Dalam tradisi bermadzhab, perbedaan
pendapat merupakan sebuah keniscayaan dan termasuk khazanah kekayaan
fiqih kaum Muslimin. Dewasa ini, seiring dengan merebaknya aliran
Wahhabi, yang cenderung memaksakan pendapatnya kepada orang lain agar
diikuti, disebarluaskan wacana bahwa mengikuti madzhab fiqih yang ada
merupakan salah satu bentuk kesyirikan dan dilarang dalam agama.
Demikian asumsi mereka.
Dalam sebuah diskusi di Mushalla
al-Fitrah, Monang Maning Denpasar, ada seorang Wahhabi melakukan protes
dengan berkata: “Ustadz, kita tidak perlu mengikuti ulama atau para imam
madzhab. Bukankah para imam madzhab itu pendapatnya berbeda-beda.
Ustadz harus mengetahui bahwa hadits ikhtilafu ummati rahmatun (perbedaan umat Islam itu merupakan rahmat Allah) itu hadits mursal yang kualitasnya lemah atau dha’if”. Demikian pernyataan orang Wahhabi tadi yang belakangan diketahui berinisial HA.
Pada waktu itu saya menjawab: “Memang hadits ikhtilafu ummati rahmatun,
termasuk hadits dha’if. Akan tetapi substansinya terdapat dalam
hadits-hadits yang shahih. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya
dari Ibn Umar radhiyallahu ‘anhu yang berkata: “Sepulangnya dari
peperangan Ahzab, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. رواه البخاري (٨٩٤).
“Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” (HR. al-Bukhari [894]).
Sebagian sahabat ada yang memahami
teks hadits tersebut secara tekstual, sehingga tidak shalat
Ashar–walaupun waktunya telah berlalu– kecuali di tempat itu. Sebagian
lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan
shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Ketika Nabi
shallallahu alaihi wasallam menerima laporan tentang kasus ini, beliau
tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang berbeda pendapat dalam
memahami teks hadits beliau.” (HR. al-Bukhari [894]). Berkaitan dengan
hal tersebut Sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
جَلَدَ النَّبِيُّ صلى الله
عليه وسلم أَرْبَعِينَ، وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ، وَعُمَرُ
ثَمَانِينَ، وَكُلٌّ سُنَّةٌ، وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ . رواه مسلم (٣٢٢٠)
وأبو داود (٣٣٨٤).
“Nabi mendera orang yang minum
khamr sebanyak empat puluh kali. Abu Bakar mendera empat puluh kali
pula. Sedangkan Umar menderanya delapan puluh kali. Dan kesemuanya
adalah sunnah. Akan tetapi, empat puluh kali lebih aku sukai.” (HR. Muslim (3220) dan Abi Dawud (3384).
Dalam hadits ini, Ali bin Abi Thalib
menetapkan bahwa dera empat puluh kali yang dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam dan Abu Bakar, sedang dera delapan puluh
kali yang dilakukan oleh Umar kepada orang yang minum khamr, keduanya
sama-sama benar. Hadits ini menjadi bukti bahwa perbedaan pendapat di
antara sesama mujtahid dalam bidang fiqih, tidak tercela, bahkan
eksistensinya diakui berdasarkan hadits tersebut. Seorang ulama salaf
dari generasi tabi’in, al-Imam al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar
al-Shiddiq berkata:
كَانَ اخْتِلاَفُ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم رَحْمَةً لِلنَّاسِ.
“Perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam merupakan rahmat bagi manusia.” (Jazil al-Mawahib, 21).
Khalifah yang shaleh, Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu juga berkata:
مَا سَرَّنِيْ لَوْ أَنَّ
أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَخْتَلِفُوْا لأَنَّهُمْ
لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوْا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ.
“Aku tidak gembira seandainya para sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam
tidak berbeda pendapat. Karena seandainya mereka tidak berbeda
pendapat, tentu tidak ada kemurahan dalam agama.” (Jazil al-Mawahib,
22).
Paparan di atas menyimpulkan bahwa
perbedaan pendapat di kalangan sahabat telah terjadi sejak masa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan ternyata perbedaan tersebut
dilegitimasi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan menjadi
rahmat bagi umat Islam sebagaimana diakui oleh ulama salaf yang saleh. Wallahu a’lam.”
by:
0 Response to "Hadits Perbedaan Umat Adalah Rahmat itu Dha’if?"
Post a Comment