Latest Updates

Bolehkah Pelaksanaan Haji Orang Yang Meninggal Diteruskan Oleh Orang Lain

Raudlatuth Thalibin[1]

: (فَرْعٌ) إِذَا مَاتَ الحَاجُّ عَنْ نَفْسِهِ فيِ أَثْنَائِهِ، فَهَلْ يَجُوْزُالبِنَاءُ عَلَى حَجِّهِ؟ قَوْلاَنِ. الأَظْهَرُ الجَدِيْدُ: لاَ يَجُوْزُ، كَالصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ. وَالقَدِيْمُ: يَجُوْزُ. فَعَلَى الجَدِيْدِ: يَبْطُلُ المَأْتِيُّ بِهِ إِلاَّ فِي الثَّوَابِ، وَيَجِبُ الإِحْجَاجُ عَنْهُ مِنْ تِرْكَتِهِ إِنْ كَانَ اِسْتَقَرَّ فِيْ ذِمَّتِهِ. وَعَلَى القَدِيْمِ:تَارَةً يَمُوْتُ وَقَدْ بَقِيَ وَقْتُ الإِحْرَامِ،وَتَارَةً لاَ يَبْقَى، فَإِنْ بَقِيَ، أَحْرَمَ النَّائِبُ بِالحَجِّ وَيَقِفُ بِعَرَفَةَ إِنْ لَمْ يَقِفْ المَيِّتُ وَلاَ يَقِفُ إِنْ كَانَ وَقَفَ وَيَأْتِي بِبَاقِي الأَعْمَالِ،وَلاَ بَأْسَ بِوُقُوْعِ إِحْرَامِ النَّائِبِ دَاخِلَ المِيْقَاتِ،فَإِنَّهُ يُبْنَى عَلَى إِحْرَامٍ أَيِّ شَيْئٍ مِنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَبْقَ وَقْتُ الإِحْرَامِ فَفِيْمَا يُحْرِمُ بِهِ النَّائِبُ؟ وَجْهَانِ، أَحَدُهُمَا بِعُمْرَةٍ ثُمَّ يَطُوْفُ وَيَسْعَى فَيُجْزِئَانِهِ عَنْ طَوَافِ الحَجِّ وَسَعْيِهِ وَلاَ يَبِيْتُ وَلاَ يَرْمِي فَإِنَّهُمَا لَيْسَا مِنْأَعْمَالِ العُمْرَةِ وَلَكِنْ يُجْبَرَانِ بِالدَّمِ. وَأَصَحُّهُمَا يُحْرِمُ بِالحّجِّ وَيَأْتِي بِبَقِيَّةِ الأَعْمَالِ، وَإِنَّمَا يَمْتَنِعُ إِنْشَاءُ الإِحْرَامِ بَعْدَ أَشْهُرِ الحَجِّ إِذَا ابْتَدَأَهُ. وَهَذَا يُبْنَى عَلَى مَا سَبَقَ. وَعَلَى هَذَا لَوْ مَاتَ بَيْنَ التَّحَلُّلَيْنِ أَحْرَمَالنَّائِبُ إِحْرَامًا لاَ يُحَرِّمُ اللُبْسَ وَالقَلَمَ، وَإِنَّمَا يُحْرِمُ النِّسَاءَ كَمَا لَوْ بَقِيَ المَيِّتُ. هَذَا كُلُّهُ إِذَا مَاتَ قَبْلَ التَّحَلُّلَيْنِ، فَإِنْ مَاتَ بَعْدَ هُمَا فَلاَ خِلاَفَ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ البِنَاءُ ِلأَنَّهُ يُمْكِنُ جَبْرُمَا بَقِيَ بِالدَّمِ. وَأَوْهَمَ بَعْضُهُمْ إِجْرَاءَ الخِلاَفِ.
 “Jika seseorang yang sedang berhaji untuk dirinya sendiri meninggal dunia, bolehkah pelaksanaan hajinya itu diteruskan oleh orang lain? Ada dua pendapat: Menurut qaul jadid yang lebih jelas, tidak boleh, sama halnya seperti shalat dan puasa. Sedangkan menurut qaul qadim, itu boleh. Berdasar atas qaul jadid, kematian menggugurkan semua amalan berikutnya, kecuali pahalanya. Ia wajib dihajikan dengan biaya dari tirkah (peninggalan)-nya, manakala ia telah terkena kewajiban haji itu. Menurut qaul qadim, seseorang yang meninggal dunia itu dapat terjadi ketika masih ada waktu untuk ihram, atau sudah tidak ada waktu lagi. Jika waktu ihram masih ada maka orang yang menghajikannya dapat ber-ihram dan wukuf pada hari Arafah, jika orang yang meninggal dunia itu belum wukuf. Orang yang menggantikan itu tidak usah wukuf jika ia sudah wukuf. Akan tetapi ia dapat mengerjakan amal selanjutnya dan tidak menjadi halangan orang yang menggantikannya ihram di dalam daerah miqat, sebab ia hanya meneruskannya atas ihram yang telah dilakukan oleh orang yang meninggal dunia itu.

 Jika waktu ihram sudah habis maka bagaimana orang yang menggantikannya itu ber-ihram. Ada dua cara; Pertama, salah satunya hendaknya ia ihram umrah kemudian ia thawaf dan sa’i. Dua amalan ini sudah mencukupi sebagai pengganti dari thawaf haji dan sa’i-nya, ia tidak perlu mabit dan melempar jamarat, karena keduanya bukan termasuk amalan umrah, akan tetapi harus diganti dengan dam; Kedua, merupakan pendapat yang paling shahih, penggantinya dapat melakukan ihram haji dan seterusnya melakukan amlan lainnya. Ia dilarang melakukan ihram haji setelah asyhurul hajji (bulan-bulan berhaji) jika saja ia memulainya. Karena hal ini didasarkan atas uraian yang telah lalu. Atas dasar ini, jika seseorang yang berhaji meninggal dunia di antara dua tahallul maka pengganti dapat ber-ihram untuknya dengan haram memakai pakaian biasa dan memotong kuku. Dan ia dapat berihram untuk menghajikan perempuan sebagaimana ia menghajikan mayit. Hal ini, jika seseorang meninggal dunia sebelum melaksanakan dua tahallul. Jika ia meninggal dunia setelah melaksanakan dua tahallul maka penggantian haji tidak boleh tanpa khilaf, karena amalan lainnya kemungkinan dapat diganti dengan dam. Sebagian ulama meragukan terjadinya khilaf dalam masalah ini”.


 Nihayatul Muhtaj [2]:

 (النَّوْعُ الثَّانِيُ، اِسْتِطَاعَةُ تَحْصِيْلِهِ) أَيْ الحَجِّ لاَ بِالمُبَاشَرَةِ بَلْ (بِغَيْرِهِ فَمَنْ مَاتَ) غَيْرَ مُرْتَدٍّ (وَ فِيْ ذِمَّتِهِ حَجٌّ) وَاجِبٌ مَسْتَقِرٌّ وَلَوْ بِنَحْوِ نَذْرٍ بَأَنْ تَمَكَّنَ بَعْدَ قُدْرَتِهِ عَلَى فِعْلِهِ بِنَفْسِهِ أَوْ غَيْرِهِ وَذَلِكَ بَعْدِ انْتِصَفِ لَيْلَةِ النَّحْرِ وَمَضَى إِمْكَانُ الرَّمْيِ وَالطَّوَافِ وَالسَّعْيِإِنْ دَخَلَ الحّاجُّ بَعْدَ الوُقُوْفِ ثُمَّ مَاتَأَثِمَ وَلَوْ شَابًّا وَإْنْ لَمْ تَرْجِع القَافِلَةُ وَ (وَجَبَ الإِحْجَاجُ عَنْهُ) وَزَادَ عَلَى المُحَرَّرِ قَوْلُهُ (مِنْ تِرْكَتِهِ) وَلاَ بُدَّ مِنْهُ كَمَا يُقْضَى مِنْهَا دَيْنُهُ سَوَاءٌ فِيْ المُتَصَرِّفِ فِيْهَا أَكَانَ وَارِثًا أَمْ وَصِيًّا أَمْ حَاكِمًا. وَالعُمْرَةُ إِذَا اسْتَقَرَّتْ كَالحَجِّ فِيْمَا تَقَرَّرَ وَإِنْ لَمْ يُوْصِ بِذَلِكَ، فَإْنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ تِرْكَةٌ اِسْتَحَبَّ لِوَارِثِهِ الحَجُّ عَنْهُ بِنَفْسِهِ أَوْ نَائِبِهِ وَلأَجْنَبِيٍّ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ الوَارِثُ وَ يَبْرَءُ بِهِ المَيِّتُ. وَفَارَقَ الصَّوْمُ حَيْثُ تَوَقَّفَ عَلَى إِذْنٍ مِنْهُ بِأَنَّهُ عِبَادَةٌ بَدَنِيَّةٌ مَحْضَةٌ بِحِلاَفِ الحَجِّ. وَالأَصْلَ فيِ ذَلِكَ مَا صَحَّ: أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِإِنَّ فَرِيْضَةَ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ فيِ الحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيْرًا لاَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَثْبُتَ عَلَى الرَاحِلَةِ أَ فَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ نَعَمْ. وَمَا صَحَّ أَيْضًا: أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَ فَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ حُجِّي عَنْهَا. وَأَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أُخْتِي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ وَمَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَحُجَّ أَ فَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ لَوْ كَانَ عَلَى أُخْتِكَ دَيْنٌ أَ كُنْتَ قَاضَيْتَهُ؟ قَالَ نَعَمْ، قَالَ فَاقْضُوا حَقَّ اللهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِالقَضَاءِ. فَشُبِّهَ الحَجُّ بِالدَّيْنِ الَّذِي لاَ يَسْقُطُ بِالمَوْتِ فَوَجَبَ أَنْ يُعْطَى حُكْمُهُ.

 “Hal kedua, istitha’ah (mampu) melaksanakan ibadah haji tidak secara langsung, tetapi dengan dilakukan oleh orang lain. Barang siapa meninggal dunia, bukan murtad dan ia masih mempunyai tanggungan kewajiban haji yang tetap, walaupun karena nadzar, dimana ia telah mampu untuk melaksanakan ibadah haji, baik dilakukan sendiri atau dengan diwakilkan kepada orang lain, yaitu pada waktu tengah malam hari raya ‘Idul Adha, sedangkan kemungkinan melempar jumrah aqabah, thawaf, dan sa’i telah lewat. Jika orang yang sudah wajib berhaji telah masuk waktu wukuf, lalu ia meninggal dunia maka ia berdosa, walaupun ia masih muda, dan sekalipun kafilahnya belum kembali. Dan hukumnya wajib menghajikan orang itu, dan demikian pula dijelaskan dalam kitab al-Muharrar, dengan biaya yang diambil dari tirkah-nya. Kewajiban ini sebagaimana kewajiban membayar hutang, menjadi tanggungan orang yang diserahi mengelola tirkah-nya, baik ia sebagai ahli waris, penerima wasiat atau hakim (pejabat pemerintah).
 Kewajiban umrah juga sama dengan kewajiban haji di atas, walaupun orang yang meninggal dunia itu tidak berwasiat untuk di-umrah-kan. Jika orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan tirkah, ahli warisnya disunnahkan menghajikannya, baik ia sendiri atau oleh penggantinya, atau dilakukan oleh orang lain, walaupun ahli warisnya tidak mengizinkannya, maka gugurlah kewajiban haji orang yang meninggal dunia itu. ya? Ia menjawab: Ya, wajib. Lalu Rasulullah saw. bersabda: Tunaikanlah olehmu hak Allah SWT. karena hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi”.
Ketentuan hukum ini berbeda dengan puasa yang memerlukan izin ahli waris karena ibadah puasa adalah murni ibadah badan, berbeda dengan ibadah haji. Yang menjadi dasar adalah Hadits shahih yang menyatakan: “Bahwasannya ada seorang perempuan bertanya kepada Rasulullah saw., wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji atas hamba- Nya telah menimpa kepada ayah saya yang sudah tua renta, dimana ia tidak mampu duduk di atas kendaraan, apakah saya boleh menghajikannya? Rasulullah menjawab: Ya, boleh”.
Hadits shahih lainnya menyatakan: “Bahwasannya ada seorang perempuan bertanya: wahai Rasulullah saw., ibu saya telah meninggal dunia dan belum berhaji sama sekali, apakah saya boleh menghajikannya? Rasulullah menjawab: Berhajilah kamu untuknya”. Ada juga seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah saw., saudara perempuan saya bernadzar untuk beribadah haji, lalu ia meninggal dunia sebelum berhaji, apakah saya boleh menghajikannya? Rasulullah menjawab: Jika saudaramu mempunyai hutang, apakah kamu wajib melunasin.

0 Response to "Bolehkah Pelaksanaan Haji Orang Yang Meninggal Diteruskan Oleh Orang Lain"

Post a Comment

X-Steel - Wait