Di antara ulama pondok pesantren, ada seorang ulama yang memiliki keahlian melukis. Beliau adalah KH. Ridhwan Abdullah (selanjutnya dibaca Kyai Ridhwan Abdullah). Banyak jasa beliau di bumi Indonesia terutama di kalangan Jam’iyah Nahdhatul Ulama. Dalam kancah ulama NU, beliau dikenal sebagai pencipta lambang NU.
Secara kebetulan, sehari sebelum Muktamar digelar, Kyai Ridhwan Abdullah mendapatkan petunjuk lewat mimpi seusai melaksanakan shalat Istikharah. Dalam mimpi itu muncul gambar bola dunia yang dilingkupi tali dan sembilan bintang. Keesokan harinya petunjuk itupun digambar oleh Kyai Ridhwan Abdullah di atas selembar kain dan ditambahi tulisan arab Nahdhatul Ulama sebagai hasil kreasinya. Setelah jadi, gambar tersebut disodorkan kepada para Kyai dan serentak mereka menyetujui. Maka jadilah lambang NU seperti yang kita kenal dan kita lihat sekarang ini.
MASA KANAK-KANAK.
Sang Pencipta Lambang Nahdhatul Ulama yang elegan itu adalah anak sulung dari enam bersaudara dari pasangan Kyai Abdullah dan Nyai Marfu’ah, lahir di kampung Carikan Gang I, Praban, Kelurahan Alun-alun Contong, Kecamatan Bubutan, Surabaya, pada tahun 1884.
Pendidikan dasarnya diperoleh di sekolah Belanda. Agaknya di situlah, dia mendapatkan pengetahuan teknik dasar menggambar dan melukis. Dia tergolong murid yang pintar, sehingga ada orang Belanda yang ingin mengadopsinya. Belum selesai sekolah di situ, orangtuanya kemudian mengirimnya ke Pesantren Buntet di Cirebon. Ayah Kyai Ridhwan, Abdullah, memang berasal dari Cirebon, Ridwan adalah anak bungsu.
Setelah lulus dari sekolah setingkat Sekolah Dasar, beliau mondok di sejumlah pesantren, di antara salah satunya adalah di pesantren Syeikh Kholil Bangkalan. Beliau ikut ndalem Syeikh Kholil, membantu urusan rumah tangga Syeikh Kholil, seperti bersih-bersih rumah, mencuci pakaian dan mengasuh putera Syeikh Kholil dan lain-lain. Setelah lama nyantri di pesantren Syeikh Kholil dan membantu urusan rumah tangganya, suatu ketika Syeikh Kholil berteriak:
“Maling, maling….! Sambil menuding ke arah Kyai Ridhwan Abdullah.
“Maling, maling….! Sambil menuding ke arah Kyai Ridhwan Abdullah.
Serentak saja ia lari pontang panting demi menghindari amukan para santri yang membawa alat pukul sekenanya. Untung Kyai Ridhwan Abdullah berhasil lolos, sehingga tidak babak belur diamuk para santri.
Sampai di rumah diceritakanlah apa yang terjadi kepada orang tuanya yang terkejut melihat penampilan anaknya yang dekil dan lusuh. Mendengar itu, ayahnya pergi ke Bangkalan guna melakukan klarifikasi. Alangkah kagetnya Kyai Abdullah (ayah Kyai Ridhwan), sebelum satu patah kata pun diucapkan, Syeikh Kholil Bangkalan sudah berkata terlebih dahulu:
“Anakmu itu nakalan, wong sudah pinter, sudah banyak menguasai ilmuku, kok masih betah di sini, kalau tidak pakai cara itu, dia tidak akan mau pulang” Jelas Waliyullah itu. Subhanallah ...
“Anakmu itu nakalan, wong sudah pinter, sudah banyak menguasai ilmuku, kok masih betah di sini, kalau tidak pakai cara itu, dia tidak akan mau pulang” Jelas Waliyullah itu. Subhanallah ...
Setelah itu Kyai Ridhwan Abdullah meneruskan belajarnya di Tanah Suci. Bahkan sempat dua kali, pertama dari tahun 1901 sampai tahun 1904, dan yang kedua dari tahun 1911 sampai tahun 1912. Maka mulai dari tahun 1912 inilah, beliau pulang ke Tanah Air dan menetap di Surabaya.
TENTANG BELIAU.
Kyai Ridhwan Abdullah dikenal sebagai Kyai yang dermawan. Setiap anak yang berangkat mondok dan sowan ke rumah beliau, selain diberi nasihat juga diberi uang, padahal beliau sendiri tidak tergolong orang kaya.
Di kalangan ulama pondok pesantren, Kyai Ridhwan Abdullah dikenal sebagai ulama yang memiliki ilmu pengetahuan agama dan pengalaman yang luas. Pergaulan beliau sangat luas dan tidak hanya terbatas di kalangan pondok pesantren.
Di samping itu, beliau dikenal sebagai ulama yang memiliki keahlian khusus di bidang seni lukis dan seni kaligrafi. Salah satu karya beliau adalah bangunan Masjid Kemayoran Surabaya. Masjid dengan pola arsitektur yang khas ini adalah hasil rancangan Kyai Ridhwan Abdullah.
Sebagai Kyai, Ridhwan Abdullah lebih banyak bergerak di dalam kota. Dalam beberapa hal, dia tidak sependapat dengan Kyai yang tinggal di pedesaan. Misalnya, sementara Kyai di pedesaan mengharamkan kepiting, ia justru menghalalkannya.
Ia dapat dikategorikan sebagai Kyai inteletual. Pergaulannya dengan tokoh nasionalis seperti Bung Karno, Dr. Sutomo, dan H.O.S Tjokroaminoto cukup erat. Apalagi, tempat tinggal mereka tidak berjauhan dengan rumahnya, di Bubutan Gang IV/20.
Kyai Ridhwan Abdullah dikenal sebagai Kyai yang low profile, baik dalam bermasyarakat maupun dalam berorganisasi, bersahaja dan sederhana. Meskipun di rumah mertuanya tersedia beberapa kereta kuda bahkan ada juga sepeda motor, untuk keluar rumah, Kyai Ridhwan Abdullah lebih memilih berjalan kaki dengan kitab salaf di tangan kanan dan payung hitam di tangan kirinya. Biasanya, di belakangnya ikut satu dua anak kecil yang dengan setia mengikutinya, baik sekedar untuk bermain hingga menghadiri pengajian yang dipimpinnya. Nampaknya, gemerlap harta tidak membuat Kyai Ridhwan Abdullah terlena (bahkan di kemudian hari, beliau rela menjual beberapa tokonya demi NU). Hari-hari beliau disibukkan dengan hal-hal ukhrawi. Hampir tiap malam beliau mengisi pengajian dari mushalla atau masjid satu ke lainnya, masuk keluar kampung.
Semasa hidupnya Kyai Ridhwan Abdullah sempat menikah dua kali. Dari pernikahan pertama lahir KH. Mahfudz, KH. Dahlan (keduanya anggota TNI) dan Afifah. Setelah sang istri wafat, beliau menikah lagi hingga lahir juga tiga anak, yaitu KH. Mujib Ridhwan, KH. Abdullah Ridhwan dan Munib.
Beliau adalah salah satu motor penggerak lahirnya Nahdhatul Ulama, selain Kyai Wahab Chasbullah dan Mas Alwi. Kyai Wahab Chasbullah dengan gagasan-gagasan cemerlangnya, Mas Alwi dengan usulan namanya dan Kyai Ridhwan Abdullah dengan desine lambangnya.
PERJUANGAN BELIAU.
Kyai Ridhwan Abdullah tidak memiliki pondok pesantren. Tetapi beliau dikenal sebagai guru agama, muballigh yang tidak kenal lelah. Beliau diberi gelar ‘Kyai Keliling’. Maksudnya Kyai yang menjalankan kewajiban mengajar dan berdakwah dengan keliling dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Biasanya, Kyai Ridhwan Abdullah mengajar dan berdakwah pada malam hari. Tempatnya berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lainnya dan dari satu surau ke surau yang lain. Daerah-daerah yang secara rutin menjadi tempat beliau mengajar adalah kampung Kawatan, Tembok dan Sawahan.
Sebelum Nahdhatul Ulama (NU) berdiri, Kyai Ridhwan Abdullah mengajar di Madrasah Nahdhatul Wathan –lembaga pendidikan yang didirikan oleh Kyai Wahab Chasbullah pada tahun 1916. Beliaulah yang berhasil menghubungi Kyai Mas Alwi untuk menduduki jabatan sebagai kepala Madrasah Nahdhatul Wathan menggantikan Kyai Mas Mansyur. Beliau juga terlibat dalam kelompok diskusi Tashwirul Afkar (1918), dua lembaga yang menjadi embrio lahirnya organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Ketika NU sudah diresmikan, ia aktif di Cabang Surabaya dan mewakilinya dalam muktamar ke-13 NU di Menes, Pandeglang, pada tanggal 15 Juni 1938.
Dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia Kyai Ridhwan Abdullah ikut bergabung dalam barisan Sabilillah. Pengorbanan beliau tidak sedikit, seorang puteranya yang menjadi tentara PETA (Pembela Tanah Air) gugur di medan perang. Pada tahun 1948, beliau ikut berperang mempertahankan kemerdekaan RI dan pasukannya terpukul mundur sampai ke Jombang.
Banyak jasa perjuangan Kyai Ridhwan Abdullah, di antaranya beliaulah yang mengusulkan agar para syuhada yang gugur dalam pertempuran 10 Nopember 1945 dimakamkan di depan Taman Hiburan Rakyat (THR). Tempat inilah yang kemudian dikenal dengan Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa.
Kyai Ridhwan Abdullah sendiri meninggal dunia tahun 1962, dan dimakamkan di pemakaman Tembok, Surabaya. Bakat dan keahlian beliau dalam melukis diwarisi oleh seorang puteranya, KH. Mujib Ridhwan.
JASA BELIAU.
Nama Kyai Ridhwan Abdullah tidak bisa dipisahkan dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan Jam’iyah Nahdhatul Ulama. Pada susunan pengurus NU periode pertama, Kyai Ridhwan Abdullah masuk menjadi anggota A’wan Syuriyah. Selain menjadi anggota Pengurus Besar NU, beliau juga masih dalam pengurus Syuriyah NU Cabang Surabaya.
Pada tanggal 12 Rabiul Awal 1346 H, bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1927 diselenggarakan Muktamar NU ke-2 di Surabaya. Muktamar berlangsung di Hotel Peneleh. Pada saat itu peserta muktamar dan seluruh warga Surabaya tertegun melihat lambang Nahdhatul Ulama yang dipasang tepat pada pintu gerbang Hotel Peneleh. Lambang itu masih asing karena baru pertama kali ditampilkan. Penciptanya adalah Kyai Ridhwan Abdullah.
Untuk mengetahui arti lambang NU, dalam Muktamar NU ke-2 itu diadakan majelis khusus, pimpinan sidang adalah Kyai Raden Adnan dari Solo. Dalam majelis ini, pimpinan sidang meminta Kyai Ridhwan Abdullah menjelaskan arti lambang NU.
Secara rinci Kyai Ridhwan Abdullah menjelaskan semua isi yang terdapat dalam lambang NU itu. Beliau menjelaskan:
“Lambang tali adalah lambang agama. Tali yang melingkari bumi melambangkan Ukhuwah Islamiyah kaum muslimin seluruh dunia. Untaian tali yang berjumlah 99 melambangkan Asmaul Husna. Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Besar Muhammad SAW. Empat bintang kecil samping kiri dan kanan melambangkan Khulafaur Rasyidin, dan empat bintang di bagian bawah melambangkan madzhabul arba’ah (empat madzhab). Sedangkan jumlah semua bintang yang berjumlah sembilan melambangkan Wali Songo.”
“Lambang tali adalah lambang agama. Tali yang melingkari bumi melambangkan Ukhuwah Islamiyah kaum muslimin seluruh dunia. Untaian tali yang berjumlah 99 melambangkan Asmaul Husna. Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Besar Muhammad SAW. Empat bintang kecil samping kiri dan kanan melambangkan Khulafaur Rasyidin, dan empat bintang di bagian bawah melambangkan madzhabul arba’ah (empat madzhab). Sedangkan jumlah semua bintang yang berjumlah sembilan melambangkan Wali Songo.”
Setelah mendengarkan penjelasan Kyai Ridhwan Abdullah, seluruh peserta majelis khusus sepakat menerima lambang itu. Kemudian Muktamar ke-2 Nahdhatul Ulama memutuskannya sebagai lambang Nahdhatul Ulama. Dengan demikian secara resmi lambang yang dibuat oleh Kyai Ridhwan Abdullah menjadi lambang Nahdhatul Ulama.
Sesudah upacara penutupan Muktamar, Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari memanggil Kyai Ridhwan Abdullah dan menanyakan asal mula pembuatan lambang NU yang diciptakannya. Kyai Ridhwan Abdullah menyebutkan bahwa yang memberi tugas beliau adalah Kyai Wahab Chasbullah. Pembuatan gambar itu memakan waktu satu setengah bulan.
Kyai Ridhwan Abdullah juga menjelaskan bahwa sebelum menggambar lambang NU, terlebih dahulu dilakukan shalat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Hasilnya, beliau bermimpi melihat sebuah gambar di langit yang biru jernih. Bentuknya persis dengan gambar lambang NU yang kita lihat sekarang.
Setelah mendengar penjelasan Kyai Ridhwan Abdullah, Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari merasa puas. Kemudian beliau mengangkat kedua tangan sambil berdoa. Setelah memanjatkan doa beliau berkata:
“Mudah-mudahan Allah mengabulkan harapan yang dimaksud di lambang Nahdhatul Ulama.”
“Mudah-mudahan Allah mengabulkan harapan yang dimaksud di lambang Nahdhatul Ulama.”
KISAH PENCIPTAAN LAMBANG NAHDHATUL ULAMA. (Muktamar NU Ke-2, Surabaya 1927) .
NU dikenal sebagai ormas yang memiliki nama-nama legendaris seperti: Symbol Jagat, Bintang Sembilan, juga dikenal sebagai ormas yang memiliki Lambang Bumi. Lambang-lambang itu memiliki makna yang terus menemukan relevansi. Symbol tersebut juga mengalami perkembangan sesuai dengan dinamika zaman. Kedalaman makna symbol NU tersebut bisa dilihat dari proses penciptaannya, yang memang mengatasi kondoisi-kondisi manusiawi, sehingga makna yang disebarkan juga melampaui zaman.
Alkisah, menjelang Muktamar yang waktu itu lazim disebut Kongres, walaupun dalam dokumen resmi kata Muktamar juga digunakan. Dalam Muktamar NU ke-2 bulan Rabiul Awal 1346 H bertepatan dengan bulan Oktober 1927, di Hotel Muslimin Peneleh Surabaya memiliki cerita tersendiri. Kongres ini rencananya diselenggarakan lebih meriah ketimbang Muktamar pertama Oktober 1926 yang persiapannya serba darurat. Kali ini muktamar dipersiapkan lebih matang hanya bidang materi, manajemennya, tetapi juga perlu disemarakkan dengan kibaran bendera. Dengan sendirinya bendera perlu simbol atau lambang.
Alkisah, menjelang Muktamar yang waktu itu lazim disebut Kongres, walaupun dalam dokumen resmi kata Muktamar juga digunakan. Dalam Muktamar NU ke-2 bulan Rabiul Awal 1346 H bertepatan dengan bulan Oktober 1927, di Hotel Muslimin Peneleh Surabaya memiliki cerita tersendiri. Kongres ini rencananya diselenggarakan lebih meriah ketimbang Muktamar pertama Oktober 1926 yang persiapannya serba darurat. Kali ini muktamar dipersiapkan lebih matang hanya bidang materi, manajemennya, tetapi juga perlu disemarakkan dengan kibaran bendera. Dengan sendirinya bendera perlu simbol atau lambang.
Pada saat itu Muktamar kurang dua bulan diselenggarakan, tetapi NU belum memiliki lambang. Keadaan itu membuat Ketua Panitia Muktamar Kyai Wahab Chasbullah, cemas, maka diadakan pembicaraan empat mata dengan Kyai Ridhwan Abdullah di rumah Kawatan Surabaya. Semula pembicaraan berkisar pada persiapan konsumsi Kongres NU, yang ketika itu dipegang oleh Kyai Ridhwan Abdullah. Kemudian pembicaraan beralih kepada lambang yang perlu dimiliki oleh NU, sebagai identitas dan sekaligus sebagai mitos.
Selama ini memang Kyai Ridhwan Abdullah telah dikenal sebagai Ulama yang punya bakat melukis. Makanya Kyai Wahab Chasbullah meminta agar dibuatkan lambang NU yang bagus buat Jam’iyah kita ini agar lebih mudah mengenalinya. Tentu saja permintaan Kyai Wahab Chasbullah yang mendadak tersebut agak sulit diterima. Tetapi akhirnya disepakati juga demi kehebatan NU, maka Kyai Ridhwan Abdullah mulai mencari inspirasi.
Beberapa kali sketsa lambang dibuat. Tetapi semuanya dirasakan masih belum mengena di hati, maka gambar dasar tersebut diganti lagi sampai beberapa kali. Usaha membuat gambar dasar lambang NU tersebut sudah diulang beberapa kali dengan penuh kesabaran hingga memakan waktu satu bulan setengah dengan demikian Kongres sudah diambang pintu semestinya sudah diselesaikan.
Sampai tiba waktunya, Kyai Wahab Chasbullah pun datang menagih pesanan.
“Mana Kyai, lambang NU-nya?” Tanya Kyai Wahab Chasbullah.
Dijawab oleh Kyai Ridhwan:
“Sudah beberapa sketsa lambang NU dibuat. Tapi rasanya masih belum sesuai untuk lambang NU, karena itu belum bisa kami selesaikan.”
Mendengar jawaban itu Kyai Wahab Chasbullah mendesak:
“Seminggu sebelum Kongres sebaiknya gambar sudah jadi lho!!..
Melihat ketidakpastian itu Kyai Ridwan Abdullah hanya menjawab:
“Insya Allah.”
Bagaimanapun waktu untuk membuat gambar yang sempurna, sudah demikian sempitnya. Maka jalan yang ditempuh oleh Kyai Ridhwan Abdullah adalah melakukan shalat istikharah. Minta petunjuk kepada Allah SWT. Pada suatu ketika shalat malampun dilakukan. Seusai shalat Kyai Ridhwan Abdullah tidur lagi. Dalam tidurnya Kyai Ridhwan Abdullah mendapat petunjuk melalui mimpi, ia tiba-tiba melihat sebuah gambar di langit biru. Bentuknya sama dengan lambang NU yang sekarang.
Pada waktu itu, jam dinding sekitar pukul 2 malam. Setelah terbangun dari tidur Kyai Ridhwan Abdullah langsung mengambil kertas dan pena. Sambil mencoba mengingat-ingat sebuah tanda di langit biru, dalam mimpinya, pelan-pelan symbol dalam mimpi tersebut dicoba divisualisasikan. Tak lama kemudian sketsa lambang NU pun jadi dan mirip betul dengan gambar dalam mimpinya.
Pada pagi harinya, sketsa kasar tersebut disempurnakan dan diberi tulisan Nahdhatul Ulama dari huruf Arab dan NU huruf latin. Dalam sehari penuh gambar tersebut dapat diselesaikan dengan sempurna. Maklum Kyai Ridhwan Abdullah adalah seorang pelukis yang berbakat.
Kesulitan yang kedua dihadapi oleh Kyai Ridhwan Abdullah adalah bagaimana mencari bahan kain untuk menuangkan lambang tersebut sebagai dekorasi dalam medan Kongres. Beberapa toko di Surabaya dimasuki, tak ada yang cocok karena warna-warna yang terlihat di dalam mimpi tak ada yang cocok dengan warna kain yang ada di toko-toko Surabaya.
Akhirnya Kyai Ridhwan Abdullah coba mencarinya ke Malang. Kebetulan kain yang dicari-cari ditemukan, sayang hanya sisa 4 X 6 meter. Walaupun jumlahnya hanya sedikit tapi tetap dibeli dan dibawa pulang ke Surabaya dan langsung dipotong sesuai dengan ukuran gambar yang sudah dirancang. Bentuk lambang NU itu dibuat memanjang ke bawah. Lebar 4 meter Panjang 6 meter, ini merupakan bentuk asli lambang NU.
Menjelang pembukaan Muktamar symbol NU telah dipasang di arena Muktamar yang megah. Symbol baru itu menambah keindahan suasana. Ketika Muktamar dibuka dan kepada Muktamirin diperkenalkan symbol baru tersebut, maka semua hadirin yang berjumlah 18 ribu orang itu berdecak kagum melihat gambar yang indah dan sakral tersebut. Symbol tersebut memang mewakili dinamika abad ke-19. Karena itu pada perjalanan berikutnya mengalami penyederhanaan sebagai pendinamisasian, sesuai dengan semangat zaman yang mulai bergerak menuju kemajuan, dan didorong oleh semangat perjuangan.
0 Response to "KH. RIDHWAN ABDULLAH: PENCIPTA LAMBANG NAHDHATUL ULAMA (NU)"
Post a Comment