PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Qawaidul fiqhiyah
(kaidah-kaidah furu’iyah) dan Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah asasiyah)
adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa. Banyak dari kita
yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu
Qawaidul fiqhiyah dan kaidah ushuliyah.
Melihat dari
fungsinya kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah digunakan sebagai sarana ushul
dalam menggali hukum syar’i. Maka dari itu kedua ushul ini sangat penting untuk
di pelajari.[1]
Maka dari itu,
kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang
menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah
fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan
fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan
yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah
sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap
problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah
ushuliyah dan kaidah fiqhiyah.
2. Apa tujuan mempelajari kaidah
ushuliyah dan kaidah fiqhiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KAIDAH FIQHIYAH
Sebagai studi
ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh dan diawali
dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan.
Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu
dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
Qawaid merupakan
bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan
istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menambahkan
bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan
dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).
Sedangkan dalam
tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i
dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah : ”Kaum yang
bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang
banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan
:”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
Sedangkan arti
fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sedangkan menurut istilah, Fiqh
adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah
(praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul
fiqhiyah adalah : ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada
semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu”.
Menurut Bani Ahmad Salbani kaidah fiqhiyah adalah
pedoman umum dan universal bagi pelaksanaan hukum islam yang mencakup seluruh
bagiannya.
Kaidah Fiqhiyah
disebut juga kaidah syari’yah yang berfungsi untuk memudahkan mujtahid
mengisntinbatkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan
manusia.
Titik tolak
pelaksanaan hukum islam diatur oleh kaidah-kaidah yang berifat universal yang
merupakan stasiun keberangkatan suatu perbuatan. Sebagaimana ada kaidah yang
menyatakan bahwa keyakinan tidak terkalahkan oleh keraguan, setiap perbuatan
harus dilandasi dengan keyakinan, bukan oleh keraguan.
1.
Tujuan Mempelajari Kaidah Fiqhiyah
Abdul Wahab
Khallaf dalam ushul fiqhnya berkata bahwa nash-nash tasyrik telah mensyariatkan
hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana,
ekonomi, dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang
menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak
terbatas terhadap suatu cabang undang-undang. [2]
Dibuat demikian
agar prinsip-prisip umum, qanun-qanun yang mulia ini menjadi petunjuk bagi
mujtahid dalam menetapkan hukum dan menjadi pelita dibawah sinaran nyala api
untuk mewujudkan keadilan dan kemashlahatan ummat. Lebih lanjut Khallaf
menyatakan bahwa diatara nash-nash tasyrik yang telah menetapkan
prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun kulliyah yang dengan dia diterangi segala
undang-undang. Dan diantara nash-nash tasyrik ada yang menetapkan hukum-hukum
yang asasi dalam cabang fiqh yang bersifat amali. Dan Al-Qur’an membatasi diri
untuk menerangkan dasar-dasar yang menjadi sendi bagi tiap undang-undang agar
membuahkan hukum. Keluasan dan kelastisan hukum nash-nash Al-Qur’an itu
merupakan koleksi membentuk undang-undang yang terdiri dari daar dan prinsip
umum yang membantu ahli undang-undang dalam usaha mewujudkan keadilan dan
kemashlahatan ummat di setiap masa dan tidak bertentangan dengan setiap
undang-undang yang sudah adil yaitu mewujudkan kemaslahatan masyarakat.
Ungkapan khallaf
tersebut megisyaratkan bahwa lapangan fiqh begitu luas, karena mencakup
berbagai hukum furuq, karena itu perlunya kristalisasi masalah-masalah furu’
menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari
masalah yang serupa.
Dengan berpegang
kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam
megisthimbatkan hukum bagi suatu masalah, yakni menggolongkan masalah yang
serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Dalam kitab faraidul bahiyah disebutkan, yang artinya:
“Sesungguhnya cabang-cabang masalah fiqh itu hanya dapat dikuasai dengan
kaidah-kaidah fuqhiyah, maka menghafalkan kaidah itu besar fungsinya.” (Asjmuni
A. Rahman, 1976:17 )
Selanjutnya Imam Abu Izzuddin Ibnu Abbas
Salam menyimpulkan bahwa kaidah fiqhiyah adalah suatu jalan untuk mendapat
suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua
hal tersebut.
Sedang Al-Qrafi
dalam furu’nya mengatakan bahwa seseorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya
tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah
itu maka hasil ijtihadnya banyak yang bertentangan dan berbeda antara
furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai
furu’-furu’nya. (Asjmuni A. Rahman, 1976:17-19)
Karena itu setiap
fuqaha selalu mempunyai kaidah kulliyah sebagai hasil cerminan dari hasil
ijtihad furu’nya da mudah dipahami oleh pengikutnya.[3]
B.
PENGERTIAN KAIDAH USHULIYAH
Dilihat dari segi
kebahasaan, kata Ushul Al-Fiqh terdiri dari dua kata yang punya makna
tersendiri, yaitu Ushul dan Al-Fiqh. Ushul adalah jamak dari kata al-ashlu
bermakna dasar-dasar yang menjadi landasan bagi tumbuhnya sesuatu yang lain.
Sedangkan fiqh adalah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum syara’ untuk
berbagai perbuatan mukallaf, melalui kajian-kajian ijtihad dari dalil-dalilnya
yang terinci.
Dengan demikian
ushul al-fiqh adalah sekumpulan dalil yang menjadi dasar tumbuh dan terbinanya
fiqh, serta menghubungkannya pada dalil-dalil nash dan ijma’ sahabat.
Dr. Jailany
mendefinisikan sebagai:” hukum kulli (bersifat umum) yang berdiri diatasnya
furu’ fiqhiyah yang di bentuk dengan bentuk umum dan akurat”. Defenisi
ini belum maani’ karena kaidah-kaidah fiqh masih masuk didalamnya.
Prof. Dr.
Muhammad Syabir mendefinisikan sebagai:” ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah
umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah
al far’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci”.
Defenisi yang menurut
penyusun lebih akurat adalah:” Hukum kulli (umum) yang dibentuk dengan bentuk
yang akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari
dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil”.
1.
Tujuan Mempelajari Kaidah Ushuliyah
Kaidah-kaidah
ushuliyah merupakan gambaran umum yang pada lazimnya mencakup metode
istimbathiayah dari sudut pemaknaan, baik dari tinjauan lughawi ( kebahasaan )
maupun tarkib ( susunan ) dan uslub-uslubnya ( gaya bahasa ). Karena itu semua
metode istimbathiah harus mengacu pada kaidah yang telah di tetapkan dan di
sepakati bersama.
Seseorang akan
mampu berbicara tetang hukum jika dia telah menguasai kaidah-kaidah usuliyah
walaupun pengetahuan tentang dalil nash kurang dikuasai. Misalnya seseorang
dihadapka nikah sebagai jalan untuk melestarikan keturunan ( li hifz nasl )
namu pilihanya nonmuslim. Kasus seperti ini, seseorang tak perlu lama-lama
mencari nash dalam Al-Qur’an atau assunnah, tetapi cukup mempertimbangkan hierarki
kebutuhan manusia yang dharuriah (primer), yaitu memelihara agama lebih penting
dari pada memelihara keturunan, bila keduanya bertentangan maka maka memelihara
agama harus di dahulukan, karena ia menduduki hierarki yang tertinggi, jadi
kasus diatas tidak diperkenankan, kecuali pernikahan antar agama itu membawa
maslahah yang pasti, misalnya seseorang menikah dengan seseorang nonmuslimah,
karena pada lazimnya seseorang istri mengikuti suamiya.
C.
MACAM-MACAM QAIDAH FIQHIYAH
Macam-macam
qaidah fiqhiyah ini ada dua puluh lima, yaitu:
·
Ijtihad
itu tidak batal karena ijtihad
·
Hukum
had gugur karena samar-sama
·
Perlakuan
pemimpin terhadap rakyat disesuaikan dengan kemaslahatan
·
Keluar
dari perselisihan, terpuji
·
Mengutamakan
orang lain dalam soal ibadah makruh dan dalam soal keduniaan disukai
·
Pengikut
itu di ikuti
·
Harim
mempunyai hukum seperti harim lahu
·
Sesuatu
yang banyak di lakukan lebih banyak keutamaannya
·
Fardhu
itu lebih baik daripada sunnat
·
Sunnat
lebih longgar daripada fadhu
·
Yang
mudah tidak gugur karena yang sukar
·
Apabila
dua buah perkara yang sama jenis dan tidak berbeda maksudnya berkumpul, maka
salah satunyua masuk kepada yang lain.
·
Bila
halal dan haram berkumpul, dimenangkan yang haram
·
sesuatu
yang ditetapkan menurut syara’ didahulukan daripada yang ditetapkan menurut
syarat
·
sesuatu
yang haram menggunakannya diharamkan mengambilnya
·
sesuatu
yang haram mengambilnya diharamkan memberinya.
·
Perwalian
khusus lebih kuat daripada perwalian umum.
·
Tidak
dianggap sebagai zhan yang jelas salahnya.
·
rela
terhadap sesuatu, rela terhadap apa yang dia lahirkan.
·
barang
siapa mempercepat sesuatu sebelum masanya dihukum haram menggunakannya.
·
sesuatu
yang tidak dicapai seluruhnya tak boleh ditinggalkan seluruhnya.
·
yang
sudah di-masyghul-kan dengan sesuatu tidak di-masyghul-kan lagi.
·
sesuatu
yang mewajibkan kepada yang lebih besar diantara dua hal secara khusus tidak
mewajibkan kepada yang lebih kecil diantara keduanya secara umum.
·
Yang
wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali oleh yang wajib.
·
Hukum
itu berputar bersama ‘illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum.[4]
D.
CONTOH KAIDAH-KAIDAH USHULIYAH SERTA DASAR-DASAR PENGAMBILANNYA
1.
الامـور بـمـقـاصـده (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
Contoh: kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya
niat, kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak
pernah sholat.begitu juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll.
Kita pasti bertemu dengan yang namnya niat.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi,
yang artinya: ”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan
kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami
berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”(QS. Ali-Imran: 145)
2.
الضرر يـزال (Kemudharatan harus dihilangkan)
Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang banyak yang
mana buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang yang lewat
dibawahnya hingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan
pada kaidah ini pohon tersebut harus di tebang.
Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat
56, yang artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah
amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
3.
الـعـادة محكـمة (Kebiasaan dapat menjadi hukum)
Contoh: ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang mana
kebiasaan tersebut telah mendarah daging, maka dengan sendirinya kebiasaan
tersebut akan menjadi hukum, misalkan kebiasaan petik laut, kalau ada
masyarakat pesisir yang tidak melakukan petik laut tersebut, maka dia akan
dikucilkan oleh masyarakat setempat.
Kaidah tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat
199, yang artinya: “jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”
Ada perbedaan antara al-adah dengan ‘urf. Adat (al-adah) adalah
perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh manusia yang kebenarannya logis,
tapi tidak semuanya menjadi hukum. Sedangkan ‘urf, jika jika mengacu pada
“al-ma’ruf”, berarti kebiasaan yang normatif dan semuanya dapat dijadikan
hokum, karena tidak ada yang bertentangan dengan al-quran atau hadits.
4.
لايزال بالشـك اليـقـين (Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya
keraguan)
Contoh: kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih
ragu apakah kita masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus berwudhu’
kembali, akan tetapi kalau kita yakin kita masih punya wudhu’, kita langsung
sholat saja itu sah, meski pada kenyataannya wudhu’ kita telah batal.
5.
تـجـلب
التـيسـير المـشـقة (Kesukaran
mendatangkan kemudahan)
Contoh: apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalana
tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita
boleh mengqasar sholat tersebut, karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat
kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada
waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar
waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang
sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut. [5]
Qaidah ini berdasarkan pada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 185,
yang artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.”. Dan Surat An-Nisa’
ayat 28, yang artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan
manusia dijadikan bersifat lemah.”
E.
PERBEDAAN ANTARA KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH DENGAN KAIDAH-KAIDAH
FIQHIYYAH
1.
Kaidah
ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para
mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah
ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum.
Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum,
ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i.
Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum
syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita
bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan
sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum
(layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub”
bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung
suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa
setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan
wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti
dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib
dihilangkan.
2.
Kaidah
ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i)
tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya
terkandung kedua hal tersebut.
3.
Kaidah
ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di
bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau
bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat
istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
4.
Perbedaan
antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek).
Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih
maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti
sholat, zakat dan lain-lain
5.
Kaidah-kaidah
ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
6.
Kaidah-kaidah
ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa
kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang
qot’i. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan
bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah
bagi mujtahid ‘alim dan bukank hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain
mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
7.
Kaidah-kaidah
ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.
8.
Kaidah
Ushuliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fiqhiyah secara induktif.
9.
Kaidah
ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbath-kan hukum syara’ amaliyah,
sedangkan kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh
kesamaan ‘illat atau kaidah fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu
al-masa’il –alfiqhiyawa tashiliha.[6]
BAB III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan.
Dilihat dari tata
bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan
tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian
ushul bagi fiqh. Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut
bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain.
Qawaidul fiqhiyah
adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua
bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu.
Qawaid ushuliyah adalah hukum kulli (umum) yang dibentuk dengan
bentuk yang akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh
dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil.
Dengan berpegang
kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam
menginstinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah
yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Wahhab
Abdul, Ilmu Ushul Fikih, cet.1,Pustaka Amani, Jakarta: Shafar 1421 H/ April
2003 M
Muchlis Usman,
Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, Raja Grafindo
Persada, Jakarta:1993.
Muliadi Kurdi,
Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Lembaga Kajian Agama dan Sosial
(LKAS), Banda Aceh: 2011
Mukhtar Yahya,
Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, cet.1, Alma’rif,
Bandung: 1986.
[1]
Muliadi Kurdi,
Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, (Lembaga Kajian Agama dan Sosial
(LKAS), Banda Aceh:2011), hal.4
[2]
Khallaf, Wahhab
Abdul, Ilmu Ushul Fikih, cet.1,Pustaka Amani, Jakarta: Shafar 1421 H/ April
2003 M
[3]
Mukhlis Usman,
Kaidah- Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum
Islam, cet.4, ( PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2002), hal.79
[4]
Mukhtar
Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islami, cet.1, (Bandung: Alma’arif,1986), hal.522
[5]
Muliadi Kurdi, Ushul
Fiqh,....... hal. 80
[6]
Muliadi Kurdi,
Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal,..... hal. 4
0 Response to "Kaidah Ushuliyah Dan Kaidah Fiqhiyah."
Post a Comment