"Surga tidak gratis" adalah kalimat yang diucapkan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, sosok kharismatik panutan Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) pada abad ini. Oleh murid-muridnya, beliau akrab dipanggil dengan sebutan “Abuya”, sebuah panggilan akrab seorang anak ke orang tuanya. Kalimat ini sangat kesohor di kalangan murid beliau karena ia diucapkan dalam sebuah momen yang sangat fenomenal yang tidak mungkin dilupakan oleh murid-murid beliau.
Konon, kalimat tersebut diucapkan oleh Abuya Sayyid Muhammad ketika beliau sudah diputuskan untuk dihukum mati (penggal) oleh pemerintah Arab Saudi, negeri dimana beliau tinggal. Menurut penuturan dari santri-santri senior beliau, ketika itu, sekitar tahun 70-an beliau mendapat panggilan dari Raja Saudi, ketika itu masih Raja Fahd bin Abdul Aziz. Kertas surat panggilannya berwarna merah. Semua masyarakat Saudi tahu bahwa jika ada penduduk Saudi dipanggil pemerintah dengan surat panggilan berwarna merah, pasti yang bersangkutan akan dihukum mati atau paling tidak kalau memang tidak dihukum mati maka ia dipenjara.
Sebelum memenuhi panggilan raja, Abuya Sayyid Muhammad memerintahkan kepada murid-muridnya untuk membacakan aurad (wirid) dan adzkar (zikir) untuk keselamatan beliau. Murid-murid beliau yang biasanya setiap hari tiada henti belajar, saat itu kegiatan belajar mengajar di Masyru’-nya (Masyru': istilah untuk pesantren Abuya) dihentikan. Hanya diisi dengan aurad dan adzkar saja. Dan saat itu beliau senantiasa berwasiat kepada santri-santrinya agar mereka tetap teguh dan tidak goyah untuk meneruskan perjuangan beliau, jika beliau dalam waktu dekat sudah tidak lagi bersama mereka.
Sehari sebelum diwajibkannya Abuya Sayyid Muhammad menghadap raja, beliau sudah berada di Riyadl yang merupakan ibu kota Saudi Arabia. Tepat pada hari dimana Abuya Sayyid Muhammad diwajibkan datang ke istana raja, beliau dijemput oleh Pangeran Salman (yang saat ini sudah menjadi Raja Saudi). Sebagai catatan, bahwa saat itu jika ada penduduk Saudi yang memiliki masalah dengan pemerintah Saudi dan diputuskan untuk dihukum mati, pasti Salman yang menanganinya. Pertama kali Salman bertemu Sayyid Muhammad, dia langsung berkata kepada beliau, “Wahai Muhammad, jika ada penduduk Saudi dipanggil pemerintah menggunakan kertas merah dan saya yang menanganinya, tentu kamu sudah tahu mau diapakan orang tersebut?” Salman bermaksud menggertak dan mengerdilkan hati Abuya Sayyid Muhammad. Akan tetapi, digertak seperti itu, Abuya Sayyid Muhammad sama sekali tidak gentar. Mendengar Ucapan Salman itu, justru Abuya Sayyid Muhammad malah seperti “macan dibangunkan dari tidurnya”. Saat itulah beliau menjawab, “AL JANNAH MA HI BALASY, YA SALMAN” (Surga tidak gratis, wahai Salman). Allah Akbar. Sebuah kalimat yang benar-benar mencerminkan keberanian pengucapnya.
Singkat cerita, entah apa yang terjadi pada Raja Fahd, akhirnya hari itu Sayyid Muhammad tidak jadi bertemu dengan Raja Fahd, karena Fahd akan bepergian ke luar negeri. Dan Abuya Sayyid Muhammad sudah diperbolehkan pulang ke Makkah. Semua heran atas sikap Fahd yang langsung berubah 360 derajat. Apakah benar dia tidak jadi menghukum mati Sayyid Muhammad hanya karena lantaran dia sibuk akan bepergian atau entah karena sebab yang lain, wallahu a’lam. Sampai sekarang tidak ada yang mengetahui penyebabnya.
Tetapi, mendengar bahwa raja urung menemui Abuya Sayyid Muhammad dan Sayyid Muhammad sudah diperbolehkan pulang ke Makkah, lagi-lagi Abuya Sayyid Muhammad semakin menunjukkan kejantanannya. “Saya datang ke Riyadl karena dipanggil raja. Dan saya tidak akan kembali ke Makkah kalau masih belum bertemu raja. Atau paling tidak aku harus bertemu raja walau hanya sebentar. Kalau tidak, aku akan menunggu raja sampai dia kembali ke Saudi. Pokoknya, aku harus bertemu Raja. Sebab aku ke Riyadl karena dipanggil Raja.” Demikian Abuya Sayyid Muhammad menunjukkan kejantanannya kepada Salman. Dihaturkanlah perkataan Abuya Sayyid Muhammad kepada raja. Dan akhirnya Raja Fahd memberikan waktu sebentar di Bandara untuk bertemu dengan Abuya Sayyid Muhammad, sesaat sebelum naik pesawat. Pertemuan itu diabadikan dalam sebuah foto fenomenal yang sampai sekarang sering kita lihat. Dimana difoto itu Sayyid Muhammad dan Raja Fahd sama-sama duduk di kursi. Kalau kita cermati foto tersebut, ekspresi beliau berdua sudah sangat mewakili suasana saat itu. Tegang. Ya, kesan tegang itulah yang akan kita tangkap dari suasana saat itu.
Konon, saat beliau akan kembali ke Makkah, bukannya beliau malah terkena hukuman, tapi justru beliau diberi hadiah oleh Raja Fahd. Mungkin hal itu dilakukan oleh Fahd, karena katakjubannya akan keberanian Abuya Sayyid Muhammad.
Saat ini perjuangan Sayyid Muhammad diteruskan oleh putra beliau, Sayyid Ahmad. Beliau oleh para murid dan pencintanya juga akrab disapa dengan “Abuya”. Keteguhan serta kejantanan Abuya Sayyid Ahmad juga tak ubahnya Abuya Sayyid Muhammad.
Tahun 2006 Abuya Sayyid Ahmad mengadakan Maulid besar-besaran. Dimana jamaah yang hadir saat itu bukan hanya dari Makkah saja. Penduduk Madinah dan Thaif juga banyak yang hadir. Dari luar negeripun juga banyak yang hadir. Bahkan ruang “qa’ah” (aula) di Masyru’ beliau saat itu sampai tidak mampu menampung hadirin.
Seminggu setelah acara maulid besar-besaran itu, Abuya Sayyid Ahmad juga dipanggil pemerintah. Seperti Abahnya ketika dipanggil raja, kita yang biasanya setiap hari disibukkan dengan pelajaran, saat itu Abuya Sayyid Ahmad memerintahkan kita untuk menghentikan pelajaran. Siang dan malam hanya kita isi dengan “Shalat Hasbanah”, aurad dan ahzab.
Tepat dihari pemanggilan Abuya Sayyid Ahmad, dari pagi kita sudah kumpul di “qa’ah”, melaksanakan Shalat Hasbanah, membaca aurad dan ahzab. Ba’da Dzuhur Abuya Sayyid Ahmad datang dan langsung memerintahkan kita untuk berkumpul di kelas. Tidak tertangkap dari ekspresi wajah Abuya Sayyid Ahmad dan semua dari kita kecuali perasaan tegang. Mulai Abuya Sayyid Ahmad menceritakan kejadian saat beliau diinterograsi. Kata Abuya, “Anak-anakku… tadi aku dipaksa untuk menanda tangani surat pernyataan untuk tidak mengadakan Maulidan lagi. Tadi aku jawab mereka dengan jawaban demikian, ‘ALA ROQOBATII MA UWAQQI’ (taruhan leherku, aku tidak akan menanda tangani)!”. Allahu Akbar.
Tepat dihari pemanggilan Abuya Sayyid Ahmad, dari pagi kita sudah kumpul di “qa’ah”, melaksanakan Shalat Hasbanah, membaca aurad dan ahzab. Ba’da Dzuhur Abuya Sayyid Ahmad datang dan langsung memerintahkan kita untuk berkumpul di kelas. Tidak tertangkap dari ekspresi wajah Abuya Sayyid Ahmad dan semua dari kita kecuali perasaan tegang. Mulai Abuya Sayyid Ahmad menceritakan kejadian saat beliau diinterograsi. Kata Abuya, “Anak-anakku… tadi aku dipaksa untuk menanda tangani surat pernyataan untuk tidak mengadakan Maulidan lagi. Tadi aku jawab mereka dengan jawaban demikian, ‘ALA ROQOBATII MA UWAQQI’ (taruhan leherku, aku tidak akan menanda tangani)!”. Allahu Akbar.
Beliau kemudian melanjutkan ceritanya, sedang kita semua sangat tegang, “Wahai anak-anakku, kata yang mengiterograsi aku tadi, aku masih akan dipanggil lagi. Jika aku tidak lagi bersama kalian, maka tolong teruskan perjuangan ini. Jangan kalian putus perjuangan ini hanya karena tidak ada aku,” begitu dawuh Abuya, yang membuat mata kita saat itu berkaca-berkaca. Bahkan banyak dari kawan-kawan saat itu sampai sesenggukan. Tidak tega dengan apa yang dialami Abuya Ahmad, sekaligus dipenuhi perasaan mencekam. Dan sampai sekarang Abuya Ahmad tetap tidak berkenan untuk menanda tangani pernyataan untuk tidak lagi mengadakan maulidan.
Semenjak itu, orang-orang sepuh Makkah sering mentahbis beliau dengan sebuah pameo, “hadza as syibl min dzak al asad” (anak singa ini dari singa yang itu). Tapi bagi kami beliau bukan hanya seperti itu. Bagi kami, beliau adalah “hadza al asad min dzak al asad” (singa ini dari singa yang itu).
Sungguh keberanian yang menggetarkan semesta. Sungguh kejantanan yang terwarisi dari kakek beliau berdua, Habibuna Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh keberanian yang terwarisi oleh lisan yang mengucap “Allaah. Allaah. Allaah” dihadapan Du’tsur ketika si Du’tsur menghunuskan pedang ke lehernya seraya berkata, “Sekarang, siapa yang bisa menyelematkan engkau dari aku, hai Muhammad?”, dan terjatuhlah pedang Du’tsur tersetrum oleh kalimat yang terhentak dari lisan pemimpin para pemberani itu, Habibuna Muhammad SAW.
Meskipun kita tidak bisa menteladani syaja’ah (keberanian) istimewa ini seratus persen, semoga kita masih terciprati sedikit sifat syaja’ah beliau
Aamiin Allahumma Aamiin.
0 Response to "PERJUANGAN ABUYA SAYYID MUHAMMAD AL-MALIKI DAN PUTRA BELIAU MENENTANG PENINDASAN KERAJAAN TIRAN SAUDI WAHABI TERHADAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH"
Post a Comment