Bid’ah haqiqiyah adalah hal baru, baik asal maupun sifatnya (مَا أُحْدِثَ بِأَصْلِهِ وَوَصْفِهِ), artinya: suatu perbuatan yang tidak memiliki dalil, baik dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, maupun metode istidlal yang diakui para ulama, baik secara umum maupun terperinci.
Contoh bid’ah haqiqiyah adalah praktik ibadah yang sama sekali tidak disyariatkan, seperti ibadah kaum musyrikin dengan cara bersiul dan bertepuk tangan.
Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً
“Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (QS. Al-Anfal: 35)
“Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (QS. Al-Anfal: 35)
Kategori bid’ah inilah disepakati ulama, bahwa hal itu merupakan bid’ah jelek (madzmumah).
Sementara bid’ah idhafiyah adalah sesuatu yang baru dalam sifatnya, namun tidak baru dalam asalnya (مَا أُحْدِثَ بِوَصْفِهِ لاَ بِأَصْلِهِ), artinya: suatu perbuatan yang secara umum memiliki dalil, baik dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, maupun metode istidlal yang diakui para ulama, namun terkait cara dan aturannya tidak terdapat penjelasan secara terperinci.
Pada bid’ah kategori inilah para ulama berbeda pendapat. Menurut mayoritas ulama, bid’ah jenis ini boleh dengan beberapa syarat. Sedang menurut al-Syathibi, Ibnu Taimiyah, Ibn al-Qayyim, dan Ibnu Daqiq al-’Id, tidak boleh.
Salah satu contoh bid’ah idhafiyah adalah redaksi shalawat Nabi. Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf, dalam kitabnya Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam.
Antara lain shalawat yang disusun oleh Abdullah bin Mas’ud berikut ini:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ إِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ، اللَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلأَوَّلُوْنَ وَاْلآخِرُوْنَ. (الشيخ ابن القيم، جلاء الأفهام، ص/٣٦).
Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah juga meriwayatkan redaksi shalawat Sayidina Abdullah bin Abbas berikut ini:
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ شَفَاعَةَ مُحَمَّدٍ الْكُبْرَى وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ الْعُلْيَا وَأَعْطِهِ سُؤْلَهُ فِي اْلآخِرَةِ وَاْلأُوْلَى كَمَا آتَيْتَ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى. (الشيخ ابن القيم، جلاء الأفهام (ص/٧٦).
Syaikh Ibn al-Qayyim juga meriwayatkan shalawat yang disusun oleh al-Imam ‘Alqamah al-Nakha’i, seorang tabi’in, sebagai berikut:
صَلىَّ اللهُ وَمَلاَئكِتُهُ عَلىَ مُحَمَّدٍ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. (الشيخ ابن قيم الجوزية، جلاء الأفهام، ص/٧٥).
Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah juga meriwayatkan shalawat yang disusun oleh al-Imam al-Syafi’i sebagai berikut:
Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah juga meriwayatkan shalawat yang disusun oleh al-Imam al-Syafi’i sebagai berikut:
صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَعَدَدَ مَا غَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُوْنَ. (الشيخ ابن القيم، جلاء الأفهام ص/٢٣٠).
Redaksi shalawat yang disebutkan oleh sahabat dan tabi’in tersebut adalah perbuatan yang secara umum memiliki dalil, baik dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, maupun metode istidlal yang diakui para ulama. Namun terkait cara dan aturannya, tidak terdapat penjelasan secara terperinci. Dengan demikian, redaksi shalawat seperti itu adalah bid’ah idhafiyah, yang menurut mayoritas ulama, hukumnya baik (bid’ah hasanah).
Uniknya, Syaikh Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa bid’ah idhafiyah itu tidak boleh, ternyata melakukan bid’ah idhafiyah, dengan cara taqyid muthlaq.
Taqyid Muthlaq adalah melakukan ibadah yang secara umum disyariatkan oleh Allah, namun dia melakukannya dengan cara yang tidak ada penjelasannya dalam syariat, baik waktu pelaksanaannya, tempat, atau modelnya.
Disebutkan dalam Madarij al-Salikin (9/359):
Disebutkan dalam Madarij al-Salikin (9/359):
ومن تجريبات السالكين التي جربوها فألفوها صحيحة: أن من أدمن "يا حي ياقيوم لا إله إلا أنت" أورثه ذلك حياة القلب والعقل. وكان شيخ الإسلام ابن تيمية قدس الله روحه شديد اللهج بها جدا وقال لي يوما: "لهذين الاسمين وهما {الْحَيُّ الْقَيُّومُ} تأثير عظيم في حياة القلب" وكان يشير إلى أنهما الاسم الأعظم وسمعته يقول: "من واظب على أربعين مرة كل يوم بين سنة الفجر وصلاة الفجر" ياحي ياقيوم لاإله إلا أنت برحمتك أستغيث" حصلت له حياة القلب ولم يمت قلبه".
“Di antara amaliah mujarrab (teruji manfaatnya) yang dilakukan oleh para ahli suluk, yang mereka mencoba dan membacanya secara teratur, bahwa siapa yang sering membaca ‘Ya Hayyu Ya Qayyum Laa Ilaaha illa Anta’ maka hal itu akan menjadikan hati dan akalnya hidup. Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah – semoga Allah menyucikan ruhnya – sangat tekun mengamalkan bacaan ini. Suatu hari dia berkata pada saya, ‘Dua nama ini (yaitu al-Hayyu al-Qayyum) memiliki pengaruh hebat dalam hidupnya hati.’ Dia menyebut bahwa keduanya adalah nama teragung. Aku pernah mendengarnya berkata, ‘Barangsiapa secara rutin membaca sebanyak 40 kali, setiap hari, antara sunnah Fajar dan shalat Fajar (Subuh, penj), ‘Ya Hayyu Ya Qayyum Laa Ilaaha illa Anta bi Rahmatika astaghiits’ akan mendapatkan hidupnya hati, dan hatinya tidak mati.”
Doa yang dibaca oleh Syaikh Ibnu Taimiyah tersebut secara umum memang memiliki dalil, baik dari al-Qur’an maupun Sunnah, misalnya perintah dalam al-A’raf ayat 180, agar kita memohon kepada Allah dengan menyebut asma-ul husna. Namun cara dan aturan khusus yang dilakukan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah, yaitu membaca doa tersebut sebanyak 40 kali, setiap hari, antara sunnah Fajar dan shalat Fajar, tidak terdapat penjelasan secara terperinci dalam dalil.
Selain amaliah tersebut, ternyata Syaikh Ibnu Taimiyah juga memiliki amaliyah ‘khusus’ lainnya, sebagaimana dijelaskan oleh murid beliau, Ibnu al-Qayyim dalam bagian lain kitab Madarij (3/264), dalam kitab Thariq al-Hijratain (hal. 328), Miftah Dar as-Sa’adah (1/298), dan I’lam al-Muwaqqi’in (4/257). Belum lagi dengan amaliah-amaliah khusus Syaikh Ibnu Taimiyah yang dijelaskan oleh al-Hafizh Umar al-Bazzar dalam kitab manaqib Ibn Taimiyah, al-A’lam (hal. 38) dan oleh Syamsuddin Ibn Abdil Hadi dalam al-Sharim al-Munki (hal. 17).
Berdasarkan fakta ini, Syaikh Abdul Fattah Shalih Qudaisy al-Yafi’i dalam al-Bid’ah al-Mahmudah mensinyalir bahwa di akhir hayatnya, Syaikh Ibnu Taimiyah mengakui adanya bid’ah hasanah.
Wallahu a’lam.
Oleh : Ustadz Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I.
0 Response to "Bid’ah Haqiqiyah dan Bid’ah Idhafiyah"
Post a Comment