon, Syai'un adalah istilah lain bagi wujud yang berupa segala sesuatu yang ada, baik berupa 'aradl atau jauhar dan bisa diketahui dan diceritakan. Secara terminologi adalah, Syai'un adalah wujud yang riil di dunia nyata."

Lebih jelas lagi, tiga abad sebelumnya ar-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an mendefinisikan syai'un sebagai berikut:


«الشَّيْءُ قيل: هو الذي ‌يصحّ ‌أن ‌يعلم ‌ويخبر ‌عنه، وعند كثير من المتكلّمين هو اسم مشترك المعنى إذ استعمل في الله وفي غيره، ويقع على الموجود والمعدوم. وعند بعضهم: الشَّيْءُ عبارة عن الموجود»


"Syai'un konon bermakna apa yang sah diketahui atau diceritakan. Menurut sebagian mutakallimin, ia adalah kata yang homonim ketika digunakan untuk Allah dan untuk selain Allah. Dan, kata ini merujuk pada apa yang ada dan apa yang tidak ada. Menurut sebagian mutakallimin, syai'un bermakna wujud."


Bila kita melihat keterangan di atas, dapat diketahui bahwa asal kata syai'un (sesuatu), seperti dikatakan oleh imamnya ahli bahasa Arab, Sibawaih, adalah istilah umum bagi apa pun yang bisa menjadi topik pembahasan, baik itu ada di alam nyata maupun tidak ada. Namun dalam terminologi sebagian mutakallimin memang kata ini hanya merujuk pada apa yang ada saja (maujud) dan tidak merujuk pada apa yang tidak ada (ma'dum). Pembatasan definisi syai'un pada apa yang wujud saja ini misalnya dapat kita lihat dalam Syarh al-Aqidah an-Nasafiyah karya at-Taftazani dan lain-lain. Istilah لا شيء  yang secara literal berarti tidak ada sya'i alias tidak ada apa pun merujuk pada definisi terakhir yang membatasi cakupan sya'iun pada apa yang ada saja. 


Dalam al-Qur'an, kata syai'un sendiri dipakai untuk sesuatu yang ada dan sesuatu yang tidak ada. Dalam ayat Maryam: 9, Allah berfirman:


وَقَدۡ خَلَقۡتُكَ مِن قَبۡلُ ‌وَلَمۡ ‌تَكُ ‌شَيۡـٔٗا

"Aku menciptakanmu sebelumnya padahal engkau belum berwujud sama sekali"


Dalam ayat di atas, syai'un digunakan sebagai istilah bagi wujud. Namun dalam ayat al-Kahfi: 23 Allah berfirman:


وَلَا تَقُولَنَّ لِشَاْيۡءٍ إِنِّي فَاعِلٞ ذَٰلِكَ ‌غَدً إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ

"Janganlah kamu berkata tentang sesuatu "aku akan mengerjakan itu besok" kecuali mengucap insyaAllah"


Dalam ayat di atas, syai'un yang dimaksud belum ada atau belum terjadi karena masih akan dilakukan besok, namun demikian ia disebut syai'un. 


Dengan demikian, klasifikasi yang saya lakukan yang membagi syai'un menjadi wujud dan tidak wujud bukan hal yang aneh sebab secara bahasa memang dibenarkan. Hanya saja kalau kita hanya terpaku pada definisi sebagian mutakallimin, memang hal itu tidak tepat. Jadi tergantung definisi mana yang hendak digunakan. Saya sendiri sering memilih penjelasan yang mudah dimengerti audiens; yang penting mereka paham pada maksud yang hendak disampaikan maka beres, meskipun dalam detailnya ada perdebatan yang penting tidak penting semacam ini. Bagi yang keberatan dengan penggunaan kata itu, kata syai'un dalam presentasi saya bisa diganti dengan kata al-ma'lum dan hasil akhirnya akan tetap sama menjelaskan perbedaan logika mujassim dan aswaja. 

Perbedaan ini barangkali hanya terjadi dalam kata bahasa Arab syai'un. Namun bila kita menggunakan kebiasaan bahasa Indonesia, pembahasan semacam ini tidak diperlukan sebab dalam istilah sehari-hari, hal yang mustahil pun kerap diistilahkan sebagai "sesuatu", misalnya dalam ungkapan: "Beranak merupakan sesuatu yang mustahil bagi Allah" dan sebagainya yang jelas-jelas tidak ada dan tidak terjadi. 



TAJHIZ MAYAT

TAJHIZ MAYAT


Apabila meninggal seorang muslim, maka fardhu kifayah terhadap kita kaum muslimin untuk melakukan empat perkara:

1. Memandikan mayat

2. Mengafankan mayat

3. Menyalatimayat

4. Menguburkan mayat

Tindakan pertama sesudah orang meninggal

1. Memejamkan mata mayat apabila masih terbuka sambil mengucapkan :

بسم الله وعلى ملة رسول الله

2. Membersihkan mayat dari kotoran kemudian dipindahkan ketempat yang bersih

3. Meletakkan diatas mayat  sesuatu benda yang agak berat supaya tidak kembung perutnya

4. Mengkusuk ( mengendorkan )seluruh pergelangan mayat agar tidak kaku dan mudah saat dimandikan


MEMANDIKAN MAYAT

A. Adab-adab memandikan mayat


1. Haram melihat aurat mayat kecuali untuk sempurna memandikan , seperti untuk memastikan bahwa air sudah rata atau untuk menghilangkan kotoran yang menghalangi sampai air pada kulit mayat.


2. Wajib memakai alas tangan ketika menyentuh auratnya dan sunat ketika menyentuh bagian

tubuh yang selain aurat


3. Mayat dibaringkan pada tempat yang tinggi


4. Semua anggota tubuh mayat ditutup,jika mengalami kesulitan cukup auratnya saja yang ditutup


5.Disunatkan menutup wajah mayat sejak dari awal memandikan hingga selesai


6. Disunatkan memakai air yang dingin supaya lebih menguatkan daya tahan tubuh mayat, kecuali disaat cuaca dingin maka disunatkan memakai air hangat


7. Tempat pemandian ditaburi dengan wewangian, boleh juga dengan membakar dupa untuk mencegah bau yang keluar dari tubuh mayat. Ada juga pendapat ulama yang mengatakan supaya malaikat turun untuk memberikan rahmat kepada mayat


B. Bahan-bahan yang dipersiapkan untuk memandikan mayat anatara lain :


1. Air

2. Sarung tangan.

3. Kapur barus.

4. Shampo dan sabun serta daun sadar(bidara)/jeruk purut.

5. Minyak wangi ( kasturi )

6. Kemenyan

7. Kapas

8. Kulit batang pisang ( untuk mengalirkan air kedubur )

9. Masker ( penutup hidung )

10. Kain basahan 

11. Gunting kuku

12. Sabuk penggosok


C. Tata cara memandikan mayat


1. Meletakkan mayat ditempat yang tinggi, dan ditempat tertutup


2. Pihak kepala mayat lebih tinggi dari kaki


3. Membuka pakaian mayat dan digantikan kain basahan sambil membaca doa :


اللهم صل على سيدنا محمد وعلى ال محمد كل نفس ذائقة الموت انالله وانا اليه راجعون وانا بك لاحقون 

4. Mendudukkan mayat dengan posisi agak condrong kebelakang ( supaya kotoran mudah keluar )


5. Pundak mayat disangga/disokong  dengan  tangan kanan orang yang memandikan, dan ibu jari diletakkan pada tengkuk ( hal ini dilakukan supaya kepala tidak miring )


6. Punggung mayat disangga dengan lutut kanan orang yang memandikan


7. Perut mayat diurut ( dipijat ) dengan tangan kiri secara perlahan-lahan oleh orang yang memandikan dengan berulang-ulang (supaya kotoran yang ada bisa keluar )


8. Mayat diletakkan kembali dalam  posisi terlentang


9. Membersihkan Qubul dan Dubur mayat dengan menggunakan telunjuk tangan kiri setelah dibalut dengan kain, begitu juga disekitar kemaluan ( sebaiknya dengan kain putih agar dapat terlihat apakah sudah bersih atau belum )


10. Untuk mudah membersihkan gunakan batang pisang untuk mengalirkan air, dengan niat istinjak : نويت الاستنجاء من الميت فرضا علي لله تعالى 


11. Menyucikan gigi simayat dengan telunjuk tangan kiri yang dibalut dengan kain, kemudian dimasukkan telunjuk kedalam mulut mayat dan menggosokkan gigi mayat dari kanan kekiri sebagaimana orang bersiwak ketika masih hidup, dan mulut jangan dibuka. Lafaz niat bersugi adalah :


نويت ان استاك هذا الميت سنة لله تعالى


12. Membersihkan lubang hidung mayat dari kotoran dengan menggunakan jari kelingking kiri yang telah dibalut kain


13. Membersihkan kotoran dibawah kuku jika kuku tidak dipotong


14. Mewudhu’kan mayat persis seperti wudhu’ orang yang masih hidup baik rukun atau sunatnya, dengan niatnya :نويت الوضوء المسنون لهذا الميت


Disunatkan tidak membuka mulutnyasupaya air tidak masuk kedalam tubuh mayat, Ada ulama yang berpendapat jika  mulutnya terkena najisdan perlu dibuka maka sebaiknya dibuka dan dibersihkan walaupun diketahui air akan masuk kedalamnya


15. Mengguyurkan air yang sudah dicampur dengan daun bidara/jeruk purut atau boleh juga dengan shampoo ke kepala mayat, kemudian jenggot


16. Menyisir rambut dan jenggot mayat yang tebal dengan pelan-pelan,dan sebaiknya memakai sisir yang longgar ( bagi mayat yang sedang melaksanakan ihram ) agar tidak ada rambut yang rontok, jika rontok sunat dibungkus dengan kain kafan dan wajib menguburkanya, begitu juga dengan bulu-bulu yang lain


17. Mayat dimiringkan kekiri disiram air sebelah kanan bagian belakang tubuh mayat, mulai leher sampai telapak kaki dengan memakai air yang telah dicampur daun bidara/jeruk purut atau boleh juga sabun. Sambil membaca doa : 


اللهم صل على سيدنا محمد وعلى ال محمد كما صليت على سيدنا ابراهيم وعلى ال ابراهيم فى العالمين انك حميد مجيد. اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له واشهد ان محمدا عبده ورسوله


18. Mayat dimiringkan kekanan dan disirami air sebelah kiri dari leher hingga kaki, dengan air yang telah dicampur daun sadar/jeruk purut atau sabun, sambil membaca doa :


 غفرانك يا الله غفرانك يا رحمن يا رحيم غفرانك يا ربنا واليك المصير. اشهد ان لا اله الا الله واشهد ان محمداعبده ورسوله  


19. Setiap perubahan letak ( membalikkan badan mayat ) dibaca : 

بسم الله وعلى ملة رسول الله


20. Mayat dimiringkan lagi kekiri dan disirami air lagi yang sudah dicampur daun sadar/jeruk purut atau sabun, sambil membaca : 


يس. والقرأن الحكيم. انك لمن المرسلين. على صراط مستقيم. تنزيل العزيز الرحيم. لتنذر قوما ما أنذرأباؤهم فهم غافلوناشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له واشهد ان محمدا عبده ورسوله    


21. Mayat dimiringkan kembali kekanan dan disirami air yang telah dicampur daun sadar/jeruk purut atau sabun dari leher hingga kaki, sambil membaca : 


 يضل الله الظالمين ويفعل الله ما يشاء ويحكم ما يريد اشهد ان لااله الا الله وحده لا شريك له و اشهد ان سيدنا محمدا عبده و رسوله


22. Mayat dimiringkan kembali kekiri dan disirami dengan air yang bersih ( yang tidak bercampur ) untuk membilas sisa-sisa daun sadar yang ada dipihak kanan. Sambil membaca : 


سبحان الله و الحمد الله و لا اله الا الله والله اكبر ولاحول ولا قوة الا بالله العلى اللعظيم. اشهد ان لا اله الا الله وحده لاشريك لهو اشهد ان سيدنا محمدا عبده  و رسوله

23. Ayat dimiringkan lagi kekanan dan disirami dengan air yang bersih ( yang tidak bercampur ) untuk membilas sisa-sisa daun bidara yang ada dipihak kiri, Sambil membaca :


امن الرسول بما انزل اليه من ربه والمؤمنون. كل امن بالله وملاءكته وكتبه ورسله لا نفرق بين احد من رسله  و قالو سمعنا واطعنا غفرانك ربنا واليك المصير. اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له واشهد ان سيدنا محمدا عبده ورسوله


24. Kemudian dibaringkan kembali dalam posisi terlentang dan disirami dengan air yang bersih keseluruh tubuh mayat mulai dari kepala hingga kaki, dengan membaca :  


 منها خلقناكم و فيها نعيدكم و منها نخرجكم تارة اخرى. اشهد ان لا اله الا الله و اشهد ان سيدنا محمدا عبده و رسوله


25. Kemudian pada kali yang kedelapan disirami lagi dengan air yang bersih ( yang dicampur sedikit dengan kapur barus, jika mayat bukan orang yang sedang ihram), kesuluruh tubuh sambil membaca :


ان شاء الله تعالى من الامنين ثبتك الله بالقول الثابت. اشهد ان لا اله الا الله و اشهد ان سيدنا محمدا عبده و رسوله


26. Pada saat basuhan yang ke delapan ini juga disunatkan untuk membaca niat memandikan mayat, yaitu : 

نويت الغسل عن هذا الميتٍ


27. Kemudian pada kali yang kesembilan disirami lagi air yang bersih (yang dicampur sedikit dengan kapur barus, jika mayat bukan orang yang sedang ihram) keseluruh tubuh, sambil membaca : 


انا اعطيناك الكوثر. فصل لربك و انحر. ان شانئك هو الابتر. اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له واشهد ان سيدنا محمدا عبده و رسوله


28. Menggantikan kain basahan dengan kain kering lalu mengeringkan mayat dengan kain tersebut atau handuk


29. Membaca doa setelah selesai memandikan, yaitu : 


لا اله الا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد يحي ويميت وهو على كل شيئ قدير


Memandikan mayat sudah dianggap cukup bila sudah melakukan hal-hal berikut ini :


a. Menghilangkan najis yang ada pada tubuh mayat


b. Menyirami air secara merata keseluruh tubuh, termasuk juga kefarji tsayyib ( wanita yang tidak perawan lagi ) pada batas yang nampak ketika duduk atau bagian dalam kelamin lak-laki yang belum dikhitan 

Keterangan  :

 Jika terdapat najis yang sulit dibersihkan seperti najis dibawah kuncupzakar laki laki yg belum dikhitan, maka mayat setelah dimandikan langsung dimakamkan tanpa dishalati terlebih dahulu. Namun ada ulama yang berpendapat bahwa anggota badan mayat yang tidak terbasuh bisa digantikan dengan tayammum dan najisnya dihukum ma’fu ‘anhu( dimaafkan )


D. Cara mentayammumkan mayat


1) Menepuk kedua telapak tangan pada debu disertai dengan niat : 


نويت التيمم عن تحت قلفة هذا الميت

 Niat ini harus dibisikkan dalam hati ( danberkekalan ) sampai kedua telapak tangan orang tersebut mengusap wajah mayat


2) Menepuk telapak tangan kali kedua pada debu untuk mengusap kedua tangan mayat dengan cara mengusap tangan kiri  pada tangan kanan mayat dan mengusap tangan kanan pada tangan kiri mayat.


E. Cara lain memandikan mayat


 Boleh juga memandikan dengan cara yang lain, yaitu :


1) Mayat dibaringkan kekiri  dan disiram  air atas pihak kanan 2x  (dengan air sadar 1x, dan dengan air pembilas 1x)

2) Mayat dibaringkan kekanan dan disiram air atas pihak kiri 2x  ( dengan air sadar 1x, dan dengan air pembilas 1x)

3) Mayat dibaringkan keatas dan disirami air bersih (yg dicampurkan sedikit kapur barus) sebanyak 3x, keseluruh tubuh dari kepala hingga kaki

4) Doa dibaca sesuai dengan urutan kali basuhan( sebagaimana telah tersebut di atas)


MENGKAFANKAN MAYAT

A. Persiapan mengafani mayat.


1) Sebelum mayat selesai dimandikan siapkan dulu kain kafan yang berwarna putih lima lembar, yang terdiri dari:


Untuk laki-laki :

a. Satu lembar untuk baju kamis

b. Satu lembar untuk sorban.

c. Tiga lembar untuk membalut seluru


Untuk perempuan :

a. Satu lembar untuk sarung.

b. Satu lembar untuk kerudung

c. Satu lembar untuk baju kamis

d. Dua lembar untuk membalut seluruh tubuh


Keterangan  :

Sekurang-kurang kain kafan (yang wajib) bagi mayat baik laki-laki maupun perempuan satu lembar kain yang bisa menutupi seluruh tubuh mayat, selebihnya adalah sunat.


B. Tata cara mengafani mayat


1) Bacakan doa ini ketika mencarik kain kafan : 


اللهم اجعل هذه الثوب له ( لها ) رحمة و نعمة و حفظة و كرامة و نورا و حجابا مستورا برحمتك يا ارحم الراحمين.


2) Hamparkan kain kafan (3 lembar untuk laki-laki, 2 lembar untuk perempuan) yang digunakan untuk membalut seluruh tubuh secara sejajar, kalau mayat gemuk hamparkan secara sungsang ( selang-seling ) dan setiap lapisan ditaburi dengan bedak dan wangi-wangian ( minyak ata/kasturi atau lainnya ).Do’a ketika menabur bedak : 


اللهم صل على سيدنا محمد النبي اللذى جاء بالحق المبين


3) Letakkan mayat yang sudah dilap dalam posisi terlentang diatas  hamparan kain kafan  yang telah disediakan dengan tangan disedekapkan


4) Kemudian dipakaikan baju qamis dan surban bagi laki-laki, sedangkan untuk wanita dipakaikan sarunglalu baju qamis kemudian baru kerudung


Keterangan :

 Ketika meletakkan mayat diatas kain kafan, usahakan kain kafan pihak kepala lebih panjang sisa dari pada pihak kaki.

 Ketika mencarik kain kafan, lebihkan beberapa jengkal dari ukuran mayat.


5) Mengikat pantat dengan sehelai kain yang kedua ujungnya dibelah dua.Cara mengikatnya adalah :Letakkan ujung yang telah dibagi dua tadi dimulai dari arah depan kelamin lalu dimasukkan diantara dua paha sampai menutupi bawah pantat.


Selanjutnya kedua bagian belakang diikat diatas pusar dan dua ujung bagian depan diikatkan pada ikatan tersebut ( seperti memakai pempers bayi )


a. Pakaikan baju qamis kemudian serban, Jika mayat perempuan pakaikan sarung terlebih dahulu kemudian baju qamis kemudian kerudung


b. Letakkan kapas yang sudah ditaburi wangian pada anggota tubuh yang berlobang, dan anggota sujud yang terdiri dari : 

- Dua mata

- Dua lobang hidung

- Dua lobang telinga

- Mulut dubur

- Kening 

- Dua telapak tangan

- Dua lutut

- Dua telapak kak

- Anggota tubuh yang terluka.


c. Lalu mayat dibungkus dengan lapisan pertama dimulai dari sisi kiri dilipat kekanan kemudian sisi kanan dilipat kekiri hingga lapisan selanjutnya sebagaimana lapisan pertama ( dari kiri kekanan )


d. Ujung yang lebih dipihak kepala dan kaki dipocong ( diikat )


e. Setelah dibungkus lalu diikat dengan beberapa ikatan agar tidak mudah terbuka ketika dibawa kepemakaman. Sedangkan mayat perempuan ditambah ikatan pada dada


Keterangan :

 Ini berlaku bagi yang bukan sedang ihram, jika mayat orang sedang ihram maka tidak boleh diikat dan kepalanya dibiarkan terbuka, sedangkan perempuan hanya wajahnya saja yang dibiarkan terbuka.


C. SHALAT JENAZAH

a. Syarat-syarat dan tata cara shalat jenazah


1. Mayat telah selesai dimandikan dan telah suci dari najis baik tubuh, kafan atau tempatnya.

Apabila keluar najis setelah mayat dimandikan dan belum dishalati, maka najis tersebut wajib dihilangkan terlebih dahulu,namun Jika keluar najis setelah dishalati maka hukum menghilangkannya adalah sunat. Tetapi menurum imam Ramli tetap wajib menghilangkannya.

Adapun jika najis keluar secara terus menerus setelah mayat dimandikan dan belum dishalati, maka mayat langsung dishalati sebagaimana shalatnya orang hidup yang menderita penyakit salis bauli (orang yang  tidak mampu menahan keluar kencing karna sakit).


2. Orang yang melakukan shalat jenazah telah memenuhi syarat-syarat melaksanakan shalat (islam, baligh, bera’kal dan suci dari hadas dan najis).


3. Sunat bagi orang yang menyalati (imam ataupun simunfarid)berdiri setentang kepala simayat jika mayatnya itu laki-laki, dan setentang pantatnya jika mayat itu perempuan. Dan sunat juga dibaringkan mayat dalam posisi kepalanya dipihak kiri imam (arah selatan) jika mayatnya itu laki-laki, dan dipihak kanan imam (arah utara) jika mayatnya itu perempuan, yang demikian itu supaya dominan anggota tubuh mayat berada dipihak kanan imam karna mulia pihak kanan.


4. Sunat melakukan shalat jenazah didalam masjid dan sebaiknya jamaa’h tidak kurang dari tiga saf, dan jika shalat jenazah dilakukan diluar masjid maka disyaratkan jarak diantara mayat dan orang yang menshalatinya tidak lebih dari 300 hasta.


5. Disyaratkan tidak ada penghalang (permanen) diantara mayat dan orang yang menyalatinya baik pelaksanaan shalat dilakukan didalam masjid ataupun diluar masjid, kecuali bila penghalangnya bisa tembus (seperti bangunan yang tembus) maka boleh. Bila mayat dalam keranda yang tertutup maka keranda tersebut tidak boleh dipaku.


6. Disyaratkan orang yang menyalati harus berada dibelakangmayat  jika mayat yang dishalati hadhir (tidak qhaib).


 

b. Rukun-rukun shalat jenazah


1. Niat.

Dalam niat, diwajibkan untuk menyengaja dan menentukan shalat, dengan menyertakan  niat dalam takbiratul ihram. Adapun lafadniatnya :

اصلى على هذا الميت (هذه الميتة ) اربع تكبيرات مأموما / اماما لله تعالى


Lafadh niat sembahyang qhaib 1 mayat :

اصلى على ميت ( فلان بن فلان ) الغائب اربع تكبيرات فرض الكفاية مأموما ( اماما ) لله تعالى


2. Berdiri bagi yang mampu.

3. Bertakbir 4x  termasuk takbiratul ihram.

4. Membaca surat Al Fatihah.

5. Membaca Shalawat kepada Nabi SAW setelah takbir kedua.

6. Mendo’akan mayit setelah takbir ketiga, yaitu : 

اللهم اغفر له (لها ).....

Jika jenazah itu anak-anak maka dibaca :

اللهم اجعله فرطا لأبويه وسلفا و ذخرا و عظة و اعتبارا و شفيعا و ثقل به موازينهما وافرغ الصبر على قلوبهما ولا تفتنهما بعده ولا تحرمنا أجره

7. Takbir ke empat, dan sunat membaca doa berikut :


اللهم لا تحرمنا اجره و لا تفتنا بعده واغفر لنا وله ولاخواننا الذين سبقونا بالايمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين امنوا ربنا انك رئوف رحيم 

8. Salam  yangpertama.


D. PROSES PEMAKAMAN JENAZAH


a. Persiapan liang kubur


1. Dibuka kubur sepanjang jenazah dan ditambah kira-kira 0,5 M

2. Lebar kubur  ± 1M

3. Kedalaman kubur  setinggi postur tubuh manusia dan ditambah (1 hasta atau ± 60 cm )

4. Doa buka kubur :


اللهم اجعل قبره ( ها ) روضة من رياض الجنان ولا تجعل قبره ( ها ) حفرة من حفر النيران 

Menurut keterangan dalam kitab I’anathut thalibin disebutkan, bahwa untuk lebar dan panjangnya liang kubur sepatutnya seukuran jenazah ditambah tempat yang sekiranya cukup untuk orang yang menaruh mayat didalam kubur


5. Orang yang didalam kubur disunatkan ganjil, satu,tiga,lima, atau tujuh menurut keperluan


6. Ketika memasukkan mayat dalam kubur, sunat menutup dengan kain. Bagi orang yang menyerahkan jenazah disunatkan membaca do’a :


اللهم افتح ابواب السماء لروحه و اكرم منزله ووسع له فى قبره


Dan bagi yang meletakkan disunatkan membaca doa ini :

بسم الله وعلى ملة رسول الله صلى الله عليه و سلم 


Untuk lebih sempurnanya ditambah dengan doa berikut :


اللهمسلمهاليكالاشحاءمنولدهواهلهوقرابتهواخوانهوفارقمنكانيحبقربهوخرجمنسعةالدنياوالحياةالىظلمةقبروضيقهونزلبكوانتخيرمنزولهبهوانعاقبتهفذنبوانغفرتعنهفانتاهلالعفوانتغنيعنعذابهوهوفقيرالىرحمتكياارحمالراحمين


7. Kemudian jenazah diletakkan di dasar maqam,wajib dengan posisi menghadap ke qiblat dan berbaring atas lambung kanan, serta sunat disandarkan wajah dan dua kaki mayat pada dinding kuburan, dan disokong punggung mayat dengan gumpalan tanah, Tali-tali terutama yang berada dibagian atas supaya dilepas agar wajah jenazah terbuka. Kemudian pipi jenazah ditempelkan ke tanah.


Keterangan :

Pada saat proses pemakaman ini, setelah liang kubur ditutup dan sebelum ditimbun dengan tanah, bagiorang yang berada di tepi kuburan disunatkan mengambil tiga genggam tanah bekas galian kubur dengan dua tangannya untuk kemudian menaburkannya kedalam kubur melalui arah kepala mayat.


Pada taburan pertama disunatkan membaca :

منها خلقناكم اللهم لقنه عند المسئلة حجته

Pada taburan kedua disunatkan membaca :

وفيها نعيدكم اللهم افتح ابواب السماء لروحه

Pada taburan ketiga disunatkan membaca :


ومنها نخرخكم تارة اخرى اللهم جاف الارض عن جنبيه

Keterangan lain :

Diriwayatkan oleh Imam Taqiyuddin As-Subki dari ayahnya dari Abi Abdillah Muhammad Al hafidh, bahwa Nabi pernah bersabda : Barangsiapa memungut tanah dari kuburan saat pemakaman ( seseorang ) kemudian ia membaca Surat Al qadar ( pada tanah tersebut ) sebanyak  7x, dan setelahnya diletakkan pada kain kafan atau dimasukkan kedalam kubur, maka simayat tidak akan mendapatkan siksaan didalam kubur.


8. Dan disunatkan memasang dua batu nisan tepat dikepala dan dikaki mayat serta membaca  doa :

اللهم اجعل هذه الحجرة رحمة و فضلا واسعا فى قبره يا ارحم الراحمين


juga disunatkan menanam kayu yang hijau (yang masih muda) pada posisi kepala dan kaki,sambil membaca doa : 

اللهم اجعل هذه الشجرة رحمة و فضلا واسعا فى قبرهيا ارحم الراحمين

Disunnatkan jugamenyiram air diatas kuburan dari kepala hingga kaki, sambil membaca doa :


اللهم اجعل هذا الماء بردا وسلاما فى قبره يا ارحم الراحمين

9. Disunatkan juga menabur bunga di atas kuburan,dan juga meletakkan kerikil


10. Selanjutnya diteruskan dengan membaca talqin


11. Sunat bagi pentalqin duduk dengan posisi menghadap ketimur setentang dengan kepala mayat, dan bagi penziarah sebaiknya berdiri. Dalam talqin inidi sunatkan untuk di ulangi 3x


12. Diakhiri dengan do’a untuk mayat.

 والله اعلم بالصواب

Istilah-istilah dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj, karangan Ibnu Hajar al-Haitamy.(Bag.1)

Istilah-istilah dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj, karangan Ibnu Hajar al-Haitamy.(Bag.1)


Menurut keterangan yang dikemukakan oleh Sulaiman al-Kurdy dalam kitab Fawaid al-Madaniah[1] ada beberapa istilah yang perlu diketahui oleh pembaca kitab Tuhfah al-Muhtaj, antara lain :

1.        Apabila al-Haitamy mengatakan :

شيخنا

Maka maksudnya : Zakariya al-Anshari. Demikian juga apabila yang mengatakannya, Khatib Syarbaini. Adapun Jamal al-Ramli menyebut al-Syaikh untuk Zakariya al-Anshari.

2.        Apabila mereka bertiga mengatakan :

الشارح atau  الشارح المحقق

Maka maksudnya : Jalaluddin al-Mahalli. Namun al-Haitamy dalam kitab al-Imdad Syarh al-Irsyad, “al-syaarih” dalam kitab tersebut, maksudnya adalah al-Syams al-Jaujary, pensyarah kitab al-Irsyad.

3.        Apabila mereka mengatakan :

الامام

Maka maksudnya : Imam al-Haramain.

4.        Apabila mereka mengatakan :

القاضي

Maka maksudnya : Qadhi Husain.

5.        Apabila al-Haitamy mengatakan di dalam Tuhfah al-Muhtaj :

شارح

dengan nakirah, maka maksudnya : seorang pensyarah al-Minhaj atau lainnya.

6.        Apabila al-Haitamy mengatakan :

قال بعضهم

Maka maksudnya : sebagian ulama, baik seorang pensyarah atau lainnya.

7.        Apabila al-Haitamy mengatakan :

كما قاله بعضهم atau  اقتضاه كلامهم

Kadang-kadang al-Haitamy menjelaskannya sebagai pendapat mu’tamad dan kadang-kadang menjelaskannya sebagai pendapat dha’if. Untuk kedua katagori ini, maka maksudnya sesuai dengan penjelasan tersebut. Adapun apabila tidak dijelaskannya, maka pendapat tersebut merupakan pendapat mu’tamad.

8.        Apabila al-Haitamy mengatakan :

لكن

Maksudnya sama dengan كما apabila didatangkan sebagaimana halnya كماsebagaimana rincian di atas. Kadang-kadang berhimpun dalam al-Tuhfah كماdan لكن, maka yang menjadi pendapat yang rajih adalah sesudah كما.

9.        Apabila al-Haitamy mengatakan :

على ما اقتضاه كلامهم atau  على ما قاله فلان atau كذا قال فلان

       Maka maksudnya : beliau melepaskan diri dari pendapat tersebut. Namun beliau kadang-kadang mentarjihnya, Cuma ini sedikit. Kebanyakannya, beliau mendhaifkannya. Kadang-kadang beliau tidak mentarjih sesuatupun, jadi untuk mengetahui pendapat mana yang mu’tamad, maka harus menelaah kitab-kitab lain karangan beliau. Kalau juga tidak didapatinya, maka hendaknya mengikuti penjelasan-penjelasan ulama-ulama mutaakhiriin sesudah beliau.

[1] Sulaiman al-Kurdy, Fawaid al-Madaniyah, Penerbit : al-Jaffan wal Jabby, Hal. 375-376

Istilah-istilah dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj, karangan Ibnu Hajar al-Haitamy.(Bag.2)

Oleh Tgk Alizar Usman

Dalam kitab Sulam al-Muta’allimin,[1]karya Sayyed Ahmad Miiqary Syamilah al-Ahdal dijelaskan beberapa istilah lain dalam al-Tuhfah, al-Nihayah dan al-Mughni yang tidak dijelaskan dalam pembahasan di atas, yaitu :

1.        Apabila mereka mengatakan :

القاضيان

Maka maksudnya adalah al-Rauyani dan al-Mawardi.

2.        Apabila mereka mengatakan :

الشيخان

Maka maksudnya : al-Rafi’i dan al-Nawawi.

3.        Apabila mereka mengatakan :

الشيوخ

Maka maksudnya : al-Rafi’i, al-Nawawi dan al-Subki

4.        Apabila al-Haitamy mengatakan :

على ما شمله كلامهم

Maka beliau terlepas dari pendapat tersebut atau pendapat tersebut ada isykal. Yang sama dengan ini perkataan beliau :

كذا قالوه atau   كذا قاله فلان

5.        Apabila al-Haitamy mengatakan :

وإن صح هذا فكذا

            Maka ini menunjukkan bahwa beliau tidak sependapat dengannya.

6.        Apabila al-Haitamy mengatakan :

على المعتمد

Maka ini merupakan pendapat yang lebih dhahir (al-azhhar) dari aqwal Syafi’i.

7.        Apabila al-Haitamy mengatakan :

على الأوجه

Maka maksudnya pendapat yang lebih shahih (al-ashah) dari pendapat-pendapat (al-Wujuh) pengikut Syafi’i.

8.        Apabila al-Haitamy mengatakan :

والذي يظهر

Maka maksudnya adalah yang dipahami secara terang (wazhih) dari kalam yang bersifat umum dari kalangan pengikut Syafi’i yang dikutip dari dari empunya mazhab dengan kutipan yang bersifat umum pula.

9.        Apabila al-Haitamy mengatakan :

لم نر فيه نقلاً

Maka dimaksud dengannya kutipan yang khusus.

10.    Apabila al-Haitamy mengatakan :

هو محتمل

Maka apabila didhabith dengan fatah mim yang kedua, maka itu merupakan pendapat yang rajih. Adapun apabila didhabith dengan kasrah mim yang kedua, maka itu merupakan pendapat marjuh (lemah). Apabila tidak didhabit dengan sesuatupun, maka diharuskan rujuk kepada kitab-kitab mutaakhirin sesudah beliau. Namun apabila perkataan tersebut jatuh sesudah sebab-sebab tarjih, maka pendapat itu rajih dan apabila perkataan tersebut jatuh sesudah sebab-sebab tazh’if, maka pendapat itu marjuh.

11.    Apabila al-Haitamy mengatakan :

على المختار

Apabila pendapat tersebut dinisbahkan kepada bukan al-Nawawi, maka pendapat tersebut keluar dari empunya mazhab, karena itu, tidak boleh dijadikan pegangan. Adapun apabila dinisbahkan kepada al-Nawawi dalam al-Raudhah, maka bermakna lebih shahih dalam mazhab (al-ashah), bukan dengan makna istilah kecuali ikhtiyar al-Nawawi pada masalah tidak makruh air yang dipanasi terik matahari, maka bermakna dha’if.

12.    Apabila al-Haitamy mengatakan :

وقع لفلان كذا

Maka bermakna dha’if kecuali diiringi dengan tarjih, maka ketika itu merupakan pendapat rajih.

13.    Apabila al-Haitamy mengatakan :

في أصل الروضة

Maka maksudnya perkataan al-Nawawi dalam al-Raudhah yang diringkas dari lafazh kitab al-Aziz.

14.    Apabila al-Haitamy mengatakan :

في زوائد الروضة

Maka maksudnya perkataan al-Nawawi dalam al-Raudhah tambahan dari kitab al-Aziz.

[1] Sayyed Ahmad Miiqary Syamilah al-Ahdal, Sulam al-Muta’allimin, Hal. 87-92
X-Steel - Wait