Latest Updates

Ijtima' Halal Wa Al-Haram



BABI
PENDAHULUAN

            Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling “baik” dan “indah”. Diberikannya makan untuk yang pertama kali sejak manusia tiu lahir dengan air susu Ibu yang telah diproses dari berbagai cairan dan darah yang ada dalam tubuh sang Ibu. Sehingga menjadi minuman yang segar dan bersih. Menusia dilindungi dengan berbagai makanan yang sehat dan bersih, sehingga menusia dapat menghindari kelemahan dan kerusakan tubuh.
            Untuk menjaga tubuh dari kelemahan dan kerusakan, Allah juga memberikan batasan-batasan tertentu kepada hawa nafsunya agar tidak berbuat kerusakan, kekerasab dan kekejaman. Manusia ditekan dengan berbagai kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah agar mau mencari rezeki yang halal. Dengan cara memerangi hawa nafsu itulah setan yang suka mendekati untuk menggoda dan menyesatkan, niscaya terselamatkan. Sebab setan selalu berupaya menyusup ke berbagai pembuluh darah manusia, sehingga sulit bagi manusia mendapat  rizki halal yang ada dan beredar di sekelilingnya, bila manusia tidak memberantas yang haram sampai ke akar-akarnya.
            Masalah halal dan haram begitu sntral dalam pandangan kaum muslimin, hal ini karena ia merupakan batas antara yang hak dan yang batil, atau lebih jauh antara surga dan neraka. Halal dan haram akan selalu dihadapi oleh kaum muslimin detik demi detik dalam rentang kehidupannya. Sehingga menandakan betapa pentingnya kita mengetahui secara rinci batas antara apa yang halal dan apa yang haram. Mengetahui persoalan halal dan haram ini kelihatan mudah sepintas, tetapi kemudian menjadi sangat sukar ketika berhadapan dengan kehidupan keseharian, yang kadang menjadi kabur, sulit membedakan mana yang halal dan mana yang haram, atau bahkan menjadi subhat, karena tidak termasuk keduanya, atau karena pencampuran keduanya.


















BAB II
إذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْحَرَام
Apabila Sesuatu Yang Halal Berkumpul Dengan Yang Haram,
Maka Yang Menang Adalah Yang Haram.

A.    Pengertian Kaidah
Halal adalah segala sesuatu yang baik, sedangkan yang dimaksudkan disini adalah halal yang mubah, bukan halal yang wajib. Karena sesuai dengan ijma’ ulama jika berkumpul diantara perkara halal yang wajib dan haram, maka maslahah kewajibanlah yang harus dipelihara.
Secara harfiah haram menurut bahasa artinya mencegah atau terlarang.[1]
Adapun haram yang dimaksudkan di dalam kaidah ini sama pengertiannya dengan haram yang ada didalam ilmu fiqh secara umum, yaitu segala sesuatu yang apabila dikerjakan mendapat siksa dan jika di tinggalkan mendapat pahala.
Adapun ijtima’ yang tercantum dalam kaidah sebagaimana penjelasan dari syeikh Yasin Al-Fadani adalah berkumpulnya perkara yang halal dan haram dilihat dari asumsi pelaku (zhan mukallaf), bukan pada kenyataan (nafsul amri). Dengan demikian, halal dan haram baru dinilai berkumpul, jika pelaku sudah memiliki asumsi yang kuat, walaupun dalam kemyataannya tidaklah demikian.[2]
Penjelasan dari kaidah ini adalah disebabkannya suatu perkara yang haram itu sudah barang tentu menyimpan kerusakan, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, sebagai langkah prefentif untuk menghindari dari kerusakan tersebut, ketika suatu barang yang mengandung unsur haram terhadap semua barang yang telah bersatu tersebut. Dengan kata lain, lebih baik melepaskan barang yang halal, dari pada mengonsumsi barang haram yang dianggap halal.
Sekedar untuk diketahui, sebenarnya terdapat kebalikan kaidah ini, yaitu
الحرام لا يحرم الحلال
“ Perkara yang haram tidak dapat mengharamkan perkara yang halal”.
Bunyi kaidah ini sebenarnya adalah petikan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Daruquthniy dari Ibnu Umar Ra., yang berarti perkara yang haram tidak akan pernah merubah materi perkara yang halal menjadi haram. Pada tahap awal mungkin akan ada pra asumsi adanya kontradiksi antara bunyi hadis atau kaidah ini dengan redaksi kaidah pertama yang disebutkan  dalam awal pembahasan. Namun, secara substansi dua kaidah yang telah disebutkan ini tidaklah berlawanan, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Subuki.
Sedangkan makna kaidah idza ijtama’a al-halal wa al-haram ghuliba al-haram adalah pemberlakuan status haram pada perkara yang halal sebagai langkah antisipatif (ihtiyath) atau dapat dikatakan makna ghuliba al-haram ini hanya sekedar “dominasi” haram terhadap perkara yang halal.
Sebagai bukti, ketika ada keraguan yang dialami seseorang pada saat hendak menentukan dua keping mata uang, mana yang halal dan mana yang haram. Dalam kondisi seperti ini, ia diperbolehkan untuk berijtihad untuk menentukan mana uang yang halal. Seumpama dikatakan perkara yang haram dapat menjadikan perkara yang halal menjadi haram, tentu tidak ada kesempatan sama sekali untuk mengambil uang  dengan cara berijtihad. Dalam contoh ini terbukti bahwa yang halal akan tetap dihukumi halal, yang haram tetap seperti semula.

B.     Sumber Pengambilan Kaidah
Para ulama Ushul Fiqh dalam membuat kaidah ini berpijak pada hadits Nabi saw berikut ini:
ما اجتمع الحلال والحرام إلا غلب الحرام الحلال
“Tidaklah perkara halal dan haram berkumpul kecuali yang haram akan mengalahkan yang halal. “
Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa, apabila unsur haram dan halal berkumpul dalam satu persoalan, maka aspek haramnya pasti lebih dominan. Dari sini para ulama kemudian merumuskan keharaman daging hewan sembelihan yang telah bercampur dengan daging bangkai, sebab di sini sudah terdapat percampuran (ijtima’) antara unsur halal dan unsur haram. Daging sembelihan yang pada mulanya adalah halal, akan menjadi haram gara-gara bercampur dengan daging bangkai yang notabene haram. Kesimpulan ini merupakan hasil ijtihad ulama saat menggali substansi hadits Nabi Saw. tersebut.
Hal yang sama berlaku pada anak binatang yang dilahirkan dari proses pembauran antara induk (jantan/betina) yang dagingnya halal dimakan, dengan induk lain yang dagingnya haram dimakan. Anak hasil pembauran itu dihukumi haram karena salah satu induknya adalah “binatang haram”. Sebab ia tercipta dari hasil percampuran antara sperma/ovum yang haram dengan yang halal. Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lain yang memiliki kemiripan karakter dengan dua contoh di atas, yang mana semua itu menghasilkan satu kesimpulan hukum, yaitu haram.

C.    Aplikasi Kaidah Dalam Hukum Fiqh
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pemberlakuan kaidah ini dalam hukum fiqh banyak kita jumpai, diantaranya adalah:
1.      Jika terdapat dua bejana, bejana yang pertama berisi daging bangkai dan bejana yang kedua berisi daging sembelihan (mudzakka), sementara kita tidak mengetahui di antara kedua bejana dimana yang berisi daging yang senbelihan dan didmana daging yang berisi bangkai. Dalam kondisi demikian, kita tidak boleh mengambil salah satunya hanya dengan alasan diantara daging itu terdapat daging yang halal. Sebab saat itu terjadi percampuran antara unsur halal yakni bejana yang berisi daging semblihan dengan unsur haram yakni bejana yang berisi daging bangkai, maka ketentuan hukum yang mendominasi adalah pada unsur yang haram.
2.      Jika seseorang yang dilempar dari tempat yang tinggi, namun sebelum sampai ke bawah ia ditusuk dengan mengunakan sebilah pedang oleh orang lain, sehingga ia tewas seketika. Dalam permasalahan ini, terdapat pergumulan sebab dan mubâsyarah. Yang dimaksud dengan sebab dalam konteks ini adalah pelemparan dari atas tebing, sedangkan mubâsyarah adalah penusukan dengan pedang. Sesuai dengan kaidah ini, pelaku penusukan lah yang bertanggungjawab atas peristiwa pembunuhan yang sejatinya dilakukan oleh dua orang ini. Karena dialah yang menjadi penyebab langsung kematian itu. Tusukan yang dilakukannya dinilai telah menutup resiko kematian yang diakibatkan pelemparan pelaku pertama, walaupun sebenarnya kedua orang ini sama-sama berperan atas kematian korban.
3.      Jika seseorang yang mengambil makanan orang lain dengan cara gasab kemudian makanan yang ia ambil disuguhkan kepada pemiliknya dan langsung dimakan, maka secara otomatis si pemilik sudah dianggap mengambil haknya sendiri, walaupun si pemilik tidak tahu bahwa yang ia makan adalah miliknya sendiri. Dan karena telah mengambil haknya, ia tidak dapat menuntut agar makanannya dikembalikan oleh si penggasab. Hal ini juga sangat beralasan, karena pemilik adalah subjek utama habisnya makanan. Tindakan (mubasyarah) yang dilakukan pemilik makanan lebih mendapatkan tekanan sebagai perbuatan yang mengakibatkan makanan itu habis, daripada tindakan gasab yang menjadi penyebab (sabab) habisnya makanan. Alasan yang melatarbelakangi kurang lebih sama dengan permasalahan di atas.
4.      Jika membaca Al-Quran oleh orang berjunub. Melafazkan (tanpa memegang) ayat-ayat Al-Quran bagi orang yang sedang berjunub hukunya haram, bila ia bemaksud membacanya sekaligus  berzikir. Dalam permasalahan ini, sebenarnya terdapat dua hukum yang berbeda; pertama, diperbolehkan melafazkan ayat Al-Quran bagi orang yang berjunub, akan tetapi dengan tujuan hanya untuk berzikir saja; kedua, haram melafazkan dengan tujuan membaca tanpa niat zikir. Meskipun dari kedua unsur (membaca dan berzikir) itu terdapat perbedaaan hukum, tetapi, jika keduanya dijadikan satu tujuan maka hukumnya tetap haram, sesuai dengan kaidah diatas.[3]
5.      Anak binatang hasil pembauran. Bila kita memiliki kambing betina yang berselingkuh dengan anjing jantan, lalu dari perselingkuhan tersebut menghasilkan keturunan anak kambing, maka kita diharamkan untuk memakan daging anak kambing tersebut. Sebab meskipun wujudnya kambing namun ia terlahir dari pembauran antara binatang yang daging halal dimakan dengan binatang yang dagingnya haram diamakan. Berarti pada daging anak kambing tersebut terdapat percampuran antara halal dan haram. Sementara kaidah ditas menegaskan bahwa bila berkumpul antara halal dan haram yang dimenangkan adalah hukum haram.[4]
Dari contoh-contoh di atas dapat diambil suatu kesimpulan ketika ada suatu barang atau yang lainnya mengandung unsur halal, akan tetapi pada saat yang bersamaan tercampur dengan suatu barang yang hukumnya sudah tentu mengandung unsur haram, maka akan dimenangkan dengan perkara yang haram yang walaupun kadarnya lebih sedikit dari yang halal.

D.    Kaidah Cabang
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa setiap kaidah asas memiliki kaidah cabang. Adapun yang menjadi kaidah cabang dari kaidah ini adalah:
1.                                                                                                                                                    اِذَاتَعَارَضَ الْمَانِعُ وَالْمُقْتَضِ يُقَدِّ مُ الْمَانِعُ
“Apabila saling bertentang ketentuan hukum yang mencegah dengan yang menghendaki pelaksanaan suatu perbuatan, niscaya didahulukan yang mencegah”.
Kaidah ini menegaskan bahwa, bila terdapat keadaan yang kontradiktif antara tuntutan dan larangan, maka yang harus dilakukan adaah menghindari larangan tersebut, seperti oarang yang mati syahid tetapi dalam kondisi berjunub, akan menimbulkan dua keadaan yang kontradiktif, di satu sisi ia wajib dimandikan karena dalam keadaan berjunub, di sisin lain ia tidak boleh dimandikan karena dalam keadaan syahid. Jika melihat kepada kaidah ini, maka yang didahulukan adalah al-mani’, yakni larangan yang memandikannya.
2.                                                                             اِذَااجْتَمَعَ فِى الْعِبَادَةِجَانِبُ الْحَضَرِ وَجَانِبُ السَّفَرِغُلِّبَ جَاِنبُ الْحَضَرِ
“ Apabila dalam kaidah ini terkumpul segi hadlar ( tidak bepergian ) dan segi safar ( bepergian ), maka yang dimenangkan segi hadlar ( tidak bepergian )”.
Hukum-hukum yang terbangun atas dasar kesulitan, seperti seseorang yang sedang melakukan perjalanan, islam memberi aprsiasi yang cukup besar dengan memberikan hukum rukhsah bagi pelakunya, namun persoalannya, bila sisi perjalanan dan sisi hadhir itu berkumpul. Misalnya, seorang musafir yang mengqashar shalat dalam perjalanan tapi sudah sampai dirumah ketika shalat belum selesai, maka sisi manakah yang lebih diunggulkan. Sesuai dengan rumusan kaidah di atas. Maka sisi hadhirlah yang dimenangkan. Artinya shalat qashar yang dilakukan orang musafir harus disempurnakan sebagaimana shalat biasa, karena sisi hadhir dinilai sebagai hukum asal dalam syari’at.[5]
3.                                                                                                                                                                                          تعارض المسنون والممنوع[6]
Artinya: Pertentangan antara perbuatan yang disunnatkan dan yang dicegahkan.
Perbuatan yang didalamnya terkandung perbuatan yang nilainya sunnah yang nilainya haram, seperti orang yang dalam keadaan ihram haji yang berwudhu’, apakah ia diperbolehkan untuk menyela rambutnya untuk memudahkan air masuk ke seluruh kulit kepala, padahal hal ini dapat menimbulkan jatuhnya rambut. Dalam hal ini, menurut Al- Mutawalli, ia dibolehkan menyela rambutnya, karena hanya mempunyai kemungkinan jatuhnya rambut. Namun menurut pendapat lain, ia dimakruhkan menyela rambutnya. Seperti halnya dimakruhkan berkumur-kumur dan menyedot air kelubang hidung secara berlebihan bagi orang yang berpuasa.
4.                                                                                                                                           اذا اجتمع الواجب و المحظر يقدم الواجب[7]
Artinya: Bila kewajiban dan larangan berkumpul, maka yang didahulukan adalah kewajiban.
Kaidah ini menegaskan bahwa, kewajiban tetap harus dikerjakan meskipun berkumpul dengan larangan (haram). Diantara contohnya adalah percampuran mayat muslim dengan non muslim, maka memandikan dan menshalati seluruh jenazah hukumnya adalah wajib, meskipun diantara mayat-mayat ituterdapat mayat non muslim, padahal hukum asalnya memandikan dan menshalati mayat non muslim hukumnya adalah haram.

E.     Pengecualian  Kaidah
Tidak semua masalah berkumpul halal dengan haram termasuk dalam cakupan kaidah ini, akan tetapi ada beberapa masalah yang dikecualikan antara lain:
1.      Diperbolehkan berijtihad  untuk menentukan antara  bejana yang suci dengan bejana yang najis, walaupun melakukan tayammum sebagai upaya menghindari keraguan dianggap lebih baik, karena hal ini oleh para ulama dianggap tindakan yang lebih hati-hati.
2.      Diperbolehkan berijtihad dalam menentukan baju yang suci tetkala tercampur dengan baju najis, dengan pertimbangan seperti kasus bejana di atas.
3.      Dihalalkan bagi kaum laki-laki memakai baju yang ditenun dari bahan-bahan campuran, seperti sutra (haram bagi laki-laki) dengan kapas (halal),  dengan catatan jika kain sutra yang digunakan relatif sedikit dibanding dengan kain kapasnya.
4.      Dihalalkan untuk memakan burung hasil buruan yang terjatuh karena terkena panah atau alat pemburu lainnya. Huku halal ini tetap berlaku meskipun brurung tersebut mati setelah jatuh ke tanah. Dalam kasus ini ada dua titik tekan yang berlawanan: pertama;  luka akibat tekena panah adalah sesuatu yang menghalalkan, kedua; jatuhnya burung tersebut ke tanah merupakan suatu hal yang mengharamkan. Akan tetapi karena jatuhnya burung ke tanah  merupakan suatu hal yang tidak mungkin dihindari, maka hukumnya dimaafkan.
5.      Diperbolehkan melakukan transaksi bisnis dengan orang yang mayoritas uangnya adalah uang haram, dengan catatan bahwa nilai nominal uang halal dan uang haram itu tidak diketahui secara pasti berapa jumlahnya. Namun, hal ini menurut al­Ghazali hukumnya tetap haram sebagai langkah (berhati-hati). Pendapat senada juga pernah ditegaskan oleh ‘Izzuddin bin Abd al-Salam dan Adzra’i.
6.      Dimakruhkan menerima pemberian pemerintah yang telah diketahui bahwa mayoritas uangnya adalah haram, jika memang penerima belum sampai tahap yakin bahwa apa yang diterimanya diperoleh dengan cara-cara haram. Jika diyakini uang itu memang benar-benar diperoleh dengan cara haram, seperti korupsi, pungli (pungutan liar), dan lain sebagainya, ataupun diambil dari perbuatan maksiat, maka hukum meneri­manya haram.
7.      Kambing yang pernah memakan barang haram (milik orang lain), susu dan dagingnya dihukumi halal, walaupun barang haram itu telah bercampur dengan daging dan susunya. Dalam kasus seperti ini, pemilik hewan sebenarnya diwajibkan meng­ganti rugi segala sesuatu yang telah dimakan kambing­nya. Namun al-Ghazali menyarankan agar kita tidak memakan­nya. Sebab menurut sang Hujjah al-Islam ini, tidak memakan daging atau meminum susu. kambing tersebut merupakan tin­dakan warâ’.


BAB III
KESIMPULAN

Kaidah idza ijtama’a al-halal wa al-haram ghuliba al-haram adalah disebabkannya suatu perkara yang haram itu sudah barang tentu menyimpan kerusakan, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, sebagai langkah prefentif untuk menghindari dari kerusakan tersebut, ketika suatu barang yang mengandung unsur haram terhadap semua barang yang telah bersatu tersebut. Dengan kata lain, lebih baik melepaskan barang yang halal, dari pada mengonsumsi barang haram yang dianggap halal.

                                 










DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdillah Badruddin Muhammad  bin Bahadur Al-Zarkasyi, Al- Mantsur Fi Al-Qawa’id Fiqh Syafi’i, sebagaimana dikutib oleh Maimun Zbair dalam formulasi Nalar Fiqh.
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2009/08/10/688/kaidah-halal-dan-haram-1/
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyyah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001 , cet. 1.
Karim, Adiwarman A, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013
KH. Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh,  Cet. II, Surabaya: Khalista, 2006.
Muhammad Yasin Al-Fadani, Fawaid Al-Janiyyah, Bairut Dar Al-Fikri.
portalgaruda.org/article.php?article=149582&val=5885&title=HALAL DAN HARAM MENURUT AL-GHAZALI DALAM KITAB MAU’IDHOTUL



[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Hal. 256

[2] Muhammad Yasin Al-Fadani, Fawaid Al-Janiyyah, (Bairut Dar Al-Fikri), hal. 333
[3] KH. Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh,  Cet. II, ( Surabaya: Khalista, 2006), hal. 30

[4] KH. Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh,  Cet. II, ........ hal. 29
[5] Abu Abdillah Badruddin Muhammad  bin Bahadur Al-Zarkasyi, Al- Mantsur Fi Al-Qawa’id Fiqh Syafi’i, sebagaimana dikutib oleh Maimun Zbair dalam formulasi Nalar Fiqh, h. 39

[6] Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh..., h. 45

[7] Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh..., h. 42

0 Response to " Ijtima' Halal Wa Al-Haram"

Post a Comment

X-Steel - Wait