1.
Dasar
pengertian.
Secara etimologis hadist bisa berarti:
a) Baru, seperti kalimat: "Allah qadim mustahil hadist".
Secara etimologis hadist bisa berarti:
a) Baru, seperti kalimat: "Allah qadim mustahil hadist".
b) Dekat, seperti: "Haditsul ahdi
bil Islam".
c) Khabar, seperti: "Falya'tu bi haditsin mitslihi".
Dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti: Segala perkataan, perbuatan dan perizinan Nabi Muhammad saw (Af'al, Aqwal, dan Taqrir). Pengertian hadits sebagaimana tersebut di atas adalah identik dengan sunnah, yang secara etimologis berarti jalan atau tradisi, sebagaimana dalam al-Qur'an: "Sunnata man qad arsalna" (al-Israa:77). Juga dapat berarti:
- UU atau peraturan yang tetap belaku;
- Cara yang diadakan;
- Jalan yang telah dijalani;
Ada yang berpendapat antara sunnah dan hadits tersebut adalah berbeda. Akan tetapi dalam kebiasaan hukum Islam antara hadits dan sunnah tersebut hanyalah berbeda dalam segi penggunaannya saja, tidak dalam isi dan tujuannya.
c) Khabar, seperti: "Falya'tu bi haditsin mitslihi".
Dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti: Segala perkataan, perbuatan dan perizinan Nabi Muhammad saw (Af'al, Aqwal, dan Taqrir). Pengertian hadits sebagaimana tersebut di atas adalah identik dengan sunnah, yang secara etimologis berarti jalan atau tradisi, sebagaimana dalam al-Qur'an: "Sunnata man qad arsalna" (al-Israa:77). Juga dapat berarti:
- UU atau peraturan yang tetap belaku;
- Cara yang diadakan;
- Jalan yang telah dijalani;
Ada yang berpendapat antara sunnah dan hadits tersebut adalah berbeda. Akan tetapi dalam kebiasaan hukum Islam antara hadits dan sunnah tersebut hanyalah berbeda dalam segi penggunaannya saja, tidak dalam isi dan tujuannya.
2.
As-Sunnah
sebagai sumber nilai.
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah al-Qur'an. Bagi mereka yang telah beriman kepada al-Qur'an sebagai sumber hukum, maka secara otomatis harus percaya bahwa sunnah sebagai sumber Islam juga. Ayat-ayat al-Qur'an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini, seperti:
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah al-Qur'an. Bagi mereka yang telah beriman kepada al-Qur'an sebagai sumber hukum, maka secara otomatis harus percaya bahwa sunnah sebagai sumber Islam juga. Ayat-ayat al-Qur'an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini, seperti:
a) Setiap Mu'min harus percaya kepada Allah dan
Rasul-Nya (al-Anfal:20, Muhammad:33, An-Nisa':59, Ali 'Imran:32,
al-Mujadalah:13, an-Nur:54, al-Ma'ida:92).
b) Kepatuhan kepada Rasul berarti patuh dan cinta
kepada Allah (an-Nisa':80, Ali 'Imran:31).
c) Orang-orang yang menyalahi sunnah akan
mendapatkan siksa (al-Anfal:13, al-Mujadalah:5, an-Nisa':115).
d) Berhukum terhadap sunnah adalah tanda orang
yang beriman (an-Nisa':65).
Kemudian perhatikan ayat-ayat: an-Nur:52, al-Hasyr:4, al-Mujadalah:20, an-Nisa':64 dan 69, al-Ahzab:36 dan 71, al-Hujurat:1, al-Hasyr:7, dan sebagainya.
Kemudian perhatikan ayat-ayat: an-Nur:52, al-Hasyr:4, al-Mujadalah:20, an-Nisa':64 dan 69, al-Ahzab:36 dan 71, al-Hujurat:1, al-Hasyr:7, dan sebagainya.
Apabila sunnah
tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan
kesulitan-kesulitan dalam hal: cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara
haji, dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat al-Qur'an dalam hal tersebut hanya
berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru
sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam
hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal, dan sebagainya yang mau
tidak mau memerlukan sunnah untuk menjelaskannnya. Dan apabila
penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio sudah
barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subjektif dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
3.
Hubungan
as-Sunnah dan al-Qur'an.
Dalam hubungan dengan al-Qur'an , maka
as-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, penjelas atas ayat-ayat
tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi as-Sunnah dalam hubungan dengan
al-Qur'an itu adalah sebagai berikut:
a) Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang
sangat umum mujmal dan musytarak. Seperti hadits: "Shallukama ra'aitumuni
ushalli" (shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah
merupakan tafsiran dari ayat al-Qur'an yang umum, yaitu:
"Aqimush-shalah" (kerjakan shalat). Demikian pula dengan hadits:
"khudzu 'annimanasikakum" (ambilah dariku perbuatan hajiku) adalah
tafsiran ayat al-Qur'an "Waatimmulhajja" (dan sempurnakan hajimu).
b) Bayan Taqrir, yaitu as-Sunnah yang berfungsi
untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur'an, seperti hadits yang
berbunyi: "Shaumul liru'yatihi wafthiruliru'yatihi" (berpuasalah
karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat
al-Qur'an dalam surat al-Baqarah:185.
c) Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan
tujuan sesuatu ayat al-Qu r'an, seperti pernyataan Nabi: "Allah tidak
mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah
dizakati" adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat al-Qur'an dalam surat
at-Taubah:34 yang berbunyi sebagai berikut: "Dan orang-orang yang
menyimpan mas dan perak yang kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah
maka gembirakanlah mereka dengan azab yang sangat pedih".
Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
4.
Perbedaan
antara al-Qur'an dan al-Hadits sebagai sumber hukum.
Sekalipun al-Qur'an dan
as-Sunnah/al-Hadits sebagai sumber hukum Islam namun di antara keduanya
terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil. Perbedaan-perbedaan tersebut
antara lain:
a) al-Qur'an nilai kebenarannya adalah qath'i
(absolut), sedangkan al-Hadits adalah zhanni (kecuali hadits mutawatir).
b) Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai
pedoman hidup, tetapi tidak semua hadits kita jadikan sebagai pedoman hidup.
Sebab di samping ada sunnah yang tasyri' ada juga sunnah yang ghairu tasyri'.
Di samping ada hadits yang shahih (kuat) ada pula hadits yang dha'if
(lemah),dan seterusnya.
c) Al-Qur'an sudah pasti otentik lafazh dan
maknanya, sedangkan hadits tidak.
d) Apabila al-Qur'an berbicara tentang
masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib maka setiap Muslim wajib
mengimaninya, tetapi tidak demikian apabila masalah-masalah tersebut
diungkapkan oleh hadits (ada yang wajib diimani dan ada yang tidak).
5.
Sejarah
singkat perkembangan al-Hadits.
Para ulama membagi perkembangan hadits
itu menjadi 7 periode, yaitu:
a) Masa wahyu dan pembentukan hukum (pada zaman Rasul: 13 SH-11 H).
b) Masa pembatasan riwayat (masa khulafaur rasyidin: 12-40 H).
c) Masa pencarian hadits (pada masa generasi tabi'in dan sahabat-sahabat muda: 41 H - akhir abad I H).
d) Masa pembukuan hadits (permulaan abad II H).
e) Masa penyaringan dan seleksi ketat (awal abad III H) sampai selesai.
f) Masa penyusunan kitab-kitab koleksi (awal abad IV H sampai jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H).
g) Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan penyusunan kitab-kitab koleksi yang lebih umum (656 H dan seterusnya).
a) Masa wahyu dan pembentukan hukum (pada zaman Rasul: 13 SH-11 H).
b) Masa pembatasan riwayat (masa khulafaur rasyidin: 12-40 H).
c) Masa pencarian hadits (pada masa generasi tabi'in dan sahabat-sahabat muda: 41 H - akhir abad I H).
d) Masa pembukuan hadits (permulaan abad II H).
e) Masa penyaringan dan seleksi ketat (awal abad III H) sampai selesai.
f) Masa penyusunan kitab-kitab koleksi (awal abad IV H sampai jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H).
g) Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan penyusunan kitab-kitab koleksi yang lebih umum (656 H dan seterusnya).
Pada zaman
Rasulullah hadits tidak dituliskan sebab:
a) Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi
sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan beliau sebagai catatan pribadi.
b) Rasulullah berada di tengah-tengah ummat Islam
sehingga dirasa tidak sangat perlu untuk dituliskan pada waktu itu.
c) Kemampuan tulis baca di kalangan sahabat sangat
terbatas.
d) Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada
al-Qur'an.
e) Kesibukan-kesibukan ummat Islam yang luar biasa
dalam menghadapi perjuangan da'wah yang sangat penting.
Menurut catatan
sejarah, ada sahabat yang mencatat hadits Nabi, antara lain: 'Ali dan 'Abdullah
bin 'Amr. Pada zaman-zaman berikutnya pun ternyata al-Hadits belum sempat
dibukukan karena sebab-sebab tertentu. Baru pada zaman 'Umar bin 'Abdul -'Azis,
khalifah ke-8 dari Dinasti Bani Umayyah, (99-101 H) timbul inisiatif secara
resmi untuk menulis dan membukukan hadits tersebut. Sebelumnya hadits-hadits
tersebut hanya disampaikan melalui hafalan-hafalan para sahabat yang kebetulan
hidup lama setelah Nabi wafat dan pada saat generasi tabi'in mencari
hadits-hadits itu. Di antara sahabat-sahabat itu ialah:
- Abu Hurairah, meriwayatkan hadits sekitar 5374 buah;
- 'Abdullah bin 'Umar bin Khathtab, meriwayatkan sekitar 2630 buah;
- Anas bin Malik, meriwayatkan sebanyak 2286 buah;
- 'Abdullah bin 'Abbas, meriwayatkan sebanyak 1160;
- 'Aisyah Ummul Mu'minin, meriwayatkan sebanyak 2210 buah;
- Jabir bin Abdillah, meriwayatkan sebanyak 1540 buah;
- Abu Sa'id al-Hudri meriwayatkan 1170 buah.
- Abu Hurairah, meriwayatkan hadits sekitar 5374 buah;
- 'Abdullah bin 'Umar bin Khathtab, meriwayatkan sekitar 2630 buah;
- Anas bin Malik, meriwayatkan sebanyak 2286 buah;
- 'Abdullah bin 'Abbas, meriwayatkan sebanyak 1160;
- 'Aisyah Ummul Mu'minin, meriwayatkan sebanyak 2210 buah;
- Jabir bin Abdillah, meriwayatkan sebanyak 1540 buah;
- Abu Sa'id al-Hudri meriwayatkan 1170 buah.
Kenapa kemudian
Hadits dikodifikasikan.
Kodifikasi hadits itu justru dilatarbelakangi oleh adanya usaha-usaha untuk membuat dan menyebarluaskan hadits-hadits palsu di kalangan ummat Islam, baik yang dibuat oleh ummat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan sampai saat ini ternyata masih banyak hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam beberapa literatur kaum Muslimin.
Di samping itu tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, berupa anggapan terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai mereka sebagai hadits. Walaupun ditinjau dari isi materinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, tetapi kita tetap tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu ucapan itu sebagai ucapan Rasulullah kalau memang bukan sabda Rasulullah. Sebab sabda Rasulullah: "Barang siapa berdusta atas namaku maka siap-siap saja tempatnya di neraka."
Alhamdulillah, berkat jasa-jasa dari ulama-ulama yang saleh, hadits-hadits itu kemudian sempat dibukukan dalam berbagai macam bentuk dalam berbagai macam buku serta diadakan seleksi ketat oleh mereka sampai melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut ilmu Musthalah Hadits. Walaupun usaha mereka belum dapat membendung seluruh usaha-usaha penyebaran hadits-hadits palsu dan lemah, namun mereka telah melahirkan norma-norma dan pedoman-pedoman khusus untuk mengadakan seleksi sebaik-baiknya yang dituangkan dalam ilmu musthalah hadits tersebut. Sehingga dengan pedoman itu ummat Islam sekarang pun dapat mengadakan seleksi-seleksi seperlunya. Nama-nama Ishak bin Rahawaih, Imam Bukhari, Imam Muslim, ar-Rama al-Hurmudzi, al-Madini, Ibnu Shalah, dan masih banyak lagi ulama-ulama saleh lainnya adalah rentetan nama-nama yang besar jasanya dalam usaha penyelamatan hadits-hadits dari kepalsuan-kepalsuan sehingga lahirlah ilmu tersebut. Untuk memberikan gambaran perkembangan hadits dapat kita perhatikan perkembangan kelahiran kitab-kitab hadits dan ilmu-ilmu hadits.
Kodifikasi hadits itu justru dilatarbelakangi oleh adanya usaha-usaha untuk membuat dan menyebarluaskan hadits-hadits palsu di kalangan ummat Islam, baik yang dibuat oleh ummat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan sampai saat ini ternyata masih banyak hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam beberapa literatur kaum Muslimin.
Di samping itu tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, berupa anggapan terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai mereka sebagai hadits. Walaupun ditinjau dari isi materinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, tetapi kita tetap tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu ucapan itu sebagai ucapan Rasulullah kalau memang bukan sabda Rasulullah. Sebab sabda Rasulullah: "Barang siapa berdusta atas namaku maka siap-siap saja tempatnya di neraka."
Alhamdulillah, berkat jasa-jasa dari ulama-ulama yang saleh, hadits-hadits itu kemudian sempat dibukukan dalam berbagai macam bentuk dalam berbagai macam buku serta diadakan seleksi ketat oleh mereka sampai melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut ilmu Musthalah Hadits. Walaupun usaha mereka belum dapat membendung seluruh usaha-usaha penyebaran hadits-hadits palsu dan lemah, namun mereka telah melahirkan norma-norma dan pedoman-pedoman khusus untuk mengadakan seleksi sebaik-baiknya yang dituangkan dalam ilmu musthalah hadits tersebut. Sehingga dengan pedoman itu ummat Islam sekarang pun dapat mengadakan seleksi-seleksi seperlunya. Nama-nama Ishak bin Rahawaih, Imam Bukhari, Imam Muslim, ar-Rama al-Hurmudzi, al-Madini, Ibnu Shalah, dan masih banyak lagi ulama-ulama saleh lainnya adalah rentetan nama-nama yang besar jasanya dalam usaha penyelamatan hadits-hadits dari kepalsuan-kepalsuan sehingga lahirlah ilmu tersebut. Untuk memberikan gambaran perkembangan hadits dapat kita perhatikan perkembangan kelahiran kitab-kitab hadits dan ilmu-ilmu hadits.
6. Perkembangan
kitab-kitab Hadits.
a) Cara penyusunan kitab-kitab hadits para ulama
menempuh cara-cara antara lain:
1. Penyusunan berdasarkan bab-bab fiqiyah,
mengumpulkan hadits-hadits yang berhubungan dengan shalat umpamanya dalam
babush-shalah, hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah wudhu dalam
babul-wudhu, dan sebagainya. Cara ini terbagi dua macam:
i)
Dengan
mengkhususkan hadits-hadits yang shahih saja, seperti yang ditempuh oleh Imam
Bukhari dan Muslim.
ii)
Dengan
tidak mengkhususkan hadits-hadits yang shahih (asal tidak munkar), seperti yang
ditempuh oleh Abu dawud, Tarmidzi, Nasa'i, dan sebagainya.
2. Penyusunan berdasarkan nama-nama sahabat yang
meriwayatkannya. Cara ini terbagi empat macam:
i)
Dengan
menyusun nama-nama sahabat berdasarkan abjad.
ii)
Dengan
menyusun nama-nama sahabat berdasarkan nama qabilah. Mereka dahulukan nama Banu
Hasyim, kemudian qabilah yang terdekat dengan Rasulullah.
iii)
Dengan
menyusun nama-nama sahabat berdasarkan kronologik masuk Islamnya. Mereka
dahulukan sahabat-sahabat yang termasuk assabiqunalawwalun kemudian ahlul badr,
kemudian ahlul Hudaibiyah, kemudian yang turut hijrah dan seterusnya.
iv)
Dengan
menyusun sebagaimana yang ketiga dan dibagi-bagi berdasarkan awanir, nawahi,
ikhbar, ibadat, dan af'alun nabi. Seperti yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam
shahehnya.
3. Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari
awal matan hadits, seperti yang ditulis oleh Abu Mansur Abdailani dalam Musnadul Firdausi dan
oleh as-Suyutidalam Jami'ush-Shagir.
b) Kitab-kitab Hadits pada Abad ke-1 H.
1. Ash-Shahifah oleh Imam 'Ali bin Abi Thalib.
2. Ash-Shadiqah oleh Imam 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash.
3. Daftar oleh Imam Muhammad bin Muslim (50-124 H).
4. Kutub oleh Imam Abu Bakar bin Hazmin.
Keempat-empatnya tidak sampai ke tangan kita, jadi hanya berdasarkan keterangan sejarah saja yang dapat dipertanggungjawabkan.
1. Ash-Shahifah oleh Imam 'Ali bin Abi Thalib.
2. Ash-Shadiqah oleh Imam 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash.
3. Daftar oleh Imam Muhammad bin Muslim (50-124 H).
4. Kutub oleh Imam Abu Bakar bin Hazmin.
Keempat-empatnya tidak sampai ke tangan kita, jadi hanya berdasarkan keterangan sejarah saja yang dapat dipertanggungjawabkan.
c) Kitab-kitab Hadits pada Abad ke-2 H.
1. Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah an-Nu'man (wafat150 H).
2. Al-Muwaththa oleh Imam Malik Anas (93-179 H).
3. Al-Musnad oleh Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i (150-204 H).
4. Mukhtaliful Hadits oleh Muh. bin Idris Asy-Syafi'i (150-204 H).
5. Al-Musnad oleh imam 'Ali Ridha al-Kadzim (148-203 H).
6. Al-Jami' oleh Abdulrazaq al-Hamam ash-Shan'ani (wafat 311 H).
7. Mushannaf oleh Imam Syu'bah bin Jajaj (80-180 H).
8. Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa'ud (94-175 H).
9. Mushannaf oleh Imam Sufyan bin 'Uyaina (107-1990 H).
10. As-Sunnah oleh Imam Abdurrahman bin 'Amr al-Auza'i (wafat 157 H).
11. As-Sunnah oleh Imam Abl. bin Zubair b. Isa al-Asadi.
Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita kecuali 5 buah saja, yaitu nomor 1 sampai dengan nomor 5.
1. Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah an-Nu'man (wafat150 H).
2. Al-Muwaththa oleh Imam Malik Anas (93-179 H).
3. Al-Musnad oleh Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i (150-204 H).
4. Mukhtaliful Hadits oleh Muh. bin Idris Asy-Syafi'i (150-204 H).
5. Al-Musnad oleh imam 'Ali Ridha al-Kadzim (148-203 H).
6. Al-Jami' oleh Abdulrazaq al-Hamam ash-Shan'ani (wafat 311 H).
7. Mushannaf oleh Imam Syu'bah bin Jajaj (80-180 H).
8. Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa'ud (94-175 H).
9. Mushannaf oleh Imam Sufyan bin 'Uyaina (107-1990 H).
10. As-Sunnah oleh Imam Abdurrahman bin 'Amr al-Auza'i (wafat 157 H).
11. As-Sunnah oleh Imam Abl. bin Zubair b. Isa al-Asadi.
Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita kecuali 5 buah saja, yaitu nomor 1 sampai dengan nomor 5.
d) Kitab-kitab Hadits pada Abad ke-3 H.
1. Ash-Shahih oleh Imam Muh. bin Ismail al-Bukhari (194-256 H).
2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj (204-261 H).
3. As-Sunan oleh Imam Abu Isa At-Tirmidzi (209-279 H).
4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'at (202-275 H).
5. As-Sunan oleh Imam Ahmad bin Sya'ab an-Nasai (215-303 H).
6. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad-Damiri (181-255 H).
7. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah (209-273 H).
8. Al-Musnazd oleh Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
9. Al-Muntaqa Al-Ahkam oleh Imam Abd. Hamid bin Jarud (wafat 307 H).
10. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah (wafat 235 H).
11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 277 H).
12. Al-Mushannaf oleh Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 277 H).
13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310 H).
14. Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wafat 276 H).
15. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih (wafat 237 H).
16. Al-Musnad oleh Imam 'Ubaidilah bin Musa (wafat 213 H).
17. Al-Musnad oleh Imam Abdibni ibn Humaid (wafat 249 H).
18. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la (wafat307 H).
19. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi Usamah al-Harits Ibn Muhammad at-Tamimi (wafat 282 H).
20. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi 'Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani (wafat 287 H).
21. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi 'Amrin Muhammad bin Yahya Aladani (wafat 243 H).
22. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Al-Askari (wafat 282 H).
23. Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai (wafat 303 H).
24. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari (wafat 280 H).
25. Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin (wafat 228 H).
Dan masih banyak sekali musnad yang ditulis para ulama abad ini.
1. Ash-Shahih oleh Imam Muh. bin Ismail al-Bukhari (194-256 H).
2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj (204-261 H).
3. As-Sunan oleh Imam Abu Isa At-Tirmidzi (209-279 H).
4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'at (202-275 H).
5. As-Sunan oleh Imam Ahmad bin Sya'ab an-Nasai (215-303 H).
6. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad-Damiri (181-255 H).
7. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah (209-273 H).
8. Al-Musnazd oleh Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
9. Al-Muntaqa Al-Ahkam oleh Imam Abd. Hamid bin Jarud (wafat 307 H).
10. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah (wafat 235 H).
11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 277 H).
12. Al-Mushannaf oleh Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 277 H).
13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310 H).
14. Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wafat 276 H).
15. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih (wafat 237 H).
16. Al-Musnad oleh Imam 'Ubaidilah bin Musa (wafat 213 H).
17. Al-Musnad oleh Imam Abdibni ibn Humaid (wafat 249 H).
18. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la (wafat307 H).
19. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi Usamah al-Harits Ibn Muhammad at-Tamimi (wafat 282 H).
20. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi 'Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani (wafat 287 H).
21. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi 'Amrin Muhammad bin Yahya Aladani (wafat 243 H).
22. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Al-Askari (wafat 282 H).
23. Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai (wafat 303 H).
24. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari (wafat 280 H).
25. Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin (wafat 228 H).
Dan masih banyak sekali musnad yang ditulis para ulama abad ini.
e) Kitab-kitab Hadits pada Abad ke-4 H.
1. Al-Mu'jam Kabir, ash-shaqir dan al-Ausath oleh Imam Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani
(wafat 360 H).
2. As-Sunan oleh Imam Daruqutni (wafat 385 H).
3. Ash-Shahih oleh Imam Abu Hatim Muhammad bin Habban (wafat 354 H).
4. Ash-Shahih oleh Imam Abu 'Awanah Ya'qub bin Ishaq (wafat 316 H).
5. Ash-Shahih oleh Imam Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq (wafat 311 H).
6. Al-Muntaqa oleh Imam Ibnu Saqni Sa'id bin 'Usman al-Baqhdadi (wafat 353 H).
7. Al-Muntaqa oleh Imam Imam Qasim bin Ashbagh (wafat 340 H).
8. Al-Mushannaf oleh Imam Thahawi (wafat 321 H).
9. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Jami Muhammad bin Ahmad (wafat 402 H).
10. Al-Musnad oleh Imam Muhammad bin Ishaq (wafat 313 H).
11. Al-Musnad oleh Imam Hawarizn (wafat 425 H).
12. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Natsir ar-Razi (wafat 385 H).
13. Al-Mustadrak 'ala -Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim an-Natsaburi (321-405 H).
1. Al-Mu'jam Kabir, ash-shaqir dan al-Ausath oleh Imam Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani
(wafat 360 H).
2. As-Sunan oleh Imam Daruqutni (wafat 385 H).
3. Ash-Shahih oleh Imam Abu Hatim Muhammad bin Habban (wafat 354 H).
4. Ash-Shahih oleh Imam Abu 'Awanah Ya'qub bin Ishaq (wafat 316 H).
5. Ash-Shahih oleh Imam Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq (wafat 311 H).
6. Al-Muntaqa oleh Imam Ibnu Saqni Sa'id bin 'Usman al-Baqhdadi (wafat 353 H).
7. Al-Muntaqa oleh Imam Imam Qasim bin Ashbagh (wafat 340 H).
8. Al-Mushannaf oleh Imam Thahawi (wafat 321 H).
9. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Jami Muhammad bin Ahmad (wafat 402 H).
10. Al-Musnad oleh Imam Muhammad bin Ishaq (wafat 313 H).
11. Al-Musnad oleh Imam Hawarizn (wafat 425 H).
12. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Natsir ar-Razi (wafat 385 H).
13. Al-Mustadrak 'ala -Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim an-Natsaburi (321-405 H).
f) Tingkatan Kitab Hadits.
Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits secara garis besar tingkatan kitab-kitab hadits tersebut bisa dibagi sebagai berikut:
1. Kitab Hadits ash-Shahih yaitu kitab-kitab
hadits yang telah diusahakan para penulisnya untuk hanya menghimpun
hadits-hadits yang shahih saja.
2. Kitab-kitab Sunan yaitu kitab-kitab hadits yang
tidak sampai kepada derajat munkar.
Walaupun mereka memasukkan juga hadits-hadits yang dha'if (yang tidak sampai
kepada munkar). Dan sebagian mereka menjelaskan kedha'ifannya.
3. Kitab-kitab Musnad yaitu kitab-kitab hadits
yang jumlahnya sangat banyak sekali. Para penghimpunnya memasukkan
hadits-hadits tersebut tanpa penyaringan yang seksama dan teliti. Oleh karena
itu di dalamnya bercampur baur di antara hadits-hadits yang shahih, yang
dha'if, dan yang lebih rendah lagi. Adapun kitab-kitab lain adalah disejajarkan
dengan al-Musnad ini.
Di antara kitab-kitab hadits yang ada
maka Shahih Bukhari-lah kitab hadits yang terbaik dan menjadi sumber kedua
setelah al-Qur'an, dan kemudian menyusul hadits Muslim. Ada para ulama hadits
yang meneliti kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, tetapi ternyata kurang
dapat dipertanggungjawabkan, walaupun dalam cara penyusunan hadits-hadits,
kitab Muslim lebih baik daripada kitab Bukhari, sedang syarat-syarat hadits
yang digunakan Bukhari ternyata tetap lebih ketat dan lebih teliti daripada apa
yang ditempuh Muslim. Seperti tentang syarat yang diharuskan Bukhari berupa
keharusan kenal baik antara seorang penerima dan penyampai hadits, di mana bagi
Muslim hanya cukup dengan muttashil (bersambung) saja.
g) Kitab-kitab Shahih selain Bukhari
Muslim.
Ada beberapa ulama yang telah berusaha menghimpun hadits-hadits shahih sebagaimana yang ditempuh Bukhari dan Muslim, akan tetapi menurut penyelidikan ahli-ahli hadits ternyata kitab-kitab mereka tidak sampai kepada tingkat kualitas kitab-kitab Bukhari dan Muslim. Para ulama yang menyusun kitab shahih tersebut ialah:
1. Ibnu Huzaimah dalam kitab ash-Shahih.
2. Abu 'Awanah dalam kitab ash-Shahih.
3. Ibnu Hibban dalam kitab at-Taqsim Walarbu.
4. Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak.
5. Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa.
6. Ibnu Abdil Wahid al-Maqdisi dalam kitab al-Mukhtarah.
Menurut sebagian besar para ulama hadits, di antara kitab-kitab hadits ada 7 (tujuh) kitab hadits yang dinilai terbaik yaitu:
1. Ash-Shahih Bukhari.
2. Ash-Shahih Muslim.
3. Ash-Sunan Abu Dawud.
4. As-Sunan Nasa'i.
5. As-Sunan Tarmidzi.
6. As-Sunan Ibnu Majah.
7. Al-Musnad Imam Ahmad.
Ada beberapa ulama yang telah berusaha menghimpun hadits-hadits shahih sebagaimana yang ditempuh Bukhari dan Muslim, akan tetapi menurut penyelidikan ahli-ahli hadits ternyata kitab-kitab mereka tidak sampai kepada tingkat kualitas kitab-kitab Bukhari dan Muslim. Para ulama yang menyusun kitab shahih tersebut ialah:
1. Ibnu Huzaimah dalam kitab ash-Shahih.
2. Abu 'Awanah dalam kitab ash-Shahih.
3. Ibnu Hibban dalam kitab at-Taqsim Walarbu.
4. Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak.
5. Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa.
6. Ibnu Abdil Wahid al-Maqdisi dalam kitab al-Mukhtarah.
Menurut sebagian besar para ulama hadits, di antara kitab-kitab hadits ada 7 (tujuh) kitab hadits yang dinilai terbaik yaitu:
1. Ash-Shahih Bukhari.
2. Ash-Shahih Muslim.
3. Ash-Sunan Abu Dawud.
4. As-Sunan Nasa'i.
5. As-Sunan Tarmidzi.
6. As-Sunan Ibnu Majah.
7. Al-Musnad Imam Ahmad.
7. Perkembangan
Ilmu Hadits.
Ilmu hadits yang kemudian populer dengan ilmu Mushthalah hadits adalah salah satu cabang disiplin ilmu yang semula disusun oleh Abu Muhammad ar-Rama al-Hurmuzi (wafat 260 H). Walaupun norma-norma umumnya telah timbul sejak adanya usaha pengumpulan dan penyeleksian hadits oleh masing-masing penulis hadits. Secara garis besarnya ilmu hadits ini terbagi menjadi ada dua macam yaitu Ilmu hadits riwayatan dan dirayatan. Ilmu hadits dirayatan membahas hadits dari segi diterima atau tidaknya, sedang ilmu hadits riwayatan membahas materi hadits itu sendiri.
Ilmu hadits yang kemudian populer dengan ilmu Mushthalah hadits adalah salah satu cabang disiplin ilmu yang semula disusun oleh Abu Muhammad ar-Rama al-Hurmuzi (wafat 260 H). Walaupun norma-norma umumnya telah timbul sejak adanya usaha pengumpulan dan penyeleksian hadits oleh masing-masing penulis hadits. Secara garis besarnya ilmu hadits ini terbagi menjadi ada dua macam yaitu Ilmu hadits riwayatan dan dirayatan. Ilmu hadits dirayatan membahas hadits dari segi diterima atau tidaknya, sedang ilmu hadits riwayatan membahas materi hadits itu sendiri.
Dalam perkembangan
berikutnya telah lahir berbagai cabang ilmu hadits, seperti:
a)
Ilmu
rijalul hadits, ilmu yang membahas mereka yang berperan dalam periwayatan
hadits.
b)
Ilmu jarh
wat-ta'dil, ilmu yang membahas tentang jujur dan tidaknya pembawa-pembawa
hadits.
c)
Ilmu
fanilmubhamat, ilmu yang membahas tentang orang yang tidak nampak peranannya
dalam periwayatan suatu hadits.
d)
Ilmu
tashif wat-tahrif, ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang berubah titik
atau bentuknya.
e)
Ilmu
'ilalil hadits, ilmu yang membahas tentang penyakit-penyakit yang tidak nampak
dalam suatu hadits yang dapat menjatuhkan kualitas suatu hadits tersebut.
f)
Ilmu
gharibil hadits, ilmu yang membahas kalimat-kalimat yang sukar dalam hadits.
Ilmu asbabi wurudil hadits, ilmu yang membahas tentang sebab timbulnya suatu
hadits.
g)
Ilmu
talfiqil hadits, ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadits-hadits
yang nampaknya bertentangan.
h)
dan
lain-lain.
8. Seleksi
Hadits.
Dengan menggunakan berbagai macam ilmu hadits itu, maka timbullah berbagai macam nama hadits, yang disepakati oleh para ulama, yang sekaligus dapat menunjukkan jenis, sifat, bentuk dan kualitas dari sesuatu hadits.
Dengan menggunakan berbagai macam ilmu hadits itu, maka timbullah berbagai macam nama hadits, yang disepakati oleh para ulama, yang sekaligus dapat menunjukkan jenis, sifat, bentuk dan kualitas dari sesuatu hadits.
Yang paling
penting untuk diketahui adalah pembagian hadits itu atas dasar kualitasnya
yaitu:
a) Maqbul (dapat diterima sebagai pedoman) yang
mencakup hadits shahih dan hadits hasan.
b) Mardud (tidak dapat diterima sebagai pedoman)
yang mencakup hadits dha'if (lemah) dan maudhu' (palsu).
Usaha seleksi itu
diarahkan pada tiga unsur hadits, yaitu:
a. Matan (materi hadits).
Suatu materi hadits dapat dinilai baik
apabila materi hadits itu tidak bertentangan dengan al-Qur'an atau hadits lain
yang lebih kuat, realita, fakta sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran
Islam. Untuk sekedar contoh dapat kita perhatikan hadits-hadits yang dinilai
baik tapi bertentangan isi materinya dengan al-Qur'an:
1) Hadits yang mengatakan bahwa "Seorang mayat akan disiksa Tuhan karena ratap tangis ahli warisnya", adalah bertentangan dengan firman Allah "Wala taziru waziratun wizra ukhra" yang artinya "Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain" (al-An'am:164).
1) Hadits yang mengatakan bahwa "Seorang mayat akan disiksa Tuhan karena ratap tangis ahli warisnya", adalah bertentangan dengan firman Allah "Wala taziru waziratun wizra ukhra" yang artinya "Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain" (al-An'am:164).
2) Hadits yang mengatakan
"Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan hutang puasa,
maka hendaklah dipuasakan oleh walinya", adalah bertentangan dengan firman
Allah " wa allaisa lil insani illa ma-sa'a", yang artinya "dan
seseorang tidak akan mendapat pahala apa-apa kecuali dari apa yang dikerjakan
dia sendiri" (an-Najm: 39).
b. Sanad (persambungan antara pembawa dan penerima
hadits).
Suatu persambungan hadits dapat dinilai
segi baik, apabila antara pembawa dan penerima hadits benar-benar bertemu
bahkan dalm batas-batas berguru. Tidak boleh ada orang lain yang berperanan
dalam membawakan hadits tapi tidak nampak dalam susunan pembawa hadits itu.
Apabila ada satu kaitan yang diragukan antara pembawa dan penerima hadits, maka
hadits itu tidak dapat dimasukkan dalam kriteria hadits yang maqbul.
c. Rawi (orang-orang yang membawakan hadits).
Seseorang yang dapat diterima haditsnya
ialah yang memenuhi syarat-syarat:
1. 'Adil, yaitu orang Islam yang baliqh dan jujur, tidak pernah berdusta dan tidak membiasakan dosa.
2. Hafizh, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan.
1. 'Adil, yaitu orang Islam yang baliqh dan jujur, tidak pernah berdusta dan tidak membiasakan dosa.
2. Hafizh, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan
kriteria-kriteria seleksi tersebut, maka jumhur (mayoritas) ulama berpendirian
bahwa Kitab ash-Shahih Bukhari dan Kitab ash-Shahih Muslim dapat dijamin
keshahihannya ditinjau dari segi sanad dan rawi. Sedang dari segi matan kita
dapat memberikan seleksinya dengan pedoman-pedoman di atas. Beberapa langkah
praktis dalam usaha seleksi hadits, apakah suatu hadits itu maqbul atau tidak
adalah:
i. Perhatikan matannya sesuai dengan norma di atas.
ii. Perhatikan kitab pengambilannya (rawahu: diriwayatkan atau ahrajahu: dikeluarkan). Apabila matannya baik diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, maka dapat dinilai hadits itu shahih atau paling rendah hasan.
i. Perhatikan matannya sesuai dengan norma di atas.
ii. Perhatikan kitab pengambilannya (rawahu: diriwayatkan atau ahrajahu: dikeluarkan). Apabila matannya baik diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, maka dapat dinilai hadits itu shahih atau paling rendah hasan.
Dengan demikian
maka dapat dikatakan shahih apabila ujung hadits itu oleh para ulama diberi
kata-kata:
a. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh jama'ah.
b. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh imam 7.
c. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh imam 6.
d. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh dua syaikh (Bukhari dan Muslim).
e. Disepakati oleh Bukhari dan Muslim (Muttafaqun 'alaihi).
f. Diriwayatkan oleh Bukhari atau oleh Muslim saja.
g. Diriwatkan oleh ... dan disyahkan oleh Bukhari dan Muslim, Bukhari atau Muslim.
h. Diriwayatkan oleh ... dengan syarat Bukhari atau Muslim.
a. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh jama'ah.
b. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh imam 7.
c. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh imam 6.
d. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh dua syaikh (Bukhari dan Muslim).
e. Disepakati oleh Bukhari dan Muslim (Muttafaqun 'alaihi).
f. Diriwayatkan oleh Bukhari atau oleh Muslim saja.
g. Diriwatkan oleh ... dan disyahkan oleh Bukhari dan Muslim, Bukhari atau Muslim.
h. Diriwayatkan oleh ... dengan syarat Bukhari atau Muslim.
3. Apabila suatu
hadits sudah baik materinya tetapi tidak termasuk dalam persyaratan di atas
maka hendaknya diperhatikan komentar-komentar ulama terhadap hadits itu
seperti:
- Komentar baik: Hadits Mutawir, quwat, hadits shahih, hadits jayyid, hadits baik, hadits pilihan dan sebagainya.
- Komentar buruk: Hadits putus, hadits lemah, hadits ada illatnya, mauquf, maqthu, mudallas, munkar, munqathi, muallak, dan lain sebagainya.
- Komentar baik: Hadits Mutawir, quwat, hadits shahih, hadits jayyid, hadits baik, hadits pilihan dan sebagainya.
- Komentar buruk: Hadits putus, hadits lemah, hadits ada illatnya, mauquf, maqthu, mudallas, munkar, munqathi, muallak, dan lain sebagainya.
Dalam hal ini kita
akan menemukan sesuatu hadits yang mendapat penilaian berbeda / bertentangan
antara seorang ulama dan lainnya. Maka langkah kita adalah dahulukan yang
mencela sebelum yang memuji ("Aljarhu muqaddamun'alat ta'dil"). Hal
ini apabila dinilai oleh sama-sama ahli hadits.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak semua komentar ulama tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Artinya suatu hadits yang dikatakan oleh para ulama shahih, kadang-kadang setelah diteliti kembali ternyata tidak demikian. Contohnya dalam hadits kita akan menemukan kata-kata "dan dishahihkan oleh Imam Hakim, oleh Ibnu Huzaimah" dan lain-lain, tetapi ternyata hadits tersebut tidak shahih (belum tentu shahih).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak semua komentar ulama tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Artinya suatu hadits yang dikatakan oleh para ulama shahih, kadang-kadang setelah diteliti kembali ternyata tidak demikian. Contohnya dalam hadits kita akan menemukan kata-kata "dan dishahihkan oleh Imam Hakim, oleh Ibnu Huzaimah" dan lain-lain, tetapi ternyata hadits tersebut tidak shahih (belum tentu shahih).
4. Apabila
langkah-langkah di atas tidak mungkin ditempuh atau belum memberikan kepastian
tentang keshahihan suatu hadits, maka hendaknya digunakan norma-norma umum
seleksi, seperti yang diterangkan di atas, yaitu menyelidiki langsung sejarah
para rawi dan lain-lain, dan untuk ini telah disusun oleh para ulama terdahulu
sejumlah buku-buku yang membahas tentang sejarah dan keadaan para hadits,
seperti yang pernah dilakukan oleh al-Bukhari dalam bukunya adh-Dhu'afa
(kumpulan orang-orang yang lemah haditsnya).
9. Masalah
hadits-hadits palsu (Maudhu').
Perpecahan di bidang politik di kalangan ummat Islam yang memuncak dengan peristiwa terbunuhnya 'Utsman bin 'Affan, Khalifah ke-3 dari khulafa'ur rasyidin, dan bentrok senjata antara kelompok pendukung 'Ali bin Abi Thalib dan pendukung Mu'awiyah bin Abu Sufyan, telah mempunyai pengaruh yang cukup besar ke arah timbulnya usaha-usaha sebagian ummat Islam membuat hadits-hadits palsu guna kepentingan politik.
Golongan Syi'ah sebagai pendukung kepemimpinan 'Ali dan keturunannya yang kemudian tersingkir dari kekuasaan politik waktu itu, telah terlibat dalam penyajian hadits-hadits palsu untuk membela pendirian politiknya. Golongan ini termasuk golongan yang paling pertama dalam usaha membuat hadits-hadits palsu yang kemudian disusul oleh banyak kelompok ummat Islam yang tidak sadar akan bahaya usaha-usaha demikian.
Golongan Rafidhah (salah satu sekte Syi'ah) dinilai oleh sejarah sebagai golongan yang paling banyak membuat hadits-hadits palsu itu. Di antara hadits-hadits palsu yang membahayakan bagi kemurnian ajaran Islam, terutama yang dibuat oleh orang-orang jahat yang sengaja untuk mengotorkan ajaran Islam dan menyesatkan ummatnya, seperti orang Yahudi, orang Zindik, dan lain sebagainya. Kemudian yang kedua yang dibuat oleh ummat Islam sendiri yang maksudnya baik seperti untuk mendorong ummat Islam beribadah lebih rajin dan lain sebagainya, tetapi lupa akan dasar yang lebih pokok dan lebih prinsipil dalam agama. Dengan demikian motif-motif hadits palsu itu dapat kita simpulkan antara lain sebagai berikut:
a) karena politik dan kepemimpinannya;
b) karena fanatisme golongan dan bahasa;
c) karena kejahatan untuk sengaja mengotori ajaran Islam;
d) karena dorongan untuk berbuat baik tetapi bodoh tentang agama;
e) karena kesehatan-kesehatan sejarah dan lain-lain;
f) karena soal-soal fiqh dan pendapat dalam bidang ilmu kalam;
g) dan lain-lain.
Keadaan demikian ini telah mendorong para ulama saleh untuk tampil ke depan berusaha mengadakan seleksi dan koreksi serta menyusun norma-norma dalam memilih hadits-hadits yang baik dan yang palsu. Mereka sempat mengumpulkan sejumlah nama-nama orang yang baik dan sejumlah nama-nama orang yang biasa membuat hadits palsu. Mereka menyusun kitab-kitab khusus yang membahas hadits-hadits yang baik.
Perpecahan di bidang politik di kalangan ummat Islam yang memuncak dengan peristiwa terbunuhnya 'Utsman bin 'Affan, Khalifah ke-3 dari khulafa'ur rasyidin, dan bentrok senjata antara kelompok pendukung 'Ali bin Abi Thalib dan pendukung Mu'awiyah bin Abu Sufyan, telah mempunyai pengaruh yang cukup besar ke arah timbulnya usaha-usaha sebagian ummat Islam membuat hadits-hadits palsu guna kepentingan politik.
Golongan Syi'ah sebagai pendukung kepemimpinan 'Ali dan keturunannya yang kemudian tersingkir dari kekuasaan politik waktu itu, telah terlibat dalam penyajian hadits-hadits palsu untuk membela pendirian politiknya. Golongan ini termasuk golongan yang paling pertama dalam usaha membuat hadits-hadits palsu yang kemudian disusul oleh banyak kelompok ummat Islam yang tidak sadar akan bahaya usaha-usaha demikian.
Golongan Rafidhah (salah satu sekte Syi'ah) dinilai oleh sejarah sebagai golongan yang paling banyak membuat hadits-hadits palsu itu. Di antara hadits-hadits palsu yang membahayakan bagi kemurnian ajaran Islam, terutama yang dibuat oleh orang-orang jahat yang sengaja untuk mengotorkan ajaran Islam dan menyesatkan ummatnya, seperti orang Yahudi, orang Zindik, dan lain sebagainya. Kemudian yang kedua yang dibuat oleh ummat Islam sendiri yang maksudnya baik seperti untuk mendorong ummat Islam beribadah lebih rajin dan lain sebagainya, tetapi lupa akan dasar yang lebih pokok dan lebih prinsipil dalam agama. Dengan demikian motif-motif hadits palsu itu dapat kita simpulkan antara lain sebagai berikut:
a) karena politik dan kepemimpinannya;
b) karena fanatisme golongan dan bahasa;
c) karena kejahatan untuk sengaja mengotori ajaran Islam;
d) karena dorongan untuk berbuat baik tetapi bodoh tentang agama;
e) karena kesehatan-kesehatan sejarah dan lain-lain;
f) karena soal-soal fiqh dan pendapat dalam bidang ilmu kalam;
g) dan lain-lain.
Keadaan demikian ini telah mendorong para ulama saleh untuk tampil ke depan berusaha mengadakan seleksi dan koreksi serta menyusun norma-norma dalam memilih hadits-hadits yang baik dan yang palsu. Mereka sempat mengumpulkan sejumlah nama-nama orang yang baik dan sejumlah nama-nama orang yang biasa membuat hadits palsu. Mereka menyusun kitab-kitab khusus yang membahas hadits-hadits yang baik.
Untuk mengetahui
bahwa suatu hadits itu adalah hadits palsu, kita dapat mengenal beberapa
ciri-cirinya antara lain:
a) Pengakuan pembuatnya. Di dalam catatan sejarah
sering terjadi para pembuat hadits palsu
berterus-terang atas perbuatan jahatnya, baik karena terpaksa maupun
karena sadar dan taubat. Abu Ismah Nuh bin Maryam (bergelar Nuh al-Jami) telah
berterus terang mengakui perbuatannya dalam membuat hadits-hadits palsu yang
berhubungan dengan keutamaan-keutamaan surat al-Qur'an. Ia sandarkan hadits-haditsnya kepada Ibnu
'Abbas. Maisarah bin 'Abdi Rabbih
al-Farisi, juga telah berterus terang mengakui perbuatannya membuat hadits-
hadits palsu tentang keutamaan al-Qur'an dan keutamaan 'Ali bin Abi Thalib.
Dalam hal ini memang perlu kita catat bahwa tidak semua pengakuan tersebut
lantas harus secara otomatis kita percayai. Sebab mungkin saja pengakuannya itu justru adalah
dusta dan palsu.
b) Perawinya sudah terkenal sebagai pembuat
hadits-hadits maudhu', dan hadits atau keterangan lain yang baik tidak ada sama sekali (dalam soal
yang sama).
c) Isi atau materinya bertentangan dengan akal
pikiran yang sehat. Sebagai contoh hadits-hadits sebagai berikut: "Sesungguhnya perahu
Nuh bertawaf tujuh kali mengelilingi ka'bah dan shalat di makam Ibrahim dua
raka'at", dan
"Sesungguhnya tatkala Allah menciptakan hyryf maka bersujudlah ba dan tegaklah alif'."
"Sesungguhnya tatkala Allah menciptakan hyryf maka bersujudlah ba dan tegaklah alif'."
d) Isinya bertentangan dengan ketentuan agama,
'aqidah Islam. Sebagai contoh:
"Aku adalah penghabisan nabi-nabi. Tidak ada nabi sesudahku kecuali apabila dikehendaki Allah", dan "Allah menciptakan malaikat dari rambut, tangan, dan dada".
"Aku adalah penghabisan nabi-nabi. Tidak ada nabi sesudahku kecuali apabila dikehendaki Allah", dan "Allah menciptakan malaikat dari rambut, tangan, dan dada".
e) Isinya bertentangan dengan ketentuan agama yang
sudah qath'i seperti hadits-hadits:
"Anak zina tidak masuk sorga hingga tujuh turunan"; "Barangsiapa yang memperoleh anak, dan kemudian diberi nama Muhammad, maka dia dan anaknya akan masuk sorga".
"Anak zina tidak masuk sorga hingga tujuh turunan"; "Barangsiapa yang memperoleh anak, dan kemudian diberi nama Muhammad, maka dia dan anaknya akan masuk sorga".
f) Isinya mengandung obral pahala dengan amal yang
sangat sederhana, seperti hadits-hadits:
"Barangsiapa membaca La ilaha illallah maka Allah akan menjadikan baginya seekor burung yang mempunyai tujuh puluh lidah. Pada tiap-tiap lidah tujuh puluh ribu bahasa yang memohon ampun kepada Allah untuk orang tersebut";
"Barangsiapa menafkahkan satu tali untuk mauludku maka aku akan menjadi penolongnya di Yaumil Qiyamah".
"Barangsiapa membaca La ilaha illallah maka Allah akan menjadikan baginya seekor burung yang mempunyai tujuh puluh lidah. Pada tiap-tiap lidah tujuh puluh ribu bahasa yang memohon ampun kepada Allah untuk orang tersebut";
"Barangsiapa menafkahkan satu tali untuk mauludku maka aku akan menjadi penolongnya di Yaumil Qiyamah".
g) .Isinya mengandung kultus-kultus individu.
Seperti hadits-hadits:
"Di tengah ummatku kelak akan ada
orang diberi nama Abu Hanifah an-Nu'man, ia adalah pelita ummatku";
"Abbas itu adalah wasiatku dan
ahli warisku". \
h) Isinya bertentangan dengan fakta sejarah.
Seperti hadits-hadits yang menerangkan bahwa nabi pernah diberi semacam buah dari sorga pada
saat mi'raj. Setelah kembali dari mi'raj kemudian bergaul dengan Khadijah dan
ahirlah Fatimah dan seterusnya. Hadits ini bertentangan dengan fakta sejarah
sebab mi'raj itu terjadi setelah wafatnya Khadijah dan setelah Fatimah lahir.
10.
Contoh-contoh Hadits Maudhu' berdasarkan motifnya.
a.
Motif
politik dan kepemimpinan.
"Apabila kamu melihat Mu'awiyah di atas mimbarku, maka bunuhlah";
"Orang yang berkepercayaan hanyalah tiga. Aku, Jibril, dan Mu'awwiyah".
"Apabila kamu melihat Mu'awiyah di atas mimbarku, maka bunuhlah";
"Orang yang berkepercayaan hanyalah tiga. Aku, Jibril, dan Mu'awwiyah".
b.
Motif
zindik (untuk mengotorkan agama Islam).
"Melihat muka yang cantik adalah
ibadah";
"Rasulullah ditanya dari apakah Tuhan kita itu? Jawabnya tuhan itu dari air yang mengalir, bukan dari tanah dan bukan dari langit. Tuhan menciptakan kuda dan kemudian dijalankannya sampai berkeringat. Maka Allah menciptakan dirinya dari keringat tersebut."
"Rasulullah ditanya dari apakah Tuhan kita itu? Jawabnya tuhan itu dari air yang mengalir, bukan dari tanah dan bukan dari langit. Tuhan menciptakan kuda dan kemudian dijalankannya sampai berkeringat. Maka Allah menciptakan dirinya dari keringat tersebut."
c.
Motif
ta'assub dan fanatisme.
"Sesungguhnya Allah apabila marah, maka
menurunkan wahyu dalam bahasa Arab. Dan apabila tidak marah menurunkannya dalam
bahasa Parsi".
"Di kalangan ummatku akan ada seorang yang bernama Abu Hanifah an-Nu'man. Ia adalah pelita ummatku";
"Di kalangan ummatku akan ada seorang yang diberi nama Muhammad bin Idris. Ia adalah yang menyesatkan ummatku lebih dari pada Iblis".
"Di kalangan ummatku akan ada seorang yang bernama Abu Hanifah an-Nu'man. Ia adalah pelita ummatku";
"Di kalangan ummatku akan ada seorang yang diberi nama Muhammad bin Idris. Ia adalah yang menyesatkan ummatku lebih dari pada Iblis".
d.
Motif
faham-faham fiqh.
"Barangsiapa mengangkat tangannya
di dalam shalat maka tidak sah shalatnya";
"Berkumur dan mengisap air bagi junub tiga kali adalah qajib";
"Jibril mengimamiku di depan ka'bah dan mengeraskan bacaan bismillah".
"Berkumur dan mengisap air bagi junub tiga kali adalah qajib";
"Jibril mengimamiku di depan ka'bah dan mengeraskan bacaan bismillah".
e.
Motif
senang kepada kebaikan tapi bodoh tentang agama.
"Barangsiapa menafkahkan satu tali untuk mauludku maka aku akan menjadi penolongnya di Yaumil Qiyamah".
Seperti hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat al-Qur'an, obral pahala dan sebagainya.
"Barangsiapa menafkahkan satu tali untuk mauludku maka aku akan menjadi penolongnya di Yaumil Qiyamah".
Seperti hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat al-Qur'an, obral pahala dan sebagainya.
f.
Motif
penjilatan kepada pemimpin.
"Ghiyas bin Ibrahim an-Nakha'i al-Kufi pernah masuk ke rumah mahdi (salah seorang penguasa) yang senang sekali kepada burung merpati. Salah seorang berkata kepadanya, coba terangkan kepada amirul mukminin tentang suatu hadits, maka berkatalah Ghiyas 'Tidak ada taruhan melainkan pada anak panah, atau unta atau kuda, atau burung'."
"Ghiyas bin Ibrahim an-Nakha'i al-Kufi pernah masuk ke rumah mahdi (salah seorang penguasa) yang senang sekali kepada burung merpati. Salah seorang berkata kepadanya, coba terangkan kepada amirul mukminin tentang suatu hadits, maka berkatalah Ghiyas 'Tidak ada taruhan melainkan pada anak panah, atau unta atau kuda, atau burung'."
11.
Persoalan-persoalan yang ditetapkan oleh hadits-hadits maudhu'.
Untuk menjelaskan
persoalan-persoalan tersebut di sini pada kutipan uraian ustadz Abdul Qadir
Hassan dalam buku Ilmu Hadits, juz 2.
1)
Hadits
yang menyuruh orang sembahyang pada malam Jum'at 12 raka'at dengan bacaan surat
al-Ikhlas 10 kali.
2)
Hadits
yang menyuruh orang senbahyang pada malam jum'at 2 raka'at dengan bacaan surat
Zalzalah 15 kali (ada juga yang menerangkan 50 kali).
3)
Hadits-hadits
sembahyang pada hari Jum'at dua raka'at, empat raka'at, dan duabelas raka'at.
4)
Hadits-hadits
sebelum sembahyang Jum'at, ada sembahyang 4 raka'at dengan bacaan al-Ikhlas 50
kali.
5)
Hadits-hadits
sembahyang asyura.
6)
Hadits-hadits
sembahyang ghaib.
7)
Hadits-hadits
sembahyang malam dari bulan Rajab.
8)
Hadits-hadits
sembahyang malam ke-27 dari bulan Rajab.
9)
Hadits-hadits
sembahyang malam nifsu sya'ban 100 raka'at dalam tiap-tiap raka'at 10 kali
bacaan surat al-Ikhlas.
10)
Hadits-hadits
yang menerangkan hal nabi Khidir dan hidupnya.
11)
Hadits-hadits
sembahyang hari Ahad, malam Ahad, Senin, malam Senin, Selasa, malam Selasa,
Rabu, malam Rabu, Kamis, malam Kamis, Jum'at, malam Jum'at, Sabtu, dan malam
Sabtu.
12)
Hadits-hadits
yang menerangkan hal-hal yang akan terjadi dengan sebutan "apabila pada
tahun sekian maka akan terjadi ini dan itu", atau yang berbunyi
"Dalam bulan...akan...".
13)
Hadits-hadits
yang menerangkan fadhilah-fadhilah surat al-Qur'an dan ganjaran orang yang
membacanya dari surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Qur'an yang berbunyi
"Barangsiapa membaca surat ini
...akan mendapat ganjaran...".
14)
Hadits-hadits
yang berisi bacaan-bacaan bagi anggota wudhu'.
15)
Hadits-hadits
yang menerangkan naasnya hari-hari.
16)
Hadits-hadits
yang didalamnya terdapat pujian-pujian kepada orang-orang yang bagus mukanya
atau yang ada perintah melihat mereka atau yang ada perintah mencari hajat kita
dari mereka atau yang menyebut bahwa mereka tidak disentuh neraka.
17)
Hadits-hadits
yang berhubungan dengan kejadian akal manusia.
18)
Hadits-hadits
yang berisi celaan terhadap bangsa Habsyi, Sudan, dan Turki.
19)
Hadits-hadits
yang berkenaan dengan burung merpati seperti riwayat:
Adalah Nabi Muhammad
saw sangat suka melihat burung merpati atau riwayat: Peliharalah burung
merpati yang sudah dipotong bulunya ini dalam rumah kamu, karena sesungguhnya
ia bisa melalaikan jin daripada (mengganggu) anak-anak kamu dan sebagainya.
20)
Hadits-hadits
yang berhubungan dengan ayam seperti hadits yang berbunyi: Ayam itu, kambing
bagi orang-orang miskin dari ummatku.
Dan umpamanya.
21)
Hadits-hadits
yang mengandung celaan terhadap anak-anak, salah satu di antaranya berbunyi:
Kalau salah seorang dari kamu mendidik seekor anak anjing sesudah tahun 160,
itu adalah lebih baik daripada ia mengasuh seorang anak laki-laki.
22)
Hadits-hadits
yang bersifat pujian terhadap Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i dan
hadits-hadits yang mengandung celaan
terhadap kedua imam tersebut.
23)
Hadits-hadits
pujian terhadap orang bujangan (tidak kawin).
24)
Hadits-hadits
yang ada pujian bagi 'adas, beras, kacang kuda, terung, delima, kismis, bawang,
semangka, keju, bubur, daging, dan lain-lain.
25)
Hadits-hadits
yang menyebut keutamaan bunga-bungaan.
26)
Hadits-hadits
yang melarang dan membolehkan main catur.
27)
Hadits-hadits
yang melarang makan di dalam pasar.
28)
Hadits-hadits
yang mengandung keutamaan bulan Rajab dan puasa padanya.
29)
Hadits-hadits yang mencela sahabat-sahabat
nabi: Mu'awiyah, 'Amr bin 'ash, Bani Umayyah, dan Abi Musa.
30)
Hadits-hadits
yang berisi pujian dan celaan terhadap negeri-negeri Baghdad, Bashrah, Kufah,
Asqalam, Iskandariyah, dan lain sebagainya.
31)
Hadits-hadits
tentang keutamaan Mu'awiyah.
32)
Hadits-hadits
yang berisi keutamaan-keutamaan bagi 'Ali bin Abi Thalib.
33)
Himpunan
hadits-hadits lemah dan palsu oleh A.Yarid.Qasim Koko.
12.
Ceramah-ceramah agama di tengah-tengah masyarakat Islam sampai sekarang ini
masih sering menyajikan hadits-hadits palsu.
Pada peringatan mauludan masih sering kali terdengar: "Barangsiapa menafkahkan satu tali untuk mauludku aku akan menolongnya di Yaumil Qiyamah".
Pada peringatan Isra' dan Mi'raj masih sering pula disajikan dongeng-dongengan yang menceritakan tentang gambaran kendaraan Rasulullah, buraq, digambarkan sebagai berwajah wanita, berbadan seperti kuda, sayapnya pada paha, dan lain sebagainya.
Siratol Mustaqim yang terdapat dalam surat al-Fatihah dilukiskan sebagai jembatan yang sangat kecil seperti rambut dibelah tujuh, lebih tajam dari pedang yang paling tajam, dan seterusnya. Selain itu populer pula di kalangan ummat Islam, pepatah-pepatah dari orang-orang-tertentu atau kata-kata hikmah dalam bahasa Arab, yang dinilai dan populer sebagai sabda Nabi saw. Mungkin karena isinya cukup baik maka masyarakat Islam menilainya sebagai sabda Rasulullah itu. Contoh antara lain:
"Cinta tanah air itu adalah sebagian daripada iman".
"Islam tidak akan ada tanpa adanya organisasi. Organisasi tidak akan ada tanpa adanya pemimpin. Pemimpin tidak akan ada tanpa adanya kepatuhan".
"Agama itu akal pikiran. Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal pikiran".
"Engkau lihat kotoran nyamuk pada muka orang lain, dan engkau tidak melihat kotoran unta pada mukamu sendiri".
"Terkadang kefakiran itu mendorong kepada kekufuran".
Pada peringatan mauludan masih sering kali terdengar: "Barangsiapa menafkahkan satu tali untuk mauludku aku akan menolongnya di Yaumil Qiyamah".
Pada peringatan Isra' dan Mi'raj masih sering pula disajikan dongeng-dongengan yang menceritakan tentang gambaran kendaraan Rasulullah, buraq, digambarkan sebagai berwajah wanita, berbadan seperti kuda, sayapnya pada paha, dan lain sebagainya.
Siratol Mustaqim yang terdapat dalam surat al-Fatihah dilukiskan sebagai jembatan yang sangat kecil seperti rambut dibelah tujuh, lebih tajam dari pedang yang paling tajam, dan seterusnya. Selain itu populer pula di kalangan ummat Islam, pepatah-pepatah dari orang-orang-tertentu atau kata-kata hikmah dalam bahasa Arab, yang dinilai dan populer sebagai sabda Nabi saw. Mungkin karena isinya cukup baik maka masyarakat Islam menilainya sebagai sabda Rasulullah itu. Contoh antara lain:
"Cinta tanah air itu adalah sebagian daripada iman".
"Islam tidak akan ada tanpa adanya organisasi. Organisasi tidak akan ada tanpa adanya pemimpin. Pemimpin tidak akan ada tanpa adanya kepatuhan".
"Agama itu akal pikiran. Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal pikiran".
"Engkau lihat kotoran nyamuk pada muka orang lain, dan engkau tidak melihat kotoran unta pada mukamu sendiri".
"Terkadang kefakiran itu mendorong kepada kekufuran".
13. Kitab-kitab
yang meriwayatkan hadits-hadits palsu.
Di antara kitab-kitab yang banyak menggunakan hadits-hadits maudhu' ini ialah kitab-kitab seperti Tafsir Baidhawi, Tafsir Kilbi, dan lain sebagainya. Kitab-kitab tasawwuf dan kitab-kitab akhlaq dan juga banyak terlibat dalam penyajian-penyajian hadits palsu. Di Indonesia masih banyak pesantren-pesantren dan buku-buku yang terlibat dalam penyebaran hadits-hadits palsu. Dan sampai saat ini ummat Islam belum mempunyai suatu lembaga khusus yang bertugas mengoreksi buku-buku yang menyajikan hadits-hadits yang maudhu' (palsu) dalam skala nasional. Yang sudah ada adalah lembaga Pentashih al-Qur'an di bawah Departemen Agama Republik Indonesia.
Di antara kitab-kitab yang banyak menggunakan hadits-hadits maudhu' ini ialah kitab-kitab seperti Tafsir Baidhawi, Tafsir Kilbi, dan lain sebagainya. Kitab-kitab tasawwuf dan kitab-kitab akhlaq dan juga banyak terlibat dalam penyajian-penyajian hadits palsu. Di Indonesia masih banyak pesantren-pesantren dan buku-buku yang terlibat dalam penyebaran hadits-hadits palsu. Dan sampai saat ini ummat Islam belum mempunyai suatu lembaga khusus yang bertugas mengoreksi buku-buku yang menyajikan hadits-hadits yang maudhu' (palsu) dalam skala nasional. Yang sudah ada adalah lembaga Pentashih al-Qur'an di bawah Departemen Agama Republik Indonesia.
0 Response to "As-Sunnah / Al-Hadist"
Post a Comment